Sabtu, 27 Oktober 2018

Penelitian Tentang HTI

Bak Disambar Petir ! TGB Bongkar Soal Bendera Nabi. HTI Bohongi Umat Islam Indonesia ?


detik.com

Kontroversi bendera HTI yang diklaim sebagai bendera Nabi menemukan titik baru yang sangat mencengangkan. Seorang Ulama yang otoritasnya tidak diragukan , yakni Dr. KH Tuan Guru Bajang, berhasil membongkar literasi terkait bendera Nabi SAW itu dan ternyata HTI telah salah besar atas bendera Nabi.

Pertama bendera Nabi bentuknya tidak seperti itu dan kedua yang sangat fatal adalah bahwa bendera Nabi tidak pernah dikibarkan oleh Nabi dan para sahabatnya dalam situasi damai. Bendera Nabi hanya dikibarkan dalam kondisi perang melawan musuh.

Lalu dalam kontek Indonesia, apa yang HTI telah lakukan ? Mereka mengibarkan ribuan bendera HTI yang diklaim sebagai bendera Nabi smentara negara dalam kondisi damai. Lalu ajaran dan tuntunan siapa yang mereka ikuti ?

Redaksi Indonesia

Ya Tuhan, betapa telah sangat banyak umat ini diajak oleh orang-orang yang tidak paham agama dan akibatnya sangat fatal. Umat bisa tersesat dalam pertumpahan darah gara-gara mengikuti orang-orang bodoh namun dijadikan pimpinan agama.

Sebagaimana detik.com menulis (25/10), Eks Gubernur NTB TGH Zainul Majdi atau Tuan Guru Bajang (TGB) merespons insiden pembakaran bertuliskan kalimat tauhid di Garut, Jabar. Menurutnya tidak tepat bila disebut bendera tersebut dikaitkan dengan bendera Rasulullah Nabi Muhammad SAW.

"Kita semua harus jujur dengan apa yang terjadi, saya pikir ketika kita bicara tentang atribut bendera, tidak pas kalau semata kita bicara bahwa, wah itu kan bendera Rasul, misalnya. Itu kan zaman Rasul bendera itu sudah ada," kata TGB di Jl Proklamasi no 53, Jakarta Pusat, Kamis (25/10/2018).

TGB mengatakan dirinya telah mengecek literatur soal bendera Rasulullah. TGB yang juga sebagai ulama sekaligus cendikiawan muslim ini mengatakan tak pernah menemukan literatur yang menceritakan bendera Rasulullah dikibarkan di situasi damai.

Rmolsulsesl.com

"Saya sampai hari ini, saya mengecek di semua khazanah kitab-kitab hadis tentang perjalanan Rasul, saya dari awal sampai akhir, saya belum pernah menemukan ada satu narasi terkait dengan bendera Rasul itu dikibar-kibarkan di Madinah dalam keadaan damai, dalam keadaan damai, biasa-biasa, lalu bendera masa perang dikibarkan, itu tidak pernah ada. Sampai sekarang saya nggak menemukan," lanjut dia. 

TGB kemudian menyinggung soal HTI yang dilarang di negara lain. Pelarangan tersebut tak serta merta menjadi sebuah sikap anti-Islam. Dia menyebut ada 20 negara yang melarang, termasuk Turki, Arab Saudi, sampai Mesir.

Dan dengan demikian, tidak masuk akal menuduh pihak yang menolak bendera HTI itu disebut sebagai pihak yang anti Islam. Beranikah mengatakan Arab Saudi sebagai negara yang anti Islam ? **


http://idstory.ucnews.ucweb.com/story/1413626608128877?channel_id=103&host=http:%2F%2Fidstory.ucnews.ucweb.com&list_article_from=&item_type=201&content_type=0&cluster=iflow_server_indonesian&no_title=0&media_type=1&app=browser_homepage&uc_param_str=dnvebifrmintcpwidsudsvpfmtch&ver=12.2.5.1102&sver=inapppatch3DPstatnew&demote_type=normal&adapter=&grab_time=2018-10-26_19.48.07&lang=indonesian&comment_stat=1&comment_type=0&reco_id=23e2bf62-f1c4-4867-9140-1f825ecb3fb4&ucnews_rt=kUser2Item&entry=browser&entry1=shareback&entry2=content_Whatsapp&shareid=bTkwBODtPHDxMdCd5jrG7ok8Jzws%2BsClW5TSWWWNAhQHjA%3D%3D

Kamis, 11 Oktober 2018

Syekh Abul Khair

Abu Said Abu Khair: Sufi yang Sejak Kecil Diprediksi Akan Menjadi Wali

“Jadilah kau seperti butiran debu yang menggelinding terbawa sapuan. Dan janganlah seperti batu yang tertinggal.” ~Abu Said Abu Khair

Abu Said Abu Khair lahir pada 978 M di kota Maihana, sebuah kawasan di Negara Iran. Ia adalah seorang sufi agung. Ayahnya adalah seorang ahli kedokteran yang mempunyai perhatian terhadap dunia sufisme.  Konon, Abu Said sendiri sempat berjumpa dengan Ibnu Sina. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Abu Said mendaku bahwa apapun yang dimiliki oleh Ibnu Sina tentang sebuah ilmu pengetahuan ia juga memilikinya. Artinya, ia ingin mengatakan bahwa ia juga seorang ilmuwan.

Sejak kecil ia menggandrungi sastra klasik. Tentang hal ini, ia pernah menyatakannya secara langsung bahwa ia telah hafal 30.000 bait syair-syair era Jahiliyyah. Pada suatu hari dan saat usianya menginjak umur 26 tahun di mana ia sedang belajar kepada gurunya, Abu Ali, ia mendengarkan ayat : Katakanlah: “Allah”, Kemudian biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatannya (QS Al-An’am: 91)

Abu Said mengatakan bahwa ayat tersebut selalu terngiang di telinganya hingga ia dibukakan pintu hatinya yang seolah-olah mengingatkan dirinya untuk membuang segala apa yang dimilikinya. Sejak kejadian itu ia terus menyendiri di rumahnya. Selama tujuh tahun ia mengasingkan diri hanya untuk menyebut asma-Nya. Lafadz Jalalah atau Asma Allah bagi kalangan sufi merupakan sebuah jalan menuju fana’.

Diprediksi Seorang Syaikh Menjadi Wali

Muhammad bin Munawwir bin Abu Sa’id, yang masih merupakan cucu dari Abu Said, dalam karyanya “Asrar at-Tauhid” mengulas biografi yang juga mengupas kisah-kisah kakeknya. Salah satunya adalah sebuah kisah yang menceriterakan bahwa sejak kecil Abu Said telah diprediksi oleh seorang Syaikh bahwa kelak ia akan menjadi seorang wali.

Suatu ketika, ayahandaku mengajakku menuju ke Masjid untuk melaksanakan salat Jumat. Di tengah perjalanan, kami berjumpa dengan Syaikh Abu Qasim Bisyr Yasin. Beliau adalah seorang ulama yang masyhur di masanya dan merupakan pembesar para syaikh. Beliau tinggal di Maihana.

Saat beliau melihatku, ia bertanya, “Putra siapa si anak kecil ini?” Ayahku menjawab, “putraku”. Lalu beliau mendekatiku dan duduk di depanku. Sambil menatap wajahku, aku melihat air matanya menetesi wajahnya yang teduh. Lalu beliau berkata kepada ayahandaku, “Wahai Abu Khair, aku belum sanggup meninggalkan dunia fana ini karena aku melihat bahwa dunia hari ini sedang mengalami kekosongan orang yang mencapai maqam kewalian. Para darwis pun begitu langka. Namun, sekarang aku melihat puteramu kelak akan mencapai maqam kewalian.” Ia membisik ayahandaku, “Selepas solat Jumat, bawa putramu ke hadapanku,” pinta Syaikh.

Seusai melaksanakan salat jumat, ayahku membawaku ke hadapan Syaikh Abu Qasim. Aku duduk di hadapan Syaikh di mana terdapat sebuah jendela yang terbuka. Lalu ia berkata kepada ayahku, “Angkat putramu Abu Said di atas pundakmu agar roti di atas jendela itu jatuh ke bawah.” Lalu ayahku mengangkat tubuhku dan tidak lama aku julurkan tanganku roti di atas jendela itu jatuh ke tanganku. Roti tersebut dalam keadaan panas. Aku merasakannya sebab roti itu ada dalam genggamanku. Lalu Syekh Abu Qasim mengambil roti dari tanganku sembari menitikkan air mata ia membagi roti menjadi dua. Ia memberikan setengah roti untukku sambil berkata kepadaku, “Makanlah, nak!” Ia sendiri memakan sebagian yang lainnya. Sementara ayahku tidak mendapatkan bagian. Lalu ayahku bertanya kepada Syaikh, “Wahai Syaikkh, mengapa engkau tidak memberikan bagian roti itu kepadaku agar aku mendapatkan berkah darimu?” Syaikh Abu Qasim menjawab, “Wahai Abu Khair, aku telah menaruh roti tersebut di atas jendela selama tiga puluh tahun lamanya. Dan aku berjanji bahwa siapa pun yang dapat memegang roti itu dalam keadaan panas, ia kelak akan menjadi kebanggaan dunia dan menjadi pelengkap dunia tasawuf. Sekarang, kebahagian ini telah nyata di hadapan kita. Puteramu inilah orang tersebut. Lalu Syekh Abu Qasim berkata kepadaku, “Wahai Abu Said, hafalkan amalan ini: Subhanaka wa bihamdika ‘ala hilmika ba’da Allamaka, subhanaka wa bihamdika ‘ala afwika ba’da qudratika.” Lalu aku pun menghafalkan amalan tersebut dan mengamalkannya secara istiqamah.

Kontribusinya paling penting dalam kajian tasawuf menurut Mojdeh Bayat (2000 :27) adalah pendirian pusat-pusat sufi atau yang biasa disebut khanaqah sebagai sebuah tempat formal yang dikhususkan untuk pengajaran dan pendidikan spiritual serta binaan etika dan tatakrama serta adab bagi kaum darwis.

Nasehat Abu Said: Jadilah Debu, Jangan Jadi Batu

Mojdeh Bayat mengisahkan sejumlah anekdot mengenai kisah Abu Said. Salah satunya adalah kisah berikut ini:

Seorang darwis tengah menyapu halaman khanaqah dan Abu Said melihatnya sembari berkata kepada si Darwis, “Jadilah kau seperti butiran debu yang menggelinding terbawa sapuan. Dan janganlah seperti batu yang tertinggal.” Dengan kata-kata ini, Abu Said ingin menunjukkan kepada muridnya bahwa untuk bisa terus menempuh jalan spiritual, seseorang harus menjadi seperti debu, yang tidak memiliki kemauan sendiri tapi pergi ke mana pun menuruti perintah sapu (sang pembimbing spiritual) dan jagan seperti batu (ego), yang bersikap keras menuruti kemauannya sendiri dan bahkan menentang sang pembimbingnya.

 

Wallahu A’lam bis-Shawab

Twitter, @midrismesut


https://islami.co/abu-said-abu-khair-sufi-yang-sejak-kecil-diprediksi-akan-menjadi-wali/

Selasa, 09 Oktober 2018

Kyai Irfan Kaliwungu

KH. Irfan Kaliwungu

Posted by saifur ashaqi

» BIOGRAFI

» Kamis, 06 Februari 2014

Perjuangan Kyai Irfan

KH. Irfan bin KH. Musa adalah salah seorang ulama besar Kaliwungu era 1910-an. Pada tanggal 12 Februari 1919 M atau bertepatan dengan tanggal 12 Dzulhijjah 1338 H, beliau mendirikan Pondok Pesantren dengan nama Al-Ma’hadus Salafi al-Kaumani. Alasan beliau menamakan Ponpes tersebut dengan nama itu, karena beliau berpandangan bahwa Ponpes ini akan menjadi Ponpes salaf selamanya. Sedang nama al-Kaumani disandangkan sebagai pengenal bahwa Ponpes itu berada di Kp. Kauman atau daerah sekitar Masjid Al-Muttaqien Kaliwungu. Sekarang nama Al-Ma’hadus Salafi al-Kaumanidirubah menjadi Pondok Pesantren Asrama Pelajar Islam Kauman atau Ponpes APIK Kaliwungu.

Ponpes ini pertama kali didirikan diatas tanah wakaf salah satu istri beliau dan dana pembangunan 75 % dari kakak beliau, yaitu KH. Abdurrasyid bin KH. Musa, sedang 25 % nya dari sumbangan masyarakat Kaliwungu. Dan bangunan Ponpes pertama kali ini sekarang dinamakan Komplek A.

Komplek Makam KH. Irfan di Kp. Djagalan KaliwunguSelama kurang lebih 10 tahun mengabdikan diri untuk santri dan masyarakat, pada hari Ahad kliwon ba’da dhuhur tanggal 13 Ramadhan 1349 H atau bertepatan dengan tanggal 1 Februari 1931 M beliau dipanggil oleh Allah swt. untuk selama-lamanya. Beliau dimakamkan di Pemakaman Kp. Djagalan, Kutoharjo, Kaliwungu.

Setelah beliau wafat, kepemimpinan Ponpes diserahkan kepada KH. Ahmad Ru’yat yang masih merupakan keponakan beliau. Berkat jasa dan pengabdian KH. Irfan kepada santri dan masyarakat, hingga kini keturunan-keturunan beliau banyak yang menjadi ulama dan bermanfaat bagi masyarakat. Diantara putra-putra beliau yang menjadi ulama adalah KH. Humaidullah Irfan (Pengasuh Ponpes APIK periode 1968 – 1985), KH. Ibadullah Irfan (mertua KH. Dimyati Rois), KH. Ahmad Dum Irfan (Pendiri Ponpes ARIS), KH. Abdul Aziz Irfan (Pendiri Ponpes Al-Aziziyah), KH. Fauzan Irfan dan masih banyak lagi. Dan sampai sekarang perjuangan beliau-beliau diteruskan oleh keturunan dan penerus-penerusnya.

     

 

Ponpes APIK Kaliwungu

 

Kyai Yang Wira’i

Syahdan, suatu ketika KH. Humaidullah bin KH. Irfan, Pengasuh Ponpes APIK Kaliwungu periode 1968 - 1985, yang waktu itu masih kanak-kanak sedang bermain-main bersama anak-anak sebayanya, tiba-tiba KH. Humaid kecil bersama teman-temannya menemukan 'ceceran' krupuk mentah di kampung yang mungkin terjatuh ketika habis dijemur, maklumlah Kaliwungu banyak pengusaha krupuk lokal.

Humaid kecil dapat 3 krupuk mentah, kemudian dibawa pulang terus digoreng, setelah matang. Tiba-tiba ayah beliau al-arif billah KH. Irfan bin KH. Musa, Pendiri Ponpes APIK Kaliwungu melihat putranya mau makan krupuk tersebut, sebelum dimakan Humaid kecil, ayahnya menahan tangan Humaid dan bertanya.

''Humaid. Ini krupuk dari mana?'', Humaid kecil menjawab dengan polos, ''Saya nemu di pinggir kampung sana Bah.''

Setelah mendengar jawaban anaknya, KH. Irfan mengajak Humaid kecil ke lokasi dimana Humaid menemukan krupuk mentah yang tercecer itu. Kemudian KH. Irfan menanyakan kesana-kemari, ke tetangga kanan-kiri di lokasi tersebut, perihal siapa yang jam sekian menjemur dan mengambil krupuk. 

Setelah tahu pemiliknya, KH. Irfan pun silaturahim seraya menyatakan mohon ''halalnya'' untuk 3 kerupuk kecil yang dipungut putranya karena tercecer di jalan. Kontan, si pemilik krupuk begitu di datangi oleh KH. Irfan langsung menyambut dengan gembira, tidak terbayangkan seorang ulama besar dan kharismatik sekelas Kyai Irfan mau silaturahim ke rumahnya, apalagi hanya gara-gara 3 krupuk kecil mentah yang tercecer.

Maka dengan sangat gembira, si pemilik rumah tidak hanya menghalalkan tapi malah membawakan oleh-oleh krupuk mentah beberapa kg. untuk oleh-oleh Kyai Irfan.

Demikianlah, begitu wira'i dan hati-hatinya beliau terhadap tiap suap makanan yang masuk ke mulut keluarganya, agar tidak sampai jatuh kemasukan barang atau makanan 'syubhat' apalagi yang haram. Maka, pantaslah kalau dikemudian hari putra-putra dan keturunan beliau menjadi ulama-ulama besar dan pesantren yang didirikan beliau menjadi pesantren besar dan kharismatik serta bersejarah, yang turut andil dalam memperjuangkan Islam dengan nilai-nilai aswaja di bumi nusantara ini.

Disusun Oleh SaifurroyyaDari Berbagai Sumber


http://saifurroyya.blogspot.com/2014/02/kh-irfan-kaliwungu.html?m=1

Senin, 08 Oktober 2018

Sunan Katong (2)

Kisah Sunan Katong di Kendal



Kisah Syiar Islam Sunan Katong di Kaliwungu, Kendal, Jateng

Mengislamkan Empu Pagerwojo, Putra Adipati Majapahit

Sunan Katong adalah sosok ulama yang berilmu tinggi dan berbudi luhur hingga disegani masyarakat. Datang ke Kaliwungu, Kendal untuk menyebarkan agama Islam atas petunjuk Sunan Pandan Arang Semarang. Berikut ini kisah dakwahnya.

Sunan Katong adalah cucu Bhatara Katong putra Pangeran Suryapati Unus atau Adipati Unus putra Raden Fatah, Sultan Kerajaan Demak pertama. Ia diutus Ki Ageng Pandan Arang Semarang tahun 1500-an usai melakukan tugas perang di Malaka melawan pasukan Portugis. Tujuannya untuk berdakwah di daerah Kaliwungu, Kendal yang terdapat “Pohon Ungu” yang batangnya condong ke sungai.

Untuk menuju ke pohon tersebut tidak mudah dibayangkan orang. Karena pohon tersebut merupakan pohon satu-satunya di Kendal. Namun Sunan Katong tidak putus asa meskipun mengalami kesulitan menemukan pohon ungu sesuai petunjuk Kia Ageng Pandanaran. Karena sudah menjadi niatan sebagai penyebar agama Islam pasca-Walisongo.

Dari arah Semarang menuju wilayah barat menuju Kaliwungu, Kendal. Parjalanan tersebut rupanya tidak sia-sia. Akhirnya Sunan Katong menemukan pohon warna ungu bersama pasukannya dan berteduh sampai ketiduran beberapa waktu di pohon tersebut.

“Daerah tersebut sekarang dikenal dengan nama “Kali Ungu” atau “Kali Wungu Kali Wungu” dan sungai yang ada di dekat pohon tersebut oleh masyarakat dinamakan “Kali Sarean”. Ungkap sejarawan Ahmad Hamam Rochani penulis buku 'Babad Tanah Kendal'.

Pasukan dan santrinya bermana Wali Jaka (Raden Panggul), Ki Tekuk Penjalin (Ten Koe PenJian Lien), dan Kyai Gembyang (Han Bie Yan). dan Raden Panggung. Dalam cerita tutur atau cerita rakyat terkenal dengan nama-nama Tekuk Penjalin, Kiai Gembyang dan Wali Joko.

Kemudian bertempat di pegunungan Penjor atau pegunungan telapak kuntul melayang. Selanjutnya Sunan Katong membangun sebuah padhepokan di tepian Kali Sarean. Tidak disangka-sangka banyak santri yang berdatangan ke padhepokan untuk belajar ilmu agama Islam. Penyebaran Islam di sekitar Kaliwungu tidak ada hambatan apa pun.

Setelah berhasil mengembangkan syiar agama Islam, Sunan Katong mengembangkan wilayah dakwahnya ke bagian barat yang masyarakatnya beragama Hindu dan Budha. Tokohnya adalah Empu Pakuwojo yang dulunya merupakan petinggi kerajaan Majapahit.

Empu Pakuwojo merupakan seorang ahli membuat pusaka.Ia seorang adipati Majapahit yang pusat pemerintahannya di Kaliwungu/Kendal. Untuk meng-Islamkan atau menyerukan kepadanya supaya memeluk agama Islam, Tidaklah mudah sebagaimana meng-Islamkan masyarakat biasa lainnya yang cukup dengan akhlakul karimah.

Untuk mengislamkan Empu Pagerwojo menggunakan pendekatan pilih tanding atau adu kesaktian, sebagaimana Ki Ageng Pandan Aran meng-Islamkan para 'Ajar' di perbukitan Bergota/Pulau Tirang. Mengingat orang yang didakwahi memiliki ilmu kesaktian dan pengaruh yang cukup besar kepada rakyatnya. Ketika Sunan Katong mengajak masuk Islam, maka Empu Pagerwojo mengajukan syarat yang cukup menagangkan dengan cara adu kesaktian. Maka kesepakatan pun dibuat dengan penuh kesadaran, sebagaimana seorang kesatria kerajaan Majapahit.

"Untuk mengislamkan Empu Pagerwojo menggunakan pendekatan pilih tanding atau adu kesaktian, sebagaimana Ki Ageng Pandan Aran meng-Islamkan para 'Ajar' di perbukitan Bergota/Pulau Tirang. Mengingat orang yang didakwahi memiliki ilmu kesaktian dan pengaruh yang cukup besar kepada rakyatnya.

Adu Kesaktian

Ketika Sunan Katong mengajak masuk Islam, maka Empu Pagerwojo mengajukan syarat yang cukup menagangkan dengan cara adu kesaktian. Maka kesepakatan pun dibuat dengan penuh kesadaran, sebagaimana seorang kesatria kerajaan Majapahit.

Bila Anda berhasil mengalahkan saya, maka mau memeluk agama Islam dan menjadi murid Anda”, ujar sumpah Pakuwojo di hadapan Sunan Katong. 
Dengan didampingi dua sahabatnya dan satu saudaranya, pertarungan antarkeduanya berlangsung seru. Selain adu fisik dengan menggunakan pedang dan keris, mereka pun adu kekuatan batin yang sulit diikuti oleh mata oran awam. Kejar mengejar, baik di darat maupun di air hingga berlangsung lama dan Pakuwojo tidak pernah menang.

Kemudian Empu Pakuwojo lari dan bersembunyi agar tidak terbunuh oleh Sunan Katong yang posisinya berada diatas angin kemenangan. Kebetulan sekali ada sebuah pohon besar yang berlubang cukup besar dan dapat dijadikan sebagai tempat persembunyian.

Lantas oleh Pakuwojo digunakan sebagai tempat bersembunyi dengan harapan musuhnya tidak mengetahuinya. Namun berkat ilmu yang dimiliki, Sunan Katong berhasil menemukan Empu Pakuwojo, dan menyerahlah dia. Sesuai janjinya, maka Empu Pakuwojo mengucapkan dua kalimat syahadat sebagai tanda masuk Islam di hadapat Sunan Katong. Kemudian pohon yang dijadikan tempat persembunyian itu diberi nama Pohon Kendal yang artinya penerang. Di tempat itulah Pakuwojo terbuka hati dan pikirannya menjadi terang dan masuk Islam. Sedangkan nama tempat di sekitar pohon Kendal disebutnya denganKendalsari

Sedangkan Sungai yang dijadikan tempat pertarungan kedua tokoh itu diberi namaKali/Sungai Kendal, yaitu sungai yang membelah kota Kendal, tepatnya di depan masjid Kendal. Sungai tersebut hingga kini masih dapat dilihat sebagai saksi sejarah.

Pakuwojo yang semula oleh banyak orang dipanggil Empu Pakuwojo, oleh Sunan Katong dipanggil dengan nama Pangeran Pakuwojo, sebuah penghargaan. Karena ia seorang petinggi Majapahit yang masih trah darah biru.

Setelah sekian lama berguru kepada Sunan Katong di Gunung Penjor, Empu Pagerwojo memilih di desa Getas Kecamatan Patebon dan kadang-kadang. Mendirikan padepokan yang terletak di perbukitan Sentir atau Gunung Sentir dan menjadi murid Sunan Katong pun ditepati dengan baik. HUSNU MUFID


http://penerbit-menara-madina.blogspot.com/2016/06/kisah-sunan-katong-di-kendal.html?m=1

Perjalanan Sunan Katong

Perjalanan Sunan Katong Menuju Ke Kaliwungu

Sunan Katong adalah sosok ulama yang berilmu tinggi dan berbudi luhur hingga di segani masyarakat. Bathara Katong atau Sunan Katong lebih di kenal dengan nama demikian bersama para santrinya Wali Jaka (Raden Panggul), Ki Tekuk Penjalin (Ten Koe PenJian Lien), dan Kyai Gembyang (Han Bie Yan) mendarat di Kaliwungu Jawa Tengah. Beliau menempati tempat di pegunungan Penjor atau pegunungan telapak kuntul melayang. Kemudian Sunan Katong membangun sebuah padhepokan di tepian Kali Sarean. Namun tak lama banyak waktu lagi mendapatkan banyak santri yang berbondong – bondong datang ke padhepokan untuk belajar ilmu agama Islam.

 

Cerita Sunan Katong Ketika Memasuki Agama Islam

Sunan Katong merupakan adipati Ponorogo yang memeluk agama Hindu, beliau menerima anjuran dari Raden Patah (Sultan Bintoro Demak) untuk memeluk agama Islam. Sunan Katong menerima dan mendapatkan ilham dari Tuhan mendapat petunjuk agar meninggalkan sebagai adipati dan berguru ke pulau Tirang untuk berguru kepada Ki Pandanarang I (Made Pandan) hinggah masuk agama Islam setelah cukup mendalami belajar agama Islam. Kemudian oleh Wali Songo di utus untuk menyadarkan Empu Pakuwaja ke Kendal atau Kaliwungu.

 

Sunan Katong Menyadarkan Empu Pakuwaja Murid Syekh Siti Jenar

Sunan Katong melakukan perjalanan ke tanah Perdikan Prawoto karena di utus oleh Wali Songo untuk menyadarkan Empu Pakuwaja atau Suro Menggolo (orang Jawa menyebutkan Empu Pakuwojo) yang merupakan murid dari Syekh Siti Jenar sendiri. Ia seorang petinggi Majapahit dan handal pembuatan pusaka atau empu. Untuk masuk di Islam tidaklah mudah, Empu Pakuwojo yang merasa mempunyai kelebihan, maka untuk mengagama Islamkan juga harus di damping dengan adu kesaktian. Sesuai perjanjian jika Ia di kalahkan oleh Sunan Katong maka Ia mau masuk di agama Islam dan menjadi muridnya. Setelah perang lama, Empu Pakuwojo tidak pernah menang dan menyerah. Kemudian Empu Pakuwojo mengucapkan 2 kali kalimat syahadat sebagai tanda masuk Islam

http://kresnabayutour.com/sunan-katong/

Sunan Katong

SUNAN KATONG (KYAI KATONG KALIWUNGU)

Belum banyak buku yang menulis dan menemukan catatan baku atau buku induk yang menerangkan riwayat hidup Sunan Katong. Cerita perjalanan hidup Sunan Katong ini akhirnya diperoleh dari keterangan para sesepuh, itu pun belum dijamin kelengkapan ceritanya dan validitasnya. Oleh karena itu, dalam menulis riwayat hidup Sunan Katong ini banyak didominasi oleh cerita-cerita tutur sebagai pelengkap cerita perjalanan Sunan Katong. 

Banyak buku sejarah yang menerangkan tentang Walisongo akan tetapi tidak satu buku pun yang menerangkan dan bahkan menyebut sekalipun nama Sunan Katong. Oleh karena itu, untuk bisa mencari identitasnya diperlukan data-data yang menyamping yang berhubungan dengan masa ketika itu. Namun, ada satu riwayat yang menjelaskan, bahwa kedatangan seorang santri yang bernama Bhatara Katong atau Kyai Katong ke Kaliwungu adalah atas petunjuk dari gurunya yaitu Kyai Pandan Arang (Semarang). Kyai Katong sendiri adalah keturunan Prabu Brawijaya V, sedang Kyai Pandan Arang merupakan santri Sunan Kalijaga. Kyai Pandan Arang mengutus Kyai Katong pada sekitar tahun 1500-an untuk berdakwah di daerah yang terdapat “Pohon Ungu” yang batangnya condong ke sungai. Setelah berjalan ke arah barat Semarang beberapa kilometer, akhirnya Kyai Katong menemukan pohon itu dan berteduh sampai ketiduran beberapa waktu di pohon tersebut. Maka, daerah tersebut sekarang dikenal dengan nama “Kali Ungu” atau “Kali Wungu” dan sungai yang ada di dekat pohon tersebut oleh masyarakat dinamakan “Kali Sarean”.

Baca: Kisah Perjalanan Panjang Kaliwungu Menjadi Kota Santri

Sejarah Sunan Katong Dalam Beberapa Versi

Ada tiga tokoh penyebar agama Islam di wilayah Kendal mereka adalah; 1. Bhatara Katong atau Sunan Katong atau Kyai Katong, 2. Wali Joko, dan 3. Kyai Gembyang atau Wali Gembyang atau Raden Gembyang atau Jaka Gembyang. Diantara sentral sejarahnya ada pada diri Sunan Katong yang makamnya di Astana Kuntul Melayang, Protomulyo Wetan Kaliwungu. Itupun banyak diwarnai dengan cerita tutur.

Maka muncul pertanyaan, kapan Bhatara Katong atau Sunan Katong atau Kyai Katong datang di Kaliwungu-Kendal?. Untuk bisa mengetahui kapan Sunan Katong datang di Kaliwungu-Kendal, terlebih dahulu perlu memahami siapa Sunan Katong yang dimaksud. 

Nama Sunan Katong erat hubungannya dengan kerajaan Majapahit, karena tokoh ini masih ada hubungan darah dengan raja Majapahit yang terakhir, Prabu Brawijaya V, ia adalah putra Majapahit dari istri Ponorogo. Setelah kerajaan Majapahit berakhir, ada keterangan yang menerangkan bahwa tokoh ini secara otomatis menjadi keluarga besar kerajaan Demak, karena ia masih ada hubungan saudara dengan Raden Fatah, saudara seayah. 

Makam Sunan Katong di Bukit Jabal Nur Protomulyo KaliwunguAda keterangan lain yang menerangkan bahwa Sunan Katong yang makamnya ada di kota Kaliwungu itu bukanlah Bhatara Katong putera Brawijaya ke V tetapi cucu dari Bhatara Katong, yang mempunyai nama “nunggak semi” dengan kakeknya, yaitu Bhatara Katong. Tokoh muda itu bernama Kyai Katong. 

Dijelaskan bahwa Kyai Katong yang cucu Bhatara Katong itu adalah putera Pangeran Suryapati Unus atau Adipati Unus atau Patih Yunus atau Pangeran Sabrang Lor, putera Raden Fatah, Sultan kerajaan Demak pertama. Sedangkan kapan tokoh ini datang di Kaliwungu-Kendal, memang tidak ada catatan yang jelas. Namun jika dipahami dengan berdasarkan dengan peristiwa yang terjadi pada masa itu, dan kemudian menghubungkannya dengan berdasar analisa rasional, maka kedatangan Sunan Katong ini akan bisa diketahui. Data-data itu berhubungan erat dengan penyerangan Kerajaan Islam Demak terhadap bangsa Portugis yang telah menguasai Malaka  dan Sunda Kelapa (Jakarta). Maka, kapan peristiwa itu terjadi? 

Bhatara Katong atau Sunan Katong bersama pasukannya mendarat di Kaliwungu dan memilih tempat di pegunungan Penjor atau pegunungan telapak “kuntul melayang”. Beberapa tokoh rombongannya antara lain terdapat tokoh seperti Ten Koe Pen Jian Lien, Han Bie Yan dan Raden Panggung. Dalam cerita tutur atau cerita rakyat terkenal dengan nama-nama Tekuk Penjalin, Kyai Gembyang dan Wali Joko. Dalam catatan sejarah nasional bahwa ketika Nusantara (Malaka dan Aceh) diserang oleh bangsa Portugis (1511), banyak pembesar-pembesar Samudera Pasai (Aceh) yang mengungsi ke Demak, salah satunya pembesar itu terdapat Faletehan atau Fatahillah.

Terhadap penyerangan bangsa Portugis itu, kerajaan Islam Demak melakukan penyerangan balik selama dua kali. Penyerangan pertama terjadi pada tahun 1513 dibawah pimpinan Pangeran Sabrang Lor atau Adipati Unus, putera mahkota Kerajaan Islam Demak. Karena penyerangan itu memiliki tujuan multi politik, yaitu politik ekonomi dan politik agama, maka dalam perjalanan pasukan Demak disertai dengan pembinaan pada daerah-daerah pelabuhan di sepanjang pantai utara Jawa sebagai basis pertahanan. Dimungkinkan dalam ekspedisi pertama ini (1513) Kyai Katong ada dalam rombongan itu, dan kemudian memilih berhenti membina daerah baru di Kaliwungu-Kendal. 

Bila kemungkinan ini benar maka Sunan Katong datang ke Kaliwungu-Kendal pada tahun 1513. akan tetapi catatan ini sedikit kurang valid karena tidak ada data pendukung lainnya. Dan disamping itu masanya sangat terlampau jauh bila dihubungkan dengan sejarah semasanya. Penyerangan kedua terhadap bangsa Portugis dilakukan pada tahun 1527. penyerangan ditujukan terhadap bangsa Portugis yang sudah menguasai Jayakarta atau Sunda Kelapa (Jakarta). Penyerangan kedua dipimpin oleh Faletehan atau Fatahillah, menantu Raden Fatah atau kakak ipar Sultan Trenggono. Sudah barang tentu penguasaan pelabuhan-pelabuhan di sepanjang pantai utara pulau Jawa terlebih dahulu dilakukan. Dimungkinkan sekali, Kyai Katong ada dalam rombongan ekspedisi ini.

Kelihatannya catatan ini ada sedikit dukungan data lainnya. Dengan demikian bisa mendekati kebenaran bila kedatangan Sunan Katong di Kendal-Kaliwungu pada tahun 1527, atau ketika itu Kerajaan Islam Demak dibawah pimpinan Sultan Trenggono. Catatan itu didukung dan ada sedikit sentuhan positif dengan cerita rakyat yang sudah menjadi cerita baku dan bahkan sudah menyatu pada diri masyarakat Kaliwungu-Kendal, yaitu cerita Sunan Katong. Data Pendukung itu antara lain menyebutkan sebagai berikut: 

Baca juga: Sejarah Kaliwungu Yang Telah Melahirkan Ribuan Kyai

Adanya cerita perguruan antara Sunan Katong dengan Ki Ageng Pandan Arang I (Ki Made Pandan) dan Ki Ageng Pandan Arang II atau Sunan Tembayat di padepokan Tirang Amper atau Bergota. Ketika bertemu dengan penguasa Semarang itu, Ki Ageng Pandan Arang belum pindah ke Tembayat. Artinya Ki Made Pandan ataupun Ki Pandan Arang II masih dalam satu wilayah, di Tirang Amper atau Bergota. 

Adanya cerita Bhatara Katong dengan Syeikh Wali Lanang, dengan perintah Sunan Bonang pada Syeikh Wali Lanang yang ditugasi mengajar Sunan Katong, dan kemudian adanya pertemuan antara Ki Ageng Pandan Arang dengan Syeikh Wali Lanang. Untuk memperjelas data-data itu kiranya perlu kesabaran dan perlu ketelitian dalam rangka menghindari kesalahan yang fatal. Dan perlu disadari bahwa pertemuan itu belum tentu bisa mencapai kebenaran seratus persen. Antara Sunan Katong dan Ki Ageng Pandan Arang adalah saudara seayah, keduanya putera Pangeran Suryapati Unus. Ibu Ki Made Pandan Arang adalah puteri Adipati Urawan di Madiun. Sedangkan Kyai Katong putera Adipati Unus dari istri Ponorogo. Puteri Bhatara Katong.

Kedua putera Adipati Unus itu ternyata mempunyai visi sama. Mereka tidak tertarik dengan politik pemerintahan, mereka memilih sebagai penyiar agama Islam atau dunia spiritual. Dengan demikian mereka juga harus rela meninggalkan kerajaan. Padahal kalau mereka ada ke sana, baik Ki Ageng Pandan Arang maupun Kyai Katong sangat mudah. Ki Made Pandan Arang bisa memilih ingin menjadi penguasa Demak ataupun Adipati di Urawan Madiun. Kedua daerah itu sangat memungkinkan untuk mengantarkan dirinya untuk menjadi orang nomor satu. Sedangkan Kyai Katong juga demikian. Ia tinggal memilih apakah di Demak atau Ponorogo, keduanya memberi harapan yang bagus. 

Baca juga: Kumpulan Nasihat atau Wejangan Sunan Katong

Dalam cerita sejarah dan cerita rakyat atau cerita tutur diterangkan bahwa cerita-cerita yang menyangkut riwayat perjalanan Sunan Katong memang saling berhubungan, dan cerita-cerita itu saling melengkapi. Alur cerita sejarahnya kemudian dikemas dalam bentuk cerita rakyat yang seakan-akan saling bertentangan. Padahal tidaklah demikian. Cerita-cerita itu dimaksudkan untuk saling mengisi dan saling melengkapi. Dengan bahasa lain, alur sejarahnya dibungkus dengan cerita rakyat yang dihiasai dengan "sanepo" atau kiasan-kiasan yang mengandung filsafat/pendidikan. Sebab, para penulis cerita babad itu lebih dilingkari dengan budaya dan bahasa yang sangat halus. Dan para pujangga itu lebih mengedepankan rasa dari pada lainnya. Sehingga penulisannya lebih mengarah pada filsafat kehidupan. 

Melihat keadaan daerah serta nama-nama tempat di Kendal/Kaliwungu memberi pengertian bahwa di wilayah itu dulu menjadi pusat pemerintahan agama Hindu/Budha. Nama-nama itu terus melembaga sampai dengan agama Islam masuk ke daerah itu. Nama-nama itu antara lain; Patian, Demangan, Kranggan, Kenduruan, Katemenggungan Sepuh dan Kandangan. Patih, Ronggo, Tumenggung, Demang, Kenduruwan adalah perangkat pemerintahan Majapahit, yang disebut Sapta Riwilwatika. Sedangkan Kandangan adalah Sameget Sapta Upapati. Hakim pemutus perkara yang jumlahnya tujuh ; Kandangan, Pamotan, Panjang Jiwa, Andamohi, Manghuri dan Jamba. Dengan demikian tidak berlebihan bila Kaliwungu dulunya sebuah Kadipaten Majapahit. Seperti disebut-sebut bahwa menurut tuturan jaman Majapahit, bahwa "kali' disebutnya dengan “banyu”.

            Penyerangan pertama terhadap Bangsa Portugis ini tercatat tahun 1513. Ketika merebut pelabuhan-pelabuhan di sepanjang pulau Jawa itu, dimungkinkan adik Sultan Fatah yang bernama Bathara Katong ikut dalam pasukan Faletehan. Daerah/pelabuhan yang berhasil ditaklukkan, ditempatkan seorang pemimpin yang telah berpengalaman di bidang pemerintahan. Daerah pelabuhan yang pertama kali ditaklukkan adalah Kendal/Kaliwungu karena tempatnya berdekatan dengan Demak. Setelah Kaliwungu-Kendal berhasil dikuasai, maka Bhatara Katong diminta untuk mengislamkan masyarakat di Kaliwungu-Kendal dan sekitarnya serta sekaligus menata pemerintahannya. 

Banyaknya cerita dan data-data berupa tulisan yang tidak jelas asal-usulnya menjadikan data yang diperoleh kurang valid. Bila pendapat ini yang menjadi rujukan, maka kedatangan Sunan Katong di Kaliwungu-Kendal kurang lebih tahun 1513-an, dan Demak masih di bawah kepemimpinan Sultan Fatah. Terlepas benar atau salah, kelihatannya tahun 1513 itu terlalu tua, dan bila dihubungkan dengan catatan yang akan diuraikan nanti kurang adanya kecocokan masa. Cerita yang berhubungan Ki Ageng Pandan Arang atau Sunan Tembayat, kelihatannya akan terkubur, yang berarti adanya keberatan untuk menerima temuan di atas. Namun ada keterangan lagi, bahwa masa itu terlalu jauh bila dihubungkan dengan masa kehidupan Ki Pandan Arang atau Sunan Tembayat. Dimungkinkan, kedatangan Bhatara Katong di Kaliwungu-Kendal itu bersamaan dengan penyerangan terhadap Portugis di Sunda Kelapa yang terjadi pada tahun 1527 yang dipimpin oleh Faletehan atau Fatahilah. Ketika Kerajaan Islam Demak di bawah pemerintahan Sultan Trenggono. 

Bila masa itu yang menjadi rujukan, kelihatannya mendekati kebenaran. Maka Bhatara Katong yang dimaksud itu adalah Kiai Katong cucu dari Bhatara Katong, atau Kiai Katong putera Adipati Unus dari istri putera Prabu Brawijaya V. Dengan demikian, Kiai Katong tetap disebut juga sebagai keturunan Prabu Brawijaya V. 

Kondisi dan perkembangan sejarah ketika itu sangat cocok bila dihubungkan dengan daerah sekitar, terutama Tirang Amper di bawah pimpinan Ki Ageng Pandan Arang I atau Ki Made Pandan, walaupun sedikit ada selisih tahun. Kalau diyakini bahwa Ki Made Pandan adalah anak Pangeran Suryapati Unus putera Sultan Fatah, maka dapat dihitung bahwa kepergian Ki Made Pandan dari Demak menuju Tirang Amper sekitar tahun 1521-an. Sebab, Suryapati Unus memangku Sultan II, menggantikan ayahandanya sekitar tahun 1518-1521. Dan pada tahun-tahun tersebut memang agama Islam belum menyebar ke pelosok: Di Tirang Amper atau Bergota sendiri masih banyak Ajar atau pemimpin agama Hindu yang masih kokoh dengan sikap keyakinannya. Maka tidak berlebihan bila Kaliwungu-Kendal yang letaknya lebih jauh dari Demak, juga masih banyak petinggi Majapahit, salah satunya Pakuwojo, yang mempunyai nama asli Suromenggolo. Selain sebagai seorang Adipati, ia juga seorang yang ahli membuat pusaka, sebagaimana Empu Supo, seorang yang ahli membuat pusaka keris, dan kemudian menjadi Adipati di daerah Tuban.

Cerita-cerita yang menyangkut antara Pakuwojo dan Sunan Katong sebenarnya menyangkut soal perkembangan agama Islam di Kaliwungu-Kendal. Pakuwojo sendiri disebutkan sebagai seorang petinggi Majapahit yang ditempatkan di Kaliwungu. Selain sebagai petinggi kerajaan, Pakuwojo juga dipandang sebagai tokoh agama. Selain itu Pakuwojo juga memiliki kepribadian yang kokoh dan sangat kuat mempertahankan prinsip, terlebih soal kepercayaan dan keyakinan. Oleh karenanya tidak mudah merubah keyakinan yang telah bertahun-tahun bahkan telah mendarah daging pada diri Pakuwojo. Kalau saja ada perlawanan dari Pakuwojo terhadap ajakan/da'wah Sunan Katong, hal itu termasuk sikap yang wajar. 

Kisah perjalanan Sunan Katong menurut catatan, dituturkan bahwa Sunan Katong yang makamnya di Protomulya Kaliwungu itu adalah Bhatara Katong putera Prabu Brawijaya V dari istri Ponorogo. Dan silsilah ini di antara para penulis sejarah tidak ada yang berbeda. Dengan demikian hubungan antara Bhatara Katong dengan Sultan Fatah, Raja Demak adalah saudara seayah lain ibu, karena Raden Fatah lahir dari ibu asal negeri Campa, dan kelahirannya di Palembang. 

Catatan ini sudah dijadikan bahan baku cerita rakyat sebenarnya sudah dikemas dalam bentuk cerita yang penuh dengan filsafat kehidupan. Artinya, alur ceritanya tidak langsung terfokus pada titik ceritanya, tetapi sudah disusun sedemikian rupa, dan didalamnya banyak mengandung pelajaran keimanan dan filsafat kehidupan. Lengkapnya catatan sejarawan itu sebagai berikut; 

“Bhatara Katong sebenarnya masih terbilang seorang putera Prabu Brawijaya, Raja Majapahit. Setelah Kerajaan Majapahit runtuh, ia belum bersedia memeluk agama Islam. Adipati Ponorogo ini pernah diminta oleh saudara tuanya, Panembahan Demak untuk memeluk Agama Islam. namun waktu itu minta tangguh, setelah ayahnya meninggal dunia. Namun setelah Prabu Brawijaya meninggal, Bhatara Katong ternyata telah mengingkari janjinya, bahkan bertapa pergi ke pegunungan Penjor. Setelah Panembahan Demak mendengarnya, maka masalah ini diserahkan kepada Sunan Ratu Wadat alias Sunan Bonang. Sunan Bonang kemudian mengutus seorang bangsawan dari negeri Arab, bernama Syeikh Wali Lanang atau Syeikh Djumadil Kubro, untuk mengislamkan Bhatara Katong. Bhatara Katong mempunyai dua orang anak. Yang pertama seorang perawan, dan yang bungsu masih remaja puteri. Bhatara Katong merasa sedih memikirkan jodoh kedua anaknya itu. Demikian sedihnya, hingga dalam hati ia sampai berkata bahwa ia rela meninggalkan dunia fana ini jika kedua putrinya telah bersuami. Di samping itu, ia juga memikirkan di mana tempat yang tepat untuk memeluk Agama Islam. Tidak lama antaranya Bhatara Katong melihat teja mencorong di sebelah barat laut. Kemudian ia bertanya pada dirinya sendiri, apakah teja tersebut tidak merupakan isyarat bagi dirinya? “Jika demikian aku pergi ke sana untuk menjumpainya,” katanya dalam hati. Sayang sekali, ketika mau dihampiri olehnya, teja itu tiba-tiba menghilang, tidak tentu arah rimbanya. Bhatara Katong bersama istrinya kemudian pergi ke arah barat laut sambil membawa kedua orang anak perempuannya. 

Setelah Bhatara Katong pergi, Syeikh Wali Lanang datang di padepokannya. Syeikh Wali Lanang memperhatikan keadaan sekitar tempat itu dengan seksama. Setelah meneliti ke kanan dan ke kiri, Syeikh Wali Lanang mengetahui arah kepergian Bhatara Katong. Syeikh Wali Lanang segera pergi ke arah barat laut, mau menyusulnya. Sementara itu perjalanan telah sampai di Jurangsuru. Di tempat itu ia bertemu dengan seorang bekas Ajar (pendekar) yang telah memeluk Agama Islam bernama Naya Gati. Setelah saling menanyakan nama dan tempat asalnya masing-masing, Bhatara Katong menyampaikan maksudnya mau mencari teja yang pernah dilihatnya, namun setelah sampai di suatu tempat, di tepi laut tiba-tiba menghilang. “Tahukah Andika siapa orang suci yang diam di tempat itu?” Naya Gati menjawab, bahwa orang suci tersebut masih gurunya sendiri, bernama Pandan Arang. Orangnya masih sangat muda, lagi pula seorang orang suci yang sakti. Atas pertanyaan Bhatara Katong; Naya Gati juga menerangkan, gurunya tersebut berasal dari Demak dan masih cucu Panembahan Demak. Ia diperintahkan Sunan Bonang bermukim di tempat itu untuk mengislamkan para Ajar (pendekar). 

Bhatara Katong minta diantarkan ke tempat kediaman Ki Pandan Arang. Permintaan itu disanggupi Naya Gati. Setelah bertemu dengan Ki Pandan Arang, ia ditanyai asal usul dan maksud kedatangannya. Bhatara Katong dengan terus terang menyebutkan namanya sambil menjelaskan bahwa ia berasal dari Ponorogo dan masih putera Prabu Brawijaya. Maksud kedatangannya tak lain ingin memeluk agama Islam dengan perantara Ki Pandan Arang. Ki Pandan Arang menjawab, bahwa maksud itu lebih dari baik. Akhirnya Bhatara Katong mau memeluk agama Islam. Ki. Pandan Arang lalu minta kepadanya mengucapkan kalimat syahadat, sedang Bhatara Katong kemudian menyerahkan anak perempuannya yang sulung pada Ki Ageng Pandan Arang untuk dijadikan istrinya.

Catatan Amien Budiman itu dengan jelas menerangkan bahwa Bhatara Katong yang makamnya di Protomulyo itu berasal dari Ponorogo, saudara seayah Sultan Fatah. Catatan ini nampaknya sudah tersebar dan bahkan sudah dijadikan pemahaman baku oleh masyarakat. Brosur syawalan yang menceritakan tentang riwayat Sunan Katong kelihatannya lebih mengacu pada catatan ini. 

Sementara itu Mas'ud Thoyib, sastrawan asal Kaliwungu juga menyimpan catatan tentang Bhatara Katong yang riwayatnya sedang dibahas ini. Disebutkan dalam bukunya Sunan Katong dan Pakuwaja, Mas'ud Thoyib memperlihatkan catatan Dr. H. Rachmat Djatmiko dengan bersumber pada Babad Ponorogo, menerangkan bahwa Prabu Brawijaya memang punya anak dari istri Ponorogo yang bernama Bhatara Katong. Lebih lengkapnya catatan Dr. H. Rachmat Djatmiko itu sebagai berikut ; “Bhatara Katong adalah putera Raja Majapahit Prabu Brawijaya V, sehingga dengan Raden Fatah merupakan saudara seayah. Bhatara Katong diperintah oleh ayahnya, Raja Majapahit, untuk menghadapkan Ki Demang Kutu yang membangkang kepada Raja. Ki Demang Kutu itu mempunyai keahlian dalam ilmu kanuragan, mempunyai banyak pengikut dan murid yang terkenal sebagai warok dan jatil. Untuk mendatangkan Demang Kutu, Bhatara Katong disertai Seloaji. Sampai di Desa Mirah mereka bertemu dengan seorang muslim, yang dikenal dengan sebutan Ki Ageng Mirah. Bhatara Katong minta bantuan pada Ki Ageng Mirah untuk mengalahkan Ki Demang Kutu. 

Baca: Tradisi Yang Diajarkan Sunan Katong

Menurut tradisi, Bhatara Katong dan Seloaji masuk Islam dihadapan Ki Ageng Mirah. Selanjutnya Bhatara Katong, Seloaji dan Ki Ageng Mirah beserta pengikutnya kembali ke Ponorogo. Setelah sampai di suatu tempat yang diperkirakan sesuai untuk dijadikan kota, didirikan sebuah masjid. Dan dari daerah itulah dapat mengalahkan Ki Demang Kutu.” Rachmat Djatmiko juga mencatat bahwa nama “Bhatara” di belakang nama Katong, adalah atas pemberian Raden Fatah sebagai upaya untuk memudahkan berdakwah di lingkungan masyarakat yang masih memeluk agama Hindu/Budha.

Dalam catatan akhirnya, Rachmat Djatmiko juga menerangkan bahwa setelah wafat, Bhatara Katong dimakamkan di depan masjid (tidak di belakang masjid). Menurut candra sengkolo Sinengkalan yang terdapat pada watu gilang di ruang jero tengah kompleks kuburan terdapat gambar-gambar: Gajah, Burung terbang, Udang dan orang sedang bertapa. Yang diartikan oleh J. Knebel sebagai tanda tahun 1318 Caka (1398 M) dan menurut M. Hari Suwarno menunjukkan tahun 1408 Caka (1486 M). Tahun tersebut kemungkinan waktu didirikannya masjid Setono, dan Bhatara Katong kemungkinan wafat pada pertengahan awal abad 16, dan wakaf tanah kompleks Bhatara Katong terjadi tahun 1554 Catatan Rachmat Djatmiko di atas menjelaskan bahwa Bhatara Katong sudah masuk Islam di hadapan Ki Ageng Mirah ketika masih menjabat sebagai Adipati Ponorogo, dan ia menjadi Adipati Wengker, Ponorogo mulai tahun 1466 M, dan mendirikan masjid di Setono pada tahun 1486 M. Kemudian adakah hubungan antara Bintara, Ponorogo dan Kaliwungu? 

Disebutkan dalam kitab Centhini sebagai berikut: Bathara Katong sejarah neki saking Bintoro warti putrane sang aji Dukuh Lepentangi. Arti bebasnya; Sejarah Batara Katong itu berasal dari Bintoro. Menurut cerita ia putera raja, yang tinggal di Kaliwungu.

Bila isi serat Centhini dihubungkan dengan Babad Tanah Jawi yang isinya; Sawise lawas-lawas Sultan Demak wus peputero nenem, kakung lan puteri yoiku: (1) Pangeran Sabrang Lor, iku kang pembarep, kromo daup lan puteri Ponorogo Bhatara Katong. (2) Pangerang Trenggono, (3) Pangeran Sedo ing Kali, (4) Pangeran Kandurunan (5) Pangeran Pamengkas (6) Puteri Nimas Ratu kromo angsal Bagelen. Arti bebasnya kurang lebih; Setelah lama Sultan Demak (Raden Fatah), sudah berputera enam orang lelaki dan perempuan yaitu (1) Pangeran Sabrang Lor (Dipati Unus, putera mahkota) anak yang pertama, menikah dengan puteri Ponorogo, Puteranya Batara Katong (2) Pangeran Tranggono (3) Pangeran Seda ing kali (4) Pangeran Kandurunan, atau Kanduruan (5) Pangeran Pamengkas (6) Puteri Nimas Ratu, menikah dengan orang Bagelen. 

Dapatlah diartikan bahwa Bhatara Katong yang sejarahnya berasal dari Bintara, Demak adalah putera raja (Adipati Unus) yang tinggal di dukuh Kaliwungu. Dengan demikian Kiai Katong ing Gunung Penjor (Kaliwungu) adalah bukti adanya hubungan sejarah antara Bintoro dengan Ponorogo/Wengker (yang pernah menjadi pusat kerajaan Majapahit, 1456-1466 M) 

Sedangkan dalam catatan lain juga disebutkan bahwa ketika Bupati Kendal, Pangeran Ario Notohamiprojo pernah mengikuti perjalanan Prins Federijk, cucu Raja Nederland keliling pulau jawa (1837), singgah di kuburannya Bhatara Katong di Ponorogo. Dengan demikian jelas sekali bahwa di Ponorogo juga ada nama Bhatara Katong, putera Brawijaya. Untuk sementara, cerita kita beralih pada Adipati Unus atau Suryapati Unus atau Pangeran Sabrang lor, yang menjadi sentral pembahasan kedua. Selain punya istri puteri Bhatara Katong, Adipati Unus juga punya istri puteri Pangeran Puruboyo atau Adipati Urawan penguasa Madiun. Hasil perkawinan ini lahir Ki Made Pandan. Anak Adipati Unus ini lebih tertarik pada kegiatan-kegiatan spiritual dari pada pemerintahan. Disebutkan pula bahwa pengaruh Sunan Bonang lebih mewarnai kehidupan Made Pandan. Ketika ayahandanya wafat, ia lebih rela jabatan atau tahta itu diserahkan pada pamannya, yaitu Pangeran Trenggana. Ki Made Pandan bersama istri dan dua anaknya meninggalkan Demak, yang akhirnya lebih puas bermukim di pulau Tirang dengan mengembangkan Agama Islam di sekitar tempat itu, dan mengislamkan para Ajar di sekitar gunung Bergota. Di Made Pandan kemudian menetap di daerah itu yang diberi nama Tirang Amper.

Begitu pendapat kedua ini mengemuka, maka kedatangan Sunan Katong di Kaliwungu/Kendal diduga kuat sekitar tahun 1527-an bersamaan dengan penyerangan Demak ke Sunda Kelapa yang juga dipimpin oleh Faletehan, ulama asal Samodra Samudera Pasai dan menantu Sultan Fatah. Pada tahun itu Demak dibawah pimpinan Sultan Trenggono, Sultan Demak III putera Sultan Fatah (adik Suryapati Unus). Apabila dihubungkan dengan daerah sekitar, terutama Tirang Amper di bawah Ki Made Pandan dan Ki Ageng Pandan Arang (Bupati Semarang I) memang ada kedekatan masa. 

Dalam buku Sejarah Hari Jadi Kota Semarang dijelaskan bahwa dua catatan diatas ternyata alurnya sama. Hanya saja catatan Rachmad Djatmiko yang dihubungkan dengan serat Centini itu dengan jelas bahwa Sunan Katong yang makamnya di Kaliwungu itu memang berasal dari Ponorogo tetapi bukan Bhatara Katong putera Brawijaya, melainkan Bhatara Katong putera Adipati Unus, cucu Adipati Bhatara Katong di Ponorogo, yang berarti juga masih cicit Prabu Brawijaya V. 

Lanjutan dari cerita perjalanan Sunan Katong disebutkan lagi, ketika dua keturunan Adipati Unus bertemu di Jurungsuru atau pulau Tirang atau Bergota berkat peran Ajar Naya Gati dan keduanya saling bertukar pikiran soal agama Islam, dengan sebutan lain Sunan Katong berguru pada Ki Ageng Pandang Aran. Setelah itu, kemudian Sunan Katong diberi tugas penyiaran Agama Islam ke arah barat dengan ditunjukkan dan diberi isyarat yaitu pada suatu tempat dimana ada sebuah pohon ungu yang condong ke sungai, dan ditempat itulah Sunan Katong diperintahkan membuka perguruan sebagai pusat penyebaran Agama Islam. 

Sebelum meninggalkan padepokan Ki Pandan Arang, Sunan Katong memenuhi keinginannya yaitu menikahkan puteri sulungnya yang sudah perawan. Puteri sulung itu dinikahkan dengan putera gurunya sendiri, yang namanya nunggak semi dengan orang tuanya, yaitu Ki Ageng Pandan Arang II atau Pangeran Kasepuhan. Dikemudian hari, nama puteri Sunan Katong itu dikenal dengan nama Nyai Ageng Kaliwungu, dan dialah yang mendampingi suaminya, Ki Ageng Pandan Arang, ketika awal-awal menjadi Adipati semarang menggantikan ayahnya, maupun dalam perjalanannya menuju Gunung Jabalkat atau Gunung Tembayat, karena atas saran dan nasihat Sunan Kalijaga. 

Selanjutnya Ki Ageng Pandan Arang II lebih dikenal dengan panggilan Sunan Tembayat atau Sunan Jabalkat. Sedangkan puteri Sunan Katong yang satunya, seperti diterangkan oleh Suwignya dalam bukunya Kyai Pandanarang, gadis itu dinikahkan dengan murid Sunan Katong sendiri, bernama Ki Ageng Prawito atau Prawoto asal Begelen. Dalam buku tersebut kemudian: dijelaskan lagi, bahwa Ki Prawito inilah yang menjadi tuan tanah di daerah Kaliwungu. Bisa jadi nama Proto itu berasal dari kata Prawito atau Prawoto.

Perjalanan Sunan Katong ke arah barat sebagaimana pesan gurunya untuk mencari tempat yang tumbuh sebuah pohon ungu yang condong ke sungai. Mungkin sudah merupakan kehendak takdir. Ketika Sunan Katong istirahat pada suatu tempat/di pinggir sungai, ia tertidur, dan setelah bangun dilihatnya ada sebuah pohon sebagaimana yang dimaksud oleh gurunya. Disitulah Sunan Katong mengucapkan dua kata “Kali Ungu”. Sedangkan sungainya disebut oleh banyak orang dengan nama “Kali Sarean”. Dan tempat itulah yang dikemudian hari terkenal dengan nama Kaliwungu. 

Oleh Ki Ageng Pandan Arang juga dipesankan pada Sunan Katong bahwa untuk lebih mendalami ilmu-ilmu agama serta mengamalkannya. Untuk mencapai tingkat kehidupan sufi, Sunan Katong dinasihati harus bisa mencari telapake kuntul melayang atau telapak burung Kuntul terbang berada di daerah yang terdapat “pohon yang condong ke sungai”. Mencari telapak kuntul melayang pada hakekatnya tidak berbeda dengan perintah untuk mencari susuhing angin atau mencari sarang angin dalam lakon wayang Dewa Ruci atau Bima Suci. Namun kalau diperhatikan di mana tempat Sunan Katong mengamalkan ilmunya, ternyata menempati daerah yang agak tinggi, yaitu di perbukitan Penjor yang bentuknya seperti burung kuntul melayang, yaitu di perbukitan Protomulyo sekarang ini, dan sebagian arealnya dijadikan pemakaman raja-raja Mataram, baik dari tanah Yogyakarta maupun Surakarta.

Daerah perbukitan Penjor yang juga dinamakan bukit kuntul melayang itu, kalau dipandangi secara cermat memang seperti bentuk seekor burung yang sedang terbang menghadap ke arah barat. Rasanya memang aneh, dan mungkin itu sudah kehendak Tuhan. Dikemudian hari perbukitan itu disebut dengan Astana Kuntul Nglayang. Disebut demikian karena pada akhirnya bukit itu menjadi istana terakhir para leluhur Kaliwungu atau tempat peristirahatan terakhir para leluhur Mataram keturunan Pangeran Djoeminah. Astana Kuntul Nglayang menjadi saksi bahwa bumi Kaliwungu itu ditempati oleh orang-orang besar kerajaan.

Maka diperlukan kecermatan dalam melihat pegunungan kuntul melayang itu. Pada ujung atas (kepala) ditempati oleh makam Pangeran Djoeminah, Raden Tumenggung Ronggo Hadimenggolo, dan beberapa makam bupati Kendal lainnya. Bagian tengah (dada) ditempati oleh Sunan Katong, dan beberapa makam bupati Kendal lainnya: Sayap sebelah kanan ditempati oleh Kiai Musyafak dan Kiai Musthofa, Kiai Rukyat dan ada disitu Bupati Kendal ke 36, Drs. H. Djoemadi. Sayap bagian kiri ada Tumenggung Mendurorejo dan Kiai Asy'ari. Sedangkan bagian belakang (ekor) ditempati oleh Pakuwojo, yang disebut dengan gunung Sentir.

Catatan-catatan di atas sejalan dengan pakem yang ditulis oleh Raden Ngabehi Tjokro Hadiwikromo yang menyatakan bahwa dalam kehidupan pribadi, Ki Pandan Arang telah kawin dengan puteri Bhatara Katong, dan juga dengan putri Endang Sejanila. Sayang istri kedua Ki Pandan Arang ini baik oleh Raden Ngabehi Tjokro Hadiwikromo maupun Amen Budiman serta Mas'ud Thoyib tidak diterangkan bahwa ia puteri keturunan siapa. Hanya disebut bahwa Endang Sejanila juga Endang Semawis. "Pangeran Pandanarang Ikromo oleh putrane kiai Katong ing goenoeng Penjor (Kaliwoengoe) Ian. kromo malih oleh Endang Sedjonila, iyo Endang Semawis, " begitu pakem yang tulis oleh Tjokro Hadikromo.



Dari beberapa penemuan para pencatat sejarah akhirnya bisa dimengerti bahwa Sunan Katong adalah seorang Wali yang masih ada hubungan nasab dengan Prabu Brawijaya V. Para penulis sejarah tidak ada yang beda pendapat, dan mereka sepakat bahwa Sunan Kathong yang makamnya di pemakaman Protomulyo itu memang berasal dari Ponorogo. 

Kira-kira lengkap silsilahnya adalah sebagai berikut: Prabu Kertabhumi atau Prabu Brawijaya V berputera Bhatara Katong. Dan Bhatara Katong berputera seorang puteri yang menjadi istri Adipati Unus atau Suryapati Unus putera Raden Fatah. Dari Perkawinan itu, lahir Kyai Katong, dan kemudian terkenal dengan nama Sunan Katong.

Wallahu A’lam

http://talimulquranalasror.blogspot.com/2014/05/sunan-katong-kyai-katong-kaliwungu.html?m=1


Karomah Kyai Guru Asy'ari

Karomah Kyai Asy’ari (Kyai Guru Kaliwungu)

Pada suatu hari, Kyai Asy’ari pergi ke sebuah kebun untuk memetik buah kelapa. Setelah sampai di kebun, kemudian beliau melihat ke kanan dan kiri untuk memastikan tidak ada orang yang melihatnya, lalu beliau pun memanggil pohon kelapa yang akan dipetik buahnya itu. Dengan izin Allah, pohon kelapa itu pun melengkung mendekat ke arah beliau. Maka, beliau pun dengan mudah memetik beberapa buah kelapa yang berada di dekatnya tanpa memanjat pohonnya.

Makam KH. Asy'ari (Kyai Guru)


Tak disangka, ada salah satu santri beliau yang bernama Anwaruddin (KH. Anwaruddin Kriyani, Kriyan, Cirebon) yang melihat kejadian itu. Dan beliau juga mengetahui keberadaan santrinya itu saat kejadian itu terjadi. Beliau pun memanggil santrinya itu dan berkata, “Kamu boleh tahu kejadian tadi, tetapi jangan kamu ceritakan kepada orang lain sebelum aku meninggal dunia”. Lalu santrinya pun menjawab sambil menganggukan kepala, “Nggeh kyai”.

KH. Anwaruddin Kriyani atau yang lebih dikenal dengan nama Ki Buyut Kriyan adalah salah satu Pengasuh awal Pesantren Buntet, Cirebon dan Mufti Thariqah Syatthariyah di Kasultanan Cirebon. Beliau adalah cicit dari KH. Muqoyyim (Pendiri Pesantren Buntet, Cirebon).

Wallahu A’lam

Sumber : Kisah ini diceritakan oleh KH. Anwaruddin Kriyani kepada santri-santrinya di Pesantren Buntet, Cirebon


https://saifurashaqi.blogspot.com/2015/11/karomah-kyai-asyari-kyai-guru-kaliwungu.html?m=1


Kyai Guru Asy'ari

Biografi KH. Asy’ari (Kyai Guru Kaliwungu)

Biografi KH. Asy’ari (Kyai Guru Kaliwungu)

Dakwah KH. Asy’ari

Kyai Asy’ari merupakan ulama besar yang kharismatik pada dekade tahun 1781-an di daerah Kaliwungu khususnya dan Kendal pada umumnya. Kepopuleran Kyai Asy’ari disebabkan metode dakwah yang unik, menarik dan kontroversial. Kemampuannya mengajak masyarakat yang mulanya primitif dan awam terhadap masalah keagamaan, terutama ajaran Islam, menjadi masyarakat yang agamis dan religius. Kepribadian beliau yang sederhana dan kharismatik sangat disegani oleh masyarakat, sehingga namanya selalu dikenang hingga sekarang. Perjuangan dakwahnya sudah semestinya diteladani, diteruskan dan ditumbuhkembangkan.

Dilahirkan di Wanantara Yogyakarta, kira-kira pada tahun 1746 dengan nama yang cukup singkat, yaitu Asy’ari bin Ismail bin H. Abdurrahman bin Ibrahim. Dari garis silsilahnya, menurut salah satu sumber, Kyai Asy’ari masih termasuk keluarga Sayyidina Ali, dan dengan Nabi Muhammad SAW bertemu pada keluarga Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdul Manaf bin Qusay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab.

Kyai Asy’ari dibesarkan dan hidup pada masa kerajaan Mataram Islam, semenjak kecil ia mendapatkan didikan yang cukup keras di kedalaman Keraton Ngayogyakarta, dengan harapan kelak nantinya bisa meneruskan perjuangan dakwah Islam seperti yang dilakukan parawaliyullahauliya' dan parasyuhada'. Pada masa itu Kyai Asy’ari belajar membaca dan menulis dari para ulama, kyai dan tokoh agama yang ada di lingkungan kerajaan Mataram Islam. Banyak hal yang ia dapatkan dari hasil belajar yang diperoleh dari para gurunya, terutama masalah keagamaan diantaranya, ilmu Al-Qur'an, ilmu nahwu, ilmusharaf, ilmu badi', ilmu mantiq, ilmu bayan, ilmu 'aruld, ilmu hadits, lughatul Arabiyyah dan ilmu agama lainnya. Setelah menginjak dewasa ia melanjutkan menuntut ilmu ke Makkah untuk mempelajari agama Islam, kira-kira selama 10 tahunan.

Dengan bekal ilmu agama tersebut diharapkan Kyai Asy’ari akan mampu meneruskan perjuangan para tokoh agama Mataram Islam. Sepulang dari Makkah Kyai Asy’ari ditugaskan oleh susuhunan Mataram untuk berdakwah, menyebarkan ajaran-ajaran agama Islam khususnya di daerah Kaliwungu Kendal.

Kyai Asy’ari datang di Kaliwungu pada usia 35 tahun, maka tahun kedatangan Kyai Asy’ari di Kaliwungu kira-kira tahun 1781-an. Setelah kedatangan Kyai Asy’ari di Kaliwungu, ia kemudian bermukim dan menetap di kampung yang saat ini terkenal dengan nama Kampung Pesantren Desa Krajankulon Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Kendal. Di Kampung Pesantren itulah Kyai Asy’ari merintis dan mengajarkan Islam dengan kitab kuningnya dengan mendirikan sebuah pondok pesantren salaf. Yang sekarang ini menjadi pondok APIP (Asrama Pelajar Islam Pesantren), karena pada waktu itu fasilitas dan sarana untuk belajar belum memadai, maka Kyai Asy’ari juga menggunakan musholla sebagai tempat untuk belajar dan menuntut ilmu agama Islam bagi para santri, yang sekarang ini menjadi Musholla Al-Asy’ari, tepatnya di Kampung Pesantren Desa Krajankulon kecamatan Kaliwungu. 

Sejarah nama Musholla Al-Asy’ari berasal dari nama pendirinya yaitu Kyai Asy’ari (Kyai Guru), sehingga dinamakan Musholla Al-Asy’ari. Tindakan Kyai Asy’ari dalam berdakwah, dan mengajarkan ilmu-ilmu agama Islam melalui pondok pesantren yang didirikannya merupakan langkah yang tepat, karena kondisi masyarakat Kaliwungu pada saat itu awam agama dan jauh dari nilai-nilai agama Islam. Selama ia tinggal dan menetap di pondok pesantren yang didirikannya di Kaliwungu, tidak lama kemudian berdatanganlah santri-santri dari berbagai daerah untuk belajar dan menuntut ilmu.

Selama kedatangannya di Kaliwungu Kyai Asy’ari bertemu dan saling kenal dengan KH. Abu Sudjak dan KH. Muhammad Marhum (kakek dan ayah Kyai Ahmad Rifa’i) dan juga saudara-saudara Kyai Ahmad Rifa’i. Tidak lama kemudian menikah dengan Nyai Radjiyah (kakak kandung Kyai Ahmad Rifa’i) pada usia 40 tahun, sedangkan Nyai Radjiyah kira-kira 20 tahun maka pernikahan itu kira-kira berlangsung pada tahun 1786, bersamaan dengan tahun kelahiran Kyai Ahmad Rifa’i. Kalau Kyai Asy’ari menikah dengan Nyai Radjiyah pada usia 40 tahun (mungkin istri Kyai Asy’ari tidak satu orang, dan Nyai Radjiyah mungkin juga bukan istri pertamanya), maka kelahiran Kyai Asy’ari kira-kira pada tahun 1746 (1786 dikurangi 40 tahun = 1746) 

KH. Muhammad Marhum, ayah Kyai Ahmad Rifa’i meninggal dunia, ketika Ahmad Rifa’i berusia 6 tahun (1792), dan ketika ditinggal wafat oleh kakeknya, KH. Ahmad Abu Sudjak atau Raden Setjowidjojo (1794), umur Kyai Ahmad Rifa’i baru 8 tahun. Maka untuk mengurangi beban berat Siti Rahinah (ibu Kyai Ahmad Rifa’i) dan demi kelangsungan pendidikan masa depan, setelah memasuki usia tujuh tahun, Ahmad Rifa’i dibawa oleh kakak kandung Nyai Radjiyah ke Kaliwungu dan tinggal di rumahnya (Pondok Pesantren Kyai Asy’ari). Selama di Kaliwungu ia mendapat pendidikan dan pembinaan dari kakak iparnya yaitu Kyai Asy’ari. Kyai Asy’ari dalam mengasuh, mendidik dan membina Ahmad Rifa’i cukup rajin dan teliti, dibandingkan dengan murid-murid yang lain. Berkat ketekunan dan keikhlasan Kyai Asy’ari, Ahmad Rifa’i menjadi murid yang pandai dan cerdas.

Dengan modal dasar pemberian Allah RabbulAlamin, berupa akal cerdas, pikiran luas, dalam waktu relatif singkat Ahmad Rifa’i sudah dapat menguasai beberapa ilmu agama yang diajarkan oleh Kyai Asy’ari, diantaranya ilmu Al-Qur’an, ilmu nahwu, ilmu sharaf, ilmu Badi’, ilmu mantiq, ilmu bayan, ilmu ‘arudh, ilmu hadits,, ilmu lughatul arabiyah dan ilmu agama lainnya. 

Seperti tradisi di pesantren, kyai Ahmad Rifa’i sering membantu pekerjaan gurunya, kyai Asy’ari yang juga sebagai kakak iparnya. Setelah kyai Ahmad Rifa’i mencapai usia delapan tahun, ia sering berkumpul dan tidur bersama para santri di masjid atau mushalla. Bangun pagi dari tidurnya, sholat subuh berjama’ah, berdzikir membaca tahmid dan takbir serta tahlil sudah menjadi kebiasaannya, karena merupakan kebiasaan  (tradisi) di pesantren.

Kyai Asy’ari adalah seorang ulama yang dalam ilmunya, dalam kesehariannya sangat dekat dan akrab kepada semua kalangan masyarakat, sehingga disegani dan dihormati oleh masyarakat luas, rakyat dan pejabat kolonial Belanda. Dalam aktivitasnya, setiap pagi, siang, sore, malam atau kapan saja waktunya digunakan untuk mendidik dan mengajar serta membina para santrinya. Khusus tengah malam, digunakan untuk munajat kepada Allah ‘Azza Wa jalla, bertaqorrub, mendekatkan diri pada Al- Khaliq, Allah Yang Maha Esa, seperti shalat tahajud, sholat nisfullail dan ibadah lainnya. Kegiatan semacam itu sudah menjadi kebiasaan yang tidak ditinggalkan, di rumah, di masjid, atau dimana saja ia berada. Sehingga pada suatu saat tengah malam, kyai Asy’ari keluar rumah pergi ke masjid untuk melakukan peribadatan dengan sekaligus melihat suasana para santri yang tidur di serambi masjid itu. Sesampainya di dalam masjid, ia terkejut karena melihat sesuatu yang belum pernah dilihatnya, sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya yaitu, melihat cahaya yang terang dari jasad seorang anak didiknya yang tidak dapat diketahui namanya, menyinari ruangan masjid sekelilingnya, walaupun tidak seterang lampu “deplak” yang biasa di pakai oleh santri pada zamannya. Konon cahaya itu bisa menembus ke atap langit masjid dan tembus ke angkasa.

Menurut cerita tutur, apabila dari jasad seorang anak keluar cahaya atau (nur) dan cahaya itu menyinari ke atas dan sekelilingnya, maka tandanya anak tersebut kelak akan menjadi orang besar yang sanggup membina (menyinari) kepada masyarakat banyak. Dengan firasat kedalamannya yang mendorong kyai Asy’ari ingin mengetahui dari mana sumber cahaya yang disaksikan sendiri itu. Suasana menjadi sunyi sepi dan gelap, tidak ada satu lampu yang menyala, sehingga untuk mengetahui anak yang bercahaya mengalami kesulitan. Maka di sobeklah kain sarung yang di pakai anak tersebut dengan harapan semoga besok pagi dapat diketahui siapa anak yang bermandikan cahaya itu.

Pagi hari pada saat ramainya orang sholat berjamaah dan para santri siap akan pergi mengaji, terdengarlah suara isak tangis yang memilukan dari seorang anak yatim yang bapak kandungnya telah lama meninggal, yaitu kyai Ahmad Rifa’i namanya, menangis karena sobek kain sarungnya. Suara tangisnya makin lama semakin keras, sehingga sempat didengar oleh kyai Asy’ari dirumahnya. Kemudian dipanggilah Ahmad Rifa’i oleh kakak iparnya untuk menghadap beliau, setelah itu Ahmad Rifa’i mendapat ganti kain sarung yang sobek dengan yang baru. Betapa gembiranya hati Ahmad Rifa’i, sebagaimana gembiranya kyai Asy’ari setelah mengetahui bahwa anak yang bermandikan cahaya di masjid semalam adalah adik iparnya sendiri, yang insya Allah kelak akan menjadi ulama besar kenamaan.

Selama hidupnya kyai Asy’ari lebih banyak menghabiskan waktunya untuk mengabdi dan berjuang untuk menegakkan tali agama Allah swt. (agama Islam) yaitu, dengan mendidik, mengajar dan membina para santri di pondok pesantrennya maupun mengabdi kepada masyarakat Kaliwungu melalui ketrampilan dan ilmu Agama Islam yang ia miliki, karena kondisi masyarakat Kaliwungu pada saat itu masih sangat primitif dan awam terhadap masalah agama dan jauh dari nilai-nilai agama Islam.

Menurut sejarah sebelum kyai Asy’ari menikah dengan nyai Radjiyah ia juga mempunyai istri yang berasal dari Aceh yang bernama Nyai Guru Manila dan mempunyai enam anak putra dan putri yaitu: Kyai Ya’kub, Muhammad, Rodhiyah, Afiyah, Ibrahim Umi Aceh dan Umar Umi Aceh. 

Dengan dukungan para istri, adik iparnya yaitu kyai Ahmad Rifa’i dan anak-anaknya, kyai Asy’ari terus mengembangkan dakwahnya hingga akhir hayatnya. Kapan kyai Asy’ari wafat dan pada umur berapa kyai Asy’ari wafat belum ditemukan catatannya, tetapi dapat di perkirakan bahwa setelah kyai Ahmad Rifa’i wafat pada tahun (1876) tidak lama kemudian kyai Asy’ari wafat. 

Makam kyai Asy’ari atau kyai Guru di Jabal, sebelah selatan desa Protomulyo atau protowetan Kaliwungu, ditempatkan pada sebuah bangunan rumah yang besar dan indah serta dilengkapi dengan air untuk bisa dipergunakan berwudhu. Menandakan bahwa Kyai Asy’ari adalah seorang tokoh ulama yang sangat dihormati.

JASA DAN PERJUANGAN KYAI GURU

Peranan Kyai Asy’ari (Kyai Guru) dalam berdakwah di Kecamatan Kaliwungu mencakup tiga hal yaitu:

1. Kyai Asy’ari (Kyai Guru) mengenalkan budaya Mataram Islam di Kaliwungu

2. Kyai Asy’ari (Kyai Guru) mengenalkan ajaran Islam di Kaliwungu

3. Kyai Asy’ari (Kyai Guru) mendirikan pondok pesantren di Kaliwungu

Mengenalkan Budaya Mataram Islam di Kaliwungu

Kaliwungu dalam perspektif kebesaran Mataram pada abad XVII, merupakan suatu kota di pesisir utara pulau Jawa, merupakan titik penting dalam peta sejarah Mataram awal abad XVII. Hal ini terbukti dengan adanya pemerintahan kadipaten yang masih Nampak bekas gapuranya. Pagelaran kraton atau kabupaten biasanya menghadap ke laut atau membelakangi pegunungan atau gunung. Di daerah jawa bagian selatan, pendapa kabupaten biasanya menghadap ke selatan (laut kidul), dan membelakangi pegunungan Kendeng. Di jawa utara atau pesisir utara, kabupaten menghadap ke utara dan membelakangi gunung, dan ada pula yang menghadap ke selatan membelakangi gunung Muria, atau seperti di Jepara menghadap ke barat (laut) dan membelakangi gunung Muria juga.

Pusat pemerintahan terletak didaerah yang disebut Krajan  (kerajaan). Disebelah barat disebut Krajankulon, dan disebelah timurnya disebut Krajanwetan. Rumah patih disebut Ronggo, disebut Kranggan, Di sebelah selatan pemerintahan Kadipaten Kaliwungu terbujur perbukitan yang di kenal dengan Bukit Kuntul Melayang, membujur dari desa Protowetan ke selatan sampai Penjor dan berbatasan dengan desa Nolokerto. Bukit tersebut mengesankan bentuk burung kuntul yang sedang melayang. Diatas bukit kuntul melayang inilah beristirahat dengan abadi para leluhur yang pada zamannya menjadi tokoh sejarah dan sampai sekarang masih dimulyakan dan di hormati masyarakat sekitarnya.

Agama Islam yang berkembang di tanah Jawa tidak bisa dilepaskan dari jasa dan usaha para Walisongo. Pengaruh yang di bawa Walisongo dalam mengembangkan Islam di tanah Jawa sangat besar sekali. Masyarakat Jawa yang pada mulanya penganut aliran animisme dan dinamisme berubah menjadi masyarakat mayoritas muslim. Perjuangan yang di lakukan tidak mudah dan tidak singkat. Kepercayaan masyarakat pada aliran animisme dan dinamisme sudah sangat mengakar kuat. Oleh sebab itu diperlukan langkah yang revolutif. Perubahan yang radikal tidak akan menghasilkan simpati masyarakat, tetapi hanya akan menambah ketidakpercayaan masyarakat terhadap ajaran Islam.

Penyebaran agama Islam oleh Walisongo bahkan sampai ke pelosok-pelosok desa. Setiap Wali melakukan dakwah dengan cara dan pendekatan yang berbeda-beda sesuai dengan karakteristik masyarakat di daerahnya. Ajaran Islam pun tersebar sampai didaerah Kaliwungu Kendal dan sekitarnya, hanya saja belum dipahami secara baik oleh sebagian besar masyarakat, jadi hanya sebatas tahu dan sepenggal-penggal.

Baca: Sejarah Panjang Kaliwungu Menjadi Kota Santri

Kaliwungu sebagai bagian dari Kendal, Jawa tengah, juga mengalami perubahan kultural dengan datangnya ajaran Islam, seperti telah dipaparkan sebelumnya bahwa masyarakat Kaliwungu adalah masyarakat yang masih awam terhadap ajaran Islam, mereka mengenal Islam hanya sebagai suatu agama. Meskipun mereka mengaku beragama Islam, tetapi tindakan yang dilakukannya jauh dari nilai-nilai ajaran Islam. Masyarakat Kaliwungu pada saat itu mempunyai kebiasaan memuja arwah para leluhur dan mendewakan benda-benda yang dianggap keramat seperti keris atau pusaka, cincin atau jimat, pohon besar, patung atau batu yang semuanya itu dianggap dapat memberikan kekuatan, keselamatan dan dapat memberikan sesuatu yang diminta.

Kebiasaan-kebiasaan seperti itu sudah menjadi budaya yang berkembang dalam masyarakat Kaliwungu. Kondisi yang parah dan terpuruk jauh dari ajaran Islam yang benar, menimbulkan kekhawatiran tersendiri bagi para petinggi pemerintahan kadipaten Kaliwungu, mulai berfikir mencari jalan agar masyarakatnya tidak semakin terlena dan terjerumus ke dalam perbuatan musyrik atau menyekutukan Allah.

Untuk mengatasi hal tersebut maka pihak pemerintah kadipaten Kaliwungu mencoba menyadarkan masyarakatnya agar segera menghentikan perbuatan musyrik itu dan lebih mendekatkan diri kepada Allah. Hanya saja, pihak pemerintah sadar dalam hal ini perubahan secara radikal tidak akan menghasilkan sesuatu yang maksimal. Oleh sebab itu, proses penyadaran masyarakat harus dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan.

Langkah pertama yang diambil oleh para petinggi pemerintah Kaliwungu adalah mencari seseorang yang memahami dengan benar tentang ajaran Islam dan mengajaknya untuk menyerukan dakwahnya di Kaliwungu, usaha pemerintah kadipaten belum juga membuahkan hasil karena belum juga ditemukan sosok ulama atau kyai yang bersedia mengabdikan dirinya untuk menyerukan dakwah dan memajukan umat Islam di Kaliwungu, akhirnya berita itu di dengar oleh pemerintah kerajaan Mataram Islam, karena pada waktu itu Kota Kaliwungu merupakan titik penting dalam peta sejarah Mataram awal abad ke XVII, untuk mengatasi kondisi yang parah dan terpuruk jauh dari ajaran Islam yang benar, maka Kyai Asy’ari di berikan amanat dan di utus oleh susuhunan Mataram Islam untuk berdakwah, mengajarkan dan menyebarkan ajaran agama Islam di Kaliwungu.

Kyai Asy’ari merupakan ulama dan kyai yang memiliki ilmu tinggi, rajin dan tekun juga memiliki keikhlasan yang sangat luar biasa yang siap mengabdikan dirinya untuk menegakkan agama Allah yaitu aga Islam di Kaliwungu nantinya.

Masa-masa pertama menetap di kampung Pesantren desa Krajankulon Kaliwungu sempat membuat kyai Asy’ari terkejut, lingkungan yang sangat berbeda dengan lingkungan sebelumnya selama ini membuatnya harus beradaptasi terlebih dahulu. Kyai Asy’ari yang sehari-harinya bergelut dengan dunia pesantren, harus belajar memahami ritme kehidupan masyarakat Kaliwungu. Setelah melakukan observasi tentang masyarakat Kaliwungu dengan segala aktivitas dan budayanya, maka kyai Asy’ari menemukan pendekatan yang paling efektif dalam mengembangkan dakwahnya di Kaliwungu. Pendekatan yang dilakukan adalah dengan mengenalkan dan mengajarkan tentang nilai-nilai ajaran Islam yang ada pada kebudayaan Mataram Islam seperti : wayang kulit, terbangan, atau kentrungan, mauludan, rajaban, bubur suran, rebo pungkasan, nyadran, nyekar, slametan, dzikir atau tahlil kepada masyarakat Kaliwungu. Berikut sekilas tentang cara pendekatan Kyai Asy'ari dalam mengenalkan budaya Jawa yang dikemas dalam balutan Islam :

1. Wayang Kulit

Pada zaman Sultan Agung, wayang kulit berbentuk pipih menyerupai bentuk bayangan (gestylered) seperti apa yang kita lihat sekarang. Wayang kulit purwa disempurnakan bentuknya. Cara pembuatannya, warnanya, alat kelir, deblogBlencongdisempurnakan dan disesuaikan dengan zaman baru agar tidak bertentangan dengan agama (dibuat sejak) 1518 = 1440 Jawa (Sirnasuci caturing Dewa) dan menambah jumlah wayang semalam suntuk gamelanslendro (sejak ± 1521) dengan pimpinan yang disebut kyai Dalang. Membuat perampokan dan gunungan (1443 Jawa, geni dadi surining jagad)

Di Kaliwungu, pada tahun sekitar 1965, masih ada dalang yang dikenal dengan nama Ki Dalang Riyanto, Ki Dalang Denu Purwocarito, Ki Dalang Akhmat. Bahkan pernah dikenal ada dalang Bocah. Pertunjukan wayang kulit dilaksanakan pada zamannya lurah Sahri (al-marhum) setiap bulan Apit (Legeno) dalam rangka “merti deso”. Bagi masyarakat juga ada yang melaksanakan “ruwatan” dengan menyelenggarakan wayang kulit dengan ceriteraMurwokolo

2. TerbanganKentrungan,

            Dikenal sejak zaman Sultan Agung, terbukti dalam surat centini yang menceriterakan pengembaraan She Among Rogo melihat kesenian kentrung yang biasanya diselenggarakan semalam suntuk menceriterakan tokoh-tokoh legendaris nenek moyangnya, maupun kisah para nabi seperti yang termaktub dalam buku Serat Anbia tidak jarang ceritera menak, seperti Umarmaya Umarmadi menjadi kegemaran masyarakat. Sekitar tahun 1950-1960, dikenal kentrung Siman, mengambil nama Pak Siman, Seniman Kentrung tunanetra tapi hafal cerita-cerita Babad. Terbangansendiri, dilakukan oleh 3, 5, 7, 9 atau 11 orang, dengan alat utama terbang. Syair-syair yang dibacakan disebutMarkhahanan mengambil dari kitab BurdahNashorDziba'atau Saraful Anam untuk menghormati kelahiran Nabi Muhammad SAW di bulan Maulud.

3. Mauludan

Tradisi mengagungkan Nabi Muhammad SAW adalah bernilai simbolis agar dalam setiap kehidupan muslim mewarisi akhlak yang baik seperti Nabi Muhammad. Oleh sebab itu, pada bulan Maulud (Rabiul Awal), untuk mengenang kelahiran Nabi Muhammad, diselenggarakan pembacaan syair Mauludan di langgar-langgar maupun di rumah penduduk. Bagi anak-anak peristiwa yang paling menyenangkan adalah kegiatan yang menyertai Mauludan, yaitu Ketuwin. Peristiwanya adalah, anak-anak keluar rumah membawa makanan di atas piring kecil dari tanah, yang diberi lilin yang memancarkan cahaya. Secara bergantian makanan saling ditukar dengan tetangga. Makna simbolik yang menyertai peristiwa ini adalah: Telah Datang Cahaya (Nur) Muhammad yang memberi petunjuk (penerangan) kepada umat manusia.

4. Rajaban

Pada bulan Rajab (Rejeb), tepatnya 27 Rejeb tahun Hijriah. Diselenggarakan perayaan membaca riwayat Mi’raj Nabi Muhammad SAW sejak hati Nabi Muhammad disucikan oleh Malaikat Jibril sampai perjalanan melihat Surga dan Neraka. Serta ditetapkannya shalat lima waktu.

5. Bubur Suran

Sultan Agung telah mengganti tahun Saka dengan tahun Jawa, dimana 1 Suro adalah merupakan tahun baru. M dirayakan dengan bubur Suro, yang khas, yakni bubur nasi dicampur tahu, tempe dan daging kerbau. Menurut hikayat, konon Nabi Nuh telah selamat sampai ke darat setelah dilanda banjir tepat pada tanggal 1 Syuro. Sebagai rasa syukur kepada Tuhan maka dibuatkan selamatan atau bancaan dengan memasak sisa makanan yang ada. Hasil makanan tersebut menjadi Bubur Suran.

6. Rebo Pungkasan

Yaitu hari Rebo terakhir bulan Sapar, menjadi tradisi menjalankan puasa Sunnah dan beribadah. Hal ini dikarenakan setiap tahun hanya ketemu satu hari Rebo Pungkasan bulan Sapar. Arti simboliknya adalah agar manusia diingatkan akan arti pentingnya sang waktu, seperti yang tercantum dalam surat Wal Asri.

7. Nyadran

Upacara nyadran, menurut ahli antropolog Koentjaraningrat, adalah diselenggarakan untuk merawat makam para Cikal Bakal (leluhur) atau nenek moyang pendiri komunitas. Pelaksanaannya dengan membawa makanan (nasi) dan ikan ayam (panggang), ke komplek makam leluhur. Diawali dengan pembacaan Tahlil, dan doa bagi yang telah dikubur, dan diakhiri dengan makan bersama. Dengan demikian merupakan alasan untuk mengadakan pesta dan perayaan yang mengintensifkan solidaritas antara para anggota kelompok kerabat.

8. Nyekar

Nyekar atau menabur bunga di kuburan para leluhur pada hari raya Idul Fitri, bermakna simbolik, harumkanlah nama leluhur kita, dengan merefleksikan pada diri kita sendiri untuk bertindak dan bercita-cita menjadi manusia utama dalam kehidupan kita.

9. Slametan

Adalah bentuk doa yang diekspresikan melalui seni makanan. Makna simbolisnya bahwa adanya tumpeng (nasi yang meruncing ke atas seperti gunung), dan dihiasi dengan lauk-pauk dari ayam, telur, tempe, tahu, sayur-mayur (janganan) melambangkan bahwa makanan sebagai sumber kehidupan berasal dari Yang Esa meliputi semesta. Oleh sebab itu disertai doa oleh modin agar manusia selamat di dalam kehidupan dan disertai dengan kata: Amin!, kabulkanlah permintaan kami.

10. Dzikir atau Tahlil

Inti dari agama Islam adalah tauhid. Tuhan Yang Maha Pencipta adalah Esa. Oleh sebab itu di setiap kesempatan, meng-Esakan Tuhan adalah dianjurkan. Dengan berdzikir dan tahlil, manusia diingatkan kepada kalimat: La Ilaha IllAllah. Tiada Tuhan selain Allah, danMuhammadur Rasulullah: Muhammad utusan Allah. Oleh sebab itu penyelenggaraan dzikir bisa di rumah, di mesjid, di tempat “Selamatan”, di tempat kematian, di kuburan dan di mana saja yang memungkinkan khusuk untuk berdzikir. Boleh sendirian dan boleh bersama-sama. Kyai Asy’ari yang berasal dari tokoh ulama Mataram Islam, tentunya banyak mewarisi kebudayaan yang ada pada Mataram Islam tersebut.

Setelah beberapa saat berjalan, masyarakat semakin banyak yang mengetahui dan memahami yang akhirnya tertarik dengan tradisi atau budaya Mataram Islam tersebut, yang di kenalkan oleh kyai Asy’ari kepada mereka, maka langkah selanjutnya kyai Asy’ari mulai mengadakan tradisi atau budaya Mataram Islam di Kaliwungu yang kemudian diselingi dengan pengajian atau ceramah.

Dalam perkembangan sosial masyarakat, aspek kebudayaan tidak akan terlepas dari kehidupan manusia. Tindakan kyai Asy’ari dalam menyebarkan ajaran-ajaran Islam kepadamad'di Kaliwungu dengan cara mengenalkan budaya atau tradisi Mataram Islam adalah langkah yang tepat, karena masyarakat Kaliwungu tidak bisa terlepas dengan kebudayaan. Dengan mengenalkan nilai-nilai ajaran Islam dalam kebudayaan Mataram Islam seperti wayang kulit, terbangan ataukentrungan, mauludan, rajaban, bubur suran, rebo pungkasan, nyadran, nyekar, slametan,dzikir atau tahlil maka dengan sendirinya tradisi atau kebiasaan masyarakat Kaliwungu yang suka memuja para arwah leluhur dan mendewakan benda-benda yang dianggap keramat seperti keris atau pusaka, cincin atau jimat, pohon besar, patung atau batu, yang semuanya itu dianggap dapat memberikan kekuatan, keselamatan, dan sesuatu yang diminta. Kyai Asy’ari berharap dengan dakwahnya masyarakat Kaliwungu sedikit demi sedikit bahkan meninggalkan kebudayaan mereka dengan mengenalkan kebudayaanMataram Islam tersebut. Karena kebudayaan Mataram Islam lebih mengajarkan kepada nilai-nilai ajaran Islam. Sedangkan kebiasaan masyarakat Kaliwungu sebelum itu lebih menjurus kepada perbuatan

musyrik (menyekutukan Allah).

Penyajian pesan dakwah yang disampaikan oleh Kyai Asy’ari lewat kebudayaan Mataram Islam tersebut sangat praktis dan mudah untuk dilakukan pada setiap waktu tertentu. Misalnya dapat kita lihat pada tradisi mauludan, yaitu tradisi yang diadakan pada bulan maulud (Rabiul awal), untuk mengenang kelahiran nabi Muhammad SAW, diselenggarakan pembacaan syair mauludan di musholla-musholla maupun di rumah penduduk.

Baca Juga : Karomah Kyai Asy'ari (Kyai Guru Kaliwungu)

Bagi anak-anak peristiwa yang paling menyenangkan adalah kegiatan yang menyertai mauludan, yaituketuwen. Peristiwanya adalah anak-anak keluar rumah membawa makanan diatas piring kecil dari tanah, yang di beri lilin yang memancarkan cahaya. Secara bergantian makanan saling di tukar dengan tetangga. Makna simbolik yang menyertai peristiwa ini adalah, telah datang cahaya (nur) Muhammad SAW yang memberi petunjuk atau (penerangan) kepada umat manusia. Tradisi mengagungkan nabi Muhammad SAW adalah bernilai simbolis agar dalam setiap kehidupan muslim mewarisi akhlak yang baik seperti nabi Muhammad SAW. Misalnya lagi tradisi rabopungkasan, yaitu tradisi yang diadakan pada hari raboterakhir bulan sapar, menjadi tradisi menjalankan puasa sunnah dan beribadah. Hal ini dikarenakan setiap tahun hanya ketemu satu hari rebopungkasan bulan sapar.

 Makam Kyai Guru

Mendirikan Pesantren dan Mencetak Ulama – Ulama Besar

Kyai Asy’ari mempunyai banyak santri dan hampir semuanya menjadi ulama besar. Diantara santri yang menjadi ulama besar adalah sebagai berikut:

1  1.) Kyai Ahmad Rifa’i dari Tempuran, Kendal (seorang ulama kharismatik tokoh pendiri jamaah Rifa’iyyah dan Pahlawan Nasional)

2  2.) Kyai Musa dari Kaliwungu, Kendal (dicatat pernah menjalani baiat thariqat as-syathariyyah pada Kyai Asy’ari selaku Khalifah ahli thariqat as-syathariyyah)

3   3.) Kyai Sholeh Darat dari Semarang (mempunyai murid KH. Hasyim Asy'ari Pendiri NU, KH. Ahmad Dahlan Pendiri Muhammadiyyah dan RA. Kartini)

4    4.) Kyai Bulkin dari Mangkang, Semarang

5    5.) Kyai Anwaruddin dari Bendokerep,  Cirebon

Kemudian para santri atau ulama tersebut banyak yang mendirikan pondok pesantren atau madrasah bahkan tempat ibadah di berbagai daerah atau tempat Kyai tersebut berasal dan bertempat tinggal.

Baca juga: Biografi Singkat Kyai Musa Kaliwungu

Peran Kyai Asy’ari dalam berdakwah di Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Kendal sangat besar dan sungguh luar biasa, khususnya di lingkungan pondok pesantren. Hal ini dapat kita buktikan dengan berdirinya pondok pesantren yang pertama kali di Kaliwungu oleh Kyai Asy’ari yaitu yang bernama Pondok Pesantren Salaf APIP dan Musholla Al-Asy’ari tepatnya di Kampung Pesantren desa Krajankulon, sekitar tahun 1781-an. Sejak itulah kemudian sampai sekarang ini berdiri pula banyak pondok pesantren salaf dan madrasah yang berbasis NU di Kaliwungu Kendal, yang didirikan oleh para kyai dan ulama besar yang ada di Kaliwungu.

Banyaknya pondok pesantren yang berdiri di desa Krajan Kulon, sehingga desa ini menjadi pusatnya pembelajaran ilmu agama di Kaliwungu. Istilah Kaliwungu sebagai kota santri mungkin berasal dari desa Krajankulon, karena desa ini berada di tengah / pusat kota Kaliwungu. Jika datang ke desa Krajankulon kita akan melihat para santri hilir mudik, terutama di pagi dan sore hari. Selain santri yang menetap di pondok pesantren, ada juga banyak santri yang nglaju, datang ke pondok atau ke rumah guru ngajinya hanya pada jam mengaji saja, sehari-harinya tetap berada di rumah. Santri nglaju ini biasanya diikuti oleh santri yang bertempat tinggal di Kaliwungu dan sekitarnya.

Santri yang mengaji tidak hanya usia aktif belajar saja, tetapi bagi kaum ibu dan bapak juga masih aktif semangat untuk mengaji. Pengajian untuk kalangan ibu dan bapak misalnya yang diadakan oleh KH. Nidhomudin Asror Kampung Kauman. Pengajian diikuti oleh kalangan ibu dan bapak tiap pagi setelah sholat subuh, yang dimulai dengan pembacaan Al-Qur'an dan dilanjutkan dengan pengajian ceramah. Masyarakat yang mengikuti pengajian ini biasanya hanya mendengarkan saja yang biasa dikenal dengan jiping (ngaji kuping), meskipun ada juga yang menyimak bacaan Al-Qur'an dengan membawa Al-Qur'an sendiri dan kemudian mencatat pelajaran yang penting. 

Selain pengajaran yang diadakan oleh KH. Nidhomudin Asror, ada juga pengajian setiap hari selasa dan sabtu di Pondok Bani Umar Kampung Patekan. Masyarakat yang mengikuti pengajian tersebut tidak hanya masyarakat lokal saja, yaitu masyarakat Kaliwungu itu sendiri akan tetapi juga dari luar Kaliwungu.

Pesantren dilihat dari aspek kesejarahannya, bisa jadi sebagai penelusuran sistem pendidikan pra Islam di negeri ini, yang oleh sementara kalangan diidentifikasikan dengan nama sistem Mandala. Istilah pesantren untuk daerah Kaliwungu saat ini, umumnya diacukan kepada tempat pemukiman atau asrama para santri yang sebagai tempat belajar mengaji dan mengenal hidup yang Islami. Pesantren-pesantren ini memiliki banyak arti dan fungsi, sebagai sumber penting bagi pendidikan humaniora di pedesaan, karena ia sebagai pusat kreativitas masyarakat. Dibanding dengan lembaga pendidikan Islam yang lain, pesantren memiliki kelebihan mental keagamaannya. Salah satu alasan kelebihannya itu adalah cara memandang santri terhadap kehidupan.

Sumber :library.walisongo.ac.id