Minggu, 25 Oktober 2015

Makam Walu Tandur Paninggaran


Hubungan Cakrabuana (Omnya Syarif Hidayatullah) dengan Desa Paninggaran

Suasana di desa Paninggaran

Pekalongan Kota Batik, Paninggaran Desa Tanduran

Kalau dengar kota Pekalogan, sudah pasti yang terlintas di benak setiap orang adalah batiknya. Memang, selain dijuluki sebagai kota yang Bersih, Aman, Tertib, Indah dan Komunikatif (BATIK), Pekalongan juga sebagai salah satu centra produksi batik. Namun, saat seorang bertanya kembali “Pekalongannya mana mas?” lalu saya jawab, “Paninggaran,” sebagian mengernyitkan dahi dan sebagian lagi bilang “ooh wong gunung tooh,”.

Suatu ketika, teman-temanku dari berbagai kota lintas provinsi berkunjung ke rumahku di Paninggaran. Saat mereka memasuki gerbang Linggo Asri, dan melintasi jalanan yang dikelilingi ratusan pohon rindang di kanan-kiri jalan, tiba-tiba terlintas dalam pikiran mereka sebuah pertanyaan yang tidak pernah saya pikirkan sebelumnya.

“Bagaimana ceritanya bisa ada desa di tengah-tengah gunung ini?” “Siapa yang pertama kali membuka jalur selatan antara Pekalongan dan Banjarnegara ini?” “Jika semua agama di desamu adalah Islam, lalu siapa yang pertama kali mengajarkan mereka cara baca AlQuran?” “Sebelum Islam menyebar di desamu, apakah ada agama atau kepercayaan lain?” “Apakah Paninggaran itu dahulunya adalah bekas kerajaan?” “Atau tempat persembunyian saat zaman Belanda?” “Sejak kapan ada kehidupan di desa ini?

Pertanyaan-pertanyaan itu sangat menggelitik, entah dari mana saya memulainya. Karena ada satu makam Mbah Wali Tanduran yang cukup berpengaruh dan setiap tahunnya diadakan haul yang sekarang sudah masuk Haul ke 30. Artinya sejak tahun 1985 yang lalu tradisi Haul tersebut baru dimulai, hal ini pula yang menjadi pertanyaan, “Kenapa baru tahun 1985 dimulai? Apakah ada sosok lain yang pernah di Haul-kan sebelum tahun tersebut?” Informasi dari salah satu tokoh Paninggaran bilang sebelum Mbah Wali Tanduran, ada sosok bernama Dzul Karim yang jika dirunut tahunnya beliau lahir di tahun 1600an yang pernah di Haul-kan terlebih dahulu.

Untuk mempermudah, maka saya akan memulai dari sebuah Maqom Mbah Wali Tanduran. Entah yang dimaksud itu adalah makam (kuburan) atau Maqom yang secara harfiah berarti tempat berdiri. Berasal dari kata Qooma-YaqumuMaqomun. Seperti penggunaan kata maqom Ibrahim di depan Ka’bah. Yang berarti tempat berdirinya Nabi Ibrahim, bukan kuburannya. Istilah lain dari maqom adalahpetilasan atau tempat persinggahan. Atau memang disebut maqom lalu agar mudah diucapkan maka disebut dengan kata makam saja.

Dalam sebuah penelitian tentang bahasa Sunda dari Kampus Unpad yang dibukukan dalam karya Yoseph Iskandar yang artikelnya saya dapatkan dari seorang tokoh Paninggaran (Pak Slamet waktu itu)  ada kemiripan nama Paninggaran dengan bahasa Sunda yang artinya adalah pemburu dalam bahasa Indonesia. Sebelum membaca penelitian itu, saya pribadi tidak tahu arti nama Paninggaran. Jika yang dihubungan dari kata Paninggaran (berburu) maka, para sesepuh dan tokoh masyarakat Paninggaran dahulunya adalah para pemburu.

Teman-teman Paninggaran seangkatanku atau yang lahir di atas tahun 1980an pasti masih ingat bagaimana serunya jika musim cengkeh tiba. Bunyi kentongan dari masjid menandakan sebuah hewan Celeng masuk ke desa kami dan para pawang siap sedia dengan tombak dan panah ‘sakti’nya untuk memburu dan membunuh Celeng yang suka merusak hasil bumi masyarakat desa Paninggaran.

Namun ada yang mengatakan Paninggarang itu berasal dari kata “menginggar-inggar” (penuh kegembiraan) ada pula yang bilang Paninggaran itu artinya Ngepen Naning Gagaran (banyak program dan rencana tapi selalu gagal, tidak pernah kesampaian).  Dari sekian arti, selain arti berburu, mungkin diartikan dengan kondisi psikologi-sosial-agama masyarakat desa Paninggaran saat ini yang sukanya Ademnyar (ramai di pertama, sepi di ujungnya). Yang kira-kira bermaksud saat muncul hal baru semua ramai mengikuti dan berkontribusi, setelah berjalan sekian waktu ditinggal satu persatu.

Menurut cerita para sesebuh pula, Mbah Wali Tanduran adalah seorang pemburu handal dan juga sosok yang ahli menandur (menanam) maka setelah beliau meninggal disebut dengan gelar Tanduran. Lalu, siapa nama asli Mbah Wali Tanduran ini? Mungkinkah Mbah Wali Tanduran adalah sosok pembuka jalur, pendidik, Da’i dan Ulama yang memngajarkan Alif-Ba-Ta kepada masyarakat desa yang bernama Paninggaran? Siapa murid beliau yang pertama, dan jika menikah, siapa saja keturuan yang masih ada?

Hingga saat ini, juru kunci dari cerita ini satu persatu telah Allah panggil ke ‘rumah’Nya. Salah satunya adalah Almarhum Kyai Mohammad sang penggagas perdana Haul Mbah Wali Tanduran di sebuah desa Paninggaran, yang masyarakatnya pandai nandur (menanam) kebaikan, nandur ilmu, nandur apa saja yang kelak akan tumbuh dan berkembang menjadi tanduran yang indah dan bermanfaat.

 

Mbah Wali Tanduran dan Walangsungsang

Ada yang menjelaskan bahwa Makam Embah Wali Tanduran sebenarnya bukan makam (kuburan), tetapi pasarean atau patilasan, bekas Pangeran Cakrabuana. Begitu juga yang disebut makam Pajajaran di bukit Sigabung, adalah pasarean tempat pangeran Cakrabuana menyepi. Sedangkan makam Pajajaran yang berada di Pacalan Kampung Sebelas adalah tempat tinggal Pangeran Cakrabuana. Konon kabarnya di wilayah Pacalan tersebut sering dijumpai harimau putih dari Pajajaran, makanya tempat tersebut sedikit agark ‘keramat’.

Cakrabuana sendiri adalah gelar dari seorang yang bernama Walangsungsang yang punya andil besar dalam mendirikan kerajaan Cirebon. Beliau adalah anak dari Sang Pamanahrasa (Sri Baduga Maharaja atau Prabu Siliwangi) dengan istri ke duanya Nyi Mas Subang Larang, putri dari Ki Gedeng Tapa. Subang Larang adalah Seorang muslimah, murid dari Syeikh Kuro atau Syekh Hasanuddin.

Syekh Kuro yang dikenal pula dengan nama Syekh Hasanuddin, memegang peranan penting dalam masuknya pengaruh ajaran Islam ke keluarga Sang Prabu Siliwangi. Persahabatan Ki Gedeng Tapa dengan Syekh Kuro, menjadikan putrinya, Subang Larang belajar di Pesantren Syekh Kuro. Adapun kedudukan Ki Gedeng Tapa adalah sebagai Syahbandar di Cirebon. Menggantikan Ki Gedeng Sindangkasih setelah wafat. Ki Gedeng Tapa dikenal pula dengan nama Ki Gedeng Jumajan Jati.

Dalam Naskah Carita Purwaka Caruban Nagari-CPCN karya Pangeran Arya Cirebon yang ditulis (1720) atas dasar Negarakerta Bumi, menuturkan bahwa Ki Gedeng Sinangkasih memiliki kewenangan yang besar. Tidak hanya sebagai Syahbandar di Cirebon semata. Ternyata juga memiliki kewenangan mengangkat menantunya, Raden Pamanah Rasa sebagai Maharaja Pakwan Pajajaran dengan gelar Sang Prabu Siliwangi.

Prasasti Tembaga Kebantenan menyebutkan bahwa Sri Baduga adalah Susuhunan di Pakuan Pajajaran, yang memerintah selama 39 tahun (1482 – 1521 M). Dari pernikahan dengan Subang Larang itu, lahir tiga anak. Yang pertama bernama Walangsungsang, kedua Nyi Rara Santang dan terakhir Raja Sangara.

Dalam Carita Purwaka Caruban Nagari seperti dikutip oleh Agus Sunyoto dalam buku Atlas Wali Songo, disebutkan bahwa Nyi Rara Santang, adik Pangeran Walangsungsang yang setelah haji berganti nama menjadi Syarifah Muda’im adalah Ibu dari Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Djati. Adapun Walangsungsang setelah haji berganti nama menjadi Haji Abdullah Iman.

Setelah ibunya wafat, di Pakuan tidak ada orang yang bisa dijadikan guru mereka. Tidak ada lagi penenang batin dan pembimbing yang memadai bagi mereka. Khususnya dalam bidang keagamaan. Rasa haus akan ilmu tersebut, Walangsungsang bersama adik-adiknya meminta izin secara baik-baik kepada ayahandanya, untuk pergi ke Kerajaan Singapura (Cirebon).

Walangsungsang yang berstatus Tohaan (Pangeran), juga adik-adiknya, merasa bertanggung jawab untuk meningkatkan kualitas dirinya sebagai putera-puteri Maharaja. Ayah Walangsungsang, Sri Baduga Maharaja, ketika itu masih berstatus Prabu Anom, bahkan mertuanya (Prabu Susuktunggal) masih di bawah kekuasaan kakeknya, Sang Mahaprabu Niskala Wastu Kancana. Sri Baduga Maharaja atau Prabu Anom Jayadewata, sangat maklum atas keinginan ketiga anaknya itu. Dengan berat hati ia hanya mengijinkan Walangsungsang dan Rara Santang, sedangkan Rajasangara diminta untuk tetap tinggal di Pakuan.

Mulailah pengembaraan mereka (Walangsungsang dengan Rara Santang) ke wilayah Pakuan Pajajaran di wilayah timur. Dari beberapas situs yang ditemukan oleh para peneliti, ada kemungkinan besar perjalanan mereka itu juga ke dataran tinggi Dihyang (Dieng) yang saat itu masih dalam wilayah Pakuan Pajajaran sebelah timur atau Parahyangan Bang Wetan. Di sana Walangsungsang bertemu dengan Ki Danuwarsih seorang biksu di daerah dataran tinggi Dieng, yang sekarang masuk dalam wilayah kabupaten Banjarnegara.

Saat perantauan itulah, Walangsungsang dan adiknya kemungkinan melewati Wonosobo-Karangkobar-Kalibening dan menetap di desa Paninggaran. Sebuah desa yang saat ini menjadi pembatas antara kabupaten Banjarnegara dengan kabupaten Pekalongan di sebelah selatan.

Jadi, bisa jadi memang Mbah Wali Tanduran itu adalah nama lain dari Walangsungsang atau Pangeran Cakrabuana yang diberikan oleh masyakarat desa yang bernama Paninggaran saat beliau pergi ke wilayah Pakuan Pajajaran di wilayah timur (Dieng) untuk belajar perbandingan agama dengan Ki Danuwarsih seorang biksu Budha, anak dari biksu Ki Danusetra yang berasal dari Gunung Dihyang (dieng), kemudian menjadi pendeta di Keraton Galuh, ketika ibukota Kerajaan Galuh masih di Karang Kamulyan, Ciamis.

Dari runtutan cerita di atas, setidaknya ada dua kemungkinan yang saya simpulkan:

Walangsungsang pergi ke arah Dieng dan menetap sebentar di Paninggaran.Walangsungsang pulang dari Dieng dan sebelum mendirikan kerajaan Islam di Cirebon, menetap dahulu di Paninggaran untuk beberapa saat.

Catatan kecil ini masih perlu pendalaman dan masukan dari berbagai pihak agar kelak bisa menjadi sebuah ilmu pengetahuan bagi generasi masa depan bangsa khususnya warga desa Paninggaran.

 

Jakarta, 5 Juni 2015

oleh: Shakaro Aly




Tidak ada komentar: