Minggu, 14 Maret 2021

Kaidah ‎Fiqih



PEMBAHASAN
الضرر يزال
KEMUDARATAN HARUS DIHILANGKAN

Konsepsi kaidah ini memberikan pengertian bahwa manusia harus dijauhkan dari idhrar (tindak menyakiti), baik oleh dirinya sendiri maupun oleh orang lain, dan tidak semestinya ia menimbulkan bahaya (menyakiti) pada orang lain.
            Kaidah ini dipergunakan para ahli hukum islam dengan dasar argumentatif hadis Nabi yang diriwayatkan dari berbagai jalur transmisi (sanad) :
لا ضرر ولاضرا ر
Tidak boleh memberi mudarat dan membalas kemudaratan.
            Kaidah ini terkonkretisasi menjadi sejumlah hukum fiqh yang bersifat partikular (furu), diantaranya bentuk-bentuk khiyar dalam transaksi jual beli, pembatasan wewenang (al-hijr), hak syuf’ah (membeli pertama) oleh partner bisnis dan tetangga, hudud, ta’zir, dan pembatasan kebebasan manusia dalam masalah kepemilikan atau pemanfaatannya agar tidak menimbulkan bahaya bagi orang lain.
1.        Khiyar dengan segala jenis dan bentuknya ditetapkan oleh syara’ untuk menghilangkan bahaya/mudarat. Khiyar syarth dalam transaksi jual beli misalnya diberlakukan untuk menghilangkan kemungkinan terjadinya bahaya (kerugian) pada orang yang belum berpengalaman dalam transaksi jual beli, sehingga ia rentan menjadi korban penipuan . sementara khiyar ru’yah mengandung unsur menghilangkan bahaya (kerugian) yang muncul dari kondisi barang yang tidak sesuai dengan sifat-sifat (spesifikasi) yang disebutkan pada saat transaksi dan tidak akan diterima oleh pembeli seandainya ia melihat barang yang dijual tersebut pada saat transaksi. Sedangkan dalam khiyar ‘aib, unsur menghilangkan bahaya (kerugian) di dalamnya sudah sangat jelas dan tidak perlu penjelasan lebih lanjut.
2.        Al-hijr (pembatasan wewenang dalam men-tasharruf-kan hak milik) mempunyai banyak faktor yang melatarbelakanginya, diantaranya si pemilik masih kanak-kanak, gila, sembrono (al-ghaflah), dan idiot (as-safah). Mekanisme al-hijr yang diterapkan pada mereka sesungguhnya diberlakukan untuk memelihara kemaslahatan mereka sendiri dan menghindari bahaya pengeksploitasian mereka.
Mekanisme al-hijr juga diberlakukan bagi orang yang terlilit banyak utang, sebab hal itu melindungi hak orang-orang yang berpiutang (kreditor). Disini orang yang berutang (debitur) dilarang membelanjakan atau mempergunakan hartanya agar orang lain tidak hilang.
3.        Syuf’ah (hak membeli pertama), ditetapkan sebagai milik partner kongsian (asy-syarik) untuk menepis bahaya pembagian barang kongsian, sedangkan hak syuf’ah bagi seorang tetangga dimaksudkan untuk menepis bahaya perlakuan buruk bertetangga (su’ al-jiwar) yang mungkin ia terima dari tetangga baru yang dapat jadi berkelakuan buruk.
4.        Qishash dalam konteks jiwa dan hudud disyariatkan untuk menepis bahaya yang menyeluruh dari masyarakat dan memelihara kelima prinsip umum atau dharuriyyat, yaitu jiwa, agama, akal, keturunan (nasab), dan harta.
Sedangkan qishash dalam konteks selain jiwa ditetapkan untuk menyingkirkan unsur bahaya dari pihak korban tindak kejahatan dengan mengobati rasa dendamnya terhadap orang yang melanggar haknya sesuai dengan watak alamiah manusia. Dari sisi lain, pelaku kejahatan pun terlindungi dengan mekanisme qishash ini dari tindak balas dendam yang lebih hebat dari pihak korban. Pensyariatan qishash juga menjaga keamanan dan stabilitas masyarakat.
5.        Demi menjaga kemaslahatan umum, maka disyariatkanlah berbagai bentuk hukuman ta’zir guna mencegah bahaya sosial maupun bahaya individual baik sebagai tindakan preventif ataupun represif dengan cara yang mungkin dapat menghilangkan bahaya bagi pihak korban ataupun menghapus pengaruh yang ditimbulkan dalam bentuk hukuman yang setimpal.
6.        Pembatasan (limitasi) kebebasan manusia dalam mempergunakan hak utilitasnya, kepemilikannya, ataupun tasharrufnya pada hal-hal yang dapat menimbulkan bahaya bagi orang lain juga termasuk kategori upaya pencegahan bahaya yang mengerikan dengan segala cara jika memang ia benar-benar terjadi. Misalnya, jika seseorang menyewa sebuah kios untuk dipergunakan sebagai tempat pandai besi, tempat pemanggangan roti, atau alat distiller minyak, maupun dapur, sementara kios tersebut terletak di blok pedagang kain sutera, maka hal tersebut dilarang, sebab bahaya (kerugian) yang dapat ditimbulkan jelas lebih besar daripada bahaya (kerugian) yang mungkin ditanggung oleh orang tersebut seorang diri, karena kemaslahatan sosial didahulukan daripada kemaslahatan individual.
Contoh lain, jika seorang tetangga membuat saluran air untuk rumahnya yang menyebabkan kerapuhan tembok (dinding) rumah tetangganya sehingga dapat membuatnya roboh, maka pembuatan saluran air ini tidak diperbolehkan karena alasan ini dan mengingat bahaya yang begitu jelas di dalamnya.
Dari sini para ahli hukum islam menetapkan asas hukum umum dalam perihubungan bertetangga rumah, bahwa kebebasan tetangga dalam menjalankan hak kepemilikannya dibatasi dengan keharusan tidak mendatangkan bahaya dan kerusakan yang nyata pada hak tetangganya.
Berdasarkan ketetapan para ahli hukum islam tersebut, apabila seseorang menimbulkan bahaya yang nyata pada hak orang lain dan memungkinkan ditempuh langkah-langkah pencegahan untuk menepis bahaya tersebut maka orang tersebut dapat dipaksa untuk mengambil langkah-langkah pencegahan untuk mencegah tersebut, namun ia tidak dapat dipaksa untuk melenyapkannya. Akan tetapi, jika langkah penepisan bahaya tersebut sudah tidak memungkinkan lagi, sementara hal itu menyangkut manfaat-manfaat yang pada dasarnya merupakan keniscayaan, misalnya penutupan akses matahari dan udara secara total bagi pihak tetangga, maka ia dapat dipaksa untuk melenyapkan hal yang menyebabkan bahaya tersebut.
Dalam segala kondisi, seseorang tidak dapat dipaksa untuk menghilangkan hak miliknya yang berpotensi menyebabkan kemudaratan bagi orang lain (tetangganya) jika memang ia lebih dahulu ada sebelum si tetangga. Misalnya, jika seseorang menempati atau membangun rumah disamping pabrik roti yang telah berdiri sebelum ia menempati atau membangun rumah tersebut, maka ia tidak berhak menuntut penutupan pabrik tersebut dengan alasan efek negatif yang diterima dirinya. Hal itu dikarenakan ia sendiri yang memasuki wilayah bahaya dengan keinginan dan pilihannya sendiri.
Namun, jika terkait dengan kemudaratan umum (bahaya sosial), maka di sini tidak lagi dilihat apakah penyebab bahaya tersebut terlebih dahulu ada atau baru, tetapi dalam keadaan apa pun bahaya ini harus dihilangkan. Contoh,barang siapa membangun tenda besar ditengah jalan umum atau membangun jembatan yang mempersulit arus lalu lintas, maka ia dapat diperintahkan untuk menghancurkannya, meskipun memakan waktu yang lama.
Dapat diperhatikan dalam segala kondisi, bahwa penerapan kaidah ini pada sejumlah kasus yang telah tersebut di atas maupun kasus-kasus lain yang termasuk dalam kategorinya selalu memperhatikan kaidah-kaidah sebagai berikut:
a.                  الضررلا يزال باالضررسواء كان عامااوخاصا(Mudarat tidak dapat dihilangkan oleh  mudarat lainnya baik yang bersifat umum maupun terbatas).

b.                  يتحمل الضرر الخاص لاجل دفع الضرر العام (Mudarat yang bersifat terbatas harus ditanggung demi mencegah mudarat yang bersifat umum). Misalnya, pembunuhan perempuan dan anak-anak muslim di dalam kondisi perang apabila mereka dijadikan tameng oleh pihak musuh, pembatasan bahkan pencabutan wewenang seorang dokter yang tidak cakap yang dapat mengakibatkan malpraktik dan membahayakan orang banyak, serta penghancuran dinding yang menjorok kedalam umum yang membahayakan lalu lintas jika tidak segera direnovasi, sebab setiap factor banyak harus dihilangkan atau dihapuskan. Begitu pula penjualan paksa barang milik monopoli yang menolak menjualnya sementara orang-orsng sangat membutuhkannya, dan masih banyak lagi contoh yang lain.

c.                  يرتكب اخف الضررين  (Diambil mudarat yang lebih ringan di antara dua mudarat). Artinya, apabila suatu perkara atau tindakan menyebabkan suatu bahaya yang tidak dapat dihilangkan kecuali dengan satu tindakan bahaya lainnya dan salah satu dari kedua bahaya tersebutlebih besar daripada yang lainnya, maka bahaya yang lebih besar dihilangkan dengan yang lebih kecil. Namun, apabila tindakan tersebut mendatangkan akibat yang lebih besar, maka tidak boleh dilakukan.
Dari kaidah ini lebih lanjut lahir sejumlah kaidah turunan dalam persoalan-persoalan mikro, antara lain: diperbolehkan memenjarakan seorang ayah jika ia menolak memberikan nafkah kepada anaknya, namun si ayah tidak dapat dipenjara jika ia terlilit utang pada anaknya dalam hal selain nafkah.hal itu dikarenakan penolakannya untuk memberi nafkah kepada anaknya akan mengakibatkan kematian si anak, dan ini jelas merupakan bahaya yang lebih besar daripada kerugian memenjarakannya, sehingga bahaya tersebut dapat dihilangkan dengannya.
Contoh lainnya,apabila seseorang mengambil kayu atau besi milik orang lain, kemudian menggunakannya untuk embangun rumahnya, sehingga tidak mungkin mengambilnya kecuali dengan menghancurkan bangunan. Jika nilai bangunan lebih besar dari nilai barang hasil ghashab (merampas) maka ia harus dengan yang senilai. Namun, jika lebih rendah maka pemilik barang yang diambil berhak menuntut pencabutannya kembali barangnya dari bangunan tersebut atau menuntut ganti rugi pada peng-ghashab (perampas).
Contoh berikutnya dari kaidah ini adalah kebolehan membedah perut mayat seorang perempuan untuk mengeluarkan bayi yang dikandungnya apabila ada kemungkinan bayi tersebut masih hidup.
d.                   درءالمفاسد مقد م علي جلب المصالح(Menolak kerusakan lebih diutamakan daripada menarik kemaslahatan).
e.                    الحاجة تنزل منزلة الضرورةعامة كانت او خاصة  (kebutuhan dapat menempati posisi darurat, baik yang bersifat umum maupun khusus). Dalilnya adalah kebolehan transaksi salmMengingat praktik salm dibutuhkan dalam masyarakat, maka ia pun ditempatkan pada posisi darurat, meskipun bertentangan dengan qiyâs lantaran termasuk kategori jual beli barang yang tidak ada saat transaksi (bai’ ma’ dûm). Asy-Syari’ telah member rukhshah (kekeringan) di dalamnya, meski pada dasarnya jual beli seperti ini tidak sah. Nabi Muhammad SAW membolehkannya dengan mempertimbangkan kebutuhan manusia terhadapnya guna menepis rasa berdosa (harj) yang mungkin dating jika ia tidak disyariatkan atas orang yang tidak mempunyai barang di tangannya, sementara ia sangat membutuhkan uang. Inilah dasar kebolehan transaksi pemesanan pembuatanbarang (al-istishna’), meskipun ia termasuk jual beli barang yang tidak ada saat transaksi, melainkan baru diberi dana untuk proses pembuatannya.
Termasuk dalam kategori ini juga adalah transaksi jual beli dengan system bai’ al-wafâ’ (jual beli dengan perjanjian bahwa si penjual kelak dapat menebus kembali barang yang dijualnya). Para ulama mahzab Hanafi telah menetapkan kebolehan jenis transaksi ini Karena kebutuhan manusia terhadap praktik ini dalam melunasi utang-utang mereka jika mengalami kesulitan pelunasan tanpa melalui cara ini.


KESIMPULAN
1.      Konsepsi kaidah ini memberikan pengertian bahwa manusia harus dijauhkan dari idhrar (tindak menyakiti), baik oleh dirinya sendiri maupun oleh orang lain, dan tidak semestinya ia menimbulkan bahaya (menyakiti) pada orang lain.
2.      Dasar Hukum dari kaidah ini adalah” لا ضرر ولاضرا ر
3.      Kaidah ini terkonkretisasi menjadi sejumlah hukum fiqh yang bersifat partikular (furu)
penerapan kaidah ini pada sejumlah kasus yang telah tersebut di atas maupun kasus-kasus lain yang termasuk dalam kategorinya selalu memperhatikan kaidah-kaidah sebagai berikut:
a.                  الضررلا يزال باالضررسواء كان عامااوخاصا
b.                 يتحمل الضرر الخاص لاجل دفع الضرر العام
c.                  يرتكب اخف الضررين  
d.                 درءالمفاسد مقد م علي جلب المصالح
e.                  الحاجة تنزل منزلة الضرورةعامة كانت او خاصة