Kamis, 20 Agustus 2015

Islam Nusantara

Islam Nusantara Perspektif Tradisi Pemikiran Nahdlatul Ulama

Oleh;

Muhammad Sulton Fatoni

Jakarta - Terma 'Islam Nusantara' menjadi perbincangan masyarakat Indonesia tidak lama setelah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menetapkannya sebagai tema Muktamar NU Ke-33 di Jombang pada tanggal 1—5 Agustus 2015, "Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan Dunia". Berbagai diskusi digelar, begitu juga puluhan artikel muncul di media nasional, dari tulisan mahasiswa hingga Guru Besar. Tak pernah terjadi dalam sejarah NU sebelumnya tema Muktamar bisa meledak dan jadi bahan diskusi seramai ini.

Di antara pemikiran yang muncul tentang 'Islam Nusantara' adalah mengkomparasikannya dengan istilah 'Islam: The Straight Path' yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, 'Islam: Jalan Lurus', atau Islam: Shiratal Mustaqim. Memaknai 'Islam: The Straight Path' dengan 'Islam: Jalan Lurus' memang tidak menimbulkan pergeseran pemahaman. Namun menjadi persoalan besar jika menyamakan makna 'Islam: The Straight Path' (Islam: Jalan Lurus) dengan 'Islam: Sirathal Mustaqim'. 

Rangkaian kata shirathal mustaqim terdapat dalam surah al-Fatihah ayat 6 (enam) yang lengkapnya, ihdinas shirathal mustaqim. Maksud kata shirath dalam nash tersebut adalah 'agama Islam'. Sedangkan maksud mustaqim dalam ayat tersebut adalah 'kemapanan tanpa distorsi' (Ahmad as-Showy, 1813M). Sehingga jika dirangkai dalam satu kalimat, 'islam: Shiratal Mustaqim' menimbulkan kekacauan arti yang bersumber dari kesalahan merangkai kata. Padahal Rasulullah saw menegaskan bahwa Islam itu kesaksian ketuhanan hanya Allah, kerasulan Muhammad saw, komitmen melaksanakan salat, mengeluarkan zakat, puasa Ramadhan dan pergi haji saat mampu (Imam Muslim, 875M).

Muncul juga pemikiran mengkomparasikan 'Islam Nusantara' dengan istilah 'Islam Rahmatan lil 'Alamin'. Kalimat 'rahmatan lil 'alamin' ini terdapat dalam surah al-Anbiya' ayat 107, wa ma arsalnaka illa rahmatan lil alamin (Aku tidak utus engkau Muhammad kecuali untuk mengasihi alam semesta). Ibn Abbas menegaskan bahwa subyek dari misi 'mengasihi alam semesta' adalah Nabi Muhammad saw. Sedangkan obyeknya adalah seluruh umat manusia (at-Thabari: 919M). Maka rangkaian kata 'Islam rahmatan lil 'Alamin' pun memunculkan kekacauan arti yang disebabkan oleh kesalahan merangkai kata. 

Kedua rangkaian kata di atas sudah cukup populer di tengah masyarakat. Kedua fakta tersebut tentu problem besar mengingat keduanya (shiratal mustaqim dan rahmatan lil 'alamin) adalah bagian dari nash al-Qur'an. Padahal telah menjadi kesepakatan ulama bahwa hanya orang-orang dengan kriteria tertentu saja yang punya otoritas untuk memaknai al-Qur'an.

Terma 'Islam Nusantara' juga tidak tepat dianalisa dengan pendekatan ilmu linguistik Arab teori nisbat. Sebab kata 'Nusantara' dalam rangkaian 'Islam Nusantara'—dalam berbagai tulisan para pemikir NU—itu bukan untuk kategorisasi. Kata 'Nusantara' dalam konteks linguistic hanya menerangkan teritori dimana penghuninya memeluk agama Islam.
  
Begitu memahami 'Islam Nusantara' dengan pisau analisa pendapat Koentjaraningrat. Sudah sepatutnya Koentjaraningrat berpendapat bahwa agama itu titah Tuhan dan sebaiknya tidak berusaha mengembangkan suatu agama Islam khas Indonesia. Pernyataan Koentjaraningrat tersebut berkesesuaian dengan prinsip Islam sebagai ajaran yang mapan tanpa distorsi (shirathal mustaqim). Hanya saja terma 'Islam Nusantara' bukanlah bentuk pengembangan agama Islam.

Lalu bagaimana dengan terma 'Islam Nusantara'? Dua rangkaian kata ini sebenarnya membutuhkan penjelasan sederhana. 'Islam' dan 'Nusantara' adalah dua kata yang masing-masing mempunyai makna, dan kedua kata tersebut digabungkan untuk membentuk frasa. Maka jadilah rangkaian 'Islam Nusantara' yang memperlihatkan hubungan erat antara bagian yang diterangkan-menerangkan (Ramlan, 1985) meski tanpa menimbulkan makna baru. 

Dalam ilmu bahasa Indonesia jenis penggabungan kata ini disebut 'aneksi'. Karena masuk dalam kategori 'aneksi' maka terma 'Islam Nusantara' sama saja dengan terma 'Islam di Nusantara'.
 
'Islam Nusantara' dengan makna yang sama dapat dipahami dari perspektif gramatika Arab bahwa rangkaian dua kata 'Islam Nusantara' bukan susunan shifat-maushuf (sifat-yang disifati), melainkan susunan idlâfah (aneksi). Karena itu di antara kedua kata tersebut terkandung kata imbuhan, bisa berimbuhan min (dari) atau fî (di). Contoh, khâtamu hadîdin, artinya cincin 'dari' besi; qiyâmul lail, artinya salat 'di' malam hari. Maka rangkaian 'Islam Nusantara' itu bukan bermakna 'Islam' disifati 'Nusantara', tapi 'Islam hidup di Nusantara'. Kata 'Nusantara' bukan sifat dari Islam, tetapi sebagai idlâfah (KH. Subhan Ma'mun, 2015).
 
Sedangkan dari sisi substansi, terma 'Islam Nusantara' itu paham dan praktik keislaman di bumi Nusantara sebagai hasil dialektika antara teks syariat dengan realita dan budaya setempat. Spirit 'Islam Nusantara' adalah praktik berislam yang didahului dialektika antara nash syariah dengan realitas dan budaya tempat umat Islam tinggal (Afifuddin Muhajir, 2015). 

Perspektif ushul fiqh, proses dialektika antara nash syariah dengan realitas dan budaya tempat umat Islam tinggal itu sesuatu yang lumrah terjadi bahkan pasti terjadi mengingat Islam itu ajaran yang universal. Dan 'Islam Nusantara'  adalah wujud Islam sebagai agama universal mengingat ia telah dipeluk oleh ratusan juta penduduk Nusantara dan telah melahirkan ratusan ribu produk hukum dan khazanah keislaman lainnya. Bertolak dari pemahaman di atas, tak perlu takut Islam terdistorsi gara-gara muncul terma 'Islam Nusantara', atau bahkan nanti menyusul muncul terma 'Islam Amerika', 'Islam Eropa', 'Islam Australia', 'Islam Afrika, dan lainnya.
  
Terlepas dari kajian sisi linguistiknya, terma 'Islam Nusantara' dan 'Islam Rahmatan lil 'Alamin' mempunyai spirit sama mengingat keduanya lahir dari rahim Nahdlatul Ulama. Hanya dari sisi konsekuensinya, 'Islam Nusantara' tidak problematik mengingat ia tidak menimbulkan kekacauan arti.

Dialektika Nash Syariah dan Budaya Lokal 

Masyarakat muslim pesisir pantai pada musim tertentu melakukan ritual 'sedekah laut'. Terdapat kajian menunjukkan bahwa 'sedekah laut' tersebut adalah bentuk konversi kepercayaan non Islam ke agama Islam. Padahal 'sedekah laut' tersebut bukan wujud konversi melainkan wujud dari hasil dialektika antara nash syariah dengan budaya setempat. Artinya, 'sedekah laut' yang masih bertahan di tengah masyarakat tidak pertentangan dengan Islam. Jika proses sedekah di laut itu sebatas konversi tentu tak ada gunanya Islam mereka anut. Begitu juga dengan kepercayaan terhadap Nyi Loro Kidul yang dianut oleh sebagian muslim di pesisir pantai bukanlah bentuk konversi namun hasil dialektika nash syariah dengan budaya.

Budaya yang telah mendapatkan legitimasi nash syariah menjelma menjadi ritual ibadah. Proses ini sesuatu yang lumrah terjadi di lingkungan para kiai di Nusantara. Sehingga keislaman masyarakat Nusantara mempunyai corak yang sama karena referensi (masyrab wal ma'khadz) dan konsep pemikirannya yang tunggal (ittifaqul ara'). KH Hasyim Asyari dalam kitabnya, Risalatu Ahlissunnah wal Jamaah mencatat masyarakat Islam negeri Jawa baru mengalami pertentangan dan gesekan saat memasuki tahun 1912M. Problem sosial keagamaan ini disebabkan kemunculan kelompok penentang (mutadafi'ah) dan kelompok-kelompok yang mengusung aliran-aliran baru (mutanawwi'ah). 

Maksud mutadafi'ah saat itu adalah kemunculan kelompok kecil pendatang yang pendapat dan perilaku keislamannya menimbulkan pertentangan di tengah masyarakat Islam. Sedangkan maksud mutanawwi'ah saat itu adalah kelompok-kelompok kecil pendatang yang masing-masing di antara mereka berbeda pemikiran dan perilakunya sehingga tampak 'aneh-aneh'. Maka menghadapi kelompok mutadafi'ah dan mutanawwi'ah yang ekspresif ini perlu gerakan sistematis. Caranya dengan mendorong Nahdlatul Ulama untuk memberikan perlindungan (jam'iyyatu aman) dan memperjuangkan keadilan (jam'iyyatu 'adl) untuk masyarakat luas (KH Hasyim Asyari, 1928). 

Memberikan perlindungan (jam'iyyatu aman) dalam konteks kemunculan kelompok mutadafi'ah dan mutanawwi'ah adalah mendampingi masyarakat muslim untuk melaksanakan ibadahnya, baik yang bersifat mahdhah (pure) maupun ghairu mahdhah (social and culture). Resources masyarakat tentu terbatas dibanding resources kelompok mutadafi'ah yang kecil dan solid. Karena itu para kiai dan perangkat organiknya selalu berupaya hadir di tengah masyarakat sebagai bentuk menjaga ketertiban sosial.

Sedangkan memperjuangkan keadilan (jam'iyyatu 'adl) dalam konteks kemunculan kelompok mutadafi'ah dan mutanawwi'ah adalah menempatkan para kiai sebagai intelektual organik yang berpikir obyektif. Masyarakat muslim yang mengalami tekanan dari kelompok mutadafi'ah dan mutanawwi'ah diadvokasi untuk mendapatkan kembali hak ritualnya. 

Para kiai tidak hanya sekedar menjelaskan ritual dari sisi basis teoritisnya namun juga proses dialektika nash syariah dengan kebudayaan setempat. Bahasa kebudayaan untuk mengekspresikan empati dan rasa yang tidak bisa diekspresikan oleh masyarakat sendiri (Leszek Kolakowski, 1978) sekaligus basis teoritik yang menjadi titik lemah masyarakat.

Meneruskan Tradisi Pemikiran

Di antara kekuatan Nahdlatul Ulama adalah melakukan diaspora pemikiran yang tak pernah putus sepanjang eksistensinya sejak 1926. Para kiai dan kelompok intelektual NU selalu melahirkan pemikiran dan ide baru yang mampu menggugah umat Islam Indonesia untuk larut dalam arus gagasannya. Contoh, gagasan besar NU yang dicetuskan pada saat Muktamar di Surabaya tahun 1927 yang menyerukan 'perang kebudayaan' melawan penetrasi budaya Barat yang disimbolkan oleh kolonial Belanda. Waktu itu asesoris dasi dilawan dengan kopyah, jas dilawan dengan baju koko, celana dilawan dengan sarung, sepatu dilawan dengan bakiak (doc. PBNU). 
 
Tradisi berpikir dan membangun gagasan besar hingga menjadi kebudayaan telah menjadi bagian penting kehidupan NU. Mestinya jika bangsa ini ingin besar tradisi ini tidak hanya tumbuh subur di kalangan NU namun di sepanjang sejarah sebagian besar orang-orang Indonesia. Namun cukup kecil para intelektual yang berminat di bidang ini.
 
Bagi kelompok tertentu, terma 'Islam Nusantara' itu diyakini gagasan yang tidak masuk akal sehingga patut diremehkan. 'Islam Nusantara' dianggap sebagai sisi gelap agama Islam. Belajar dari logika Antoni Giddens, padahal jika ingin benar-benar memahami tradisi perlu tidak menganggap 'Islam Nusantara' sebagai ketololan. Para intelektual muslim perlu mendekati gagasan 'Islam Nusantara' secara hati-hati.

Terma 'Islam Nusantara' juga bagian dari ide kreatif para kiai sebagai bagian dari ekspresi kesetiaan terhadap ilmu keislaman yang bercirikan tradisional. Terma 'Islam Nusantara' yang dijadikan tema Muktamar NU Ke-33 di Jombang pada tanggal 1—5 Agustus 2015 sebenarnya tidak berdiri sendiri. Terma ini mempunyai mata rantai dengan hasil riset KH Hasyim Asyari yang kemudian mencetuskan terma 'muslimul aqtharil Jawiyyah' (masyarakat Islam Jawa dan sekitarnya) pada 1912M. 

Memilih terma 'Islam Nusantara' agar masyarakat muslim Indonesia lebih nyaman dan mudah memahami dibanding menyebut 'Islam Negeri Jawa'. Meskipun di era lampau penyebutan kata 'jawa' itu bermaksud menunjuk teritori Asia Tenggara di era kini namun faktanya hanya segelintir orang yang mengetahui hal tersebut. Thomas Rawlison pada awal abad ke-18 pernah melakukan hal yang sama saat ia merancang mode pakaian baru menggantikan yang lama supaya lebih nyaman dan mudah bagi para pekerja (Giddens, 1999).

Kalimat 'muslimul aqtharil jawiyyah' yang dipopulerkan KH Hasyim Asyari seratus tahun lalu adalah gambaran mayoritas muslim dalam berpikir dan bertindak (manhajan wa ibadatan). Jika kebanyakan sesuatu yang dianggap tradisional itu mampu menembus batas waktu tak lebih dari dua abad (Giddens, 1999) justru terma 'muslimul aqtharil jawiyyah' menembus 14 abad. Sebab kalimat 'muslimul aqtharil jawiyyah' itu implementasi dari nash syariah, 'sawadul a'dham' (corak muslim mayoritas).
 
Menurut KH Hasyim Asyari, 'sawadul a'dham' itu masyarakat yang mengikuti khittah 'ulama mayoritas'. Sedangkan 'ulama mayoritas' (sawadhul a'dham) dalam konteks kekinian adalah yang sesuai dengan ulama Mekkah, Madinah & al-Azhar. Maka term 'Islam Nusantara' itu maksudnya kesatuan pikir & tindakan ulama Jawa-Makkah-Madinah & al-Azhar yang diikuti oleh masyarakat Islam sedunia. Maksud 'ulama al-Azhar' itu para ulama di al-Azhar as-Syarif Kairo Mesir yg selama ini kukuh dlm kebenaran. Sedangkan maksud 'ulama Makkah dan Madinah' adalah ulama-ulama ahlussunnah wal jamaah di dua kota suci tersebut yang masih bertahan di tengah kekuasaan rezim Wahabi. Inilah mata rantai 'Islam Nusantara' dalam sejarah panjang bangunan peradaban yang digagas Nahdlatul Ulama.

Terma 'sawadul a'dham' diperkenalkan Rasulullah saw. Begitu juga terma 'muslimul aqtharil jawiyyah' sebagai implementasi atas nash suci tersebut, dikreasi oleh KH Hasyim Asyari 14 abad setelah terma sawadul a'dham pertama kali di-nash-kan. Sedangkan NU memperkenalkan 'Islam Nusantara' seratus tahun setelah KH Hasyim Asyari memperkenalkan terma 'muslimul aqtharil jawiyyah'. Semua itu dirancang, dikreasikan, diwujudkan, diciptakan dan bukan tumbuh secara spontan. 

Nahdlatul Ulama mampu bertahan hingga kini salah satu faktornya adalah memposisikan dirinya sebagai agen perubahan, bukan institusi yang bertahan dari arus perubahan. Sebagai institusi di barisan tradisionalis, NU terus menciptakan tradisi-tradisi yang berbasis keislaman dan kelangsungannya dijaga orang-orang bijak, pemimpin agama, guru (Giddens, 1999) dan tentu saja para kiai.

*) Penulis adalah Wakil Sekjend PBNU; Dosen Sosiologi Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia, Jakarta

(gah/gah)

Tidak ada komentar: