Selasa, 13 Februari 2018

Sejarah PA Pekalongan

 

SEJARAH PENGADILAN AGAMA PEKALONGAN

 

PENGADILAN AGAMA PEKALONGAN TEMPO DOELOE

Meskipun  Pengadilan Agama di Perkalongan di yakini sudah eksis sejak masuknya Islam, dan secara yuridis juga diakui oleh pemerintah kolonial Belanda, akan tetapi data perkembagannya dari awal tidak dapat dilacak. Data perkembangan Pengadilan Agama Pekalongan paling tua sejauh yang dapat dilacak adalah sejak tahun 1894, yaitu adanya penemuan vonnis bernomor 45 yang dijatuhkan pada tanggal 10 Juni 1894, yang berisi penetapan gugatan waris. Vonnis tersebut ditandatangani oleh ketuanya saat itu, yaitu Raden Sastrodhipoerohoefpenghoeloe landraad (ketua pengadilan agama ) di Pekalongan, bersama sekoetoe moesyawarah atau hakim anggota Mas Adji  Joesoef penghoeloe masjid dan Mas Djojokoesoemo serta Mas Haji Chaer.

Perkembangan Pengadilan Agama Pekalongan setelah tahun 1894 tersebut tidak dapat lagi ditemukan data otentik lanjutannya. Data yang ditemukan meloncat pada tahun 1930-an. Pada tahun 1935 ditemukan struktur Pengadilan Agama Pekalongan  dengan ketua Kj. Raden Hadji Aghoes dan wakilnya Kj. M. H. Idris.  Di bawah kedua pimpinan tersebut terdiri majelis hakim (sekoetoe madjelis) yang beranggotakan M. AbdurrrahmanKy. H. SiradjM. MuchsinM.H. Choesni dan MH. Masjhuri.

Meskipun ditemukan data struktur Pengadilan Agama pada tahun 1935, tetapi data mengenai putusan perkara tidak ditemukan. Data putusan penyelesaian perkara baru ditemukan lagi pada tahun 1941, yaitu putusan nomor 77 /1941 tanggal 25 Mei 1941. Berbeda dengan putusan tahun 1894 yang ditemukan yang masih ditulis dengan tangan, putusan tahun 1941 sudah ditulis dengan mesin tik. Putusan nomor 77/1941 tersebut mengani perkara gugat cerai dengan alasan taklik talak. Putusan tersebut tidak menjatuhkan talak khul’y seperti masa sekarang, melainkan dengan menyatakan perkawinan diroesak (fasakh) oleh hakim raad agama yang disandarkan pada kitab Ianatut Thalibin halaman 86 tentang fasakh nikah.

Data putusan yang ditemukan lagi adalah putusan nomor 42 / 1942 yang merupakan vonnis atas perkara cerai. Putusan nomor 42/1942 merupakan putusan dalam era penjajahan Jepang. Hal ini diketahui dari penyebutan pengadilan agama dengan istilah Jepang, Sooryo Hooin Pekalongan. Putusan nomor 42/1942 tersebut diputus oleh majelis terdiri atas Wakil Ketua Sooryo HooinHoefpenghoeloe MH. Idris dengan anggota (sekoetoe madjelis) M. Abdurrahman , Kj. Siradj, M. Moechsin, M.H. Choesni, dan M.H. Masjhoeri.Keadaan Aparatur dan PerkaraKeadaan pengadilan agama sejak zaman Belanda, sangat sederhana baik dari segi jumlah aparatur sarana dan prasarana serta administrasi keuanganya. Hal ini dapat dilihat dari aparatur pengadilan agama, seperti ketua, hakim dan panitera  tidak memperoleh gaji sebagaimana pegawai negeri Belanda. Aparatur memperoleh honor dari ongkos perkara. Sedangkan sarana persidangan masih menggunakan  serambi masjid. Sampai zaman Jepang, pengadilan agama menempati serambi masjid besar kauman Pekalongan, yang terletak bersebelahan dengan kantor Bupati Pekalongan.Namun aparatur Pengadilan Agama Pekalongan memperoleh gaji dari Bupati,  terutama apartur yang menjabat hoofpenghoeloe dan ajunct hoofpenghoeloe. Seperti pada tahun 1937 Kanjeng Bupati Pekalongan dengan besluitnya nomor 186/29 tanggal 28 Juni 1937, menetapkan gaji hoofpenghoeloe kabupaten sekaligus sebagai penghoeloe landraad sebesar f.65 (enam puluh lima gulden).Pada zaman Belanda ongkos yang harus dibayar pihak dalam berperkara adalah sebesar f. 10 (sepuluh gulden), sebagaimana tampak dari vonnis perkara nomor 45/1894. Sementara data ongkos perkara sampai zaman Jepang sebagaimana termaktub dalam nomor 42/1942 sebesar f.3 (tiga gulden). Ongkos tersebut harus dibayar sebagai ongkos proses perkara. Oleh karena itu apabila pihak-pihak ingin memperoleh salinan vonnis,  mereka harus membayar f.0,50 (setengah gulden ).

MASA REVOLUSI SAMPAI DENGAN MASA UNDANG-UNDANG NO. 7 TAHUN 1989.

1.     Kelembagaan dan Aparatur Pengadilan Agama Pekalongan.

Sesaat setelah Jepang menyerah kepada Sekutu, Indonesia segera memproklamasikan diri pada tanggal 17 Agustus 1945. Akan tetapi kemerdekaan Indonesia masih diganggu dengan adanya agresi Belanda I dan II, yang berusaha menjajah kembali Indonesia. Untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah diraih, bangsa Indonesia berjuang, dan masa inilah yang disebut dengan masa revolusi.Secara langsung revolusi tidak mempengaruhi terhadap kelembagaan pengadilan agama, karena pengadilan agama berjalan sebagaimana sebelumnya.  Aparatur pengadilan masih merupakan aparatur lama, masa Jepang, dan dipimpin oleh  Kj. Haji Asrori. Suasana revolusioner membuat ketua pengadilan agama Kj. Haji Asrori bersama rakyat Pekalongan ikut berperang melawan pasukan Belanda karena tidak mau jatuh lagi pada penjajah.Dalam masa revolusi ini pemerintahan daerah dipegang oleh militer, yang ternyata juga  mempengaruhi kepemimpinan pengadilan agama. Hal ini dapat dilihat dari perintah penguasa militer daerah Pekalongan yang pada tanggal 17 Oktober 1949 telah mengangkat H. Moh. Nur bin Siradj menjadi ketua Pengadilan Agama Pekalongan, menggantikan  Kj. Asrori yang tidak berada di tempat karena ikut berperang melawan Balanda.Pada pihak lain, di luar kota orang republikan di bawah penguasa pemerintahan militer, setelah dibentuk Djawatan Agama di Pekalongan, mereka mengadakan musyawarah untuk memilih penghulu kabupaten  di samping menyusun aparat pemerintahan lainnya seperti bupati, camat dan lainnya. Dengan dihadiri alim ulama, antara lain Kj. Haji Syafi’iKj. Haji Akrom ChasaniKj. Haji SiradjKj. Haji Muhammad Iljas (bekas menteri agama yang menetap di Buaran Pekalongan) diselenggarakan musyawarah pemuka masyarakat dan alim ulama di Wonopringgo Pekalongan, untuk mengangkat naib-naib penghulu di setiap kecamatan dan mengangkat penghulu kabupaten. Dalam musyawarah tersebut disepakati mengangkat Kj. Haji Muhammad Nur Wahhab sebagai penghulu kabupaten yang karena jabatannya merangkap sebagai ketua Pengadilan Agama Pekalongan. Masa jabatan Kj. H. Muhammad Nur Wahhab berakhir setelah Kj. Haji Asrori kembali dari medan pertempuran, setelah adanya pengakuan kedaulatan oleh Belanda. Sesudah Belanda mengakui kedaulatan Indonesia, dan setelah keadaan keamanan kembali  normal, jabatan penghulu kabupaten  yang juga ketua pengdilan agama yang diangkat dalam musyawarah alim ulama di Wongopringgo, H. Muhmamd Nur Wahhab menyerahkan kembali jabatannya kepada Kj. Haji Asrori.Menjelang ditanda-tangani Konperensi Meja Bundar (KMB) di negeri Belanda, ada dua pemerintahan di Indonesia, yaitu pemerintahan Republik Indonesia  dan pemerintah bentukan Belanda. Pemerintah kembar ini menjalar dan berstruktur sampai pada tingkat kabupaten dan kecamatan. Keadaan ini pun menjadikan ada  pejabat kepenghuluan Republik Indonesia dan kepenghuluan pemerintah bentukan Belanda (BFC).Karena keadaan darurat dan dalam usaha menekan pemerintah  yang dibentuk Belanda, maka Djawatan Agama Republik Indonesia di masa pemerintahan militer membentuk Pengadilan Agama Pekalongan  yang hanya beberapa kecamatan dan sekaligus mengangkat ketuanya, yaitu Kj. H. Siradj, penghulu kabupaten Pekalongan.

2.     Penyempitan Wilayah Hukum Pengadilan Agama Pekalongan

Setelah revolusi selesai dan pemerintahan Republik Indonesia kembali normal, maka wilayah pemerintahan di daerah ditata kembali. Daerah Batang yang semula berstatus kawedanan dari wilayah Kabupaten Pekalongan ditingkatkan menjadi kabupaten  dengan Undang-undang nomor 9 tahun 1965.  Dengan ditingkatkannya Batang menjadi kabupaten, maka kawedanan sekitarnya seperti Limpung dan Bawang yang sejak tahun 1933 menjadi wilayah kabupaten Pekalongan,  dijadikan wilayah kabupaten Batang. Dengan perubahan Batang menjadi wilayah kabupaten tersendiri, maka kelengkapan pemerintahan dibentuk. kantor Bupati, kantor Kejaksaan dan Pengadilan Negeri pun didirikan.  Sesuai dengan ketentuan Staatblaad 1882 Nomor 152, pada setiap wilayah yang berdiri Pengadilan Negeri maka dalam wilayah itu dibentuk pula Pengadilan Agama, sehingga Pengadilan Aama Batang dibentuk dengan Keputusan Menteri Agama Nomor 90 tahun 1967.  Pembentukan Pengadilan Agama Batang, yang wilayahnya meliputi kabupaten Batang, telah mempengaruhi wilayah Pengadilan Agama Pekalongan yang menjadi menyempit, karena dikurangi wilayah kawedanan Batang, Limpung dan Bawang yang masuk menjadi wilayah Pengadilan Agama Batang. Dengan keadaan wilayah hukumnya yang telah berkurang tersebut, Pengadilan Agama Pekalongan itu  terus melakukan tugas pokok dan fungsinya sebagai lembaga peradilan yang berwenang untuk menerima dan menyelesaikan perkara perkawinan dan kewarisan dan perkara lain yang berkaitan.

Dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya, Pengadilan Agama Pekalongan mengikuti pasang surut perkembangan peradilan agama secara nasional. Pengadilan Agama Pekalongan yang terletak di ibu kota karesidenan Pekalongan dengan perkara yang cukup banyak menjadikannya sebagai Pengadilan Agama Kelas I.A. Demikian juga  ketika Undang-undang nomor 7 tahun 1989 diundangkan, Pengadilan Agama Pekalongan ikut merasakan “berkah’nya. Pengadilan Agama Pekalongan berwenang untuk menyelesaikan sengketa waris dan kebendaan lainnya yang berkait dengan perkawinan, di samping berwenang pula untuk melaksanakan (eksekusi) putusannya sendiri.

Penataan daerah tingkat II di Jawa Tengah terus dilakukan dalam rangka rasionalisasi wilayah. Akibatnya Kabupaten Pekalongan dipisah dengan Kotamadia Pekalongan, meskipun pusat pemerintahan kaupaten tetap di wilayah kota Pekalongan. Penataan wilayah kabupaten Pekalongan terus bergulir, dengan berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 21 tahun 1988 kabupaten Pekalongan ditata ulang.

Perubahan wilayah kota Pekalongan dan kabupaten Pekalongan sesungguhnya belum langsung mempengaruhi Pengadilan Agama, karena pusat pemerintahan kedua daerah tingkat II tersebut masih berada di wilayah kotamadia Pekalongan. Akan tetapi setelah Undang-undang nomor 7 tahun 1989 disahkan membawa pengaruh yang cukup penting bagi Pengadilan Agama Pekalongan, terutama menyangkut wilayah yurisdiksinya. Sesuai dengan tuntutan Undang-undang nomor 7 tahun 1989, maka untuk wilayah kabupaten Pekalongan dibentuk Pengadilan Agama Kajen berdasarkan keputusan Presiden nomor 145 tahun 1998 pada tanggal 16 September 1998. Sebab dengan keputusan Presiden tersebut, otomatis terjadi penyempitan wilayah kerja Pengadilan Agama Pekalongan yang semula meliputi kabupaten dan kotamadia Pekalongan, sekarang hanya kotamadia Pekalongan saja. Secara resmi nyata penyempitan wilayah  yurisdiksi Pengadilan Agama Pekalongan terjadi ketika Pengadilan Agama Kajen mulai menerima perkara, setelah diangkat ketua Pengadilan Agama Kajen berdasarkan keputusan menteri agama nomor B.II/448/1999 tanggal 16 Februari 1999. Untuk membantu ketua Pengadilan Agama Kajen, kemudian diangkat pejabat dan staf Pengadilan Agama Pekalongan, yang kebanyakan adalah pejabat dan staf dari Pengadilan Agama Pekalongan.  Pembentukan Pengadilan Agama Kajen tidak hanya menyempitkan wilayah yurisdiksi tetapi juga mengurangi tenaga dari Pengadilan Agama Pekalongan.

 
http://www.pa-pekalongan.go.id/PAPekalongan/index.php/profil-pengadilan-agama/sejarah

Tidak ada komentar: