Rabu, 11 Maret 2015

Fanatisme bermadzhab


Website Resmi Ma`had Aly Situbondo

Sistem Bermazhab dari Mazhab Monolitik pada Multi-Mazhab

Posted December 27, 2013 4:53pm UTC by Tim Redaksi

Sistem bermazhab dari Mazhab Monolitik pada Multi-mazhab

Oleh: H. Nawawi Thabrani

Dalam sejarah, mazhab fiqh tidak lepas dari  dua aliran besar (grand theory), yaitu: ahl al-Hadîst dan ahl al-Ra’yu. Ahl al-hadîst yang dikenal dengan nama Madrasah al-Hijâz danMadrasah al-Madînah, sangat kuat berpegang teguh pada hadis Nabi Saw. Sedangkan ahl al-Ra’y, yang dikenal dengan Madrasah al-Irâqdan Madrasah al-Kûfah, berhadapan dengan masyarakat pluralistik dan kasus yang muncul sangat beragam, sehingga penggunaan ijtihad lebih dominan ketimbang di Madinah. Menurut Schacht (1964: 40) bahwa penulisan hukum Islam dimulai sekitar tahun 767 M, sehingga perkembangan hukum Islam di Irak harus dinisbatkan secara berturut-turut pada Hammad ibn Abi Sulaiman (w. 738 M), Ibn Abi Laila (w. 765 M), Abu Hanifah (w. 767), Abu Yusuf (w. 789) M), al-Syaibani (w. 805 M), dan Auza’i (w. 774M).

Pada akhir abad ke-3 dan penghujung abad ke-4, ulama kemudian bersandar pada mazhab besar secara formalitas, walaupun berbeda dalam hasil ijtihadnya, seperti al-Thahawi berbeda dengan Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan al-Syaibani. Madzhab yang dianut oleh suatu golongan tidak akan terlepas dari tempat dan nama bahkan dari sentuhan kepentingan penguasa, misalnya mazhab Abu Hanifah menjadi mazhab resmi negara penguasa pada masa Abbasiyah. Mazhab ini sebagai rukujukan para hakim ketika mengambil keputusan di pengadilan. Begitu juga dengan kemunculan kitab Al-Risâlah Imam Syafi’i. Kitab ushul fiqh ini, dikarang sebagai respons bagi permintaan Abdur Rahman ibn al-Mahdi yang berisi tentang kajian ma’ani al-Qur’an. Ada dua kitab al-Risalah yang dikarang oleh Imam Syafi’i yang populer dengan nama al-Risalah al-Qadimah dan al-Risalah al-Jadidah. Pada priode ini juga, fiqh mengalami pergeseran paradigma (shift paradigm), dari pendekatan realitas ke teoritis atau induktif ke deduktif, yaitu fiqh iftiradhi (pengandaian). Pada periode ini juga, muncul penulisan hadist, seperti al-Bukhari, Muslim, al-Nasâi, Ibn Mâjah, Abi Dâud, dan al-Tarmizdi. Begitu juga tafsir al-Qur’an, seperti Ibn Jarir al-Thabari.

Selain perubahan paradigma, pada akhir abad ke-4 juga terjadi fanatisme bermadzhab (ta’asshub). Rasyid Ridha (1981: 18), dalam pengantar kitab al-Mughni karya Ibnu Qudamah mengatakan bahwa para pengikut mazhab yang fanatik menolak adanya ruangikhtilaf yang sebenarnya merupakan rahmat. Mereka mengharamkan pengikut mazhab untuk meniru mazhab lain. Bahkan, menurut Mun’im A. Sirry (1995: 146), para pengikut mazhab memerangi ulama-ulama yang mencoba mengembangkan ijtihad. Mereka dituduh membuat madzhab baru, melanggar kesepakatan umum, dan penyebar bid’ah. Hal demikian pernah dialami oleh ulama sekaliber Izzuddin bin Abdussalam, Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim, al-Syaukani, Jamaluddin al-Qasimi. Bahkan Imam Hambali meringkuk di penjara bertahun-tahun, didera, dipukul, didorong dengan pedang, dan diinjak-injak yang terkenal dengan mihnah. Bahkan Imam Syafi’i bermigrasi dari Baghdad ke Mesir tidak lepas dari gejolak politik. Hal itu karena gubernur Baghdad yang beraliran Mu’tazilah tidak sepaham dengan Imam Syafi’i dan secara sosio-politik Mesir, pendapat Imam Syafi’i dapat diterima. Dengan demikian, perbedaan mazhab terjadi pergerseran dari sebuah keyakinan pada ranah politis dan intervensi penguasa.

Kefanatikan bermazhab dapat dilihat dari pendapat ulama Hanafiyah yang pernah mengeluarkan fatwa tentang ketidakabsahan shalat seseorang yang mengikuti mazhab Hanafi jika bermakmum pada pengikut mazhab Syafi’i. Begitu juga sebaliknya. Oleh karena itu, menurut al-Syathibi, pada umumnya, orang yang hanya mempelajari satu mazhab saja, maka akan lari dari mazhab yang bukan mazhabnya dan mengingkari sama sekali. Selama tidak meneliti dalil-dalinya, maka akan terjangkit penyakit akidah karena mengkultuskan sebagian imam mazhab. Padahal perbedaan ulama fiqh, menurut al-Bayumi (1983: 14) hanya ada dua. Pertama,ihtimâl al-nushûsh dipadukan dengan akal dan pemahaman yang berbeda maka akan menghasilkan pendapat yang berbeda. Kedua,nash qath’i dibantu dengan peran akal dan pemahaman yang sama sehingga menghasilkan ijma’ (kesepakatan).

Menurtu A. Qadri Azizy (2004: 37) bahwa dalam perjalanan sejarah, mazhab klasik Irak kemudian bertahan atau mengkristal hanya di kalangan pengikut Imam Abu Hanifah, dan mazhab-mazhab klasik Hijaz, kemudian bertahan atau mengkristal hanya di kalangan pengikut Imam Malik. Dalam proses tranformasi mazhab klasik menjadi mazhab personal, dan ini sudah mulai terjadi pada abad   ke-2 dan menjadi sempurna pada abad ke-3 Hijriah,  nama mazhab yang didasarkan atas nama daerah (Hijaz, Irak, dan Syiria) tidak popular lagi.

Negara Qatar memelopori upaya mendekatkan berbagi mazhab atau aliran dalam dunia Islam. Hal itu dilakukan untuk mencegah terjadinya fitnah dalam internal umat Islam. Muktamar tersebut di selenggarakan tanggal 21-22 Januari 2007 oleh fakultas Syari’ah di Universitas Qatar bekerja sama dengan Universitas Al-Azhar Mesir dan forum internasional pendekatan mazhab yang berpusat di Teheran, Iran. Dalam konferensi yang melibatkan para wakil mazhab dan aliran besar Islam, terutama Sunni dan Syi`ah (Itsnâ Asyâriyah dan Zaidiyah) dan Iibadiyah yang didiskusikan adalah bagaimana mempersempit perbedaan fiqh dan mengecilkan kemungkinan konflik antara pendukung mazhab yang saat ini dianut oleh berbagai belahan bumi Islam. Menurut Dr. Aisyah Mania, Dekan fakultas Universitas Qatar, jurang perbedaan Sunni dan Syi`ah sekarang telah semakin lebar. Oleh karena itu, untuk mendekatkan antara keduanya menjadi masalah yang menjadi latar belakang muktamar itu. Hal ini dilakukan untuk menghindari munculnya konflik antara umat dan golongan Islam lainnya.  Dengan demikian, konferensi tersebut tidak bertujuan mengubah keyakinan yang dimiliki Sunni maupun Syi`ah, tetapi lebih beroreintasi pada upaya membuka jaringan komunikasi dan dialog antarpemeluk berbagai aliran dalam Islam.

Thahir Mahmood (1987: 10) menilai bahwa sebuah prestasi besar yang di lakukan oleh negara muslim adalah terbentuknya unifikasi hukum Islam. Hukum Islam mengenal berbagai mazhab yang disebut dengan mazhab-mazhab hukum. Di dalam kalangan muslim Sunni, dikenal empat madzhab besar; mazhab Hanafi, Syafi`i, Maliki, dan Hambali. Dalam kalangan muslim Syi`ah, dikenal mazhab 12 (Ja`fari), Ismaili, dan Zaidi. Begitu juga mazhab Ibadi  yang dikenal memiliki kekhususan dalam fiqhnya. Mazhab-mazhab tersebut telah diakui di berbagai dunia muslim. Negara muslim Afrika Utara, Aljazair, Libiya, Mauritania, Maroko Sahara, Tunisia dan sebagian Sudan, didominasi oleh mazhab Maliki. Sementara Qatar dan Saudi Arabia, secara resmi menganut mazhab Hambali.

Namun, di belahan dunia Arab lainnya, beraneka ragam mazhab Sunni dianut. Sementara negara-negara di luar Arab, seperti Afganistan dan Turki menganut kuat mazhab Hanafi. Mazhab Isna`ashari (ja`fari) mendominasi negara Iran, sama seperti negara Irak yang didominasi mazhab Sunni. Mazhab Ismai`iliyah dianut di negara Afganistan, daerah Teluk dan Lebanon. Mazhab Zaidi dan Baidi menjadi aturan hukum di negara Yaman dan Oman. Di negara muslim Asia Tenggara seperti Brunai, Indonesia, dan Malasiya, mazhab Syafi`i yang sangat dominan. Sementara di Asia Selatan, seperti Banglades dan Pakistan, mazhab Hanafi menjadi dominan dan mazhab Syafi`i, Istna `Asy`ari Ismailiyah merupakan mazhab minoritas.

Pada hakikatnya, fenomena bermadzhab pada saat ini dapat ditinjau dari beberapa aspek.Pertama, aspek internal bahwa mazhab itu merupakan otonom dan hasil ijtihad independen para ulama secara personal yang tidak mengikat sama sekali kepada kelompok manapun di muka bumi ini.  Jika terjadi perbedaan pendapat yang sampai pada clash(benturan), hal itu hanyalah kefanatikan yang berlebihan bahkan bisa jadi merupakan bias politik. Kedua, aspek eksternal bahwa mazhab merupakan elemen entitas kehidupan umat Islam yang saling terkait dengan elemen lainya, sehingga mewarnai sebuah sistem kesatuan di kalangan umat Islam. Ketiga,  kemajuan teknologi sangat efektif untuk mempermudah dalam mengakses kitab-kitab berbagai mazhab di internet, maka perlu meredefinisi kitab mu’tabarah. Apakah yang dimaksud kitab mu’tabarah itu dari aspek kualitas dalil, kuantitas yang umum dipakai umat Islam, orisinilitas dari pengarang, dan aspek ketokohan, seperti Imam Nawawi, Imam Rofi’i, dan Imam Bukhari. Keempat, banyak para pelajar muslim yang belajar di berbagai belahan negara yang beraneka ragam aliran, mazhab, kultur,  budaya, sosial, ideologi, politik, dan sebagainya. Kelima, multimazhab akan memperkaya khazanah keilmuan atau paling tidak liberalisi terhadap pendapat ulama yang selama ini menjadi ikon kebenaran. Dengan demikian, multimazhab adalah sebuah keniscayaan yang tidak bisa dibendung. Perbedaan pendapat adalah bukan subtansi syari’ah, tetapi ranah ijtihadiyah yang kebenarannya bersifat relatif.

Sejarah menunjukkan bahwa multi-mazhab telah dilakukan oleh ulama terdahulu, sebagaimana dikatakan oleh al-Syak’ah (1970: 425) bahwa dalam internal berbagai mazhab memiliki dua mata rantai yang saling berkaitan satu dengan lainnya. Misalnya, Abu Hanifah yang beraliran Sunni, pernah berguru pada Imam Zaid, seorang panutan Syi’ah Zaidiyah. Sementara Imam Zaidiyah pernah berguru pada Washil ibn Atha’, pencetus Mu’tazilah, sekalipun Zaid tidak setuju dengan konsep Imamah Syi’ah. Begitu juga Imam Malik yang beraliran Sunni pernah belajar pada Ja’far al-Shadiq, seorang tokoh Syi’ah Imamiyah. Dengan demikian, pembatasan terhadap satu mazhab berarti pembatasan pada syari’ah Islam yang fleksebel dan luwes, padahal Nabi Saw. ketika diberi dua pemilihan, maka yang dipilih adalah hukum yang lebih mudah. Pada kenyataannya, banyak terjadi pemaksaan teks pendapat ulama untuk merespons problem kontemporer yang berbeda sosio-kulturnya, bahkan dari aspek dalilnya kadang sangat lemah sekali. Oleh karena itu, bermazhab dari berbagai ulama adalah sebuah keniscayaan baik bermazhab secara qauli maupun manhaji.wa allah ‘alam bi al-shawab. [khr]

Tidak ada komentar: