GERAKAN-GERAKAN SOSIAL-POLITIK DALAM TINJAUAN IDEOLOGIS
DR. H. As’ad Said Ali - Wakil
Ketua Umum PBNU
Islamisme adalah tipologi ideologi besar
kelima yang menjadi orientasi politik kelompok-kelompok gerakan di Indonesia
paska reformasi. Empat tipologi ideologi besar lainnya (Kiri-Radikal,
Kiri-Moderat, Kanan-Konservati dan Kanan-Liberal) beserta varian-variannya
sudah saya sampaikan pada kesempatan sebelumnya; keempatnya itu bersumber dari
pemikiran Barat. Kini akan saya kemukakan mengenai tipologi kelima yakni
Islamisme.
Saya membagi paparan ini dalam dua
bagian.
Bagian pertama,
mengenai varian-varian ideologi Islamisme. Bagian ini memberi gambaran umum
mengenai ciri pokok ideologis, pandangan dan orientasi politik masing-masing
varian, serta kelompok-kelompok gerakan Islam mana yang masuk dalam
kategori masing-masing varian Islamisme tersebut berdasarkan ciri-ciri
pokoknya.
Bagian kedua,
mengenai Islam non-mainstream.
Bagian ini membedah lebih dalam taksonomi gerakan-gerakan Islam tersebut, yang
saya batasi pada Islam baru, yaitu kelompok-kelompok gerakan Islam yang tumbuh
sejak masa reformasi. Alasannya karena kelompok Islam mainstream,
seperti NU, Muhammdiyah, Persis, Mathlaul Anwar dan sejenisnya, telah
banyak diulas; juga karena gerakan Islam baru yang tumbuh diluar jalur mainstream tersebut kehadirannya secara
sosial dan politik sangat fenomenal.
ISLAMISME
Islamisme sebagai ideologi politik pada dasarnya dapat dibagi ke dalam empat kelompok gagasan, yakni Islam modernis, Islam tradisionalis-konvervatif, Tranformisme Islam, dan Islam fundamentalis. Seperti halnya tipologi ideologi besar yang bersumber dari pemikiran Barat, masing-masing ideologi Islamisme itu juga memiliki sejumlah varian.
Islamisme sebagai ideologi politik pada dasarnya dapat dibagi ke dalam empat kelompok gagasan, yakni Islam modernis, Islam tradisionalis-konvervatif, Tranformisme Islam, dan Islam fundamentalis. Seperti halnya tipologi ideologi besar yang bersumber dari pemikiran Barat, masing-masing ideologi Islamisme itu juga memiliki sejumlah varian.
1. Islam Modernis
Ciri utama
ideologi Islam modernis adalah berusaha memajukan Islam melalui pengembangan
gagasan-gagasan rasionalisme, liberalisme, dan modernisme. Ada yang
berorientasi politik dan biasanya kalangan ini mengembangkan partisipasi
politik demokratis di dalam masyarakat muslim melalui partai-partai; ada yang
menempuh jalan kultural dan biasanya berkonsentrasi pada pengembangan
masyarakat sipil dan menolak Islam-politik.
Secara umum
dalam kelompok gagasan ini ada dua varian, yakni liberal dan radikal. Varian
liberal dari Islam modernis percaya bahwa mereka harus mengambil posisi untuk
melakukan sekularisasi politik dan ekonomi. Sekularisasi politik dilakukan
dengan cara memisahkan agama dari negara; sementara sekularisasi ekonomi dengan
cara memisahkan ekonomi dari negara. Contoh yang baik dalam varian
ini adalah Paramadina, yang mendasarkan pandangan keagamaannya dan politiknya
pada fikiran-fikiran Nurcholis Madjid. Mereka memandang bahwa negara merupakan
segi kehidupan duniawi yang dimensinya bersifat rasional dan kolektif;
sementara agama adalah aspek kehidupan yang dimensinya spiritual dan pribadi.
Dengan demikian mereka memisahkan antara kehidupan agama dan negara. Dalam hal
ekonomi pandangannya cenderung kapitalistik dengan mendasarkan pada sebuah
hadits yang berbunyi “Sesungguhnya Allah-lah yang menentukan
harga”, yang
ditafsirkan dalam perspektif Adam Smith sebagai invisible
hands.
Pandangan-pandangan
Nurcholis Madjid demikian banyak dianut kalangan aktivis HMI dan kelompok
modernis lainnya. Selain di NGO, para aktivis varian ini banyak yang aktif di
dunia akademis dan partai politik. Sekalipun
demikian, varian ini tidak mengagendakan gerakannya pada sebuah target politik
tertentu yang didasarkan pada tesis politik-keagamaannya. Gerakan mereka tidak
agresif, tidak terorganisir secara ketat, hanya bergerak mengalir sesuai
perkembangan lingkungannya.
Contoh lain yang paling telanjang adalah
Jaringan Islam Liberal (JIL). Para eksponen kelompok ini benar berasal dari kalangan
tradisionalis (NU); namun dilihat pandangan-pandangannya mereka telah jauh dari
tataran tradisionalisme. Dari segi pemikiran pada dasarnya mereka merupakan
kelanjutan dari pemikiran Nurcholis Madjid dan kawan-kawan. Mereka memandang
bahwa negara harus netral dari pengaruh agama apapun; sementara agama harus
berada didalam wilayah privat. Tegasnya, menurut JIL, negara haruslah bersifat
sekuler; negara adalah sebagai penjaga harmoni interaksi antar kelompok di
tengah masyarakat untuk menjamin nilai-nilai kebebasan dan demokrasi.
Sementara
itu varian radikal dari modernisme Islam, sebaliknya menolak westernisasi dan sekularisasi. Penolakannya
terhadap paradigma sekularisasi terutama terletak pada sifat deterministiknya,
bahwa dunia harus dibebaskan dari nuansa keagamaan, dan mustahil sebuah
masyarakat menjadi modern kalau tidak sekuler dulu. Inilah yang ditolak.
Mengenai paradigma rasionalisme mereka menerima, bahkan baginya Islam
harus dikembangkan dengan gagasan-gagasan rasionalisme. Varian-varian radikal
ini banyak yang kemudian terjatuh menjadi fundamentalis anti-Barat. Contoh varian ini banyak kita temukan
pada kelompok-kelompok Islam transnasional yang berkembang paska reformasi,
salah satunya Ikhwanul Muslimin Indonesia. Islam transnasional yang saya maksud
adalah kelompok-kelompok gerakan Islam yang keberadaannya menjadi bagian dari
gerakan Islam internasional.
2. Islam Tradisionalis-Konservatif
Ini adalah jenis ideologi Islamisme
konservatif, meskipun secara politik bisa saja mengambil bentuk-bentuk modern
atau fundamentalis. Inilah jenis Islam arus-utama yang menjadi basis
organisasi-organisasi sosial keagamaan yang besar, seperti Muhammadiyah dan NU.
Muhammadiyah selama ini memang disebut kelompok modernis karena sifat paradigma
keagamaannya cenderung pada rasionalisme; namun dalam perspektif ini, ideologi
politiknya adalah konservatif yang terlihat dari bahwa sikap dasar politiknya
lebih mengedepankan sikap moderat, kooperatif dan tidak oposan serta bisa
berakomodasi ke dalam negara nasional. Sementara NU, sekalipun tradisi
pemikiran politiknya selalu berubah sesuai tantangan yang dihadapi, namun
pandangan dasarnya adalah tetap, bahwa prinsipnya negara dan pemerintah wajib
ditaati dengan catatan sepanjang syariah dijamin dan kekufuran (pelanggaran terhadap
hukum dan sejenisnya) dicegah.
Gerakan-gerakan keagamaan mainstream lainnya, seperti Perti, Persis,
dan sejenisnya, masuk dalam kategori varian ini. Sikapnya yang bisa
berakomodasi ke dalam negara-bangsa, barangkali berhubungan dengan kesejarahan
kelompok-kelompok gerakan keagamaan arus-utama ini; bahwa NU dan
Muhammdiyah misalnya, merupakan bagian dari organisasi-organisasi yang terlibat
langsung dalam perjuangan kemerdekaan dan pendiri negara-bangsa ini, dan oleh
karena itu menjadi salah satu “pemegang saham” negara Republik Indonesia. Aspek
kesejarahan demikian mendorong kelompok-kelompok gerakan ini dalam merespons
kebijakan-kebijakan pemerintahan lebih mendasarkan pada cita-cita politik
kebangsaan, dan NKRI adalah final. Karena itu varian tradionalis-konservatif
ini juga cenderung a-politis mengenai isu politik sehari-hari dan
memiliki preferensi untuk memilih gerakan Islam kultural ketimbang
Islam-politik.
Varian neo-tradisionalis, sebaliknya
cenderung menolak berakomodasi ke dalam entitas negara-bangsa karena
mengingingkan entitas umat universal di bawah kekhalifahan dunia. Contoh yang
paling gamblang dari varian ini adalah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Namun
gagasan Pan-Islamisme semacam ini lebih sedikit muncul di kalangan tradisionalis-konservatif
ketimbang yang muncul di kalangan fundamentalis. Masih dalam kategori varian
ini, terdapat kelompok lain yang menolak berakomodasi ke dalam negara-bangsa
tetapi, yang membedakan dengan kelompok yang disebut sebelumnya, kelompok ini
tidak memiliki cita-cita politik tertentu, kecuali semangat pembentukan
komunalisme global. Kelompok ini bersikap a-politis secara total
karenanya preferensinya memilih gerakan Islam kultural ketimbang
Islam-politik, dapat disebut disini misalnya Darul Arqam dan Jamaah Tablig.
Tiga kelompok tersebut, Hizbut Tahrir, Jamaah Tablig dan Darul Arqam,
ketiganya termasuk yang saya sebut sebagai Islam transnasional, dan keduanya
merupakan Islam non-mainstream.
3.
Transformisme Islam
Pengaruh
pemikiran kiri di dalam Islam muncul di Indonesia di bawah payung Transformisme
Islam. Dalam paham mereka ini, Islam harus menjadi kekuatan progresif dan
transformatif dengan misi utama untuk menegakkan keadilan, membela
sektor-sektor masyarakat yang marginal dan tertindas, dan melawan kezaliman
dalam politik maupun ekonomi. Varian ini memandang modernisme dengan ideologi
pembangunannya telah menghasilkan eksploitasi dan marjinalisasi terhadap kaum
miskin, dhu’afa dan mustadh’afin; dan pada gilirannya kemiskinan mengakibatkan
banyak ummat manusia tidak mampu mengekspresikan harkat dan martabat
kemanusiannya. Modernisasi melahirkan struktur sosial yang tidak adil dan
terjadinya konsentrasi kekuasaan, modal dan informasi hanya pada sekelompoki
elite, dan mereka inilah yang memonopoli kekuasaan dan mengontrol mereka yang
tidak diuntungkan.
Gagasan-gagasan
penting Islam transformis ditemukan dalam beberapa pemikiran aktivis Muslim
yang bergerak di dalam organisasi-organisasi masyarakat sipil maupun NGO
seperti Moeslim Abdurrahman dan Masdar Mas’udi. Di tingkat internasional
tokoh-tokoh seperti Ali Asghar Engineer (India), Ali Shariati (Iran), serta
Hassan Hanafi (Mesir). Mereka berorientasi politik sekaligus kultural dalam
gerakannya, tidak punya problem dengan entitas negara nasional, sangat pluralis,
inklusif, dan memperjuangkan demokrasi.
Di
Indonesia, para eksponen varian transformisme Islam hanya sedikit yang aktif
dalam partai politik. Mereka
yang berorientasi politik banyak membangun jaringan dengan gerakan-gerakan
kelompok sosialis dan kelompok kiri lainnya. Di kalangan ini pandangan
politik varian transformisme Islam dikenal sebagai sosialisme Islam dan umumnya
menjadi motor ideologis bagi kelompok-kelompok gerakan yang berbasis Islam.
4. Islam Fundamentalis
Sumber-sumber ideologis fundamentalisme
di dalam Islam sangat beragam. Mereka juga sering disebut sebagai kelompok neo-revivalis, karena mengagendakan
kebangkitan hegemonis Dunia Islam. Dalam setting kontemporernya, akar
fundamentalisme itu bisa ditelusuri pada permusuhan Barat terhadap dunia
Muslim, misalnya sebagaimana dirumuskan oleh ramalan Huntington tentang clash
of civilization. Mereka menolak sekularisasi, westernisasi,
dan bahkan modernisasi. Penyebab maraknya fundamentalisme Islam adalah
berkembangnya paham-paham keagamaan terutama yang dipasok oleh wahabisme.
Mereka juga cenderung menolak demokrasi, dan kemudian bergerak di bawah tanah
serta berorientasi sangat-politis dengan basis jamaah-jamaah yang eksklusif. Di
kalangan tertentu gerakan-gerakan fundamentalis, mereka menginginkan tegaknya
kepemimpinan politik universal.
Kelompok ini secara keagamaan disebut
Salafi; mereka ingin menerapkan Islam sebagaimana kalangan salaf (kalangan terdahulu) dalam
mengamalkan ajaran Islam. Mereka berusaha menggunakan metode (manhaj) salafy dalam memahami Islam dengan
ciri utama kuatnya pendekatan tekstualis. Argumen seperti ini dapat kita
temukan dalam setiap gerakan Salafi, baik itu pada masa kuno (masa sahabat
nabi) ataupun masa modern sekarang ini. Kerangka gagasannya adalah penolakan
terhadap realitas “sekarang” dan keharusan mengubah realitas, sesuai dengan
keagungan dokrin (dengan mengambil sampel sejarah masa lalu yang dipilih paling
sesuai dengan doktrin). Karena kuatnya referensi ke masa lalu, maka dengan
sendirinya kurang memberi tempat pada pertimbangan realitas sekarang.
Secara simbolis, berkembangnya gerakan
Salafi ini terlihat bahwa sekarang ini gejala yang nampak adalah adanya
simbol-simbol baru Islam yang lazim di Timur Tengah, digunakan pula oleh
masyarakat muslim Indonesia. Munculnya simbol ini seiring dengan pemahaman baru
tentang Islam di mana wanita berjilbab misalnya, harus menggunakan cadar
(penutup wajah), kalaupun pria berbaju putih dengan model celana panjang di
atas mata kaki, plus janggut yang panjang. Penggunaan simbol, yang tidak
memasyarakat tersebut, tentu saja bukan sesuatu yang mudah untuk diperkenalkan,
kecuali memiliki militansi yang cukup untuk memperkenalkan simbol baru.
Gerakan tersebut tentu saja tidak sebatas
simbolisme belaka. Di luar itu, masih terdapat sejumlah gerakan Salafi lainnya,
seperti “gerakan Imam Samudra”, gerakan Tarbiyah, Hisbut Tahrir dan sebagainya.
Apabila dicermati lebih jauh, benang merah dari beragam gerakan tersebut adalah
gerakan yang tumbuh di Timur Tengah dengan ciri dominan, kuatnya interpretasi
tekstualis. Meskipun demikian, sebagaimana disinggung di muka, model pemahaman
gerakan salafi di Timur Tengah, tentunya tidak serta merta dapat digunakan
dalam memotret gerakan salafi Indonesia. Selalu saja ada partikularisme. Hal ini
semakin signifikan apabila melihat salah satu ciri gerakan salafi yang lebih
tertutup dibandingkan gerakan Islam modern.
Taksonomi Gerakan
Pada bagian ini saya akan menyampaikan
taksonomi gerakan-gerakan Islam non-mainstream. Hal ini penting karena ketika masa
reformasi muncul, salah satu kekuatan sosial yang tidak terduga adalah
menjamurnya gerakan Islam baru di Indonesia. Gerakan-gerakan ini tumbuh di luar mainstream gerakan Islam Indonesia,
seperti Muhammadiyah, NU dan sejenisnya. Kemunculannya cukup mencengangkan
karena model gerakannya relatif mampu menarik minat sebagian kalangan Islam di
Indonesia.
Secara umum dan tentatif, tumbuhnya gerakan-gerakan baru non-mainstream ini mengambil dua bentuk. Pertama, gerakan non-salafi yang mengikatkan diri dengan
semangat mewujudkan doktrin secara kaffah dalam arti literal. Kedua, gerakansalafi yang
berusaha mewujudkan cita-cita sosial politik Islam yang berbeda dengan
formulasi gerakan Islam mainstream. Dua gerakan ini tumbuh secara bersamaan dan
saling bersinggungan, baik dengan sesama gerakan non-mainstream maupun dengan gerakan mainstream.
Bentuk gerakan politik kelompok non-mainstream dapat dibagi ke dalam tiga
kategori, yaitu jihadis, reformis, dan rejeksionis. Jihadis adalah bentuk aksi politik berupa tindakan
kekerasan atas nama jihad. Reformis adalah bentuk aksi politik berupa tekanan
terhadap pemerintah tanpa melakukan kekerasan yang akan mengganggu stabilitas
nasional dan menuntut hak-hak sektarian. Rejeksionis adalah bentuk aksi politik
berupa penolakan terhadap sistem demokrasi dan melakukan tekanan-tekanan
terhadap berbagai kebijakan. Selanjutnya akan diuraikan bagaimana gerakan
politik kelompok-kelompok non-mainstream dalam praktek, bagaimana bentuknya,
dan bagaimana strategi dan langkah-langkahnya.
Gerakan-gerakan Islam baru non-mainstream dalam kelompok Non-Salafi adalah:
Darul Arqam, Jama’ah Tabligh, Ihwanul Muslimin, Isa Bugis, IJABI (Ikatan Jamaah
Ahlu al Bait Indonesia), FPI (Front Pembela Islam), DI (Darul Islam), Hizbut
Tahrir, dan lain-lain. Sedangkan yang masuk dalam kelompok Salafi adalah: MMI
(Majelis Mujahidin Indonesia), Laskar Jihad, Jamaah Islamiyah, dan group-group
Informal seperti Abdul Hakim Haddad, Yazid Jawz, Husein As-Sewed dan lain-lain;
sementara yang masuk kelompok-kelompok Pengajian, diantaranya: Daurah, Halaqah,
dan lain-lain.
Dibawah ini saya uraikan taksonomi
gerakan kelompok-kelompok tersebut. Namun karena tidak mungkin menguraikan
semuanya, maka hanya beberapa saja yang saya kemukakan pada kesempatan ini,
yaitu kelompok-kelompok gerakan Islam baru yang paling menonjol saja.
Non-Salafi
1. Ihwanul Muslimin
1. Ihwanul Muslimin
Gagasan Ikhwanul Muslimin (Ikhwan/IM)
sudah lama diperkenalkan oleh sejumlah kalangan akademisi di Indonesia, namun
gerakan Ikhwan baru mulai tumbuh sejak awal dekade 1990-an. Embrionya adalah
munculnya kelompok Fikrah Harakah. Kelompok yang sudah berdiri sejak 1986 ini,
menjelang dekade 1990-an mulai aktif menggodok kemungkinan pengembangan gerakan
ikhwan di Indonesia. Tokoh penting pada fase awal ini adalah sejumlah mantan
aktivis Darul Islam (DI).
Meskipun belum menggunakan nama Ikhwanul
Muslimin (IM), substansi ajaran ikhwan telah disebarkan melalui kampus-kampus.
Pilihan ini bukanlah hal yang unik, sebab IM di Mesir juga mendasarkan basis
massa gerakan di kalangan akademisi. Untuk Indonesia, format yang digunakan
adalah membentuk kelompok Usroh. Eksperimen ini cukup
berhasil. Terbukti dengan dikuasainya lembaga dakwah kampus oleh kelompok Usroh,
setelah sebelumnya didominasi oleh aktivis HMI, PMII dan PII.
Di samping kalangan akademisi, rekrutmen
kader lainnya adalah pelajar-pelajar Indonesia yang belajar di Arab Saudi dan
Mesir. Terutama yang berguru kepada tokoh-tokoh Ikhwan di kedua negara
tersebut. Mereka bisa berasal dari LIPIA/LPBA, ataupun langsung belajar di Timur
Tengah. Mereka yang belajar ke Timur Tengah ini umumnya menduduki posisi
penting dalam jamaah ikhwan di Indonesia.
Setelah basis massa kalangan akademisi
tergarap dan mulai aktifnya kader lulusan Timur Tengah, gerakan Ikhwan kemudian
dikembangkan dengan beragam jalur. Secara umum ada dua jalur yang kini sudah
kokoh yaitu:
a. Jalur
Tarbiyah/Jamaah.
Jalur ini berkonsentrasi dalam
mempersiapkan kader pada level grassroot yang nantinya akan menjadi
basis massa yang paling solid. Cara yang digunakan adalah membentuk halaqoh-halaqoh dengan menggunakan sistem sel. Materi
pengajian yang dikembangkan dalam halaqoh seperti panduan pembinaan kader
Islam dan dakwah, manajemen aktivitas tarbiyah dan seterusnya. Materi-materi
tersebut dikemas dalam Manhaj Tarbiyah Islamiah.
b.
Jalur Siyasah/ Kepartaian.
Jalur ini digunakan sebagai salah satu
aktualisasi kader dalam dunia politik. Gagasan-gagasan yang telah dimatangkan
dalam jalur jamaah diterjemahkan dalam lapangan politik kepartaian. Karena
itulah partai dianggap sebagai kelanjutan dari strategi dakwah.
Dua jalur tersebut dikendalikan oleh
Maktab Riqobah Al Ammah (MRA) MRA mempunyai stuktur lain yang menopangnya
seperti Mas’ul Maktab Tanfidzi, Aminul Aam, Amin Maktab, dan seterusnya. MRA
juga mengendalikan sebuah institusi semacam “polit biro” jalur siyasah/kepartaian.
Mekanisme yang digunakan adalah adanya struktur Majelis Dewan Syuro yang
mempunyai kekuasaan tertinggi dalam partai. Seluruh anggota MRA adalah anggota
Majelis Dewan Syuro. Hanya sedikit sekali anggota Mejelis Dewan Syuro yang
bukan anggota MRA.
Dalam pandangan MRA, kesempurnaan kader
tidak hanya diukur dari kualifikasi spiritual, sebagaimana doktrin dasar
ikhwan. Lebih dari itu, kesempurnaan kader harus teraktualisasi dalam kehidupan
nyata. Dalam konteks inilah tarbiyah siyasah/kepartaian, hanyalah salah satu
elemen aktualisasi dakwah. Aktualisasi lainnya sangat beragam. Secara lebih
detail, aktualisasi dakwah gerakan ikhwan di Indonesia, dapat dikelompokkan
sebagai berikut:
a.
Tarbiyah umum/halaqoh.
Rekrutmen umum kader untuk pemula. Dari
sini kader disalurkan dalam beragam tarbiyah yang sudah tersedia.
a.
Tarbiyah siyasah/kepartaian. Diaktualisasikan dalam partai.
Dikendalikan langsung oleh MRA
b.
Tarbiyah amaliah/dalam bidang bisnis. Diaktualisaikan dalam beragam jenis
usaha. Data base jenis usaha/produk dalam naungan
jaringan ikhwan dikenal dengan nama green leaft.
c.
Tarbiyah dalam bidang profesional. Dalam jalur ini kegiatan dilakukan dengan
membentuk kelompok-kelompok kecil di kantor-kantor, umumnya perkantoran swasta,namun
tidak sedikit pula di kantor pemerintahan. Sasaran ofensifnya adalah kegiatan
keagamaan di kantor, dan untuk ini mereka sering untuk berusaha “menguasai”
kepengurusan atau kegiatan masjid di perkantoran tersebut.
d. Tarbiyah
asykariah/paramiliter. Jalur ini ini sudah lama dirintis yaitu
sejak tahun1996. Argumen utamanya adalah pentingnya menyiapkan sayap militer di
lingkungan jamaah. Dalam bentuk yang lebih sederhana, pendekatan ini sudah
diterapkan dalam metode liqo, yaitu pada tahap mukhayyam di mana para kader harus mengikuti
latihan fisik dan latihan bela diri. Karena bagian dari liqo, maka secara otomatis mukhayyam diselenggarakan
oleh seluruh jajaran jamaah, seperti DPD dan Deppera.
Adapun tarbiyah asykariah, adalah jalur
khusus yang akan mengembleng kader dalam latihan para militer. Pelatihan tarbiyah
asykariah umumnya
dilakukan ditempat-tempat tertentu yang relatif tertutup, seperti Gunung Salak,
Gunung Pangrango, Gunung Puntan (Bandung Selatan) dan sebagainya.
Di luar aktivitas tarbiyah
asykariah (latihan paramiliter), terdapat suatu kelompok khusus
yang menerjemahkan gagasan jihad fisik gerakan ikhwan. Jalur ini sebenarnya
merupakan jalur tertutup dalam struktur Ikhwan Indonesia. Aktivitas utama
mereka sekarang ini diantaranya adalah menjadi instruktur untuk pelatihantarbiyah asykariah (paramiliter)
Kelompok ini dalam banyak hal mirip
dengan kelompok serupa yang ada di Mesir, (kelompok Uzaimin, sayap jihad ikhwan
Mesir) ataupun Palestina (barikade Izzudin Al Qassam, sayap militer Hammas).
Hizbut Tahrir
Boleh dikatakan, awal mula masuknya
gagasan Hizbut Tahrir dilakukan secara tidak sengaja. Adalah Kiai Mama Abdullah
bin Nuh, pemilik pesantren AL-Ghazali Bogor mengajak Abdurahman Albagdadi,
seorang aktivis Hizbut Tahrir yang tinggal di Australia untuk menetap di Bogor
pada sekitar 1982-1983.
Tujuannya semata untuk membantu
pengembangan pesantren Al Ghazali. Nah, saat mengajar di pesantren
tersebut, Abdurahman Albagdadi mulai berinteraksi dengan para aktivis masjid
kampus dari Mesjid Al-Ghifari, IPB Bogor. Dari sini pemikiran-pemikiran
Taqiyuddin mulai didiskusikan. Dibentuk kemudian halaqah-halaqah(pengajian-pengajian
kecil) untuk mengeksplorasi gagasan-gagasan HT. Buku-buku HT seperti Syaksiyah
Islamiyah, Fikrul Islam, Nizhom Islam mulai dikaji serius.
Para aktivis kampus inilah yang mulai
menyebarkan gagasan HT. Melalui jaringan Lembaga Dakwah Kampus, ajaran HT
menyebar ke kampus-kampus di luar Bogor seperti Unpad, IKIP Malang, Unair
bahkan hingga keluar Jawa, seperti Unhas.
Satu dekade kemudian, tepatnya pada
dekade 1990-an ide-ide dakwah Hizbut Tahrir mulai disampaikan kepada masyarakat
umum dengan cara door to door. Tahappertama, penyampaian dakwah
pada orang tua mahasiswa. Kedua, seiring dengan waktu lulusnya
para mahasiswa, maka aktivitas dakwah mulai bergerak di perkantoran, pabrik,
dan perumahan. Dakwah inipun dilakukan selama satu dekade, hingga dekade
2000-an.
Dakwah Hizbut Tahrir semakin mendapat
kesempatan seiring adanya perubahan iklim politik di Indonesia: reformasi.
Namun demikian, tidak serta merta Hizbut Tahrir mendeklarasikan dirinya sebagai
gerakan Islam yang terbuka. Namun seiring berkembangnya sambutan masyarakat,
sebuah konferensi Internasional soal Khilafah Islamiyah kemudian digelar, yaitu
pada Maret tahun 2002, di Istora Senayan. Konferensi ini menghadirkan
tokoh-tokoh Hizbut Tahrir dari dalam dan luar negeri sebagai pembicara. Di
antaranya KH dr Muhammad Utsman, SPFK (Indonesia), Ustadz Ismail Al-Wahwah
(Australia), Ustadz Syarifuddin M Zain (Malaysia), dan KH Muhammad
Al-Khaththath (Indonesia).
Konferensi tersebut juga menjadi penanda
lahirnya organisasi Hizbut Tahrir Indonesia, dan sejak itu mulai
memproklamirkan diri sebagai organisasi politik yang berideologikan Islam.
Dalam konteks HT, pembentukan partai berarti dicapainya tahap kedua perjuangan
yaitu tahap berinteraksi dengan masyarakat (marhalah tafaul ma’ al ummah).
Tujuan Politik
Bertitik tolak dari pandangan Taqiyuddin
An-Nabhani bahwa dunia Islam harus terbebas dari segala bentuk penjajahan, maka
mendirikan Khilafah Islamiyah menjadi sebuah keharusan. Khilafah yang dimaksud
adalah kepemimpinan umat dalam suatu Daulah Islam yang universal di muka bumi
ini, dengan dipimpin seorang pemimpin tunggal (khalifah) yang dibai’at oleh
umat.
Dengan tujuan untuk mendirikan Khilafah
Islamiyah, maka Hizbut Tahrir telah memproklamirkan dirinya sebagai kelompok
politik (parpol), bukan kelompok yang berdasarkan kerohanian semata, bukan
lembaga ilmiah, bukan lembaga pendidikan (akademis) dan bukan pula lembaga
sosial. Dengan atas dasar itulah maka seluruh aktivitas yang dilakukan Hizbut
Tahrir bersifat politik, baik dalam mendidik dan membina umat, dalam aspek
pemikiran dan dalam perjuangan politik.
Adapun alasan mengapa perlu mendirikan
khilafah Islamiyah karena semua negeri kaum muslimin dewasa ini, tanpa kecuali,
adalah termasuk kategori Darul Kufur, sekalipun
penduduknya kaum muslimin. Karena dalam kamus Hizbut Tahrir, yang dimaksud Darul
Islam adalah daerah
yang di dalamnya diterapkan sistem hukum Islam dalam seluruh aspek kehidupan,
termasuk dalam urusan pemerintahan, dan keamanannya berada di tangan kaum
muslimin, sekalipun mayoritas penduduknya bukan muslim. Sedangkan Darul Kufur
adalah daerah yang di dalamnya diterapkan sistem hukum kufur dalam seluruh
aspek kehidupan, atau keamanannya bukan di tangan kaum muslimin, sekalipun
seluruh penduduknya adalah muslim.
Konteks Ideologi dan Perkembangan di
Timur Tengah
Sesungguhnya, dasar utama gagasan HT
adalah seruan untuk menerapkan Islam secara komprehensif. Kemunduran Islam,
kata Taqiyuddin (pendiri gerakan HT), disebabkan oleh ditinggalkannya penerapan
Islam secara kaffah. “Kemunduran mulai
tampak tatkala mereka meninggalkan dan meremehkan ajaran agama, mengabaikan qiyadah
fikriyah” tandas
Taqiyuddin pada tahun 1953. Oleh karena itu, untuk membangkitkan kembali
keagungan Islam, solusi tunggalnya adalah menerapkan seluruh sistem Islam
secara sempurna, tanpa ada kompromi dengan sistem-sistem lainnya.
Usaha revivalisme semacam ini, dalam
beberapa segi memang bersesuaian dengan prinsip-prinsip yang dikembangkan
gerakan Ikhwanul Muslimun (IM). Kesesuaian ini dapat dilacak dari latar
belakang Taqiyuddin di mana pada waktu belajar di Al Azhar, Mesir, Taqiyuddin
pernah bergabung dengan jamaah IM. Seperti akan kita lihat nanti, pada periode
awal perkembangannya ternyata gerakan HT didukung oleh para aktivis IM di
Palestina.
Namun, IM dan HT mempunyai titik
perseberangan yang krusial. Daulah Islamiah yang digagas IM sama sekali
tidak memasukkan prinsip kekhilafahan. Bahkan, Daulah Islamiah dimasukkan dalam
kerangka nation-state. Pengabaian prinsip ini ditolak
Taqiyuddin. Baginya, semangat kembali ke Islam secara total tidak mungkin
dilaksanakan tanpa adanya penerapan sistem politik kekhalifahan. Hanya dengan
penerapan sistem ini, nilai-nilai Islam dalam diwujudkan dalam masyarakat
muslim.
Yang dimaksud sistem kekhalifahan adalah
suatu bentuk tunggal negara Islam yang meliputi seluruh wilayah penduduk Muslim
(umat) tanpa ada batas nation-state –konsep yang juga ditolakTaqiyuddin
karena dianggap sangat lemah. Konsep yang diacu adalah model kekhalifahan
masa Khulafaur Rasyidin, di mana seorang khalifah diangkat melalui mekanisme
baiat. Bagi Taqiyuddin, konsep kekhalifahanlah yang mampu dan terbukti
mendorong kejayaan Islam. Oleh karena itu, perjuangan mewujudkan kembali
kekhalifahan adalah neccessary condition bagi terwujudnya masyarakat
muslim.
Konsep ini ditawarkan sebagai jawaban
dari kemunduran Islam menghadapi penetrasi Barat. Sepintas, tawaran ini
terkesan kembali ke masa lalu. Namun, para aktivis HT mampu mengeksplorasi
gagasan ini sebagai ideologi perlawanan terhadap kolonialisme ataupun bentuk
dominasi Barat lainnya. Tawaran ini menjadi kontekstual karena disebarkan di
tengah masyarakat muslim yang merasa kecewa di tengah hegemoni kekuasaan Barat.
Gagasan ini makin memperoleh tempat tatkala dihadapkan pada kegagalan
eksperimen demokrasi ataupun bentuk negara modern lainnya di mana mayoritas
warga negaranya adalah muslim.
Untuk itu, HT mengusung ideologi politik
kekhalifahan. Dalam pandangannya, kekhalifahan adalah prototipe sistem
pemerintahan Islam yang terbukti operasional selama berabad-abad. Untuk
menguatkan gagasan ini, HT mengeksplorasi glorifikasi atau keagungan
sejarah Islam masa kekhalifahan yang dipandang bermula dari Nabi Muhammad dan
berakhir dengan keruntuhan Khilafah Usmani di Turki pada tahun 1924.
Gagasan-gagasan HT, sejak awal memang
kurang diterima secara luas. Kelompok terbesar yang menentangnya
adalah para aktivis pembaharuan Islam yang mengadopsi gagasan-gagasan
modern, termasuk mereka yang memperjuangkan nasionalisme Arab, mereka yang
mengadopsi paham sosialisme dan sebagainya. Kelompok kedua yang resistensinya
kurang kuat adalah Ikhwanul Muslimun (IM). Pada mulanya, tokoh-tokoh IM,
seperti Hasan Albana dan Sayyid Quthub berusaha merangkul Taqiyuddin an-Nabhani
dalam barisan IM. Namun Taqiyuddin menolaknya dengan alasan IM dipandang
terlalu moderat, utamanya karena perjuangan IM masih menggunakan kerangka nation-state, bukan kekhalifahan.
Karena itu, sejak awal dideklarasikan
pada tahun 1953 di Al Quds (saat itu dibawah yurisdiksi Yordania yang dikuasai
Inggris) HT harus berseberangan dengan pemerintahan yang berkuasa dan juga para
aktivis nasionalisme Arab.
Pemerintah Yordania segera melarangnya
dan melakukan penangkapan terhadap sejumlah pengurus inti, tidak lama setelah
partai ini dideklarasikan. Taqiyudin bersama Ustadz Dawud Hamdan ditangkap di
al-Quds; sementara Munir Syaqir dan Ghanim Abduh ditangkap di Amman; lalu
beberapa hari berikutnya, Dr Abd al-Aziz al-Khiyath juga ditangkap; semuanya
dijebloskan ke penjara. Berkat petisi sekelompok wakil rakyat, pengacara,
pebisnis, dan sejumlah orang yang memiliki kedudukan, Taqiyuddin kemudian
dibebaskan.
Sejak saat itu, HT harus hidup secara underground, menjadi gerakan clandestine di Yordania dan Syria. Pada November
1953, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani berpindah ke Damaskus. Saat itu intelijen
Syiria membawa Taqiyuddin ke perbatasan Syria-Lebanon. Atas bantuan Mufti
Lebanon, Syaikh Hasan al-Alaya, akhirnya beliau diizinkan masuk ke Lebanon yang
sebelumnya melarangnya. Taqiyuddin lalu menyebarkan pemikirannya di Lebanon
dengan leluasa sampai tahun 1958, yaitu ketika pemerintah Lebanon mulai
mempersempit kehidupannya karena merasakan bahaya dari pemikirannya. Akhirnya,
Taqiyuddin berpindah dari Beirut ke Tharablus dan terpaksa mengubah penampilan
agar leluasa menjalankan kepemimpinan HT. Sejak itulah, gagasan dan gerakan HT
harus disebarkan secara diam-diam. Dan secara diam-diam pula, pengaruhnya mulai
menyebar ke kawasan Timur Tengah lainnya, terutama di Syria, Lebanon dan
Yordania.
Meskipun demikian, Yordania dan Palestina
adalah adalah tempat utama kaderasisasi dan pengembangan HT. Pergolakan
Palestina yang tidak ada henti-hentinya menjadi ladang subur persemaian gagasan
dan gerakan. Hal ini karena, pertama, Taqiyuddin penggagas dan ketua
pertama HT lebih banyak bergerak di kawasan ini, sehingga memungkinkan
untuk selalu melakukan kaderisasi. Kedua, Palestina membutuhkan
kerangka ideologi yang lebih kuat guna memperjuangkan pembebasan tanah airnya
dari Yahudi. Dalam konteks inilah gagasan dan gerakan HT menemukan ladang
persemaiannya. Gerakan ini menawarkan kerangka alternatif yaitu membangun daulah
Islamiyah berdasarkan
prinsip kekhalifahan. Menolak segala sesuatu yang berbau Barat, termasuk konsep nation-state yang saat itu mulai diimplementasikan
di sejumlah negara Timur Tengah. Penolakan ini tampaknya bertemu dengan
realitas politik saat itu, di mana sejumlah negara Timur Tengah justru kurang all
out dalam membantu
perjuangan Palestina.
Tentu saja
HT tidak sendirian. Pengaruh
gerakan-gerakan Islam lainnya juga cukup berperan dalam meneruskan perlawanan
terhadap Israel. Kekuatan Ikhwanul Muslimun umpamanya, tidak mungkin bisa
diremehkan dalam memberikan kontribusi semangat jihad di kalangan penduduk
Palestina.
Pengaruh HT ini sudah tampak dalam
organisasi PLO. Khaled Hassan adalah salah satu pendiri PLO yang juga
pendiri HT. Begitu Juga Sheh Assad Tamimi, ulama yang sangat dipandang di
Palestina. Mereka adalah kader-kader HT yang cukup disegani. Kader utama HT
lainnya adalah Sheh Abdul Qodim Zallum. Ulama yang juga berasal dari Palestina
ini nantinya mewarisi kepemimpinan HT pasca meninggalnya Taqiyuddin pada tahun
1977. Tokoh penting lainnya adalah Sheh Ahmad Tamimi, tokoh spiritual
Palestina. Mereka semua umumnya mengenal terlebih dahulu gagasan-gagasan IM.
Namun, selanjutnya lebih memilih mengembangkan gagasan kekhalifahan. Pengaruh
HT tersebut cukup terasa di dalam tubuh “Palestinian Islamic Jihad”. Kelompok
jihad ini berbasis di Syiria yang didirikan oleh Shiekh Abdullah Ramadan
Shallah dan Fathi Shaqaqi. Para aktivis HT umumnya memback-up kelompok ini.
Di samping mengilfiltrasi PLO dan gerakan
lainnya, seperti Hisbullah dan Hammas, aktivis HT juga berusaha mempengaruhi
sejumlah proses politik di Yordan. HT melakukan penyusupan ke tubuh Angkatan
Bersenjata Yordan pada tahun 1969 dalam upaya menggulingkan kekuasaan (kudeta).
Namun upaya ini mengalami kegagalan. Hal yang sama dilakukan pada tahun 1971. Penyusupan
ke tubuh militer juga dilakukan di Selatan Irak pada tahun 1972. Lagi-lagi,
usaha ini mengalami kegagalan.
Sejumlah kudeta dan pembunuhan politik di
Mesir, Jurdan, Tunisia, dan beberapa negara Timur Tengah lainnya pada dekade
1970-an ditengarai melibatkan aktivis HT. Kudeta di Mesir tahun 1974 yang
melibatkan Salih Sirriyah dan pembunuhan Anwar Saddat 1984, diduga melibatkan
aktivis HT. Begitu juga usaha pembunuhan terhadap raja Husen, Jordan.
Kegagalan berturut-turut dalam sejumlah
perebutan kekuasaan tersebut menyebabkan perkembangan gerakan HT semakin
menurun. Pamornya memang kalah dibanding gerakan lainnya. Namun, Taqiyuddin
tampaknya bersikukuh dengan garis politiknya untuk bergerak secara
non-kooperasi dengan kekuatan yang menggunakan instrumen Barat. Hal ini karena
HT memandang bahwa metode perjuangan tidak boleh dikompromikan.
Sifat radikalisme gagasan tersebut,
karena dalam doktrin HT, penerapan syariah tidak bisa dilakukan secara
bertahap. Abdul Qodim Zallum, pengganti Taqiyuddin, menyebutkan bahwa
penerapan syariah harus bersifat menyeluruh dan sekaligus (one
for all). Dengan
mengutip beberapa hadist, Zallum berpendapat bahwa memerangi penguasa kufur
adalah kewajiban. Penguasa kufur diidentifikasi adalah mereka yang tidak
menerapkan hukum Islam atau hanya menerapkan sebagian. Semua itu hajib
diperangi dengan mengangkat senjata.
Meskipun gerakan HT terkonsentrasi di
Yordania, Palestina dan Siria, melalui kader-kadernya, gagasan kekhalifahan
ternyata mulai mendapat tempat di sejumlah negara. Pola persebarannya terutama
melalui kampus-kampus. Pada bulan April 1967, HT telah beroperasi di Turki
melalui sejumlah mahasiswa Jordan yang kuliah di Universitas Ankara. Gerakan
ini mampu menarik minat mahasiswa dan akademisi Turki, termasuk Ali Nihat
Eskioge, seorang astronom. Tokoh penting lainnya adalah Annan Mohammad Ali dan
Amir Ercumend. Mereka secara terbuka telah berani menyebarkan pamflet yang
berisi seruan menghidupkan kembali kekhalifahan. Akan tetapi, dengan segera
gerakan ini ditekan oleh militer. Dan para pemimpinnya di tahan pada tahun
1967. Sejak saat itu, HT Turki kembali memasuki kehidupan clandstine. Kemunculannya kembali
baru terjadi pada tahun 1985 dan 1986 dengan mengedarkan pamflet,
”konstitusi HT”. Namun, sekali lagi, aksi ini harus menghadapi tekanan dan
sekitar 42 orang anggota HT harus ditahan. Termasuk Ahmad Kilikaya, salah satu
tokoh penting HT Turki. Pemerintah Turki tampaknya terus memburu para pemimpin
HT. Pada tahun 2001, Remzi Ozer, pemimpin HT dipenjarakan. Selanjutnya
pada Mei 2003, Emir Yilmaz Celik dan 93 pengikutnya harus pula dipenjarakan.
Dalam masa kepemimpinan Taqiyuddin,
perkembangan gerakan HT memang tidak sepesat IM. Namun, sel-sel gerakan ini
pada dasarnya telah menyebar di sejumlah negara Timur Tengah, Asia Tengah,
hingga Eropa. Sekarang ini, HT mengklaim telah tumbuh di sekitar 40
negara. Setelah Taqiyudin meninggal pada tahun 1977, HT dipimpin oleh Abdul
Qodim Zallum, tokoh HT yang berasal dari Palestina. Kepemimpinannya berlangsung
hingga 2003. Setelah Zallum meninggal pada 2003, komando HT dipegang oleh Ata
Ibnu Khalil Abu Rashta, alias Abu Yasin. Dia adalah orang Palestina yang
sebelumnya telah menjadi jurubicara HT Yordan. Diyakini, Abu Rashta sekarang
mengendalikan HT dari The West Bank. Abu Rashta didampingi oleh Khaled Hassan,
pendiri organisasi Fatah (salah satu faksi yang tergabung dalam Palestine
Liberation Organization) dan tokoh spritual HT yaitu Sheikh Asaad Tamimi.
Gerakan Syiah di
Indonesia
Syi’ah yang berkembang di Indonesia dapat
dibedakan kedalam dua corak, yakni Syi’ah politik, dan Syi’ah non-politik.
Syi’ah politik adalah mereka yang memiliki cita-cita politik untuk membentuk
negara Islam, sedangkan Syi’ah non-politik mencita-citakan membentuk masyarakat
Syi’ah. Syi’ah politik aktivitasnya menekankan pada penyebaran ide-ide politik
dan pembentukan lapisan intelektual Syi’ah, sedangkah Syiah non-politik
menekankan pada pengembangan ide-ide fikih Syi’ah.
Syi’ah non-politik atau Syi’ah fikih
masuk ke Indonesia sejak awal abad 19, yang dibawa oleh pedagang-pedagang dari
Gujarat, India, dan ulama-ulama dari Hadramaut. Salah satu tokohnya yang
membawa masuk ke Indonesia adalah Habib Saleh Al-Jufri, mantan panglima perang
Syarif Husen, kakek dari Raja Husen Yordania, yang dikalahkan oleh Abdul
Aziz, bapak dari Raja Abdullah Arab Saudi. Syi’ah yang mereka bawa ke Indonesia
pada gelombang ini adalah Syi’ah Zaidiyah. Pada awalnya cara dakwahnya
dilakukan secara individu-individu, kemudian, sejak kemerdekaan beberapa tokoh
dari mereka membentuk pesantren, salah satunya adalah Husen Al-Habsyi,
mendirikan Pesantren YAPI di Bangil, Jawa Timur.
Sementara itu, Syi’ah politik masuk
Indonesia baru kemudian, yaitu sejak pecahnya Revolusi Iran tahun 1979. Jika
Syi’ah fikih mengembangkan dirinya melalui dukungan swasta, sebaliknya Syi’ah
politik mendapat dukungan resmi dari pemerintah Iran. Namun demikian sejak
revolusi Iran, Syi’ah fikih juga mendapatkan dukungan resmi dari pemerintah.
Strategi dakwah Syi’ah politik pada
awalnya menggunakan pendekatan kampus. Beberapa kampus yang menjadi basisnya
adalah Universitas Indonesia (UI) Jakarta, Universitas Jayabaya Jakarta,
Universitas Pajajaran (Unpad) Bandung, dan Institut Teknologi Bandung (ITB).
Namun karena gagal dan kalah berkembang dengan kelompok Ihwan, akhirnya pada
tahun 1990-an strateginya diubah. Kini kelompok Syi’ah keluar dari kampus dan
mengembangkan dakwahnya langsung ke tengah masyarakat melalui pendirian
sejumlah yayasan dan membentuk ormas bernama IJABI (Iakatan Jama’ah Ahlul Bait
Indonesia). Yayasan-yayasan itu sebagian mengkhususkan pada kegiatan penerbitan
buku, sebagian lainnya membangun kelompok-kelompok intelektual dengan program
beasiswa ke luar negeri (ke Qum, Iran) dan sebagian lagi mengembangkan kegiatan
kemasyarakatan dan keagamaan.
Sejauh yang dapat diketahui, generasi
program beasiswa ke Qum, Iran, yang pertama adalah Umar Shahab dan Husein
Shahab. Keduanya berasal dari YAPI, Bangil, dan pulang ke Indonesia tahun
1970-an. Kedua tokoh inilah yang mengembangkan Syi’ah dikalangan kampus pada
awal 1980-an. Tidak banyak yang berhasil dikader dan menjadi tokoh. Dari UI
misalnya, diantaranya adalah Agus Abubakar dan Sayuti As-Syatiri. Dari
Universitas Jayabaya muncul Zulfan Lindan, dan dari ITB muncul Haidar Bagir.
Namun perlu digarisbawahi, di luar jalur kedua tokoh diatas, pada pertengahan
1980-an muncul Jalaluddin Rahmat sebagai cendekiawan Syi’ah.
Namun
seiring berhasilnya revolusi Islam di Iran, sejak 1981 gelombang pengiriman
mahasiswa ke Qum mulai semakin intensif. Generasi alumni Qum kedua inilah yang
sekarang banyak memimpin yayasan-yayasan Syi’ah dan menjadi pelopor
gerakan Syi’ah di Indonesia.
Kini,
gerakan Syiah di Indonesia diorganisir olehl Islamic Cultural Center (ICC),
dipimpin Syaikh Mohsen Hakimollah, yang datang langsung dari Iran. Secara
formal organisasi ini bergerak dalam bidang pendidikan dan dakwah. ICC Jakarta
dibawah kendali dan pengawasan langsung Supreme Cultural Revolution Council
(SCRC) Iran.
Di bidang
pendidikan ICC mengorganisir lembaga-lembaga pendidikan, sosial dan penerbitan
yang jumlahnya sangat banyak dan bertebaran diberbagai daerah. Sedangkan
dibidang dakwah, ICC bergerak di dua sektor, pertama, gerakan
kemasyarakatan, yang dijalankan oleh Ikatan Jamaah Ahlul Bait (IJABI), kedua,
gerakan politik, yang dijalankan oleh yayasan OASE. Yayasan ini mengkhusukan
bergerak dibidang mobilisasi opini publik. Sedangkan untuk bidang gerakan
politik dan parlemen dikomandani oleh sejumlah tokoh. Strategi politik
parlementer yang mereka tempuh ini dilakukan dengan cara menyebarkan kader ke
sejumlah partai politik.
Mengenai
IJABI sebagai motor gerakan kemasyarakatan, hingga sekarang strukturnya telah
meluas secara nasional hingga di Daerah Tingkat II. Tentu format yang demikian
dapat menjadi kekuatan efektif untuk memobilisasi pengaruh dan
kepentingan politik. Kader-kader IJABI selain telah banyak yang aktif di dunia
kampus, kelompok-kelompok pengajian, lembaga-lembaga sosial dan media, di
daerah-daerah juga telah banyak yang menjadi anggota parlemen. Di level daerah inilah IJABI memiliki
peranan penting sebagai simpul gerakan dakwah dan politik di masing-masing
daerah.
Marja Al Taqlid dan Sayap Militer Syiah
Dewasa ini Syiah Indonesia sedang
berupaya membuat lembaga yang disebut Marja al-Taqlid, sebuah
institusi kepemimpinan agama yang sangat terpusat, diisi oleh ulama-ulama Syiah
terkemuka dan memiliki otoritas penuh untuk pembentukan pemerintah dan
konstitusi Islam. Di beberapa negara yang masuk dalam kaukus Persia lembaga itu
telah berdiri kokoh dan memainkan peran yang efektif dengan kepemimpinan yang
sangat kuat. Di Irak misalnya, lembaga Marja Al Taqlid dipimpin oleh Ayatollah
Agung Ali al-Sistani.
Lembaga Marja Al Taqlid, selain berfungsi
menyusun dan mempersiapkan pembentukan pemerintahan dan konstitusi Islam, juga
berfungsi menyusun prioritas-prioritas pemerintah, termasuk pembentukan sayap
militer yang disebut amktab atau lajnah asykariyah. Selama Marja
al Taqlid ini belum
terbentuk maka pembentukan maktab askariyah pun pastilah belum sistematis dan
terstruktur.
Jamaah Tabligh
Jamaah Tabligh didirikan oleh syeikh
Muhammad Ilyas bin Syeikh Muhammad Ismail, bermazhab Hanafi, Dyupandi,
al-Jisyti, Kandahlawi (1303-1364 H). Syeikh Ilyas dilahirkan di Kandahlah
sebuah desa di Saharnapur, India. Ilyas sebelumnya seorang pimpinan militer
Pakistan yang belajar ilmu agama, menuntut ilmu di desanya, kemudian pindah ke
Delhi sampai berhasil menyelesaikan pelajarannya di sekolah Dioband, kemudian
diterima di Jam’iyah Islamiyah fakultas syari’ah selesai tahun 1398 H. Sekolah
Dioband ini merupakan sekolah terbesar untuk pengikut Imam Hanafi di anak benua
India yang didirikan pada tahun 1283H/1867M.
Di Indonesia, hanya membutuhkan waktu dua
dekade, Jamaah Tabligh (JT) sudah menggurita. Hampir tidak ada kota di
Indonesia yang belum tersentuh oleh model dakwah mereka. Tanda kebesaran dan
keluasan pengaruhnya sudah ditunjukkan pada saat mengadakan “pertemuan
nasional” di Pesantren Al-Fatah Desa Temboro, Magetan, Jawa Timur pada
tahun 2004. Kenyataan ini sungguh di luar dugaan untuk sebuah organisasi yang
relatif baru dan tidak mempunyai akar di Indonesia.
Merebaknya JT sebenarnya hanyalah salah
satu sekuen dari perkembangan serupa di banyak negara. Kelompok ini sekarang
sedang mewabah di seluruh dunia, dan menjadi ujung tombak gerakan islamisasi di
negara-negara atau daerah-daerah non-muslim. Mereka bisa karena menawarkan
format Islam yang lebih ramah, sederhana, sentuhan personal serta tekanan
pengayaan spritualitas personal. Format semacam ini bagaimanapun mengisi ruang
kosong yang ditinggakan oleh kapitalisme dan modernisme.
Meskipun demikian, JT tetap menimbulkan
kontroversi. Sebagian kalangan menuduh kelompok ini adalah bagian dari
jaringan Islam garis keras. Namun, sebagian lainnya, justru berpendapat
berbeda. JT dianggap semata-mata komunitas dakwah yang bersifat apolitis.
Adanya perbedaaan pandangan yang sangat tersebut menunjukkan komunitasnya ini
sesungguhnya belum banyak dieksplorasi sehingga tidak mudah dipahami. Hal ini
sebenarnya wajar, mengingat komunitas ini relatif kurang terbuka kepada publik.
Pemikiran Dasar
Dalam gerakan Islam kontemporer, Jamaah
Tabligh adalah gerakan dakwah yang mempunyai pengikut yang terbesar,
pengikutnya hampir ada di setiap negara baik yang dihuni oleh mayoritas muslim
maupun non Muslim. Banyaknya pengikut Jamaah Tabligh di berbagai negara tidak
terlepas dari pemikiran yang ditawarkan Jamaah Tabligh kepada pengikutnya. Ada
dua prinsip yang sangat fundamental bagi Jamaah Tabligh yaitu tidak melibatkan
diri dalam politik praktis dan tidak membahas masalah keagamaan yang bersifat khilafiyah.
Pemikiran Jamaah Tabligh lebih jauh bisa
dikatakan bertolak belakang secara diametral dengan gerakan dakwah Islam
lainnya. Sedikitnya ada empat prinsip dalam Jamaah Tabligh yang paradoks dengan
gerakan dakwah Islam lain;
Pertama, menurut Jamaah Tabligh, pada saat ini
pintu ijtihad sudah ditutup. Sebab menurut Jamaah Tabligh, syarat-syarat
ijtihad yang dikemukakan ulama salaf sudah tidak ada lagi di kalangan ulama
saat ini. Karena itu, ada keharusan bagi kaum muslimin untuk bertaklid.
Pemikiran sangat bertentangan dengan pemikiran Muhammad Abduh, pemikir muslim
dari Mesir, yang membuka pintu ijtihad seluas-luasnya agar kaum muslimin dapat
maju.
Kedua, pendekatan dakwah dan ibadah yang
digunakan adalah dengan cara tasawuf, tidak dengan politik, sosial, budaya
ataupun perlawanan bersenjata. Sebab Jamaah Tabligh sangat meyakini bahwa
tasawuf adalah cara untuk mewujudkan hubungan dengan Allah dan memperoleh
kelezatan iman. Mengutamakan ibadah mahdhoh,sebagaimana tasawuf,
banyak ditentang oleh gerakan Islam lainnya terutama oleh gerakan Wahabi,
Hizbut Tahrir, Ikhwanul Muslimin dll.
Ketiga, Jamaah Tabligh tidak memandang perlu nahi
munkar, dengan
alasan bahwa fase sekarang menurut Jamaah Tabligh adalah fase mewujudkan iklim
yang kondusif bagi masuknya kaum muslimin ke dalam Jamaah mereka. Dengan
prinsip ini, kehadiran Jamaah Tabligh di berbagai tempat nyaris tak mendapat
resistensi. Prinsip ini banyak mendapat kritik dari berbagai kalangan pemikir
Islam, sebab dengan demikian (tanpanahi
munkar) Islam seperti
agama Hindu, hanya menyeru kebaikan, tanpa mau mencegah kemunkaran.
Keempat, Jamaah Tabligh memisahkan antara agama
dan politik. Setiap anggota tidak berhak mengkaji politik atau terjun ke dalam
urusan yang berhubungan dengan pemerintahan. Sebab menurut Jamaah Tabligh
politik praktis hanya akan membawa kepada perpecahan.
Konsep Khuruj
Salah satu ciri khas gerakan Jamaah
Tabligh adalah adanya konsep khuruj (keluar untuk berdakwah). Dalam
konsepsi Jamaah Tabligh, seseorang akan dianggap sebagai pengikut Jamaah
Tabligh, jika sudah turut serta dalam khuruj. Sebab khuruj bagi Jamaah Tabligh
merupakan sebuah kewajiban.
Konsep khuruj yang dibangun Jamaah Tabligh
berdasarkan landasan teologis pimpinan Jamaah Tabligh. Landasan hukum khuruj bagi jamaah tabligh berdasarkan
ayat-ayat al-Qur’an (Al-Imran : 104 dan Al-Imran :110).
Begitu juga dengan hadist, khuruj didasarkan pada satu hadits
Nabi yang berbunyi "apabila ummatku di akhir zaman mengorbankan 1/10
waktunya di jalan Allah, akan diselamatkan." Maka setiap hari mereka juga
harus menyisakan 2,5 jam waktu mereka untuk berdakwah. Yang lebih menekankan
kepada aspek pembinaan suluk/akhlak, ibadah-ibadah tertentu seperti dzikir,
zuhud, dan sabar.
Penafsiran akan arti khuruj yang dimaksud oleh ayat di atas,
berdasarkan mimpi pendiri Jama’ah Tabligh ini, yakni Maulana Ilyas
Al-Kandahlawi, yang bermimpi tentang tafsir Al-Qur’an Surat Ali Imran 110 yang
berbunyi : “Kuntum khoiru ummatin ukhrijat linnasi
…” menurutnya
kata ukhrijat dengan
makna keluar untuk mengadakan perjalanan (siyahah).
Konsep khuruj dalam aplikasinya terdiri dari tiga
tahap;
• 3 hari dalam
sebulan
• 40 hari dalam
setahun
• 4 bulan sekali
dalam hidup
Dalam khuruj yang dilakukan, tempat dan
target dakwah sudah ditentukan. Biasanya mereka yang khuruj berkelompok terdiri dari 5-10
orang. Mereka biasanya diseleksi oleh anggota syura Jamaah Tabligh siapa saja yang layak
untuk khuruj. Mereka yang khuruj dikirim ke berbagai
kampung yang telah ditentukan. Di kampung tempat berdakwah, para Jamaah Tabligh
ini, menjadikan masjid sebagai base camp. Kemudian mereka
berpencar ke rumah-rumah penduduk untuk mengajak masyarakat lokal untuk
menghadiri pertemuan di masjid dan mereka akan menyampaikan pesan-pesan
keagamaan.
Konteks
Politik
Apabila
mencermati ajaran dan metode dakwahnya, JT memang tetap setia dengan pendekatan
non-politik. Pendekatan ini telah sukses menarik kalangan non-muslim maupun
muslim yang kurang taat untuk menjaid muslim shaleh.
Namun, JT sesungguhnya tidak pernah
menarik garis tegas dengan gerakan-gerakan Islam radikal. Oleh karena itu,
politisasi JT selalu terjadi. Hal ini ditunjang oleh metode pembinaan pasca
tabligh yang lemah, menjadikan massa penganut JT mudah dimanfaatkan oleh
kelompok-kelompok Islam lainnya.
Inilah yang
terjadi di Pakistan. Konstituen
JT yang meluas pada akhirnya dimanfaatkan oleh beragam kekuatan. Presiden
Pakistan, Mohammad Rafique Tarar dan Perdana Menteri Pakistan, Nawaz Sharif,
adalah tokoh penting yang pernah memfasilitasi perkembangan JT di
Pakistan. Sayangnya, JT juga pernah terlibat usaha kudeta militer di Pakistan
pada tahun 1995. Di samping itu, beberapa anggotanya juga terlibat dalam
organisasi Harakat ul-Mujahideen, sebuah kelompok Islam garis keras di
Pakistan.
Sekarang ini
bahkan diyakini bahwa sebagian besar pendukung Taliban di Afganistan, juga
merupakan konstituen JT.
Jaringan
Jamaah Tabligh
Pengikut
Jamaah Tabligh tersebar di lima benua terdiri dari 215 negara. Adapun pusat
Jamaah Tabligh berada di perkampungan Nidzammudin, Delhi, India. Mereka memiliki masjid sebagai pusat
tabligh yang dikelilingi oleh 4 kuburan wali. Dari Niszamudin inilah gerakan
Jamaah Tabligh dikendalikan.
Meski pusat gerakan di India, namun
negara lainnya seperti Banglades dan Pakistan tidak kurang pentingnya dalam
gerakan Jamaah Tabligh. Sehingga poros India-Pakistan-Bangladesh, menjadi
semacam base camp bagi para aktivis jamaah
tabligh. Setiap orang disarankan meluangkan empat bulan khuruj-nya ke tiga
negara di Asia Selatan tersebut. Sebab ketiga negara tersebut,
India-Pakistan-Bangladesh bisa diibaratkan sebagai centre
of excellence sebagaimana
Universitas Al-Azhar, Madinah, Harvard, Oxford, atau MIT bagi ilmu-ilmu.
Pentingnya ketiga tempat ini, terlihat
dari antusiasnya anggota jamaah Tabligh dalam menghadiri acara ijtima’ yang diadakan setiap tahun. Pada tahun
1998 telah diadakan konferensi internasional tahunan di Raiwind dekat Lahore
dan di Tongi dekat Dhaka, Banglades, yang telah dihadiri lebih dari satu juta
kaum muslimin dari 94 negara. Konferensi internasional Jamaah Tabligh tahunan
ini merupakan berkumpulnya umat Islam terbesar kedua setelah haji di Mekkah, 'the second biggest muslims gathering after hajj'.
Konferensi internasional tahunan jamaah
tabligh ini juga diadakan di Amerika Utara dan Eropa. Konferensi tersebut bisa
mendatangkan 10.000 muslim, dari seluruh negara-negara di Amerika Utara dan
Eropa, mungkin salah satu perkumpulan terbesar muslim di Barat.
Untuk mengadakan acara Internasional
tersebut atau ijtima’ dana didapatkan dari para donatur
jamaah tabligh. Para donatur tersebut pada umumnya adalah para pedagang yang
juga anggota jamaah tabligh. Para donatur menyumbang seikhlasnya, namun karena
pada umumnya para donatur adalah wiraswastawan, maka kebutuhan untukijtima’ selalu tertutupi.
Dalam menjalankan organisasi jamaah
tabligh, mempunyai beberapa kantor perwakilan yang menjadi koordinator dakwah
disetiap wilayah. Seperti disebutkan di atas kantor utama Jamaah Tabligh, yang
dikenal dengan nama Markaz di Nizamudin, New Delhi, India. Kantor utama di
Eropa adalah di Dewsbury, Inggris. Asia Timur berpusat di Jakarta, Indonesia.
Untuk Afrika berpusat di Derbun, Afrika Selatan.
Meski tersebar di berbagai negara dan
memiliki anggota ratusan ribu, namun jamaah tabligh secara administratif tidak
mencatat setiap anggotanya. Keanggotaan lebih ditentukan melalui ikatan
emosional. Keanggotaan terkontrol bila ada acara-acara ritual mingguan, bulanan
atau ketika khuruj. Demikian juga dengan struktur
organisasi, nyaris dibilang tak mempunyai struktur, yang ada hanya amir dan
para pembantunya yang tidak terstruktur.
Jamaah Tabligh di Indonesia
Jamaah Tabligh di Indonesia meski tak
sepopuler organisasi masyarakat seperti Muhammadiyah atau NU, namun Jamaah
Tabligh terbilang mempunyai anggota yang cukup banyak. Anggota Jamaah Tabligh
di Indonesia sangat bervariasi, mulai dari artis sampai dengan tentara,
kalangan profesional dll. Pusat markaz jamaah tabligh di Indonesia berada di
Jakarta, khususnya di masjid Masjid Kebon Jeruk di Jl Hayam Wuruk, Jakarta
Kota.
Di masjid yang sudah berusia lebih dua
abad ini, kita akan menjumpai ratusan jamaah yang hampir seluruhnya berjenggot.
Mereka juga menggunakan surban, pakaian takwa dan peci putih, yang biasa
dipakai umat Islam di Indonesia. Tapi kita juga akan mendapati jamaah yang
memakai surban dengan baju panjang sampai lutut, untaian tasbih atau tongkat di
tangan, janggut berjenggot, dahi hitam, dan aroma minyak cendana, khas jamaah
dari Asia Timur.
Pada acara ijtima’ internasional rombongan jamaah
tabligh dari Indonesiapun turut hadir. Rombongan dari Indonesia datang berasal
dari berbagai profesi, antara lain pimpinan pondok pesantren, pengusaha muda,
eksekutif muda, artis, pedagang kaki lima, pegawai negeri, dan bupati. Artis
Gito Rollies adalah salah seorang di antaranya. Acara ijtima’ untuk
skala Indonesia juga pernah dilakukan di Medan, Lampung, dan Jakarta.
Acara ijtima’ jamaah tabligh untuk skala Asia
Tenggara, baru-baru ini (2004) dilakukan di di Pondok Pesantren (Ponpes)
Al-Fatah Desa Temboro, Kecamatan Keras, Magetan. Acara yang dihadiri oleh
sekitar 20.000 anggota Jamaah Tabligh -- ini terbilang istimewa, sebab calon
wakil presiden Yusuf Kalla turut hadir dalam acara pembukaan tersebut. Acara
ijtima’ ini merupakan awal dari acara khuruj yang menjadi program Jamaah Tabligh.
Sebanyak 20.000 anggota Jamaah Tabligh
siap khuruj ke
berbagai pelosok di Indonesia. Anggota jamaah sebanyak 20.000 orang – yang juga
dihadiri, dari negera-negara ASEAN, Saudi Arabia, Pakistan, India dan beberapa
negara muslim lainnya -- tersebut akan dipecah dalam rombongan, masing-masing
rombongan terdiri atas 7 hingga 12 orang. Tempat yang akan dikunjungi Papua,
Maluku, Sulawesi, Kalimantan dan Sumatera. Mereka semua dibekali dengan surat
jalan dan identitas diri. Kemudian setelah tiba di tempat yang dituju, mereka
harus melapor ke pihak keamanan.
Jumlah Anggota
Jumlah anggota Jamaah Tabligh dibagi pada
tiga kategori. Pertama, anggota aktif, yang dimaksud dengan
anggota aktif, adalah mereka yang selalu berdakwah (membaca Riyadhus Shalihin
atau kitab yang dijadikan referensi oleh Jamaah Tabligh, setelah shalat dhuhur
atau Asar di berbagai masjid) dan juga pada umumnya anggota aktif selalu
memakai pakaian yang dianggap sunnah seperti pakaian putih dengan sorban dan
berjenggot dan juga selalu rutin menghadiri pengajian mingguan setiap Jum’at
malam. Jumlah anggota aktif ini tidak terlalu banyak ada sekitar 7.500 orang
diseluruh Indonesia. Jumlah anggota aktif ini juga terkait dengan pekerjaan,
pada umumnya anggota aktif adalah para pedagang atau wiraswastawan.
Kategori kedua adalah anggota yang setengah
aktif, mereka adalah anggota Jamaah Tabligh yang kadang-kadang mau berdakwah
(membaca Riyadhus Shalihin atau kitab yang dijadikan referensi oleh Jamaah
Tabligh, setelah shalat dhuhur atau Asar di berbagai masjid), mereka juga
kadang-kadang memakai pakaian putih dan sorban dan juga kadang-kadang
mengahadiri pengajian Jum’at malam. Jumlah anggota kategori kedua ada sekitar
10.000 orang di seluruh Indonesia. Anggota kategori kedua, pada umumnya menjadi
pegawai, sehingga mempunyai waktu yang terbatas.
Kategori ketiga,
anggota tidak aktif atau masih pada tahap belajar. Karakter anggota ini, tidak
pernah mau berdakwah kecuali kalau diajak oleh anggota aktif. Pada umumnya
belum begitu paham dasar-dasar Islam. Tidak pernah berpakaian putih (gamis) dan
bersorban dan pada umumnya malu kalau menyatakan diri sebagai anggota Jamaah
Tabligh. Keterkaitannya dengan Jamaah Tabligh jika diajak khuruj dan mempunyai waktu mereka pada
umumnya ikut serta khuruj. Kategori ketiga tidak mempunyai kaitan dengan
status pekerjaan. Jumlah anggota non aktif ini sekitar 15.000 orang.
Salafi
Salafi dan Wahabi
Istilah salafi pada mulanya digunakan
oleh beberapa komunitas Sunni. NU menggunakan istilah ini untuk
kesetiaan terhadap model ajaran para imam-imam madzab dalam memecahkan problem
masa kini. Sejak awal, NU juga telah mengklaim sebagai kelompok ”ahlussunnah
wal jamaah”. Istilah yang juga kini digunakan gerakan
wahabi/salafi.
Istilah Salafi kemudian digunakan oleh
Muhammad Abduh dan Rasyid Ridlo tatkala hendak membangun gerakan pembaharuan di
Mesir. Di tangan Abduh, istilah Salafi sedikit mengalami pergeseran makna yang
dikaitkan dengan semangat pembaharuan dan pemurnian. Di sini
salafi dirujukkan pada model pemahaman para penganut Islam paling awal, yaitu
Nabi dan Sahabat.
Gerakan
pemurnian yang lain, khususnya wahabisme, ternyata pada mulanya tidak
menggunakan istilah ini. Mereka
mengkampanyekan pemurnian ajaran dengan merujuk langsung Qur’an dan Sunnah dengan
model pemahaman yang literal. Di Indonesia, Muhammadiyah dan Persis yang juga
mengusung tema pemurnian ajaran, juga tidak menggunakan istilah salafi.
Walaupun ketiganya sama-sama menggeluti isu-isu bidah,kurafat dan
sejenisnya.
Istilah Salafi kemudian dipopulerkan
kembali oleh Nashiruddin Al-bani pada dekade 1980-an di Madinah. Jamaahnya
kemudian dikenal dengan al-Jamaa al-Salafiyya al-Muhtasib. Hampir sama dengan
wahabisme, salafi yang dimaksudkan Albani adalah suatu gerakan
untuk memurnikan kembali ajaran Islam dengan mengedepankan kampanye pembasmian
terhadap segala sesuatu yang dianggap bid’ah. Albani tidak menggunakan nama
wahabisme dikarenakan istilah ini, dianggap kurang tepat. Di dalamnya terkesan
ada pemujaan terhadap tokoh. Di samping itu,salafi yang dimaksudkan,
tidak sama persis dengan wahabi resmi pemerintah Arab Saudi. Perbedaannya,
salafi menegasikan atau menolak semua pemikiran mazhab. Sedangkan wahabi Arab
Saudi lebih cenderung pada model pemikiran mazhab Hambali (kendati tidak pernah
diakui secara resmi).
Kendati berbeda, keduanya sesungguhnya
berakar pada semangat yang sama yaitu keinginan untuk memahami Islam tekstual
secara ketat. Sandarannya hanya Quran dan hadits sahih. Adapun terhadap hadits
non-sahih mereka cenderung kritis dan lebih menyukai tidak menggunakannya.
Mereka juga mengenal “golden
period” praktek
kemurnian Islam yaitu zaman tiga generasi awal (sahabat, tabiin dan tabiut
tabiin). Zaman ini disebut salafus shaleh.
Pemurnian yang diusung oleh Al-Bani
memang tidak begitu berbeda dengan pemurnian yang dibawa Muhammad bin Wahab
pada abad 13. Mereka sama-sama prihatin terhadap segala sesuatu yang
dianggap menyimpang dari ajaran Islam. Karena itu, mereka berusaha memerangi
segala sesuatu yang dianggap bidah. Namun bedanya, di tangan Al-Bani dan mereka
yang sehaluan dengannya, kategori bidah bisa sangat luas mencakup pada fenomena
kemodernan, baik yang dihasilkan kemajuan teknologi maupun perilaku dan paham
pemikiran. Televisi, foto manusia dan patung adalah terlarang. Duduk berdua
yang bukan muhrim, kendati di dalam taksi, adalah terlarang. Daftar sesuatu
yang dianggap haram atau bid’ah ini bisa sangat banyak.
Karena semangat tekstualisme yang sangat
kuat itulah maka boleh dikatakan, gerakan salafi sekarang ini adalah bentuk
lain dari wahabisme namun dengan pendekatan yang lebih radikal. Radikalisme ini
bersumber dari prinsip ketaatannya yang ketat pada teks Quran dan hadits shohih
serta hanya melihat praktek Islam murni pada cara yang digunakan para salafus
shaleh. Karena itu, ketika mendapatkan fenomena yang berlawanan dengan teks dan
tidak ada dalam praktek masa salafus shaleh, mereka akan menentangnya dan tidak
akan berkompromi. Dengan cara ini mereka melawan paham-paham modern,
seperti demokrasi dan partai politik. Mereka juga mengharamkan organisasi.
Semua itu dianggap bidah karena tidak ada prakteknya pada masa tiga generasi
awal Islam.
Ketaatan pada model klasik (salafus
shaleh) juga
menyebabkan gerakan ini tidak mengenal organisasi resmi. Mereka mengembangkan
gerakan dengan instrumen hubungan guru-murid yang sangat setia. Pola yang
memang telah dikenal sejak zaman Nabi. Dalam hubungan yang bersifat personal
dan penuh ketaatan ini Salafi berkecambah berbagai penjuru dunia.
Konteks politik gerakan
Wahabi/Salafi dan lahirnya Salafi Jihadi.
Pandangan wahabi/salafi sebagaimana
disinggung di muka, pada awalnya hanya berkembang di Arab Saudi dan sebagian
wilayah Timur Tengah, seperti Yaman dan Jordan. Paham ini kurang mampu
berkembang luas di dunia muslim karena karakter paham wahabi/salafi yang tidak
kompatibel dengan tradisi sufisme ataupun sunni madzhab di belahan dunia muslim
lainnya. Wahabisme juga kurang berkembang di Palestina, tanah yang terus
membutuhkan ideologi perlawanan yang kuat. Faktor lain yang turut menghambat
perkembangan wahabi/salafi adalah sikap pemerintah Arab Saudi yang
cenderung inward looking dalam pengembangan ajaran salafi dan
wahabi di dunia internasional.
Krisis politik dalam negeri Arab Saudi
tampaknya menjadi titik krusial bagi perkembangan gerakan wahabi/salafi.
Dominasi wahabi/salafy mulai dipertanyakan oleh gerakan Al-sahwa al-Islamiyyah
(Kebangkitan Islam) yang saat itu mulai berkembang di sejumlah universitas Arab
Saudi.
Akar-akar gerakan ini dapat ditelusuri
dari tahun 1960-an ketika pemerintah Saudi membuka peluang bagi para aktifis
Islam untuk tinggal di Saudi. Para aktivis Islam yang melarikan diri ke Saudi
kebanyakan adalah para aktivis Ikhwanul Muslimin dari Mesir dan Syria.
Pemerintah menampung mereka untuk mengelola berbagai lembaga pendidikan di Arab
Saudi yang saat itu kekurangan tenaga pengajar. Sikap ini sekaligus
sebagai strategi “perlawanan” Arab Saudi” terhadap kelompok Gamal Abdul Naser
di Mesir dan partai Baath di Irak.
Pada mulanya aktivis Ihwanul Muslimin
yang mengajar di universitas Arab Saudi memang tidak menunjukkan tanda
perlawanan terhadap kerajaan. Mereka satu pemikiran dengan paham wahabi
terutama dalam hal ibadah dan tauhid. Namun, perhatian dalam dunia
politik (sikap kritis terhadap penguasa) yang dimiliki oleh akitivis
Ihwan, adalah titik awal perbedaan mereka dengan ulama-ulama wahabi.
Hal lain yang membedakan kalangan
as-sahwah al-Islamiyah dengan Wahabi, kalangan as-sahwah al-Islamiyah sangat
familiar dengan peralatan modern saat itu, seperti menggunakan tape recorder,
radio, dimana saat itu masih diperdebatkan penggunaannya.
Simpang jalan Wahabi dengan as-Sahwah
al-Islamiyah mulai terasa saat Juhayman al-Utaybi pada tahun 1979 mengambil
alih Masjidil Haram di Mekkah. Kendati gerakan ini mudah ditumpas, namun
Jumayman terhadap gaya hidup Barat (sekularisasi) dan penolakannya terhadap
politik Arab Saudi yang pro Amerika Serikat secara perlahan menimbulkan simpati
terutama di Universitas Islam Madinah.
Menyadari akar gerakan di kampus, maka
raja kemudian berusaha menekan mereka. Cara yang ditempuh, salah satu
diantaranya, adalah memperkuat posisi ulama wahabi. Hal ini dimaksudkan agar
lembaga keulamaan wahabi, akan mampu mengkooptasi kalangan as-sahwah
al-Islamiyah. Usaha ini tentu saja tidak mudah mengingat pengaruh Ikhwan sudah
cukup kuat di kampus. Cara lain adalah mengganti guru-guru di
universitas. Mereka yang berpaham Ikhwan segera diganti dengan yang
berpandangan wahabi/salafi.
Sikap pemerintah tersebut tampaknya
disambut antusias oleh kalangan ulama Wahabi. Tampaknya, ulama Wahabi juga
merasakan bahwa gerakan as-Sahwah dianggap telah melenceng. Pasalnya, sikap
kritisisme yang artikulatif terhadap penguasa adalah sesuatu “terlarang” dalam
paham wahabi. Apalagi mereka mengadopsi gagasan Sayyid Qutub yang
dianggap ulama Wahabi sebagai ahlul Bid’ah.
Dalam konteks inilah Nashiruddin Al-Bani
berusaha memberikan “perlawanan” terhadap gerakan as-sahwah” dengan
mendeklarasikan kembali pentingnya memulai gerakan pemurnian Islam secara lebih
radikal. Mereka mengelompokkan diri dalam al-Jamaa al-Salafiyya al-Muhtasiba
(JSM) yang dipimpin oleh Nasr al-Din al-Albani di Madinah. Kelompok salafi ini
menolak semua aliran fiqih dalam Islam. Bagi kelompok salafi, aliran fiqih
adalah buah pemikiran manusia, karena itu jika ingin, beribadah dengan benar,
maka harus kembali pada Qur’an dan sunnah an sich. Karena sikap ini, salafi menjadi
gerakan yang sangat konservatif, puritan dalam gaya hidup dan belajar agama
secara informal di masjid (halaqoh) yang bukan berbasis wahabi dan universitas
yang bukan basis as-sahwah al-Islamiyah. Dengan kata lain, perhatian
salafi lebih diutamakan pada hal-hal yang bersifat keimanan individual, moral
dan praktek ritual. Adapun masalah-masalah sosial, budaya dan isu politik
mereka kurang memberi perhatian yang kuat. Pada tahun 1980-an itu pula
kelompok ini telah menyebar ke Kuwait, Yaman, dan utara Saudi.
Akan tetapi, as-sahwah dan ulama wahabi
kembali bersatu dalam isu jihad Afganistan. Pada awal dekade 1980-an itu,
ketika Sovyet menginvasi Afgan, hampir seluruh ulama sepakat untuk mendukung
Afgan secara konkret dengan mem”fardlu
ain”kan. Atas kesepakatan ulama ini pula, Abdullah Azzam berangkat
ke Afgan.
Dukungan terhadap Afgan, ternyata
bersesuian dengan kepentingan internasional Arab Saudi.
Keterlibatan Iran dalam konflik Afganistan telah dianggap sebagai ancaman
serius bagi hegemoni tidak langsung Arab Saudi dalam dunia Muslim.
Bagaimanapun keterlibatan Iran dianggap manifestasi kepentingan
mengekspor pandangan syiah (pasca revolusi Iran) dalam dunia muslim lainnya.
Sesuatu yang akan mengancam hegemoni Arab Saudi. Karena itulah, Saudi
berkepentingan untuk memberikan “perlawanan” politik terhadap sikap Iran dengan
berusaha membantu Afgan secara material dan tenaga jihad.
Pada masa perang Afgan, assahwah
mengalami perkembangan yang sangat penting. Kelompok ini semakin mendekatkan
diri pada pemikiran Sayyid Qutub guna memompa semangat jihad. Lahirlah kemudian
penyerbukan gagasan antara pemikiran Ikhwanul Muslimin (Sayyid Qutub) dengan
pemikiran wahabi. Perkawinan gagasan ini kemudian melahirkan paham salafi
jihadi.
Atas kecenderungan ini, Salafi di bawah
ajaran Nashiruddin Al Bani dan Bin Baz tentu saja menentangnya. Mereka mulai
mengecam para jihadi sebagai jihad yang tidak murni, keluar dari riil salafi.
Perselisihan ini tidak pernah terselesaikan sehingga kedua kelompok akhirnya
mengambil jalan masing-masing. Simpang jalan pun terjadi. Hal ini semakin
dikuatkan tatkala Arab Saudi mulai mengurangi dukungannya seiring penarikan
pasukan Uni Sovyet di Afgan. Simpang jalan kembali terjadi dan sulit
dipertemukan kembali. Sejak saat ini, gerakan salafi terbelah dalam dua
garis besar. Pertama, salafi puritan di bawah Nashiruddin Al-Bani, Bin Baz,
Sheh Mugbil dan sebagainya. Kedua, salafi jihadi yang dipelopori Abdullah
Azzam, Mullah Umar dan seterusnya.
Kedua kelompok ternyata saling
berkompetisi. Salafi jihadi berkembang seiring dengan luasnya medan jihad
seperti di Afgan dan Asia Tengah hingga Eropa Timur. Sementara itu, salafi
puritan juga semakin terdorong meluaskan pengaruhnya pada wilayah yang hampir
bersamaan.
Diaspora
Salafi Puritan
Gerakan
salafi puritan menyebar luas di berbagai belahan dunia sebetulnya relatif baru.
Awal dekade 1980-an adalah
titik penting awal mula sebaran ajaran salafi puritan. Sebagaimana sudah
disinggung sebelumnya, go international dari ajaran ini terutama didorong oleh
konstelasi dalam negeri Arab Saudi serta perang Afganistan. Dua peristiwa
tersebut menandai awal mula lahirnya gerakan salafi puritan pada level
international.
Bagaimanakah ajaran ini disebarkan? Dalam
pola salafai puritan, model jaringan organisasi sebetulnya tidak dikenal.
Sebagai gantinya gerakan ini berkembang biak melalui jaringan guru-murid.
Di sini tokoh penting yang perlu disebut adalah Nashiruddin Al-Bani dan Sheyh
Mugbil Yaman. Dua maha guru salafi ini sekarang mempunyai institusi
semi-formal yang menjadi pusat perkembangan gerakan salafi.
Pusat utama
perkembangan tentu saja Arab Saudi. Universitas-universitas kembali menjadi
basis kaderisasi salafi. Akan tetapi, segera perlu mendapat catatan,
tidak semua alumni universitas Arab Saudi menjadi agen penting penyebaran
ajaran salafi puritan. Bagaimanapun jejak ajaran Ikhwanul Muslimin masih
terasa di sana. Hal ini nantinya terlihat pada alumninya di mana sebagian
diantaranya justru menjadi aktivis ikhwanul muslim di berbagai negara.
Di luar
universitas, tempat yang berperan penting adalah halaqoh-halaqoh yang
diadakan ulama Wahabi secara informal. Halaqoh inilah yang nantinya menjadi titik
penting kaderisasi serta melahirkan jaringan guru-murid. Sayangnya,
perkembangan halaqoh salafi di Arab Saudi justru tidak sepesat di Jordan maupun
Yaman.
Jordan kini
telah menjadi basis penting perkembangan salafi puritan. Kendati Albani memulai
gerakan salafi dari Madinah, namun Albani justru mengembangkan salafi puritan
secara intensif di tanah kelahirannya. Di sini dia membangun semacam pondok
pesantren yang berperan penting dalam kaderisasi dakwah. Para murid senior
Albani kemudian mendirikan Markaz Imam Albani di Aman, Jordania. Mereka adalah
Syekh Salim bin Ied Al-hilaly, Syaikh Ali Hasan al-Halaby, Syaikh Muhammad Musa
Alu Nashr, Syaikh Masyhur Alu Salman, Syaikh Husain al-Awaisyah. Berkat
ketenaran Albani, dalam waktu singkat Markaz mampu menarik minat banyak
kalangan dari banyak negara untuk mendalami salafi.
Alumni Markaz Albani sekarang ini telah
menyebar ke banyak negara. Mereka umumnya terjun dalam dunia dakwah dengan
mengembangkan ajaran salafi puritan. Jaringan komunikasi mereka cukup intensif.
Setidaknya telah diadakan beberapa kali pertemuan reuni. Dapat diduga pertemuan
tersebut menjadi ajang konsolidasi gerakan salafi. Publikasi penting dari
Markaz Imam Albani adalah “Pokok-Pokok Aqidah Salafiyah”. Buku ini telah
diterjemahkan ke berbagai bahasa yang berisi prinsip-prinsip dasar ajaran
salafi puritan.
Pusat kedua adalah Pondok Sheyh Muqbil di
Dammaj, Yaman. Pondok yang terletak di sebuah desa terpencil ini telah
dikunjungi murid dari berbagai penjuru dunia, mulai dari negara Barat, seperti
Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Jerman, Kanada, (tentu saja dengan jumlah
murid yang lebih sedikit) hingga negara-negara mayoritas sunni, khususnya
kawasan Timur Tengah, Asia Tengah, hingga Asia Tenggara. Pada Sheyh Muqbil
inilah Jafar Umat Talib berguru ajaran salafi.
Perkembangan salafi puritan makin
menemukan momentumnya tatkala pemerintah Arab Saudi secara tidak resmi
memberikan bantuan dana bagi operasi dakwah salafi puritan di berbagai penjuru
dunia. Bantuan ini umumnya mengalir lewat individual, yayasan ataupun lembaga
islam internasional seperti Rabithah dan IIRO. Untuk Robithoh dan IIRO, aliran
bantuannya memang tidak membedakan friksi dalam salafi. Kedua lembaga ini hanya
concern terhadap perkembangan Islam terutama yang mengusung ideologi Salafi.
Orientasi ke salafi ini sangat kuat karena sebagian besar organisasi
Islam sunni moderat di Indonesia umpamanya, kurang mendapatkan bantuan dari
organisasi Islam internasional tersebut.
Perpecahan
dan Munculnya Salafi “Sururiah”
Gerakan salafi
tampaknya belum bisa melepaskan diri dari konflik dan ketegangan politik di
Arab Saudi. Ketegangan ini
telah berimbas pada terbelahnya gerakan salafi internasional pada dua kubu
penting. Pertama, mereka yang berkiblat pada ulama resmi pemerintah. Dalam
barisan ini tidak saja ulama-ulama resmi Arab Saudi, melainkan pula jaringan
Markaz Imam Albani Jordan dan jaringan Pondok Syeh Muqbil Yaman. Dua jaringan
yang mempunyai operasi yang bersifat internasional.
Kedua, mereka yang berkiblat pada ulama
yang melakukan oposisi atau bersikap kritis terhadap kerajaan. Salah satu tokoh
pentingnya adalah Muhammad Surur bin Zainal Abidin. Dia merasa kecewa dengan
sikap pemerintah Arab Saudi yang didukung ulama Wahabi atas koalisi Amerika
Serikat dengan Arab Saudi dalam kasus Perang Teluk Pertama dan kedua. Surur
mengecam keras sikap ulama Arab Saudi yang menjustifikasi keterlibatan Amerika
dengan mengatakan bahwa mereka adalah budaknya Amerika. Sikap keras ini
lantas mendatangkan penentangan yang sengit dari seluruh ulama wahabi resmi.
Mereka ramai-ramai mengecam Muhammad Surur sebagai tokoh yang telah keluar dari
manhaj salafi karena berani mengkritik ulama dan pemerintah. Akhirnya,
Surur harus terusir dari Arab Saudi dan kini menetap di Birmingham
Inggris. Surur kemudian mengembangkan Yayasan Al-Muntada dari Inggris.
Muhammad
Surur tidak sendirian. Dia kemudian bersua gagasan dengan Abdurrahman Abdul
Khaliq, orang Saudi yang dituduh menikam ulama wahabi atau salafi Saudi, karena
mendukung Ikhwanul Muslimin. Abdul Khaliq kini mengoperasikan Yayasan Ihya'ut
Turats dari Kuwait. Pertemuan ini melahirkan poros Birmingham-Kuwait dan
melahirkan suatu group baru dalam gerakan salafi internasional. Group ini
dikenal dengan sebutan “sururiyah” dan kini menjadi bulan-bulanan kecaman
dari group salafi/wahabi resmi.
Tokoh lain
dalam barisan Sururiyah ini adalah Salman bin Fahd Al-Audah. Dia adalah ulama
wahabi atau salafi Saudi yang dimasukkan kepenjara selama lima tahun (1994
sampai 1999) karena dituduh menentang pemerintah yang sah dengan melakukan
protes terhadap tindakan korpsi dan tindakan menyalahi kesusilaan yang
dilakukan oleh pemerintah Raja Fahd bin Abdul Aziz dan Putra Mahkota Abdullah
bin Abdulaziz al-Saud. Setelah
terjadi 11 September 2001, Salman bin Fahd Al-Audah dituduh sebagai penasehat
Osama bin Laden oleh pihak Saudi Arabia dan pihak Amerika.
Di samping itu terdapat ulama Aidh Al
Qarni. Seorang ulama wahhabi/salafi Saudi yang menentang Yahudi dan Amerika
yang dianggapnya sebagai negara yang melakukan teror. Kecaman tersebut dibaca
sebagai penentangan terhadap pemerintah dan ulama wahabi resmi yang saat itu
menjustifikasi koalisi Amerika-Saudi. Dengan sikap yang anti Amerika dan Yahudi
inilah akhirnya pihak ulama wahabi atau salafi Saudi menganggap Aidh Al Qarni sebagai
orang yang melecehkan ulama.
Safar bin Abdul al-Rahman al-Hawali
adalah ulama wahhabi yang menentang kebijaksanaan dobel standar George W. Bush
dan menentang kebijaksanaan politik pemerintah Kerajaan Raja Fahd bin Abdul
Aziz dan Putra Mahkota Abdullah bin Abdulaziz al-Saud yang bergandengan serta
paralel dengan kebijaksanaan politik Amerika, sehingga Safar bin Abdul
al-Rahman al-Hawali dianggap melecehkan ulama wahabi atau salafi Saudi.
Muhammad bin Abdillah Al Masari ulama
wahabi atau salafi Saudi yang merupakan pelopor Hizbut Tahrir di Saudi Arabia,
yang sekarang menetap di Inggris karena diusir dari Saudi. Ulama-ulama wahabi
atau salafi Saudi menganggap Muhammad bin Abdillah Al Masari menentang dan
melecehkan ulama ahlus sunnah dan dianggap sebagai khawarij, karena Muhammad
bin Abdillah Al Masari mengklaim bahwa pemerintah Kerajaan Saudi Arabia tidak
mengadili berdasarkan lembaga hukum Islam.
Konteks politik tersebut menjadi semakin
rumit karena pertikaian antar ulama salaf tersebut berlangsung dalam wacana
ideologis. Mereka yang setia dengan ulama wahabi resmi menganggap
Muhammad Surur telah keluar dari Salafi karena berani mengkritik pemerintah dan
ulama, sesuatu yang terlarang dalam doktrin salafi puritan. Kritikan ini terus
digemakan oleh salafi puritan dengan memberi label Muhammad Surur sebagai ahli
bidah dan kelompoknya diberi label “sururiyun”. Kritikan makin menguat tatkala
Surur ternyata menjalin hubungan dengan Abdurrahman Abdul Khaliq yang
mentoleransi pemikiran Ikhwanul Muslimin.
Menghadapi tekanan Salafi puritan,
Surur dan Abdurahman Abdul Khaliq tampaknya kurang reaktif untuk
membalasnya. Mereka justru semakin intensif mengembangkan gagasan salafiyah
versi mereka. (untuk gampangnya sebut saja “sururirah). Gerakan ini tetap
berbeda dengan gerakan salafi jihadi maupun salafi puritan. Secara umum salafi
sururiah lebih sensitif dalam persoalan politik kendati tensi jihad tidak
sekuat salafi jihadi. Dalam menanggapi problem sosial, salafi sururiah
lebih toleran dan responsif dibandingkan salafi puritan. Dengan demikian,
posisi salafi sururiah adalah antara salafi puritan dan salafi jihadi.
Repotnya, Muhamamd Surur dan Abdurrahman Abdul Khaliq tidak pernah menggunakan
label tambahan untuk gerakan dakwahnya. Mereka tetap menggunakan nama
jenerik “Salafi” dalam mengembangkan ajaran-ajarannya. Sehingga, sering kali merepotkan sebagian
kalangan untuk memilahkannya.
Perkembangan Salafi di
Indonesia
Perkembangan gerakan salafi di Indonesia
tidak mungkin dilepaskan dari dinamika internasional sebagaimana disebutkan di
atas. Bahkan boleh dikatakan, dinamika gerakan salafi Indonesia sebagian besar
merupakan perpanjangan dari perkembangan internasional.
Sama seperti kecenderungan internasional,
gerakan salafi baru muncul di Indonesia pada awal dekade 1980-an. Dorongan
utamanya adalah berdirinya lembaga LIPIA (Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan
Bahasa Arab) yangmerupakan cabang dari Universitas Imam Muhammad ibn Saud Riyad
di Indonesia. LIPIA pertama kali dipimpin oleh Syeikh Abdul Aziz Abdullah al-Ammar,
murid tokoh utama salafi Syeikh Abdullah bin Baz.
LIPIA menggunakan kurikulum Universitas
Riyad, staf pengajarpun didatangkan langsung dari Saudi. Salah satu yang
membuat banyak mahasiswa tertarik belajar di LIPIA, karena LIPIA menyediakan
beasiswa berupa uang kuliah dan uang saku. Lebih dari itu, LIPIA juga
menjanjikan para alumninya untuk bisa melanjutkan tingkat master dan doktoral
di Universitas Riyad di Saudi.
Alumni LIPIA angkatan 1980-an, kini
menjadi tokoh terkemuka di kalangan salafi. Diantaranya adalah Yazid Jawwas,
aktif di Minhaj us-Sunnah di Bogor; Farid Okbah, direktur al-Irsyad; Ainul
Harits, Yayasan Nida''ul Islam, Surabaya; Abubakar M. Altway, Yayasan
al-Sofwah, Jakarta; Ja'far Umar Thalib, pendiri Forum Ahlussunnah Wal Jamaah; and
Yusuf Utsman Bais’a direktur al-Irsyad Pesantren, Tengaran.
Sebagaimana ciri umum salafi, generasi
1980-an LIPIA tersebut sangat anti terhadap kelompok Ikhwanul Muslimin, Hizbut
Tahrir, Jamaah Tabligh dan Darul Islam. Jangankan untuk bergaul dengan mereka
yang berorganisasi, dengan sesama salafi yang berorganisasipun mereka menolak
untuk dibantu secara keuangan.
Dari generasi 1980-an lahir Ja’far Umar
Thalib. Dia adalah lulusan pertama LIPIA dan menjadi perintis pertama gerakan
dakwah salafi di Indonesia. Diantara lulusan LIPIA, Ja’far berangkat ke Yaman
pada tahun 1991 untuk belajar pada Sheikh Mukbil ibn Hadi al-Wad'i, di Dammaz,
Yaman. Seperti sudah disinggung sebelumnya, Mugbil adalah tokoh salafi puritan.
Karakter ini akan menurun pada Jafar. Sedangkan Yusuf Baisa, lulusan
LIPIA lainnya, belajar langsung ke Arab Saudi dan belajar dari kalangan syeikh
sahwah Islamiyah. Karena as-sahwah terpengaruh Ikhwanul Muslimin, maka
pandangan Yusuf Baisa nantinya juga sangat berbeda dengan Jafar.
Pembentukan Laskar Jihad Ahl Sunnah Wal
Jama’ah (LJASWJ)
Ja’far Umar Thalib, namanya menjadi
terkenal setelah menjadi komandan pasukan Laskar Jihad ahlu sunnah wal Jamaah,
yang memimpin pasukan perang ke Ambon pada tahun 2001. Dalam mendirikan Laskar
Jihad ahlu sunnah wal Jamaah Ja’far tidak sendiri, namun didampingi muridnya
Muhammad Assewed.
Adapun yang melatarbelakangi pemikiran
Ja’far dan Assewed untuk membentuk laskar Jihad adalah sebagai berikut; pertama, kerusuhan di Ambon dari hari ke hari
tidak menunjukan ke arah yag semakin membaik. Kedua, korban dari kalangan muslim
terus berjatuhan dan semakin banyak. Ketiga, keresahan dan kemarahan sudah tampak
pada kaum muslimin di Indonesia, namun mereka tidak tahu apa yang harus mereka
perbuat. Keempat, Pemerintah tak berdaya menghadapi para
perusuh tersebut yang dengan leluasa membunuhi kaum muslimin di Ambon. Kelima,
sementara itu, kaum muslimin hanya yang berada di luar Ambon hanya bisa
berdemonstrasi yang sama sekali tidak meringankan beban mereka yang berada di
Ambon.
Dari keprihatinan tersebut di atas,
Muhammad Assewed beserta Ja’far Umar Thalib mengadakan telaah kitab baik
al-Qur’an maupun as-Sunnah untuk mendapat kepastian tindakan apa yang harus
dilakukan. Setelah mendapat landasan teologis, keduanya berangkat ke Timur Tengah
untuk berkonsultasi dengan para guru, tindakan apa sekiranya yang harus
dilakukan.
Ulama-ulama Salafi yang dimintai fatwanya
oleh Ja’far mengenai Jihad ke Ambon diantaranya adalah Syeikh Abdul Muhsin
al-'Abbad, ahli hadith dari Madinah, ‘wajib menolong orang muslim yang
didhalimi’. Syeikh Ahmad an-Najmi, anggota dewan ulama, mengatakan wajib
hukumnya untuk menolong muslim yang di dhalimi, dan menjadi penting untuk tidak
langsung terjun ke arena pertempuran tanpa memiliki persiapan dan konsultasi yang
bagus. Syeikh Muqbil bin Hadi al-Wadi, guru Ja'far di Yaman mengatakan bagi
muslim Indonesia menjadi kewajiban masing-masing individu untuk membela saudara
muslim lainnya. Syeikh Rabi' bin Hadi al-Madkholi dari Madinah mengatakan Jihad
adalah wajib untuk semua muslim sebab saudara-saudara mereka telah diserang
oleh orang Kristen. Syeikh Wahid al-Jabiri mengatakan dibolehkan dalam hukum
Islam untuk mempertahankan saudaranya yang tengah diserang. Syeikh Muhammad bin
Hadi al-Madkhali, dari Madinah mengatakan wajib jihad menolong saudaranya yang
diserang.
Dari berbagai kajian dan konsultasi, maka
disimpulkan untuk berangkat jihad ke Ambon secara organisatoris. Perlunya
organisasi untuk berangkat ke Ambon dalam rangka mengatur strategi dan
mobilisasi massa. Maka dibentuklah Imarah(kepemimpinan) kaum
muslimin dalm menjalankan jihad fi sabilillah. Untuk menghindari segala fitnah
yang mungkin terjadi maka imarah diberi nama dengan nama Imarah Jihad
Ahlu Sunnah wal Jamaah, yang dipimpin atau panglima tertinggi Ja’far Umar
Thalib, sedangkan Assewed bertindak sebagai Ketua Umum Forum Komunikasi Ahlu
Sunnah wal Jamaah, posisi yang sangat penting setelah Ja’far Umar Thalib.
Sepulang dari Jihad Ambon, Ja’far lalu
membubarkan Laskar Jihad ahlu sunnah wal Jamaah, sebab Ja’far khawatir laskar
Jihad akan digunakan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Selain itu
juga memang mulai banyak kritik dari kalangan salafi lainnya, bahwa laskar
jihad sudah menjadi gerakan hizbiyah, dimana hal ini sangat bertentangan
dengan manhaj salafi.
Selebihnya untuk mewadahi alumni laskar
jihad, maka dibentuklah Forum Komunikasi Ahl Sunnah Wal Jama’ah (FKASWJ),
lembaga ini tak lebih dari sekedar lembaga paguyuban, tempat berkumpul dan
bersilaturahmi. Meski demikian, FKASWJ menjadi identitas kelompok tersendiri
dikalangan salafi.
Mereka yang tergabung dengan FKASWJ –
khususnya sebelum Ja’far Umar Thalib dinyatakan keluar dari salafi – umumnya
beraliran salafi puritan dan berkiblat ke Salafi Arab Saudi.
Konflik Salafi
Perkembangan salafi di Indonesia ternyata
rawan konflik. Sumber konflik pertama adalah bias konflik di level
internasional. Di Indonesia, hal ini termanifestasikan dalam tindakan saling
kecam antara mereka yang tergabung dalam salafi puritan dan mereka yang terkait
dengan jaringan Sururiah. Sedang konflik kedua adalah ketegangan guru-murid
karena ulah sang murid yang dianggap melenceng oleh sang guru. Tipe konflik
kedua inilah yang dialami oleh afar Umar Thalib. Sedang konflik ketiga adalah
konflik sesama ulama salafi.
Ada dua konflik besar yang terjadi
dikalangan Salafi, pertama konflik antara Ja’far Umar Thalib dengan Yusuf
Baisa. Kedua konflik Ja’far Umar Thalib dengan Muhammad Assewed, dan Yazid
Jawwaz. Konflik ini berimplikasi pada jaringan mereka yang terpecah-pecah.
Muara dari pertikaian adalah munculnya dua group besar mengikuti
pembelahan di level internasional: sururi dan puritan.
Konflik pertama, antara Ja’far Umar
Thalib dengan Yusuf Baisa sampai pada tahapmubahalah (beradu do’a, siapa yang berbohong
akan celaka). Yusuf Baisa seperti juga Ja'far Umar Thalib merupakan alumni
pesantren PERSIS Bangil. Keduanya melanjutkan studi ke LIPIA. Namun, Yusuf
Baisa meneruskan ke Riyadh sedangkan Jafar meneruskan ke Yaman.
Sekembali dari Yaman, Ja'far Umar Thalib
mendengar khabar bahwa Yusuf Baisa mengkampanyekan pandangan yang berbeda
dengan salafi. Yusuf Baisa mengatakan agar dakwah menjadi efektif, maka harus
mempunyai kemampuan berorganisasi seperti kalangan Ikhwan al Muslimun,
bijaksana seperti Jama’ah Tabligh, dan mempunyai ilmu pengetahuan seperti
Salafi, dalam hal saling memahami masalah aqidah. Sebagian pendengar
menyampaikan pernyataan ini pada Ja'far.
Ja'far mendengar berita ini sangat marah
sekali pada Yusuf, karena menganggap gerakan Salafi seperti gerakan Ikhwan yang
terorganisir. Abu Nida coba mendamaikan keduanya, berlaku sebagai mediator.
Yusuf dan Ja’far bertemu dan untuk memberikan klarifikasi, hal ini terjadi di
rumah Ja’far dan dipimpn oleh Abu Nida’ dan dihadiri oleh tiga pemimpin Salafi
lainnya.
Yusuf mengakui kesalahannya dan berjanji
tidak akan membicarakan manfaat hizbiyahseperti Ikhwan al
Muslimun. Pendeknya pertemuan itu menghasilkan kesepakatan bahwa Yusuf Baisa
akan kembali ke riil salafi. Yusuf juga setuju untuk mengumumkan kepada para
aktifis Salafi bahwa dia telah kembali ke jalan yang benar, dengan demikian dia
meyakinkan bahwa Salafi harus tetap bersatu. Yusuf juga membuat pertemuan pada
bulan Juni 1994 di masjid Utsman bin Affan dekat rumah Ja'far, untuk
menyelesaikan persoalan mereka.
Namun Yusuf beberapa bulan kemudian
menyatakan hal sama kembali. Pada sebuah ceramah tentang konsep keadilan, Yusuf
merekomendasikan tulisan beberapa kalangan Salafi dimana Ja’far menyebut mereka
sebagai Sururiyah.
Perkembangan pertengkaran antara keduanya
semakin memburuk. Yusuf mengadakan diskusi mengkritik buku Ja’far. Ja’far
menuduh Yusuf melakukan fitnah, karena itu Ja’far menulis “gerakan Sururi
memecah belah Ummat”. Yusuf merespon pandangan Ja’far dengan mengajak mubahalah.
Setelah diadakan Mubahalah perpecahan semakin
tak bisa dihindari. Ja’far meminta semua kalangan salafi untuk ikut bersamanya
atau berhadapan dengannya. Semua guru-guru Salafi yang datang bersamanya yang
umumnya berasal dari FKASWJ.
Konflik kedua terjadi antara Ja’far Umar
Thalib dengan Muhammad Assewed dan Yazid Jawwas. Kedua tokoh tersebut terbilang
mantan murid-murid Ja’far Umar Thalib. Namun kini hubungan antara guru dengan
murid terputus sudah, mereka saling membid’ahkan satu sama lain.
Konflik antara Ja’far Umar Thalib dengan
Muhammad Assewed terjadi setelah kembali dari jihad Ambon. Sepulang dari Ambon
Ja’far melakukan perenungan dakwah. Diantara perenungannya adalah menyadari
telah terjadi kesalahan yang amat fatal dalam melakukan dakwah Salafiyah yaitu
terlalu memprioritaskan aqidah sementara itu dalam segi akhlaq tidak terlalu
terperhatikan. Akibatnya, para murid Ja’far sulit untuk toleran terhadap orang
lain yang tidak sepaham dengan manhaj Salafi. Dengan demikian, dakwah manhaj
Salafi menjadi ditakuti orang lain, bukan malah sebaliknya dicintai kaum
muslimin.
Padahal dalam ajaran Islam antara akhlaq
dengan aqidah berdiri satu jajar dan tidak bisa dipisahkan antara yang satu
dengan yang lain.
Memprioritaskan antara aqidah atau akhlaq
akan menimbulkan kepincangan dalam dakwah. Seperti yang dialami kalangan
Salafi, masyarakat bukan tidak mau menerima kebenaran ajaran, namun menjadi
takut melihat akhlaq da’i yang tidak mempunyai jiwa toleran sama sekali.
Tak hanya itu, kuatnya doktrin dalam
rangka membina aqidah berakibat pada keengganan murid berbeda pendapat dengan
gurunya. Hal ini berimplikasi tidak adanya penelaahan terhadap kitab yang ada,
sebab segalanya telah diserahkan pada guru (syaikh). Sikap demikian, pelan
namun pasti menimbulkan sikap taqlid, dimana hal ini sangat ditentang dalam manhaj
Salafi.
Refleksi
pemikiran ini rupanya tak bisa diterima para muridnya. Diantaranya yang menolak pemikiran Ja’far
adalah Muhammad Assewed. Menurut Assewed, pemikiran Ja’far ini dianggap sebagai
melemahnya sikap Ja’far terhadap ahlul bid’ah. Padahal menurut Assewed,
memperingatkan ummat dari ahlul bid'ah dan mentahdzir ahlul bid'ah, membenci
mereka, menghajar mereka, memboikot mereka dan tidak bermajlis dengan mereka,
adalah kesepakatan dalam ajaran salafi.
Hasil perenungan Ja’far dianggap sebagai
sikap kompromi terhadap bid’ah, karena itu aqidah Ja’far patut dipertanyakan,
apakah masih dalam manhaj Salafi atau sudah keluar? Berita ini sampai
juga ketelinga para guru di Timur Tengah. Repotnya para guru hanya menerima
informasi sebelah pihak, walhasil keluar fatwa dari syaikh Rabi’ bin Hadi
al-Madkhali bahwa Ja’far Umar Thalib sudah keluar dari manhaj Salafi. Tentu
saja Ja’far tidak menerima fatwa ini, sebab menurutnya apa yang disampaikan
pada para syaikh hanya kedustaan belaka.
Namun
menurut Ja’far, itulah persoalannya, kaum muslimin di Indonesia jangan
dibayangkan kalau mereka itu semua mengerti akan agama Islam secara mendetail. Umat Islam di Indonesia, pada umumnya
tidak tahu Islam secara mendetail. Maka silang pendapatpun terjadi, yang
berujung pada saling tuding. Sampai tulisan ini diturunkan Muhammad Assewed
sudah tak tinggal lagi di Yogyakarta, melainkan di Cirebon kembali membina
madrasah Al-Irsyad.
Silang pendapat yang cukup tajam juga
terjadi antara Ja’far Umar Thalib dengan Yazid Jawaaz Perbedaan pendapat
mengenai apakah kelompok Salafi perlu pergi untuk berjihad ke Ambon. Yazid
Jawaaz berpendapat bahwa kalangan Salafi tak perlu berangkat ke Ambon, karena
masih ada pemerintah yang bertanggung jawab. Namun, Ja’far dan Assewed
berpendapat lain. Bahwa telah terjadi pendhaliman terhadap umat Islam di Ambon
dan memerlukan bantuan. Silang pendapat ini berujung pada saling tuding, bahwa
Ja’far menganggap Yazid enggan untuk berangkat Jihad, sementara Yazid menuduh
Ja’far hanya mencari popularitas saja.
Tak hanya itu, perbedaan pendapat juga
terjadi mengenai pemikiran para tokoh Ikhwanul Muslimin, antara Yazid Jawwas
dengan kalangan Salafi lainnya, menyebabkan Yazid tidak lagi dianggap Salafi.
Dalam pandangan Yazid, tidak semua pendapat atau tindakan para tokoh Ikhwan
bisa dikategorikan sebagai ahlul bid’ah, sebab mereka adalah para pejuang
Islam, yang rela berkorban demi Izzul Islam wal Muslimin. Namun lain halnya
dengan pandangan para syaikh Salafi terutama yang berada di Timur Tengah,
dimana mereka menganggap para tokoh Ikhwanul Muslimun adalah orang-prang hizbiyyah (yang selalu mendahulukan
kelompoknya) dan itu termasuk dalam dosa besar.
Setelah terjadi konflik yang berterusan
antara Ja’far dengan yang lain, maka gerakan salafi terpecah menjadi semakin jelas
antara yang politik dan non politik – terjaring dalam FKASWJ.
Salafi Sururiah
Bagi kalangan Salafi yang mentolerir
adanya kehidupan berpolitik lebih sering disebut kelompok sururiyah. Di
Indonesia sendiri, banyak sekali kalangan salafi yang mendapat gelar sururiyah
atau yang mempunyai pandangan yang berbeda dengan kalangan salafi puritan.
Mereka adalah Yusuf Baisa, Abu Nida Chomsaha Sofwan dkk, Abu Sa'ad Muhammad Nur
Huda, MA, Arif Syarifuddin, Lc, Abu Ihsan Al Maidani Al Atsary, Afifi Abdul
Wadud, Abul Hasan Abdullah bin Taslim, Lc, Abu Abdil Muhsin Firanda, Asmuji
(Imam Syafi'i, Cilacap). Umar Budiargo, Lc, Khudlori, Lc, Aris Munandar, SS,
Ridwan Hamidi, Lc , Muhammad Yusuf Harun, MA, dan Farid Ahmad Okbah dari PP Al
Irsyad.
Demikian juga dengan kelembagaannya,
kalangan salafi politik, relatif bergerak dalam kelembagaan dibandingkan dengan
kalangan salafi non politik. Mereka diantaranya adalah Yayasan al-Sofwah,
kelompok Yazid Jawwas dan Abdul Hakim Abdat, yang dekat tetapi tidak secara
institusional berhubungan dengan al-Sofwah.
Abu Nida', Ahmad Faiz, dan jaringan
at-Turots. Kelompok Abu Nida' menerbitkan majalah al-Fatawa, Ahmad Faiz's juga menerbitkan majalah as-Sunnah. Ketiga, majalah, al-Furqon, yang diterbitkan oleh kelompok
Annur Rofiq dari Mahad al-Furqon al-Islami, Gresik, yang mempunyai jaringan
yang sama.
Yusuf Baisa dan Farid Okbah jaringan
al-Irsyad (sangat dekat dengan at-Turots tetapi bukan bagian dari jaringannya).
Yayasan al-Irsyad selalu dikritik karena mempunyai acara muktamar tahunan, ini
merupakan bukti dari kegiataan hizbiyah.
PP Taruna Al Qur'an, Umar Budiargo, Lc,
Khudlori, Lc, Aris Munandar, SS, Ridwan Hamidi, Lc (alumni Madinah, disebut
tokoh freeline). PP Taruna Al Qur'an alias L-Data cabang Jogjakarta ini akrab
dengan ikhwani dimanapun. L-Data pusat dipimpin (aldakwah.org) Muhammad Yusuf
Harun, MA, dai al Sofwa, penerjemah al Al Sofwa Jakarta.
Para tokoh kalangan salafi politik
tersebar di berbagai negara dan mereka melakukan pembinaan dengan organisasi
non profit (LSM) yang ada di Indonesia. Di antara tokoh Salafi politik
internasional adalah, Muhammad Surur Nayif Zainal Abidin (kini tinggal di
London), Abdul Karim Al Katsiri (Saudi Arabia), Syarif Fuadz Hazza (Mesir),
Musthofa bin Isma’il Abul Hasan as Sulaimani Al Ma’ribi al hizbi (Yaman).
Mereka juga memberikan banyak bantuan
pada LSM seperti, As-Sofwah, at-Turots dan lain-lain dalam rangka penyebaran
paham salafi politik.
Ketidaksukaan sebagian Salafi seperti
as-Sewed (salafi puritan) kepada lembaga at-Turots merupakan refleksi
dari pendirian mentor mereka di Saudi Arabia dan Yaman kepada Abdul Khaliq.
Pertentangan ini semakin muncul ketika website salafi memuat pemikiran Syeikh
Muqbil bin Hadi al-Wadi, guru Ja’far dari kaset yang direkam tahun 1995. Syeikh
Muqbil menuduh Abdul Khaliq mencoba untuk memecah komunitas Salafi dengan
secara terbuka membagikan uang dinar di Kuwait, Indonesia, Yaman, dan Sudan.
Pertentangan kalangan Salafi diketahui
Ja’far sejak awal. Ja’far selain mengenal para Imam Salafi, Ja’far juga mengenal
para tokoh Salafi yang dianggap menyimpang dari manhaj Salafi. Mereka adalah
Muhammad Surur bin Zainal Abidin, Salman Al-Audah, Safar Al-Hawali, A’idl
Al-Qarni, dan Abdurahman Abdul Khaliq. Penyimpangan mereka karena para tokoh
ini menganggumi para tokoh Ikhwanul Muslimin seperti Sayyid Quthb, Hasan
Al-Banna, Muhammad Abduh, Jamaludin Al-Afghani, Muhammad Rashid Ridha dan
lain-lain, yang dianggap sesat oleh para Imam Salafi.
Kalangan Salafi yang dianggap menyimpang
ini juga mempunyai banyak murid di Indonesia. Bahkan untuk mengkomunikasikan
para murid Abdurahman Abdul Khaliq mendirikan lembaga Ihya’ut Turats. Untuk
memperdalam komunikasi dengan para murid Abdurahman Abdul Khaliq sering datang
ke Indonesia.
Pada tahun 2004 Umar as-Sewed mengkritik
ungkapan Abdul Khaliq yang telah mendiskreditkan para pemimpin Saudi. Menurut
as-Sewed, Abdul Khaliq pantas juga diberikan gelar sebagai thaghut, sebagaimana
juga diungkapkan oleh semua syeikh Salafi termasuk bin Baz dan Utsaimin.
As-Sewed juga mendorong bahwa ketidaksukaan Abdul Khaliq pada Saddam terjadi
baru-baru ini karena adanya perang, karena itu Abdul Khaliq pada dasarnya
adalah orang munafik nomer satu.
Dengan demikian jelas, bahwa gerakan
salafi di Indonesia sangat amat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi di Timur
Tengah. Saling tuding dengan mengatasnamakan agama, menjadi ciri khas dari
gerakan salafi. Yang ironis dari kelompok salafi ini adalah mereka mengajarkan
doktrin anti taqlid kepada para pengikutnya, namun pada kenyataannya, mereka
juga taqlid kepada para syeikh mereka di Timur Tengah. Hal ini terlihat dari
apa yang terjadi konflik di Timur Tengah maka di Indonesiapun terjadi konflik.
Salafi Jihadi
Berkembangnya gerakan
salafi jihadi merupakan klimaks kemarahan para aktifis salafi jihadi pada pemerintah
Saudi Arabia. Kalangan jihadi menolak mentah-mentah upaya yang dilakukan
pemerintah Saudi Arabia untuk meminta bantuan Amerika Serikat demi melindungi
negara. Bertitik tolak dari ketidaksepahaman inilah, kalangan salafi jihadi
kemudian lebih memilih berhadap-hadapan dengan pemerintahnya sendiri.
Setelah Soviet keluar
dari Afganistan, dukungan internasional untuk jihad mulai meredup dan para
mujahidin kembali ke negara masing-masing. Usamah bin Laden kembali ke Saudi
Arabia. Pada tahun 1990, Irak menyerang Kuwait, ini mengakibatkan ketakutan
pada Saudi Arabia. Usamah melakukan pendekatan pada Raja Fahd dan menawarkan
bantuan untuk mempertahankan kerajaan, dengan membangun benteng pertahanan dan
bantuan pasukan mujahidin yang pernah dibinanya.
Namun Raja Fahd tak
cukup yakin apakah Usamah bin Laden akan mampu menahan gempuran pesawat tempur
Irak. Jawaban yang diberikan pada Raja Fahd rupanya tak cukup meyakinkan,
karena itu Raja Fahd minta bantuan kepada Amerika Serikat dan negara barat
lainnya untuk melindungi kerajaan Saudi dari serbuan tentara Irak.
Menurut Usamah, undangan
Saudi terhadap Amerika sama artinya dengan penghinaan terhadap negara muslim.
Sebab menurut Usamah segala kerusakan yang ada di negara-negara muslim
disebabkan oleh orang-orang kafir yang superpower. Dengan mengundang Amerika ke
Saudi sama artinya dengan Saudi meminta dihancurkan oleh negara kafir.
Merasa tak sejalan lagi
dengan pemerintah Saudi, Usama dan para pengikutnya keluar dari Saudi. Mereka
membangun jaringan untuk menyerang Barat. Pada tahap pertama, Usamah dan
pengikutnya pindah ke Sudan 1992-1994. Pada tahun 1994 al-Qaeda pindah ke
Pakistan dan akhirnya bergabung dengan Taliban di Afganistan. Dengan kata lain,
sejak 1992 kepemimpinan al-Qaeda telah berhijrah dan membangun pergerakan jihad
dalam skala global dalam rangka menghancurkan hegemoni Barat.
Tempat-tempat latihan
dibangun diberbagai arena di Afganistan, demikian juga dengan jaringan yang
berskala internasional. Hal ini dilakukan dalam rangka untuk menyerang Barat.
Dalam programnya, al-Qaeda memasukkan upaya untuk konsolidasi organisasi jihad,
memproduksi video rekaman dengan resolusi tinggi, dan melibatkan dunia publik.
Pada 1996 dan 1998 Usama mendeklarasikan perang melawan Amerika atas nama
al-Qaeda. Deklarasi ini diikuti dengan serangan bom ke kedutaan Amerika di
Tanzania dan Kenya.
Ideologi
Meski secara politis
Usamah bin Ladin menjadi pimpinan dari salafi jihadi, namun dari segi ideologi
gerakan salafi jihadi dibangun atas dasar pemahaman salafi (wahabi) dan Sayyid
Quthb. Kedua pemahaman tersebut dibangun atas puritanisme dalam rangka
mengembalikan kejayaan Islam. Kedua paham ini menemukan persemaiannya di
Afganistan.
Pada fase 1980-an dan
1990-an gerakan apolitis-puritan selalu memandang ke belakang (romantisisme)
menjadi gelombang baru dari gerakan fundamentalisme. Gerakan ini pada awalnya
hanya gerakan puritan Islam yang ingin mengembalikan kejayaan Islam. Gerakan
puritan Islam yang dipelopori Nashirudin al-Bani yang merupakan penerus
Muhammad bin Abdul Wahhab bermula di Saudi Arabia. Gerakan ini tak mendapat
hambatan apapun di Saudi karena hampir mirip dengan gerakan Wahabi.
Perkawinan paham antara
salafi (wahabi) dan Quthb menjadi doktrin baru bagi para aktifis yang menamakan
diri sebagai Salafi Jihadi. Pada saat perang teluk 1990-1991 dimana pasukan
Amerika memasuki tanah suci, menjadi kemarahan yang sangat besar bagi kalangan
salafi jihadi. Merekapun berhijrah, dalam upaya membuat persiapan untuk
menghadapai Barat.
Ide baru yang membedakan
al-Qaeda dengan gerakan Islam datang dari Abdullah Azzam. Sebelumnya,
perjuangan para mujahidin hanya untuk mengalahkan rejim yang sedang berkuasa di
Afganistan yaitu Uni Soviet. Bagi Azzam, meskipun tidak ada kompromi dengan
rejim sekuler, perpindahan kalangan mujahidin dari berbagai penjuru dunia ke
Afganistan menunjukan bahwa perjuangan umat Islam adalah perjuangan global.
Teori jihad
internasional ini diperkenalkan oleh kader internasional yang merupakan hasil
dari Jihad di Afganistan. Masyarakat dari seluruh dunia berdatangan ke
Afganistan, berlatih militer di kamp yang dibangun dan dikelola oleh Abdullah
Azam dan Usamah Bin Laden. Kemudian mereka kembali ke negara masing-masing dan
membuat jaringan di negara masing-masing. Usamah yang mempunyai keahlian dalam
hal bisnis administrasi mencatat semua pejuang yang pernah berlatih di Bait
al-Anshar, atau di tempat latihan lainnya. Hal ini tidak berarti Usamah
mempunyai organisasi seperti Rotary Club atau seperti Komintern, namun hal ini
lebih mengandung arti bahwa Usamah tetap mempunyai kontak dengan pemimpin dari
setiap kelompok di seluruh dunia yang pernah terlibat dalam peperangan selama
10 tahun di Afganistan.
Pemikiran jihad global
ini dipahami secara sama oleh para pelaku teror di Indonesia, karena memang itu
merupakan bagian jaringan Internasional. Noordin M Top, dalam VCD-nya
menyatakan, “Kalian telah menyaksikan bahwa ikhwan-ikhwan kami telah menyerang
musuh-musuh Islam langsung ke jantung pertahanan mereka”. Pernyataan tampaknya
ditujukan kepada para pimpinan al-Qaeda atau kepada jaringan lainnya, bahwa
jaringan Asia Tenggara telah melakukan sebuah aksi menyerang kepentingan Barat.
Landasan pemikirannya,
seperti yang disampaikan sebelumnya untuk menghancurkan Amerika dan sekutunya.
Hal ini juga disampaikan dalam pidato singkatnya di VCD tersebut sebagai
berikut, “Kami tegaskan musuh-musuh Allah yaitu musuh-musuh kami adalah
Amerika. Kami ulangi, bahwa musuh-musuh Allah adalah Yahudi, Salibi, Amerika,
Australia, Inggris dan Italia. Kami juga menegaskan musuh kami adalah
penolong-penolong dan pembantu-pembantu Bush dan Blair penguasa kafir, yang
menguasai kaum muslimin, yang memburu ulama-ulama kaum mujahidin. Bahwa kepada
kecelakaan akan menimpa kamu. Selama kamu, masih mengintimidasi kaum muslim,
maka kami akan terus mengintimidasi. Kalian akan terus merasakan bagaimana
serangan mematikan seperti ini”.
Bagi kalangan al-Qaeda,
hanya ada satu sebab, karena Soviet melawan Islam maka mereka dapat
dihancurkan, hal ini sudah menjadi sunnatullah, seperti juga kalangan Quraisy yang
menentang Islam dapat dihancurkan. Keyakinan inilah yang sekarang dipakai
al-Qaeda dalam melakukan aksi teror menentang Barat. Tujuan dari aksi teror ini
adalah menghancurkan Amerika dan aliansi Yahudi dan Kristen sebagai superpower.
Dalam program jihad
global, maka Amerika merupakan negara pertama yang dijadikan target utama.
Prioritas ini bertujuan untuk menghancurkan mitos tentang Amerika sebagai
negara Superpower yang tak terkalahkan. Ketika al-Qaeda merujuk ke Amerika,
artinya dunia non muslim secara umum. Hal ini menjadi anatema untuk al-Qaeda
dan afiliasinya untuk menyerang rejim yang ada di negara muslim, pada tahap ini
sebagai sebuah proses. Bagi al-Qaeda Amerika dan sekutunya sebagai sesuatu yang
lemah, dibandingkan dengan Soviet.
Target penting al-Qaeda
adalah untuk mengalahkan Amerika, seperti Hizbullah mengeluarkan Perancis dari
Libanon dengan bom truknya 1983. Keluarnya Amerika dari Somalia setelah
kematian delapan pasukannya, demikian juga di Vietnam. Para pemimpin al-Qaeda
merujuk pada Vietnam Syndrom sebagai bukti bahwa Amerika dapat dihapuskan
sebagai sponsor bagi rejim-rejim di Timur Tengah.
Al-Qaeda sudah cukup
belajar, untuk mengalahkan rejim lokal, maka yang pertama harus dikalahkan
adalah negara superpower yang menjadi pendukung rejim lokal. Bagi masyarakat
Salafi Jihadi menjadi bukti gerakan radikal yang dimodifikasi oleh Salafi
Jihadi, telah membuahkan hasil di Afganistan. Karena itu, mereka berkeyakinan
tak terlalu sulit untuk mengalahkan Amerika dan sekutunya.
Lebih jauh, dalam perspektif
al-Qaeda, Barat di bawah kepemimpinan Amerika Serikat, telah bergerak menuju
kepada sebuah proses “fir’aunisasi” (Pharaohization). Ini mendasarkan pada
sebuah hikayat al-Quran tentang kejahatan raja Fir’aun. Pada saat yang
bersamaan kelompok-kelompok Islam di Mesir menyamakan rezim Gamal Abdul Nasser,
Anwar Sadat, dan Husni Mubarrak sebagai Fir’aun tersebut. Sebab itu, istilah
ini memberikan sebuah simbol yang berguna bagi pergerakan-pergerakan tersebut
dalam melakukan transformasi musuh-musuh baik internal maupun luar negeri.
Jaringan al-Qaeda di
Asia Tenggara (Indonesia dan Malaysia)
Untuk jaringan al-Qaeda
di Asia Tenggara yang menjadi pelaku, sebagaimana disebutkan sebelumnya, adalah
mereka yang pernah berperang di Afganistan. Adapun tokoh yang menjadi mediator
dengan Usamah bin Ladin di Afganistan adalah Umar Farouq – asal Kuwait, menikah
dengan orang Indonesia, ditangkap di Indonesia, kemudian dikembalikan ke negara
terakhir sebelum menginjakkan kakinya di Indonesia, kemudian di penjara di Afganistan,
namun belakangan diberitakan dapat melarikan diri dari penjara.
Pada mulanya, pusat
al-Qaeda di Asia Tenggara, berada di Malaysia. Namun ketika pemerintah Malaysia
melakukan tindakan tegas kepada kalangan muslim garis keras, mereka lalu pindah
ke Indonesia. Secara kebetulan memang mereka warga negara Indonesia. Secara
pemikiran dan sikap sebenarnya mereka tidak sama. Dalam garis perjuangan
Hambali dan Abdullah Sungkar adalah orang yang lebih cenderung menggunakan
kekerasan dalam bertindak. Sedangkan Abu Bakar Ba’asyir lebih cenderung
mengobarkan semangat jihad dalam artian yang sangat luas dari pada melakukan
tindakan dalam bentuk kekerasan. Hal ini bisa terlihat dari artikulasi Majlis
Mujahidin Indonesia (MMI) dan kemudian JAT, organisasi yang dipimpinnya, lebih
cenderung mengobarkan semangat jihad dalam artian yang luas, sedangkan tindakan
anarkis bukan prioritas utama. Sedangkan Abu Jibril dan tentu saja dengan
pengikutnya, lebih memilih jalan dakwah sebagaimana biasa, dengan jalan damai.
Sikap dan pandangan
orang-orang tersebut yang kemudian juga disebut-sebut sebagai pimpinan Jama’ah
Islamiyah berimplikasi pada gerakan seterusnya di Indonesia. Bagi Hambali dalam
mensikapi segala tindakan pemerintah dan juga koflik yang terjadi di Ambon
lebih cenderung harus dibalas dengan cara kekerasan. Misalnya, ketika konflik
di Ambon didapati ada banyak senjata di gereja, maka Hambali meminta pada Imam
Samudera dan Ali Imran untuk membalas hal tersebut dengan melakukan aksi
serangan kepada gereja-gereja di seluruh Indonesia. Maka dikenal dengan
serangan bom Natal tahun 2001.
Tidak demikian halnya
dengan Abu Bakar Ba’asyir, yang melihat persoalan tersebut bersifat lokal.
Artinya apa yang menimpa (konflik) umat Islam di suatu daerah, maka hal yang
harus dilakukan, andaikan melakukan pembelaan, maka harus dilakukan juga di
daerah konflik tersebut dengan balasan yang seimbang. Demikian juga halnya
dengan Abu Jibril.
Dalam jaringan al-Qaeda
di Asia Tenggara (Indonesia dan Malaysia) lebih di fokuskan pada, jaringan al-Qaeda
yang melakukan aksi teror. Jaringan al-Qaeda di Indonesia terbagi menjadi
beberapa kelompok besar. Pertama kelompok Malaysia atau yang dikenal dengan
kelompok muslim militan yaitu terdiri Wan Min Wan Mat, Roshelmy Muhammad
Sharif, Idrus Salim, Abdullah Daud, Azhari dan Noordin M Top. Dua nama terakhir
dalam melakukan aksi terornya selalu di Indonesia. Kelompok kedua, kelompok
Serang yang terdiri dari Imam Samudera alias Abdul Aziz, Abdul Rauf, Andi
Oktavia, Amin dan Iqbal meninggal saat melakukan bom bunuh diri di Pady’s café,
Bali, 2002. Kelompok ketiga, adalah kelompok Lamongan yaitu terdiri dari
Mukhlas, Amrozi, Ali Imran Umar alias Petek, Dulmatin, Mubarak dan Idris.
Kelompok keempat, kelompok Makasar yaitu Abdul Hamid, Muchtar Daeng, Ilham, Usman,
Masnur dan Azhar Daeng.
Dalam melakukan aksinya
mereka selalu melakukan koordinasi satu sama lain. Misalnya dalam Bom Bali I
kerjasama antara kelompok Serang dengan kelompok Lamongan atau yang dikenal
dengan nama poros Lamongan-Serang. Demikian juga dengan aksi-aksi teror lainnya
selalu ada koordinasi satu dengan yang lainnya. Nama-nama yang terdapat dalam
kelompok-kelompok di atas adalah tokoh-tokoh utama dalam aksi teror. Sedangkan
yang pendukung aksi teror tersebar diseluruh Indonesia. Mereka hampir ada di
seluruh Indonesia.
Kesimpulan Islamisme di
Indonesia
Mencermati perkembangan gerakan Islam non-mainstream yang cukup mewabah tersebut di
atas maka pertanyaan pentingnya adalah bagaimana implikasi gerakan tersebut
bagi gerakan sosial keagamaan yang sudah relatif mapan di Indonesia? Jawaban
pertanyaan ini untuk sementara masih bersifat spekulatif. Namun beberapa
perkiraan umum dapat dilakukan. Pertama, gerakan Islam non-mainstreamkemungkinan
besar masih akan terus berkembang luas. Hal ini terutama ditunjang oleh
jaringan internasional yang mendukungnya. Padahal gerakan Islam mainstream
relatif kurang mendapat dukungan jaringan internasional.
Kedua, gerakan Islam non-mainstream kemungkinan besar akan berbenturan
dengan gerakan Islam mainstream. Saling singgung dan saling
menggerogoti basis kemungkinan besar akan terjadi. Basis Muhammadiyah di
perkotaan umpamanya, sekarang ini sedang digerogoti oleh jamaah Ikhwan dan
Hizbut Tahrir. Jamaah Tabligh menggerogoti beberapa konstituen penting NU di
perkotaan. Sedangkan gerakan Salafi, berusaha mengambil jamaah NU puritan
dengan pendekatan pesantren. Adapun Jamaah Tabligh sedang mengincar
komunitas-komunitas sufi.
Ketiga, di antara sesama jaringan non-mainstream ternyata terjadi ketegangan
yang kuat. Jamaah Ikhwan umpamanya, tidak pernah bertemu dengan Hizbut Tahrir.
Sedangkan Salafi sangat getol mengecam gerakan Ikhwan, Hizbut Tahrir, maupun
Jamah Tablig.
Meskipun terjadi persaingan yang serius,
semua gerakan non mainstream tersebut ternyata bertemu dalam agenda terwujudnya
pemerintahan Islam. Kecuali Salafi Dakwah dan Jamaah Tablig yang, untuk
sementara, bersifat apolitis. Agenda terakhir ini tentu saja dapat berpotensi
berbenturan dengan ideologi Nasional. Persoalannya, bagaimana negara harus menghadapi aneka ragam
idelogi gerakan yang tidak sepenuhnya sejalan dengan ideologi nasional. Menurut
hemat kami, sepanjang gagasan-gagasan tersebut masih dalam ranah privat, maka
negara seharusnya tidak perlu campur tangan. Hal ini berkaitan dengan kewajiban
negara untuk melindungi kebebasan pemikiran dan gagasan yang dikembangkan
oleh warga negara. Namun, apabila gagasan tersebut sudah ditransformasikan
menjadi sebuah gerakan politik secara langsung, maka sudah sepantasnya negara
melakukan tindakan. Tapi, tindakan itu harus tetap sesuai koridor negara hukum.
Mengacu pada TAP-MPRS III/1966 tentang
larangan ajaran marxisme-leninisme-komunisme yang masih berlaku hingga
sekarang, maka negara pada dasarnya mempunya kewenangan yang kuat untuk
melakukan tindakan hukum bagi gerakan-gerakan yang mempunyai ideologi politik
yang secara nyata bertentangan dengan Pancasila. Dalam konteks pribadi, bisa
mengunakan KUHP tentang kejahatan terhadap negara. Dalam konteks keormasan,
bisa menggunakan UU No.8/1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Sedangkan
dalam konteks partai politik bisa menggunakan UU No.2/2008 tentang Partai
Politik. Persoalannya tinggal komitmen negara dalam melaksanakan peraturan
perundangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar