Rabu, 28 Februari 2018

Profil LP Ma'arif NU

Profil LP Ma'arif NU

I. SEJARAH SINGKAT

Lembaga Pendidikan Ma'arif Nahdlatul Ulama (PP LP Ma'arif NU) merupakan salah satu aparat departementasi di lingkungan organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Didirikannya lembaga ini di NU bertujuan untuk mewujudkan cita-cita pendidikan NU. Bagi NU, pendidikan menjadi pilar utama yang harus ditegakkan demi mewujudkan masyarakat yang mandiri. Gagasan dan gerakan pendidikan ini telah dimulai sejak perintisan pendirian NU di Indonesia. Dimulai dari gerakan ekonomi kerakyatan melalui Nadlatut Tujjar (1918), disusul dengan Tashwirul Afkar (1922) sebagai gerakan keilmuan dan kebudayaan, hingga Nahdlatul Wathan (1924) yang merupakan gerakan politik di bidang pendidikan, maka ditemukanlah tiga pilar penting bagi Nadhlatul Ulama yang berdiri pada tanggal 31 Januari 1926 M/16 Rajab 1334 H, yaitu: (1) wawasan ekonomi kerakyatan; (2) wawasan keilmuan, sosial, budaya; dan (3) wawasan kebangsaan.

Untuk merealisasikan pilar-pilar tersebut ke dalam kehidupan bangsa Indonesia, NU secara aktif melibatkan diri dalam gerakan-gerakan sosial-keagamaan untuk memberdayakan umat. Di sini dirasakan pentingnya membuat lini organisasi yang efektif dan mampu merepresentasikan cita-cita NU; dan lahirlah lembaga-lembaga dan lajnah—seperti Lembaga Dakwah, Lembaga Pendidikan Ma'arif, Lembaga Sosial Mabarrot, Lembaga Pengembangan Pertanian, dan lain sebagainya—yang berfungsi menjalankan program-program NU di semua lini dan sendi kehidupan masyarakat. Gerakan pemberdayaan umat di bidang pendidikan yang sejak semula menjadi perhatian para ulama pendiri ( the founding fathers ) NU kemudian dijalankan melalui lembaga yang bernama Lembaga Pendidikan Ma'arif Nahdlatul Ulama (LP Ma'arif NU). Lembaga ini bersama-sama dengan jam'iyah NU secara keseluruhan melakukan strategi-strategi yang dianggap mampu meng- cover program-program pendidikan yang dicita-citakan NU.

Lembaga Pendidikan Ma'arif Nahdlatul Ulama (LP Ma'arif NU) merupakan aparat departentasi Nahdlatul Ulama (NU) yang berfungsi sebagai pelaksana kebijakan-kebijakan pendidikan Nahdlatul Ulama, yang ada di tingkat Pengurus Besar, Pengurus Wilayah, Pengurus Cabang, dan Pengurus Majelis Wakil Cabang. Kedudukan dan fungsi LP Ma'arif NU diatur dalam BAB VI tentang Struktur dan Perangkat Organisasi pasal 1 dan 2; serta ART BAB V tentang Perangkat Organisasi. LP Ma'arif NU dalam perjalannya secara aktif melibatkan diri dalam proses-proses pengembangan pendidikan di Indonesia. Secara institusional, LP Ma'arif NU juga mendirikan satuan-satuan pendidikan mulai dari tingkat dasar, menangah hingga perguruan tinggi; sekolah yang bernaung di bawah Departemen Nasional RI (dulu Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI) maupun madrasah; maupun Departemen Agama RI) yang menjalankan Hingga saat ini tercatat tidak kurang dari 6000 lembaga pendidikan yang tersebar di seluruh pelosok tanah air bernaung di bawahnya, mulai dari TK, SD, SLTP, SMU/SMK, MI, MTs, MA, dan beberapa perguruan tinggi.

II. VISI DAN MISI

2.1. Visi

Dengan mengambangkan sistem pendidikan dan terus berupaya mewujudkan pendidikan yang mandiri dan membudayakan ( civilitize ), LP Ma'arif NU akan menjadi pusat pengembangan pendidikan bagi masyarakat, baik melalui sekolah, madrasah, perguruan tinggi, maupun pendidikan masyarakat.Merepresentasikan perjuangan pendidikan NU yang meliputi seluruh aspeknya, kognitif, afektif, maupun psikomotorik.Menciptakan komunitas intitusional yang mampu menjadi agent of educational reformation dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan pembangunan masyarakat beradab.

2.2. Misi

Menciptakan tradisi pendidikan melalui pemberdayaan manajemen pendidikan yang demokratis, efektif dan efisien, baik melalui pendidikan formal maupun non-formal.Menumbuhkan kesadaran akan pentingnya pendidikan, terutama pada masyarakat akar rumput ( grass root ), sehingga terjalin sinegri antar kelompok masyarakat dalam memajukan tingkat pendidikan.Memperhatikan dengan sungguh-sungguh kualitas tenaga kependidikan, baik kepala sekolah, guru dan tenaga administrasi melalui penyetaraan dan pelatihan serta penempatan yang proporsional, dengan dukungan moral dan material.Mengembangkan system informasi lembaga pendidikan sebagai wahana penyelenggaraan komunikasi, informasi dan edukasi serta penyebarluasan gagasan, pengalaman dan hasil-hasil kajian maupun penelitian di bidang ilmu, sains dan teknologi lewat berbagai media.Memperkuat jaringan kerja sama dengan instansi pemerintah, lembaga/institusi masyarakat dan swasta untuk pemberdayaan lembaga pendidikan guna meningkatkan kualitas pendidikan maupuh subyek-subyek yang terlibat, langsung maupun tidak langsung, dalam proses-proses pendidikan.

III. KEBIJAKAN DAN STRATEGI

3.1. Kebijakan

Menata dan mensosialisasikan kepengurusan LP Maarif NU.Melanjutkan penyusunan database satuan pendidikan di lingkungan NU.Mempertegas identitas pendidikan (Sekolah, Madrasah, dan Perguruan Tinggi) Ma'arif NU.Meningkatkan madrasah/sekolah unggul dan perguruan tinggi di masing-masing wilayah.Meningkatkan hubungan dan jaringan ( networking ) kerja sama dengan lembaga Internasional.

3.2. Strategi

Menguatkan soliditas dan komitmen Pengurus Ma'arif NU di semua tingkatannya;Menggalang kekuatan struktural dan kultural warga NU (nahdliyin) dalam pengembangan dan peningkatan mutu pendidikan Ma'arif NU;Mendirikan badan-badan usaha di bawah naungan PP LP Ma'arif NU untuk mencukupi kebutuhan pendanaan;Meningkatkan partisipasi pendidikan warga NU (nahdliyin) melalui berbagai bentuk kerja sama yang saling menguntungkan;Membuka dan memperluas jaringan kerja sama dengan berbagai instansi dalam dan luar negeri, baik pemerintah maupun swasta.

IV. POLA HUBUNGAN ORGANISASI

1. Konsultatif

Hubungan kelembagaan yang bersifat konsultatif adalah hubungan antara Pimpinan LP Ma'arif NU dengan Dewan Penasehat pada masing-masing tingkatannya. Selain itu hubungan konsultatif juga dibangun antara LP Ma'arif dengan para ulama, tokoh, dan sesepuh di kalangan Nahdlatul Ulama. Hubungan seperti ini diperlukan untuk meminta pertimbangan-pertimbangan yang bersifat moral di luar kebijakan dasar konstitusional organisasi dalam rangka mengembangkan program-program LP Ma'arif NU.

2. Koordinatif-Konsolidatif

Hubungan koordinatif-konsolidatif adalah hubungan antar Pimpinan LP Ma'arif NU yang secara bertingkat dapat diurutkan dari Pimpinan Pusat, Pimpinan Wilayah, Pimpinan Cabang, dan Pimpinan Wakil Cabang. Hubungan koordinatif-konsolidatif juga dilakukan antara Pimpinan LP Ma'arif NU dengan sekolah, madrasah, maupun perguruan tinggi yang menjadi binaannya.

3. Instruktif

Hubungan instruktif adalah hubungan antar Pengurus NU dan Pimpinan LP Ma'arif NU yang secara bertingkat dapat diurutkan dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama kepada Pimpinan Pusat LP Ma'arif, Pengurus Wilayah NU kepada Pimpinan Wilayah LP Ma'arif, Pengurus Cabang NU kepada Pimpinan Cabang LP Ma'arif.

Profil LPBI NU

LEMBAGA PENANGGULANGAN BENCANA DAN PERUBAHAN IKLIM NAHDLATUL ULAMA (LPBI NU)

Nahdlatul Ulama (NU) merupakan organisasi sosial kemasyarakatan terbesar di Indonesia. NU didirikan tahun  1926 oleh kyai (ulama) yang berpengaruh di Indonesia. Saat ini NU memiliki 100 juta anggota yang mayoritas berada di daerah pedesaan dan memiliki struktur organisasi dari tingkat nasional sampai ke pedesaan, seperti pendakwah, guru, nelayan, petani, pedagang, dan di pemerintahan seperti di eksekutif, legislatif, dan  yudikatif.

Struktur organisasi NU adalah sebagai berikut: Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Pengurus Wilayah NU (PWNU) di 34 provinsi; Pengurus Cabang NU (PCNU) di 566 Kabupaten, Pengurus Cabang Istimewa NU (PCINU) di 12 negara, Pengurus MWC NU di tingkat Kecamatan dan Pengurus Ranting NU di tingkat desa/kelurahan di seluruh Indonesia.

Dalam melaksanakan tugasnya, Nahdlatul Ulama mempunyai 14badan otonom dan 18 lembaga. Salah satu lembaga yang dimiliki oleh Nahdlatul Ulama adalah Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim NU (LPBI NU),

Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim Nahdlatul Ulama (LPBI NU) adalah lembaga yang secara struktural-organisatoris merupakan pelaksana kebijakan dan program Nahdlatul Ulama di bidang penanggulangan bencana, perubahan iklim, dan pelestarian lingkungan. Pembentukan LPBI NU disepakati pada Muktamar NU ke-32 di Makassar tahun 2010. Semangat ini kemudian dikukuhkan dan ditetapkan dalam rapat pleno harian PBNU untuk membentuk LPBI NU. Setelah Muktamar ke-33 Nahdlatul Ulama di Jombang  tahun 2015 dibentuk kepengurusan baru PP. LPBI NU berdasarkan SK No. 19/A.II.04/09/2015.

VISI

Terwujudnya masyarakat yang memiliki ketahanan dan adaptif terhadap bencana, menurunnya daya dukung lingkungan dan perubahan iklim.

MISI

Meningkatkan kapasitas multi stakeholder melalui penguatan simpul basis.Meningkatkan jejaring dan kerjasama guna mewujudkan organisasi yang kredibel dan profesional.Mendorong penyebarluasan informasi dan pengetahuan terkait pengurangan risiko bencana, adaptasi perubahan iklim, dan pelestarian lingkungan.Meningkatkan kapasitas emergency response yang berkualitas.

PEMBIDANGAN DALAM STRUKTUR LPBI NU

Untuk menjalankan mandat yang telah ditetapkan oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Pengurus Pusat LPBI NU menetapkan pembidangan dalam struktur kepengurusan sebagai berikut:

Riset & PengembanganKelembagaan & Advokasi KebijakanPengelolaan Risiko BencanaTanggap Darurat & Rehabilitasi-Rekonstruksi BencanaKnowledge Management & NetworkingPengendalian Perubahan Iklim dan Pelestarian Lingkungan.

YANG TELAH DAN SEDANG DILAKUKAN OLEH LPBI NU

Beberapa program dan kegiatan terkait Penanggulangan Bencana, Pengendalian Perubahan Iklim dan Pelestarian Lingkungan telah dilaksanakan oleh LPBI NU, di antaranya:

Kajian dan riset terkait isu Penanggulangan Bencana, Pengendalian Perubahan Iklim dan Pelestarian Lingkungan. Hasil kajian kemudian didokumentasikan dalam bentuk buku, manual, booklet, majalah, poster dan stiker. Saat ini, tercatat ada 13 judul buku termasuk manual terkait dengan 3 (tiga) isu tersebut.Advokasi kebijakan di tingkat Provinsi dan Kabupaten dengan melakukan pendampingan:Penyusunan regulasi yaitu Perda Penanggulangan Bencana dan regulasi turunan dari Perda tersebut.Penyusunan perencanaan dalam Penanggulangan Bencana meliputi: Rencana Penanggulangan Bencana (RPB), Rencana Aksi Daerah Pengurangan Resiko Bencana (RAD PRB) dan Rencana Kontijensi Penanggulangan Bencana.Penguatan Koordinasi Stakeholder dalam Penanggulangan Bencana dengan mendorong dan menginisiasi pembentukan Forum PRB Provinsi dan Kabupaten. Forum PRB merupakan wadah koordinasi para pihak (Pemerintah, Masyarakat dan Dunia Usaha) dalam upaya pengurangan risiko bencana.Penguatan Kelembagaan Penanggulangan Bencana dengan menyelenggarakan workshop dan pelatihan: PRB, PDRA, Tanggap Darurat dan Penyusunan Rencana Kontijensi, Fasilitator, Community Organizer (CO), Teknik dan Strategi Advokasi serta Kajian Risiko Bencana Berbasis Sistem Informasi Geografis (SIG). Rangkaian kegiatan tersebut diikuti oleh perwakilan Pemerintah, masyarakat dan media.Pengarusutamaan isu pengurangan risiko Bencana, pengendalian perubahan iklim dan pelestarian lingkungan kepada masyarakat di daerah rawan bencana.Peningkatan kapasitas masyarakat dalam penanggulangan bencana, pengendalian perubahan iklim dan pelestarian lingkungan dengan mengadakan pelatihan: PRB, PDRA, tanggap darurat, adaptasi perubahan iklim serta pengelolaan sampah.Pengendalian perubahan iklim dalam bentuk konservasi kawasan pesisir, penanaman pohon, dan pengelolaan sampah berbasis masyarakat.Mengumpulkan dan mendistribusikan bantuan kemanusiaan untuk pemenuhan kebutuhan dasar, psikososial serta pengembalian fungsi dasar fasilitas umum untuk masyarakat terdampak bencana berdasarkan hasil penilaian dan kajian (assessment).Terlibat aktif dalam forum nasional terkait pengurangan risiko bencana seperti Platform Nasional Pengurangan Risiko Bencana (PLANAS PRB) dan Konsorsium Pendidikan Bencana (KPB).Terlibat dalam forum atau pertemuan regional dan internasional seperti UNFCCC, WCDRR, GPDRR, WOC,International MACCA dan AMCDRR.

Untuk melaksanakan program dan kegiatan tersebut di atas, LPBI NU bekerjasama dengan berbagai pihak di antaranya: AusAID/DFAT, UN OCHA, UNDP, MFF, ODA Jepang, Islamic Help, Islamic Relief, WWF, KUEHNE Foundation, KUEHNE Help, BNPB & BPBD, KLHK, Kemenag, Kemenkes, Kemendes PDT dan Transmigrasi, dan lain-lain.Setiap  program  kerjasama diaudit  oleh  akuntan  publik. Secara keseluruhan, hasil audit program LPBI NU adalah WTP (Wajar Tanpa Pengecualian).

SEKRETARIAT LPBI NU:

Gedung PBNU Lt.7 Ruang 702

Jl. Kramat Raya No. 164 Jakarta Pusat, 10430

Phone/Fax: 021-3142395

Email: lpbi_nu@yahoo.com

Website: www.lpbi-nu.org

Facebook: lpbi nu pusat

Twitter: @PPLPBINU

Fanpage: PP LPBI NU

Vidio: Youtube

G+ : PP LPBI NU

Instagram : PP LPBI NU

Sumber :
http://lpbi-nu.org/tentang-kami/profil-lpbi-nu/

Selasa, 13 Februari 2018

Sejarah PA Pekalongan

 

SEJARAH PENGADILAN AGAMA PEKALONGAN

 

PENGADILAN AGAMA PEKALONGAN TEMPO DOELOE

Meskipun  Pengadilan Agama di Perkalongan di yakini sudah eksis sejak masuknya Islam, dan secara yuridis juga diakui oleh pemerintah kolonial Belanda, akan tetapi data perkembagannya dari awal tidak dapat dilacak. Data perkembangan Pengadilan Agama Pekalongan paling tua sejauh yang dapat dilacak adalah sejak tahun 1894, yaitu adanya penemuan vonnis bernomor 45 yang dijatuhkan pada tanggal 10 Juni 1894, yang berisi penetapan gugatan waris. Vonnis tersebut ditandatangani oleh ketuanya saat itu, yaitu Raden Sastrodhipoerohoefpenghoeloe landraad (ketua pengadilan agama ) di Pekalongan, bersama sekoetoe moesyawarah atau hakim anggota Mas Adji  Joesoef penghoeloe masjid dan Mas Djojokoesoemo serta Mas Haji Chaer.

Perkembangan Pengadilan Agama Pekalongan setelah tahun 1894 tersebut tidak dapat lagi ditemukan data otentik lanjutannya. Data yang ditemukan meloncat pada tahun 1930-an. Pada tahun 1935 ditemukan struktur Pengadilan Agama Pekalongan  dengan ketua Kj. Raden Hadji Aghoes dan wakilnya Kj. M. H. Idris.  Di bawah kedua pimpinan tersebut terdiri majelis hakim (sekoetoe madjelis) yang beranggotakan M. AbdurrrahmanKy. H. SiradjM. MuchsinM.H. Choesni dan MH. Masjhuri.

Meskipun ditemukan data struktur Pengadilan Agama pada tahun 1935, tetapi data mengenai putusan perkara tidak ditemukan. Data putusan penyelesaian perkara baru ditemukan lagi pada tahun 1941, yaitu putusan nomor 77 /1941 tanggal 25 Mei 1941. Berbeda dengan putusan tahun 1894 yang ditemukan yang masih ditulis dengan tangan, putusan tahun 1941 sudah ditulis dengan mesin tik. Putusan nomor 77/1941 tersebut mengani perkara gugat cerai dengan alasan taklik talak. Putusan tersebut tidak menjatuhkan talak khul’y seperti masa sekarang, melainkan dengan menyatakan perkawinan diroesak (fasakh) oleh hakim raad agama yang disandarkan pada kitab Ianatut Thalibin halaman 86 tentang fasakh nikah.

Data putusan yang ditemukan lagi adalah putusan nomor 42 / 1942 yang merupakan vonnis atas perkara cerai. Putusan nomor 42/1942 merupakan putusan dalam era penjajahan Jepang. Hal ini diketahui dari penyebutan pengadilan agama dengan istilah Jepang, Sooryo Hooin Pekalongan. Putusan nomor 42/1942 tersebut diputus oleh majelis terdiri atas Wakil Ketua Sooryo HooinHoefpenghoeloe MH. Idris dengan anggota (sekoetoe madjelis) M. Abdurrahman , Kj. Siradj, M. Moechsin, M.H. Choesni, dan M.H. Masjhoeri.Keadaan Aparatur dan PerkaraKeadaan pengadilan agama sejak zaman Belanda, sangat sederhana baik dari segi jumlah aparatur sarana dan prasarana serta administrasi keuanganya. Hal ini dapat dilihat dari aparatur pengadilan agama, seperti ketua, hakim dan panitera  tidak memperoleh gaji sebagaimana pegawai negeri Belanda. Aparatur memperoleh honor dari ongkos perkara. Sedangkan sarana persidangan masih menggunakan  serambi masjid. Sampai zaman Jepang, pengadilan agama menempati serambi masjid besar kauman Pekalongan, yang terletak bersebelahan dengan kantor Bupati Pekalongan.Namun aparatur Pengadilan Agama Pekalongan memperoleh gaji dari Bupati,  terutama apartur yang menjabat hoofpenghoeloe dan ajunct hoofpenghoeloe. Seperti pada tahun 1937 Kanjeng Bupati Pekalongan dengan besluitnya nomor 186/29 tanggal 28 Juni 1937, menetapkan gaji hoofpenghoeloe kabupaten sekaligus sebagai penghoeloe landraad sebesar f.65 (enam puluh lima gulden).Pada zaman Belanda ongkos yang harus dibayar pihak dalam berperkara adalah sebesar f. 10 (sepuluh gulden), sebagaimana tampak dari vonnis perkara nomor 45/1894. Sementara data ongkos perkara sampai zaman Jepang sebagaimana termaktub dalam nomor 42/1942 sebesar f.3 (tiga gulden). Ongkos tersebut harus dibayar sebagai ongkos proses perkara. Oleh karena itu apabila pihak-pihak ingin memperoleh salinan vonnis,  mereka harus membayar f.0,50 (setengah gulden ).

MASA REVOLUSI SAMPAI DENGAN MASA UNDANG-UNDANG NO. 7 TAHUN 1989.

1.     Kelembagaan dan Aparatur Pengadilan Agama Pekalongan.

Sesaat setelah Jepang menyerah kepada Sekutu, Indonesia segera memproklamasikan diri pada tanggal 17 Agustus 1945. Akan tetapi kemerdekaan Indonesia masih diganggu dengan adanya agresi Belanda I dan II, yang berusaha menjajah kembali Indonesia. Untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah diraih, bangsa Indonesia berjuang, dan masa inilah yang disebut dengan masa revolusi.Secara langsung revolusi tidak mempengaruhi terhadap kelembagaan pengadilan agama, karena pengadilan agama berjalan sebagaimana sebelumnya.  Aparatur pengadilan masih merupakan aparatur lama, masa Jepang, dan dipimpin oleh  Kj. Haji Asrori. Suasana revolusioner membuat ketua pengadilan agama Kj. Haji Asrori bersama rakyat Pekalongan ikut berperang melawan pasukan Belanda karena tidak mau jatuh lagi pada penjajah.Dalam masa revolusi ini pemerintahan daerah dipegang oleh militer, yang ternyata juga  mempengaruhi kepemimpinan pengadilan agama. Hal ini dapat dilihat dari perintah penguasa militer daerah Pekalongan yang pada tanggal 17 Oktober 1949 telah mengangkat H. Moh. Nur bin Siradj menjadi ketua Pengadilan Agama Pekalongan, menggantikan  Kj. Asrori yang tidak berada di tempat karena ikut berperang melawan Balanda.Pada pihak lain, di luar kota orang republikan di bawah penguasa pemerintahan militer, setelah dibentuk Djawatan Agama di Pekalongan, mereka mengadakan musyawarah untuk memilih penghulu kabupaten  di samping menyusun aparat pemerintahan lainnya seperti bupati, camat dan lainnya. Dengan dihadiri alim ulama, antara lain Kj. Haji Syafi’iKj. Haji Akrom ChasaniKj. Haji SiradjKj. Haji Muhammad Iljas (bekas menteri agama yang menetap di Buaran Pekalongan) diselenggarakan musyawarah pemuka masyarakat dan alim ulama di Wonopringgo Pekalongan, untuk mengangkat naib-naib penghulu di setiap kecamatan dan mengangkat penghulu kabupaten. Dalam musyawarah tersebut disepakati mengangkat Kj. Haji Muhammad Nur Wahhab sebagai penghulu kabupaten yang karena jabatannya merangkap sebagai ketua Pengadilan Agama Pekalongan. Masa jabatan Kj. H. Muhammad Nur Wahhab berakhir setelah Kj. Haji Asrori kembali dari medan pertempuran, setelah adanya pengakuan kedaulatan oleh Belanda. Sesudah Belanda mengakui kedaulatan Indonesia, dan setelah keadaan keamanan kembali  normal, jabatan penghulu kabupaten  yang juga ketua pengdilan agama yang diangkat dalam musyawarah alim ulama di Wongopringgo, H. Muhmamd Nur Wahhab menyerahkan kembali jabatannya kepada Kj. Haji Asrori.Menjelang ditanda-tangani Konperensi Meja Bundar (KMB) di negeri Belanda, ada dua pemerintahan di Indonesia, yaitu pemerintahan Republik Indonesia  dan pemerintah bentukan Belanda. Pemerintah kembar ini menjalar dan berstruktur sampai pada tingkat kabupaten dan kecamatan. Keadaan ini pun menjadikan ada  pejabat kepenghuluan Republik Indonesia dan kepenghuluan pemerintah bentukan Belanda (BFC).Karena keadaan darurat dan dalam usaha menekan pemerintah  yang dibentuk Belanda, maka Djawatan Agama Republik Indonesia di masa pemerintahan militer membentuk Pengadilan Agama Pekalongan  yang hanya beberapa kecamatan dan sekaligus mengangkat ketuanya, yaitu Kj. H. Siradj, penghulu kabupaten Pekalongan.

2.     Penyempitan Wilayah Hukum Pengadilan Agama Pekalongan

Setelah revolusi selesai dan pemerintahan Republik Indonesia kembali normal, maka wilayah pemerintahan di daerah ditata kembali. Daerah Batang yang semula berstatus kawedanan dari wilayah Kabupaten Pekalongan ditingkatkan menjadi kabupaten  dengan Undang-undang nomor 9 tahun 1965.  Dengan ditingkatkannya Batang menjadi kabupaten, maka kawedanan sekitarnya seperti Limpung dan Bawang yang sejak tahun 1933 menjadi wilayah kabupaten Pekalongan,  dijadikan wilayah kabupaten Batang. Dengan perubahan Batang menjadi wilayah kabupaten tersendiri, maka kelengkapan pemerintahan dibentuk. kantor Bupati, kantor Kejaksaan dan Pengadilan Negeri pun didirikan.  Sesuai dengan ketentuan Staatblaad 1882 Nomor 152, pada setiap wilayah yang berdiri Pengadilan Negeri maka dalam wilayah itu dibentuk pula Pengadilan Agama, sehingga Pengadilan Aama Batang dibentuk dengan Keputusan Menteri Agama Nomor 90 tahun 1967.  Pembentukan Pengadilan Agama Batang, yang wilayahnya meliputi kabupaten Batang, telah mempengaruhi wilayah Pengadilan Agama Pekalongan yang menjadi menyempit, karena dikurangi wilayah kawedanan Batang, Limpung dan Bawang yang masuk menjadi wilayah Pengadilan Agama Batang. Dengan keadaan wilayah hukumnya yang telah berkurang tersebut, Pengadilan Agama Pekalongan itu  terus melakukan tugas pokok dan fungsinya sebagai lembaga peradilan yang berwenang untuk menerima dan menyelesaikan perkara perkawinan dan kewarisan dan perkara lain yang berkaitan.

Dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya, Pengadilan Agama Pekalongan mengikuti pasang surut perkembangan peradilan agama secara nasional. Pengadilan Agama Pekalongan yang terletak di ibu kota karesidenan Pekalongan dengan perkara yang cukup banyak menjadikannya sebagai Pengadilan Agama Kelas I.A. Demikian juga  ketika Undang-undang nomor 7 tahun 1989 diundangkan, Pengadilan Agama Pekalongan ikut merasakan “berkah’nya. Pengadilan Agama Pekalongan berwenang untuk menyelesaikan sengketa waris dan kebendaan lainnya yang berkait dengan perkawinan, di samping berwenang pula untuk melaksanakan (eksekusi) putusannya sendiri.

Penataan daerah tingkat II di Jawa Tengah terus dilakukan dalam rangka rasionalisasi wilayah. Akibatnya Kabupaten Pekalongan dipisah dengan Kotamadia Pekalongan, meskipun pusat pemerintahan kaupaten tetap di wilayah kota Pekalongan. Penataan wilayah kabupaten Pekalongan terus bergulir, dengan berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 21 tahun 1988 kabupaten Pekalongan ditata ulang.

Perubahan wilayah kota Pekalongan dan kabupaten Pekalongan sesungguhnya belum langsung mempengaruhi Pengadilan Agama, karena pusat pemerintahan kedua daerah tingkat II tersebut masih berada di wilayah kotamadia Pekalongan. Akan tetapi setelah Undang-undang nomor 7 tahun 1989 disahkan membawa pengaruh yang cukup penting bagi Pengadilan Agama Pekalongan, terutama menyangkut wilayah yurisdiksinya. Sesuai dengan tuntutan Undang-undang nomor 7 tahun 1989, maka untuk wilayah kabupaten Pekalongan dibentuk Pengadilan Agama Kajen berdasarkan keputusan Presiden nomor 145 tahun 1998 pada tanggal 16 September 1998. Sebab dengan keputusan Presiden tersebut, otomatis terjadi penyempitan wilayah kerja Pengadilan Agama Pekalongan yang semula meliputi kabupaten dan kotamadia Pekalongan, sekarang hanya kotamadia Pekalongan saja. Secara resmi nyata penyempitan wilayah  yurisdiksi Pengadilan Agama Pekalongan terjadi ketika Pengadilan Agama Kajen mulai menerima perkara, setelah diangkat ketua Pengadilan Agama Kajen berdasarkan keputusan menteri agama nomor B.II/448/1999 tanggal 16 Februari 1999. Untuk membantu ketua Pengadilan Agama Kajen, kemudian diangkat pejabat dan staf Pengadilan Agama Pekalongan, yang kebanyakan adalah pejabat dan staf dari Pengadilan Agama Pekalongan.  Pembentukan Pengadilan Agama Kajen tidak hanya menyempitkan wilayah yurisdiksi tetapi juga mengurangi tenaga dari Pengadilan Agama Pekalongan.

 
http://www.pa-pekalongan.go.id/PAPekalongan/index.php/profil-pengadilan-agama/sejarah

Senin, 12 Februari 2018

Sejarah Kabupaten Pekalongan

SEJARAH KABUPATEN PEKALONGAN

Kamis, 22 Maret 2012

Banyak sumber mengatakan bahwa Pekalongan mulai dikenal setelah Bahurekso bersama anak buahnya berhasil membuka Hutan Gambiran/Gambaran, atau dikenal pula Muara Gambaran. Hal ini terjadi setelah Bahurekso gagal didalam penyerangan ke Batavia, bersama anak buahnya kembali ke Pantai Utara Jawa Tengah, namun secara sembunyi-sembunyi, sebab kalau diketahui oleh Pemerintah Sultan Agung pasti ditangkap dan dihukum mati. Sehingga terus melakukan yang disebut TAPA-NGALONG. Dari sinilah muncul prediksi-prediksi berkaitan dengan istilah PEKALONGAN.
Menurut penuturan R. Basuki (Putra Almarhum R. Soenarjo keturunan Bupati Mandurorejo) ; nama Pekalongan berasal dari istilah setempat HALONG - ALONG yang artinya hasil. Jadi Pekalongan disebut juga dengan nama PENGANGSALAN yang artinya pembawa keberuntungan. Sehingga prediksi Topo Ngalong itu hanya gambaran/sanepo yang mempunyai maksud siang hari sembunyi, malam hari keluar untuk mencari nafkah.

Beberapa benda peninggalan sejarah yang berada di daerah Kabupaten Pekalongan berupa Yoni dan Lingga dan bukti peninggalan yang lain seperti:
1. Lingga/ Yoni yang berada di Desa Telagapakis Kecamatan Petungkriyono.
2. Yoni yang berada di Dukuh Gondang Desa Telogohendro wilayah Kecamatan Petungkriyono. 
3. Lingga yang berada di Dukuh Mudal Desa Yosorejo wilayah Kecamatan Petungkriyono
4. Lingga/ Yoni yang berada di Dukuh Parakandawa Desa Sidomulyo Kecamatan Lebakbarang.
5. Yoni yang berada di Dukuh Pajomblangan Kecamatan Kedungwuni
6. Yoni yang berada di Dukuh Kaum Ds. Rogoselo Kecamatan Doro.
7. Yoni yang berada di Desa Batursari Kecamatan Talun.
8. Archa Ghanesha yang berada di Desa Kepatihan Kecamatan Wiradesa.
9. Archa Ganesha yang berada di Desa Telogopakis Kecamatan Petungkriyono
10. Batu lumpang yang berada di Desa Depok Kecamatan Lebakbarang.
11. Batu Lumpang yang berada di Dukuh Kambangan di Desa Telogopakis Kecamatan Petungkriyono dan sebagainya.

 Masa-masa awal perkembangan Pekalongan tidak banyak disebut dan sumber-sumber asing baik Portugis maupun Belanda , seperti dalam Reis Journalen, Suma Oriental (Tome Pires, 1994), Scheep togt van Tristanto d'acunha (Pieter Van Der Aa, 1706) The Voyager of Jonh Huygen van Linschouten to the east Indies ( A.C Burnell dan P.A Tiele, 1884). Nama Pekalongan dan data historisnya dapat ditelusuri  dalam Babad Tanah Jawa, Babad Mataram, Serat Khandaning Ringgit Purwo, Serat Pustaka Raja  Purwo, Babad Sultan Agung , Dagh Register (1623 - 1799) , Opkomst Van Het Nederlandsch gezag in Oost Indie ( J.K.J de Jonge  & M.L  Van Deventer , eds; 1862 - 1909, 13 jilid ), laporan VOC lainnya, laporan Pemerintah Hindia Belanda, Buku-buku dan Publikasi lainnya seperti regering Almanak van Nederlandsch Indie (1820-1850) dan Oud end Nieuw Oost Indie (F. Valentijn) dan Sumber lainnya.

Berdasarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948. Kabupaten Pekalongan adalah merupakan Daerah Otonom atau dengan istilah Swatantra.Hal ini ditandai pula dengan diundangkannya Undang - Undang Nomor 13 Tahun 1950 tentang Pemerintah Daerah Kabupaten dalam Lingkungan Propinsi Jawa Tengah pada : Hari Selasa Pon tanggal : 8 Agustus 1950 yang ditetapkan di Yogjakarta, oleh Pemangku Jabatan Sementara Presiden  Republik Indonesia  Menteri Dalam Negeri  SOESANTO TIRTOPRODJO dan  Menteri Kehakiman A.G.PRINGGO DIGDO.
Berdasarkan Undang - Undang tersebut Pemerintah Daerah Kabupaten Pekalongan dibentuk bersama 28 daerah lain antara lain : Semarang, Kendal, Demak, Grobogan, Pekalongan, Pemalang, Tegal, Brebes, Pati, Kudus, Djepara, Rembang, Blora, Banjumas, Tjilatjap, Purbalingga, Banjarnegara, Magelang, Temanggung, Wonosobo, Purworejo, Kebumen, Boyolali, Sragen, Sukoharjo, Karanganyar dan Wonogiri.

Keberadaan Kabupaten Pekalongan secara administratif berdiri sejak 3812 tahun yang lalu. Menurut Tiem Peneliti Sejarah Kabupaten Pekalongan muncul lima prakiraan tentang kapan Kabupaten Pekalongan itu lahir,yaitu: masa prasejarah, masa Kerajaan Demak, masa Kerajaan Islam Mataram, masa Penjajahan Hindia Belanda dan masa Pemerintahan Republik Indonesia.
Hari Jadi Kabupaten Pekalongan telah ditetapkan pada Hari Kamis Legi Tanggal 25 Agustus 1622 atau pada 12 Robiu'l Awal 1042 H pada masa pemerintahan Kyai Mandoeraredja, beliau merupakan Bupati yang ditunjuk dan diangkat oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo/ Raja Mataram Islam dan sekaligus sebagai Bupati Pekalongan I. Pembangunan Kabupaten Pekalongan sudah dilakukan sejak zaman Pemerintahan Adipati Notodirdjo (1879 -1920 M) di komplek Alun-alun utara no 1 Kota Pekalongan, bangunan tersebut merupakan rumah  bagi para Bupati Pekalongan sekaligus sebagai tempat aktivitas perangkat pemerintahan.

Proses pemindahan Ibukota Kabupaten Pekalongan diawali dengan peresmian sekaligus penggunaan Gedung Sekretariat Daerah Kabupaten Pekalongan di Kajen oleh Bupati Drs. H Amat Antono pada tanggal 25 Agustus 2001, kepindahan itu merupakan salah satu tonggak sejarah sebagai momen diawalinya Kajen sebagai Ibukota Kabupaten Pekalongan.

Banyak sumber mengatakan bahwa Pekalongan mulai dikenal setelah Bahurekso bersama anak buahnya berhasil membuka Hutan Gambiran/Gambaran, atau dikenal pula Muara Gambaran. Hal ini terjadi setelah Bahurekso gagal didalam penyerangan ke Batavia, bersama anak buahnya kembali ke Pantai Utara Jawa Tengah, namun secara sembunyi-sembunyi, sebab kalau diketahui oleh Pemerintah Sultan Agung pasti ditangkap dan dihukum mati. Sehingga terus melakukan yang disebut TAPA-NGALONG. Dari sinilah muncul prediksi-prediksi berkaitan dengan istilah PEKALONGAN.
Menurut penuturan R. Basuki (Putra Almarhum R. Soenarjo keturunan Bupati Mandurorejo) ; nama Pekalongan berasal dari istilah setempat HALONG - ALONG yang artinya hasil. Jadi Pekalongan disebut juga dengan nama PENGANGSALAN yang artinya pembawa keberuntungan. Sehingga prediksi Topo Ngalong itu hanya gambaran/sanepo yang mempunyai maksud siang hari sembunyi, malam hari keluar untuk mencari nafkah.

Beberapa benda peninggalan sejarah yang berada di daerah Kabupaten Pekalongan berupa Yoni dan Lingga dan bukti peninggalan yang lain seperti:
1. Lingga/ Yoni yang berada di Desa Telagapakis Kecamatan Petungkriyono.
2. Yoni yang berada di Dukuh Gondang Desa Telogohendro wilayah Kecamatan Petungkriyono. 
3. Lingga yang berada di Dukuh Mudal Desa Yosorejo wilayah Kecamatan Petungkriyono
4. Lingga/ Yoni yang berada di Dukuh Parakandawa Desa Sidomulyo Kecamatan Lebakbarang.
5. Yoni yang berada di Dukuh Pajomblangan Kecamatan Kedungwuni
6. Yoni yang berada di Dukuh Kaum Ds. Rogoselo Kecamatan Doro.
7. Yoni yang berada di Desa Batursari Kecamatan Talun.
8. Archa Ghanesha yang berada di Desa Kepatihan Kecamatan Wiradesa.
9. Archa Ganesha yang berada di Desa Telogopakis Kecamatan Petungkriyono
10. Batu lumpang yang berada di Desa Depok Kecamatan Lebakbarang.
11. Batu Lumpang yang berada di Dukuh Kambangan di Desa Telogopakis Kecamatan Petungkriyono dan sebagainya.

 Masa-masa awal perkembangan Pekalongan tidak banyak disebut dan sumber-sumber asing baik Portugis maupun Belanda , seperti dalam Reis Journalen, Suma Oriental (Tome Pires, 1994), Scheep togt van Tristanto d'acunha (Pieter Van Der Aa, 1706) The Voyager of Jonh Huygen van Linschouten to the east Indies ( A.C Burnell dan P.A Tiele, 1884). Nama Pekalongan dan data historisnya dapat ditelusuri  dalam Babad Tanah Jawa, Babad Mataram, Serat Khandaning Ringgit Purwo, Serat Pustaka Raja  Purwo, Babad Sultan Agung , Dagh Register (1623 - 1799) , Opkomst Van Het Nederlandsch gezag in Oost Indie ( J.K.J de Jonge  & M.L  Van Deventer , eds; 1862 - 1909, 13 jilid ), laporan VOC lainnya, laporan Pemerintah Hindia Belanda, Buku-buku dan Publikasi lainnya seperti regering Almanak van Nederlandsch Indie (1820-1850) dan Oud end Nieuw Oost Indie (F. Valentijn) dan Sumber lainnya.

Berdasarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948. Kabupaten Pekalongan adalah merupakan Daerah Otonom atau dengan istilah Swatantra.Hal ini ditandai pula dengan diundangkannya Undang - Undang Nomor 13 Tahun 1950 tentang Pemerintah Daerah Kabupaten dalam Lingkungan Propinsi Jawa Tengah pada : Hari Selasa Pon tanggal : 8 Agustus 1950 yang ditetapkan di Yogjakarta, oleh Pemangku Jabatan Sementara Presiden  Republik Indonesia  Menteri Dalam Negeri  SOESANTO TIRTOPRODJO dan  Menteri Kehakiman A.G.PRINGGO DIGDO.
Berdasarkan Undang - Undang tersebut Pemerintah Daerah Kabupaten Pekalongan dibentuk bersama 28 daerah lain antara lain : Semarang, Kendal, Demak, Grobogan, Pekalongan, Pemalang, Tegal, Brebes, Pati, Kudus, Djepara, Rembang, Blora, Banjumas, Tjilatjap, Purbalingga, Banjarnegara, Magelang, Temanggung, Wonosobo, Purworejo, Kebumen, Boyolali, Sragen, Sukoharjo, Karanganyar dan Wonogiri.

Keberadaan Kabupaten Pekalongan secara administratif berdiri sejak 3812 tahun yang lalu. Menurut Tiem Peneliti Sejarah Kabupaten Pekalongan muncul lima prakiraan tentang kapan Kabupaten Pekalongan itu lahir,yaitu: masa prasejarah, masa Kerajaan Demak, masa Kerajaan Islam Mataram, masa Penjajahan Hindia Belanda dan masa Pemerintahan Republik Indonesia.
Hari Jadi Kabupaten Pekalongan telah ditetapkan pada Hari Kamis Legi Tanggal 25 Agustus 1622 atau pada 12 Robiu'l Awal 1042 H pada masa pemerintahan Kyai Mandoeraredja, beliau merupakan Bupati yang ditunjuk dan diangkat oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo/ Raja Mataram Islam dan sekaligus sebagai Bupati Pekalongan I. Pembangunan Kabupaten Pekalongan sudah dilakukan sejak zaman Pemerintahan Adipati Notodirdjo (1879 -1920 M) di komplek Alun-alun utara no 1 Kota Pekalongan, bangunan tersebut merupakan rumah  bagi para Bupati Pekalongan sekaligus sebagai tempat aktivitas perangkat pemerintahan.

Proses pemindahan Ibukota Kabupaten Pekalongan diawali dengan peresmian sekaligus penggunaan Gedung Sekretariat Daerah Kabupaten Pekalongan di Kajen oleh Bupati Drs. H Amat Antono pada tanggal 25 Agustus 2001, kepindahan itu merupakan salah satu tonggak sejarah sebagai momen diawalinya Kajen sebagai Ibukota Kabupaten Pekalongan.

abi datul wahidah di 06.11

http://abidatulwahidahh.blogspot.com/2012/03/normal-0-false-false-false.html?m=1

Sejarah Kota Pekalongan

Sejarah Kota Pekalongan

Nama Pekalongan sampai saat ini belum jelas asal-usulnya, belum ada prasasti atau dokumen lainnya yang bisa dipertanggungjawabkan, yang ada hanya berupa cerita rakyat atau legenda. Dokumen tertua yang menyebut nama Pekalongan adalah Keputusan Pemerintah Hindia Belanda(Gouvernements Besluit) Nomor 40 tahun 1931:nama Pekalongan diambil dari kata ‘Halong‘ (dapat banyak) dan dibawah simbul kota tertulis ‘Pek-Alongan‘.

Kemudian berdasarkan keputusan DPRD Kota Besar Pekalongan tanggal 29 januari 1957 dan Tambahan Lembaran daerah Swatantra Tingkat I Jawa Tengah tanggal 15 Desember 1958, Serta persetujuan Pepekupeda Teritorium 4 dengan SK Nomor KTPS-PPD/00351/II/1958:nama Pekalongan berasal dari kata ‘A-Pek-Halong-An‘ yang berarti pengangsalan (Pendapatan).

Pada pertengahan abad XIX dikalangan kaum liberal Belanda muncul pemikiran etis-selanjutnya dikenal sebagai Politik Etis yang menyerukan Program Desentralisasi Kekuasaan Administratip yang memberikan hak otonomi kepada setiap Karesidenan (Gewest) dan Kota Besar (Gumentee) serta pemmbentukan dewan-dewan daerah di wilayah administratif tersebut. Pemikiran kaum liberal ini ditanggapi oleh Pemerintah Kerajaan Belanda dengan dikeluarkannya Staatbland Nomor 329 Tahun 1903 yang menjadi dasar hukum pemberian hak otonomi kepada setiap residensi (gewest); dan untuk Kota Pekalongan, hak otonomi ini diatur dalam Staatblaad Nomor 124 tahun 1906 tanggal 1 April 1906 tentang Decentralisatie Afzondering van Gelmiddelen voor de Hoofplaatss Pekalongan uit de Algemenee Geldmiddelen de dier Plaatse yang berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Pada tanggal 8 Maret 1942 Pemerintah Hindia Belanda menandatangani penyerahan kekuasaan kepada tentara Jepang. Jepang menghapus keberadaan dewan-dewan daerah, sedangkan Kabupaten dan Kotamadya diteruskan dan hanya menjalankan pemerintahan dekonsentrasi.

Proklamasi Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus oleh dwitunggal Soekarno-Hatta di Jakarta, ditindaklanjuti rakyat Pekalongan dengan mengangkat senjata untuk merebut markas tentara Jepang pada tanggal 3 Oktober 1945. Perjuangan ini berhasil, sehingga pada tanggal 7 Oktober 1945 Pekalongan bebas dari tentara Jepang.

Secara yuridis formal, Kota Pekalongan dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1950 tanggal 14 Agustus 1950 tentang Pembentukan Daerah Kota Besar dalam lingkungan Jawa Barat/Jawa Tengah/Jawa Timur dan Daerah Istimewa Jogjakarta. Selanjutnya dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, maka Pekalongan berubah sebutannya menjadi Kotamadya Dati II Pekalongan.

Terbitnya PP Nomor 21 Tahun 1988 tanggal 5 Desember 1988 dan ditindaklanjuti dengan Inmendagri Nomor 3 Tahun 1989 merubah batas wilayah Kotamadya Dati II Pekalongan sehingga luas wilayahnya berubah dari 1.755 Ha menjadi 4.465,24 Ha dan terdiri dari 4 Kecamatan, 22 desa dan 24 kelurahan.

Sejalan dengan era reformasi yang menuntut adanya reformasi disegala bidang, diterbitkan PP Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan PP Nomor 32 Tahun 2004 yang mengubah sebutan Kotamadya Dati II Pekalongan menjadi Kota Pekalongan.

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Kota_Pekalongan

Sejarah Kabupaten Batang

Sejarah Batang

Kabupaten Batang dapat dibagi dalam 3 periodisasi sejarah. Berdiri sebagai Kabupaten sejak awal abad 17 dan bertahan sampai dengan 31 Desember 1935. Per 1 Januari 1936, Batang secara resmi digabungkan kedalam Pemerintahan Kabupaten Pekalongan.

Tahun 1946, mulai ada gagasan untuk menuntut kembalinya status Kabupaten Batang. Ide pertama lahir dari Mohari yang disalurkan melalui sidang KNI Daerah dibawah pimpinan H.Ridwan. Sidang bertempat di gedung bekas rumah Contrder Belanda (Komres Kepolisian 922).

Tahun 1952, terbentuk sebuah Panitia yang menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat Batang. Panitia ini dinamakan Panitia Pengembalian Kabupaten Batang, yang bertugas menjalankan amanat masyarakat Batang.

Dalam kepanitiaan ini duduk dari kalangan badan legislatif serta pemuka masyarakat yang berpengaruh saat itu. Susunan panitianya terdiri atas RM Mandojo Dewono (Direktur SGB Batang) sebagai Ketua, R. Abutalkah dan R. Soedijono (anggota DPRDS Kabupaten Pekalongan) sebagai Wakil Ketua. Panitia juga dilengkapi dengan dua anggota yaitu R. Soenarjo (anggota DPRDS yang juga Kepala Desa Kauman) dan Rachmat (anggota DPRDS).

Tahun 1953, Panitia menyampaikan Surat Permohonan terbentuknya kembali status Kabupaten Batang lengkap satu berkas, yang langsung diterima oleh Presiden Soekarno pada saat mengadakan peninjauan daerah dan menuju ke Semarang dengan jawaban akan diperhatikan.

Tahun 1955, Panitia mengutus delegasi ke pemerintah pusat, yang terdiri atas RM Mandojo Dewono, R.Abutalkah, dan Sutarto (dari DPRDS).

Tahun 1957, dikirim dua delegasi lagi. Delegasi I, terdiri atas M. Anwar Nasution (wakil ketua DPRDS), R.Abutalkah, dan Rachmat (Ketua DPRD Peralihan). Sedangkan delegasi II dipercayakan kepada Rachmat (Kepala Daerah Kabupaten Pekalongan), R.Abutalkah, serta M.Anwar Nasution.

Tahun 1962, mengirimkan utusan sekali. Utusan tersebut dipercayakan kepada M. Soenarjo (anggota DPRD Kabupaten Pekalongan dan juga Wedana Batang) sebagai ketua, sebagai pelapor ditetapkan Soedibjo (anggota DPRD), serta dibantu oleh anggota yaitu H. Abdullah Maksoem dan R. Abutalkah.

Tahun 1964, dikirim empat delegasi. Delegasi I, ketuanya dipercayakan R. Abutalkah, sedang pelapor adalah Achmad Rochaby (anggota DPRD). Delegasi ini dilengkapi lima orang anggota DPRD Kabupaten Pekalongan, yaitu Rachmat, R. Moechjidi, Ratam Moehardjo, Soedibjo, dan M. Soenarjo.

Delegasi II, susunan keanggotaannya sama dengan Delegasi I tersebut, sebelum menyampaikan tuntutan rakyat Batang seperti pada delegasi-delegasi terdahulu, yaitu kepada Menteri Dalam Negeri di Jakarta diawali penyampaian tuntutan tersebut kepada Gubernur Kepala Daerah Provinsi Jawa Tengah di Semarang.

Delegasi III, yang juga susunan keanggotaannya sama dengan Delegasi I dan II kembali mengambil langkah menyampaikan tuntutan rakyat Batang langsung kepada Mendagri. Sedang Delegasi IV mengalami perubahan susunan keanggotaan. Dalam delegasi ini sebagai ketua R. Abutalkah, sebagai wakil ketua Rachmat, sedangkan sebagai pelapor adalah Ratam Moehardjo, Ahmad Rochaby sebagai sekretaris I, R. Moechjidi sebagai sekretaris II serta dilengkapi anggota yaitu Soedibjo dan M. Soenarjo.

Tahun 1965, diutus delegasi terakhir. Sebagai ketua R. Abutalkah, wakil ketua Rachmat, sekretaris I Achmad Rochaby, sekretaris II R. Moechjidi, pelapor Ratam Moehardjo serta dilengkapi dua orang anggota yaitu M. Soenarjo dan Soedibjo. Delegasi terakhir atau kesepuluh itu, memperoleh kesempatan untuk menyaksikan sidang paripurna DPR GR dalam acara persetujuan dewan atas Rancangan Undang-undang tentang Pembentukan Pemerintah Kabupaten Batang menjadi Undang-undang.

Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Batang terbentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1965, yang dimuat dalam Lembaran Negara Nomor 52, tanggal 14 Juni 1965 dan Instruksi Menteri Dalam Negeri RI Nomor 20 Tahun 1965, tanggal 14 Juli 1965.

Tanggal 8 April 1966, bertepatan hari Jumat Kliwon, yaitu hari yang dianggap penuh berkah bagi masyarakat tradisional Batang, dengan mengambil tempat di bekas Kanjengan Batang lama (rumah dinas yang sekaligus kantor para Bupati Batang lama) dilaksanakan peresmian pembentukan Daerah Tingkat II Batang.

Upacara yang berlangsung khidmat dari jam 08.00 s/d 11.00 itu, ditandai antara lain dengan Pernyataan Pembentukan Kabupaten Batang oleh Gubernur Kepala Daerah Provinsi Jawa Tengah Brigjend (Tit) KKO-AL Mochtar, pelantikan R. Sadi Poerwopranoto sebagai Pejabat Bupati Kepala Daerah Batang, serah terima wewenang wilayah dari Bupati KDH Pekalongan kepada Pejabat Bupati KDH Batang, serta sambutan dari Gubernur Kepala Daerah Jawa Tengah.

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Batang

Minggu, 11 Februari 2018

Sejarah Ribatul Muta'allimin

PONDOK PESANTREN

RIBATUL MUTA’ALLIMIN

LANDUNGSARI – PEKALONGAN

       

———————————————————————

Sejarah Pondok Pesantren Ribatul Muta’allimin

 

 Pondok Pesantren Ribatul Muta’allimin, Landungsari Pekalongan atau yang biasa juga disebut Pondok Grogolan, didirikan oleh almukarrom walmaghfur-lah K.H. Saelan pada tahun 1921 M. Beliau adalah putra dari kiai Muchsin bin Kiai Abdulloh (Syaih Tholabuddin) bin Kiai Chasan. Kiai Chasan ini adalah seorang kiai dari Kerajaan Mataram. Semasa muda, KH. Saelan mengaji dan menuntut ilmu kepada Kyai Maliki (Landungsari) dan Habib Hasyim (Pekalongan). Beliau juga nyantri kepada KH. Dimyati, Tremas, Pacitan dan Syaikhona KH.R. Cholil bin Abdul Latif atau biasa disebut Syeikh Cholil Bangkalan (Madura). Setelah berguru kepada kedua ulama besar tersebut, KH. Saelan kemudian mendirikan Pondok Pesantren di Desa Landungsari.

Pada mulanya KH. Saelan mendirikan Pondok Pesantren dengan membangun sebuah surau (musholla) kecil yang sederhana dengan atap daun rumbia dan lantainya masih berupa tanah. Di surau itulah KH. Saelan mengajar santri-santrinya dengan sistem pengajian sorogan dan bandungan. Mula-mula santri beliau berasal dari Desa Medono. Setelah jumlah santri yang belajar bertambah banyak, maka pada tahun 1928 dengan bantuan H. Abdussalam (Grogolan) didirikan bilik/kamar untuk menginap para santri. Dengan adanya santri yang menginap, maka untuk metode pengajaran digunakan sistem tingkatan atau kelas. Sementara itu, pengajian sistem sorogan dan bandungan tetap dipertahankan.

KH. Saelan mempunyai istri, yaitu Nyai Hj. Khaulia binti Kyai Abdul Mukti (masih keturunan mBah Nur Anom, Kranji-Pekalongan). Dari istrinya tersebut, Beliau dikaruniai empat orang putra-putri, yaitu : Hj. Khadhiroh, KH. Hamid Yasin, Hj. Bariroh dan Hj. Jauharoh. KH. Saelan menikah lagi dengan Hj. Masrurotun setelah Ibu Nyai Hj. Khaulia wafat.  Dari istrinya yang kedua, beliau dikaruniai seorang putra, yaitu KH. Hasan Rumuzi Yasin.

Pada tahun 1938 M, KH. Saelan wafat. Untuk selanjutnya kepemimpinan Pondok Pesantren digantikan oleh KH. Nachrawi bin Chasan dan KH. Hamid Yasin (putra KH. Saelan). KH. Nachrowi Chasan adalah santri dan sekaligus menantu dari KH. Saelan. Selain belajar kepada KH. Saelan, KH. Nachrowi juga belajar pada KH. Dimyati, Tremas, Pacitan. Beliau juga pernah belajar kepada KH. Romli Tamim, Jombang. Sementara itu KH. Hamid Yasin, selain belajar kepada ayahnya, juga belajar kepada mBah Maksum Lasem dan di Kaliwungu, Kendal. Pada masa ini, salah seorang santri almarhum KH. Saelan, yaitu Habib Muhammad, memberi nama Pondok Pesantren dengan nama “Ribatul Muta’allimin”.

Selama kepemimpinan KH. Nachrawi Chasan dan KH. Hamid Yasin, Pondok Pesantren Ribatul Muta’aalimin mengalami perkembangan yang cukup pesat. Jumlah santri yang mengaji bertambah banyak. Oleh karenanya sarana fisk juga baik berupa gedung/bangunan untuk kegiatan belajar-mengajar maupun bangunan bilik untuk menginap para santri semakin bertambah. Metode pengajaran dengan sistem kelas dan kurikulumnya juga semakin baik, dari tingkat Sifir, Ibtidaiyah Diniyah, Tsanawiyah Diniyah dan Aliyah Diniyah. Sementara itu, pengijian sorogan dan bandungan yang dilaksanakan di musholla tetap dipertahankan sampai sekarang.

 Pada tahun 1981 M, KH. Hamid Yasin wafat. Selanjutnya Pondok Pesantren Ribatul Muta’allimin tetap diasuh oleh KH. Nachrowi Chasan dengan dibantu oleh KH. Hasan Rumuzi (putra KH. Saelan), KH. Dja’far Nachrowi (putra KH. Nachrowi Chasan) dan KH. Abu Khalid (menantu KH. Saelan). Pada masa ini Pondok Pesantren Ribatul Muta’allimin semakin maju. Salah satu kemajuan yang sangat dibanggakan adalah diadakannya pendidikan  Madrasah Tsanawiyah dengan kurikulum Departemen Agama (setingkat SMP) dan Madrasah Aliyah kurikulum Departemen Agama (setingkat SMU).

Pada Hari Rabu tanggal 12 Juni 1996 M atau 26 Muharrom 1417 H, KH. Nachrowi Chasan wafat. Selanjutnya Pondok Pesantren Ribatuk Muta’allimin diasuh oleh KH. Dja’far Nachrowi, KH. Hasan Rumuzi dan KH. Abu Khalid dengan dibantu oleh putra-putri KH. Nachrowi yang lain. Namun baru sekitar satu tahun mengasuh Pondok Pesantren menggantikan ayahnya, tepatnya Hari Senin tanggal  21 April 1997 M atau 13 Dzulhijjah 1417 H, KH. Dja’far Nachrowi wafat. Dan selanjutnya Pondok Pesantren Ribatul Muta’allimin diasuh oleh KH. Hasan Rumuzi, KH. Sa’dullah Nachrowi dan KH. Najib Nachrowi.

Untuk memperingati wafatnya almarhum KH. Saelan selaku pendiri Pondok Pesantren, maka pada setiap tanggal 12 Sya’ban, di Pondok Pesantren Ribatul Muta’allimin diadakan kegiatan Khoul KH. Saelan dan para pengasuh lainnya, dimana kegiatan tersebut bertepatan dengan kegiatan Akhirussanahdan wisuda santri tingkat Aliyah Diniyah Pondok Pesantren Ribatul Muta’allimin.

 Tujuan Pondok Pesantren Ribatul Muta’allimin

Sesuai dengan yang tercantum di dalam akta pendirian Yayasan Pondok Pesantren Ribatul Muta’allimin, tujuan diadakannya kegiatan di Pondok Pesantren yang berasaskan PANCASILA dan berakidah Islam AHLUSSUNAH WAL JAMA’AH ini adalah sebagai berikut :

Memberikan pendidikan dan pengetahuan Agama Islam serta pengetahuan umum secara luas kepada masyarakat, sehingga bisa meningkatkan kualitas manusia, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT., berbudi pekerti luhur, berkepribadian, berdisiplin, cerdas dan terampil, mau bekerja keras, tangguh, tanggung jawab, mandiri, sehat jasmani dan rohani.Melestarikan penggunaan kitab kuning sebagai ciri khas dari Pondok Pesantren.Ikut membantu usaha-usaha pemerintah dalam pembangunan, baik materiil maupun spirituil.

 Untuk mencapai tujuan tersebut diatas, maka usaha-usaha yang telah dilakukan adalah sebagai berikut :

Mendirikan Madrasah Diniyah Ibtidaiyah, Madrasah Diniyah Tsanawiyah, Madrasah Diniyah Aliyah, Madrasah Tsanawiyah SKB (Surat Keputusan Bersama, setingkat SMP) dan Madrasah Aliyah SKB (setingkat SMU).Mengadakan pengajian-pengajian rutin, baik bandungan, sorogan (tulis-baca) maupun sema’an (dengan mendengarkan untuk dimengerti).Mengadakan kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan.Sebagai sarana dan prasarana tersebut diatas, maka telah dibangun gedung-gedung sekolah/Madrasah, Pondok Pesantren, tempat ibadah serta melengkapinya dengan sarana dan prasarana penunjang yang dibutuhkan.

 Perkembangan Pondok Pesantren Ribatul Muta’allimin

 Eksistensi atau keberadaan Pondok Pesantren Ribatul Muta’allimin ditengah-tengah masyarakat semakin diakui, baik di lingkungan Kota Pekalongan maupun di luar. Hal ini terbukti dari sejumlah santri yang datang dari berbagai daerah. Kenyataan ini mendorong Pengasuh dan para Pengurus beserta seluruh jajaran Majlis Guru untuk selalu berupaya meningkatkan pelayanan terhadap seluruh lapisan masyarakat dari berbagai kebutuhan mulai dari permasalahan sosial, kegamaan, kemasyarakatan, pendidikan dan lainnya.

 Masa Perkembangan Pondok Pesantren Tahap Pertama :

Usaha Pengembangan Pondok Pesantren mulai dilakukan pada masa KH. Nachrowi Chasan, mengingat semakin bertambahnya jumlah santri yang belajar di Pondok Pesantren Ribatul Muta’allimin, baik santri laju (santri kalong) maupun santri yang menetap. Atas usaha KH. Nachrowi Chasan dan dibantu oleh masyarakat, telah dapat dibangun 8 kamar di Pondok Pesantren. Kemudian atas dorongan H.Syamsuri, maka pada tahun 1954 disusun sebuah Panitia Pembangunan Madrasah Salafiyah Ribatul Muta’allimin sebagai berikut:

Penasehat  :    KH. Nachrawi Chasan

Ketua :    Mas’ud Karnadi

Sekretaris :    H. Djazuli Fajari

Bendahara :    H. Samsuri

Wakil Bendahara:    H. Syukur Harun

Pada Tahun 1955, diatas tanah waqaf milik H.Syamsuri telah dapat dibangun sebuah gedung madrasah yang terdiri dari 4 lokal dan sebuah ruang guru dengan perlengkapannya yang kesemuanya menelan biaya Rp. 83.000,- diluar harga tanah. Mengingat kekurangan areal tanah untuk pembangunan gedung madrasah, maka tanah milik Bapak Kasdani yang berada dibelakang tanah milik H.Syamsuri diwaqafkan pula.

Pada Tahun 1958, atas usaha KH. Nachrawi Chasan dengan dibantu masyarakat, dibangun sebuah bangunan yang terdiri 4 kamar yang dilengkapi dengan serambi yang digunakan untuk kegiatan belajar- mengajar. Pembangunan tersebut menelan biaya Rp.100.000,-

Pada Tahun 1961, atas usaha H.Juned (PPIP) dan H.Ridhwan (Ketua Tanfidziyah PCNU Kodia Pekalongan), dibeli tanah beserta bangunannya seluas 1000 m² yang bersebelahan dengan komplek Pondok Pesantren. Bangunan tersebut digunakan juga untuk kegiatan sekolah (Komplek B).

Pada Tahun 1963, Pondok Pesantren Ribatul Muta’allimin mendapat musibah akibat banjir dari sungai yang berada dibelakang Pondok Pesantren yang mengakibatkan robohnya bangunan yang terdiri 4 kamar. Pada Tahun itu pula dibangun sebuah bangunan yang terdiri dari 6 kamar beserta serambinya yang digunakan untuk kamar para santri dan sekaligus untuk kegiatan belajar-mengajar (Komplek C).

Pada Tahun 1969, H.Juned dan H.Ridhwan memprakarsai pembelian tanah seluas 600 m² yang berada diseberang komplek Pondok Pesantren dan sekaligus dibentuk suatu Panitia Pembangunan sebagai berikut :

Penasehat                         :    H.Juned, H.Ridhwan dan KH.Hamid Yasin

Pelaksana                         :    Istadi

Ketua                                :    KH.Nachrawi Chasan

Wakil Ketua                    :    Rahmat Kurdi

Sekretaris                         :    Kholil Abdurrahman

Wakil Sekretaris             :    H.Dja’far Nachrawi

Bendahara                        :    H.Djazuli

Wakil Bendahara            :    H.Moh. Nur

Pada Tahun 1972, atas prakarsa H.Ridhwan dan H.Juned, dibeli sebidang tanah diseberang Pondok Pesantren seharga Rp.200.000,- yang kemudian dibangun sebuah gedung berlantai 2 yang terdiri 6 lokal kelas (khusus putri). Adapaun sisa tanah dari pembelian tanah tersebut, tepatnya disamping masjid, diberikan kepada KH.Nachrawi Chasan yang kemudian dibangun sebuah rumah. Biaya keseluruhan dari pembangunan Madrasah Banat beserta rumah tersebut menghabiskan dana Rp.9.000.000,.

 Kemudian pada Tahun 1974, atas usaha H.Juned, H.Ridhwan dan H.Tamim, dibangun gedung lantai 2. Untuk lantai atas digunakan untuk kegiatan belajar Madrasah Diniyah Tsanawiyah, sedangkan lantai bawah digunakan untuk kamar para santri (6 lokal) dan 1 ruang guru (Komplek D).

Masa Perkembangan Pondok Pesantren Tahap Kedua

 Untuk mengantisipasi perkembangan, disamping keinginan sebagian besar orang tua atau wali santri yang menginginkan anaknya memperoleh pendidikan formal sekaligus pendidikan agama, maka atas prakarsa dan usaha dari KH.Dja’far Nachrawi dan Kyai Syatibi serta dorongan dari Bapak Wahyudi dan para ustadz/guru lainnya, maka pada Tahun 1983 didirikan Madrasah Tsanawiyah (MTs) dengan kurukulum Departemen Agama, setingkat SMP. Untuk melengkapi fisik dengan didirikannya MTs tersebut, maka pada Tahun 1985 dibangun sebuah gedung berlantai 2 yang digunakan sebagai sarana perkantoran, ruang ketrampilan dan ruang OSIS.

Pada Tahun 1986, atas swadaya dan bantuan dari masyarakat, Pondok Pesantren Ribatul Muta’allimin berusaha mengembangkan sarana belajar dan penginapan para santri yang dirasakan sangat mendesak untuk segera dipenuhi mengingat semakin bertambahnya jumlah santri yang menetap. Usaha pengembangan tersebut adalah dengan membeli sebidang tanah milik OE NGE BOEN (papa mbun) seharga Rp.8.500.000,-. Diatas tanah tersebut dibangun sebuah gedung berlantai 3 yang selesai dibangun pada Tahun 1989 dan menghabiskan dana Rp.91.040.000,-. Adapun Susunan Panitia Pembangunan Gedung Lantai 3 tersebut adalah sebagai berikut :

Penasehat :    KH.Nachrowi Chasan & H.Djoko Prawoto,BA.

Ketua :    KH.Hasan Rumuzi

Wakil Ketua :    KH.Dja’far Nachrowi

Sekretaris :    Fathurrohman Abd. Hamid & H.Mudhofir Kurdi

Bendahara  :    Dr.Sobirin Nachrowi & H.Saelani Mahfudz

Pembantu Umu :    Keluarga Besar KH.Nachrowi dan Bani KH.Saelan

 Untuk menampung para siswa yang telah lulus dari MTs Ribatul Muta’allimin dan lulusan Sekolah Menengah Pertama yang akan melanjutkan pendidikan formalnya sekaligus memperoleh pendidikan agama dengan mengaji di Madrasah Diniyah Ribatul Muta’llimin, maka atas usaha KH.Dja’far Nachrowi pada Tahun 1989 dibuka Madrasah Aliyah Ribatul Muta’allimin dengan kurikulum Departeme Agama, setingkat SMU. Adapun untuk kegiatan belajar-mengajar Madrasah Aliyah tersebut, digunakan gedung lantai 3 yang telah selesai dibangun pada Tahun 1989.

Masa Perkembangan Pondok Pesantren Tahap Ketiga

 Untuk lebih mengefektifkan kinerja dari pengasuh dan pengurus Pondok Pesantren serta untuk lebih terjalinnya koordinasi di lingkungan Pondok Pesantren, mengingat lembaga yang bernaung dibawahnya sudah berkembang, maka pada tanggal 4 Oktober 1993 dibentuk suatu yayasan yang bernama “Yayasan Pondok Pesantren Ribatul Muta’allimin” atau YPPRM oleh KH.Nachrowi Chasan, KH.Dja’far Nachrowi dan KH.Hasan Rumuzi. Adapun susunan pengurus Yayasan PPRM saat ini adalah sebagai berikut :

Ketua Umum :    KH.Hasan Rumuzi

Ketua I  :    KH.Sa’dullah Nachrowi

Ketua II   :    KH.M.Najib Nachrowi

Sekretaris Umum  :    H. Mudhofir Kurdi

Sekretaris I :    K. Syatibi

Sekretaris II :    H. Habib Soleh

Bendahara Umum :    H. M.Saelani Mahfudz

Bendahara I  :    Hj. Umi Salamah Nachrowi

Bendahara II :    Muhibah Nachrowi

Hubungan Antara Pondok Pesantren Ribatul Muta’allimin Dengan NU

Ibarat mata uang, NU dan Pondok Pesantren merupakan dua sisi yang tidak bisa dipisahkan. Sejarah membuktikan bahwa Jam’iyah Nahdlatul ‘Ulama lahir dari komunitas pesantren. Oleh karena itu, Pondok Pesantren Ribatul Muta’allimin, seperti halnya pondok-pondok pesantren yang lain di Indonesia, khususnya di Jawa, mempunyai hubungan yang sangat erat dengan Jam’iyah Nahdlatul ‘Ulama. Hubungan baik ini ditandai dengan aktifnya para pengasuh dalam kepengurusan NU Cabang Pekalongan.

Kurikulum Madrasah Diniyah Salafiyah Ribatul Muta’allimin

Pondok Pesantren Ribatul Muta’allimin merupakan Pondok Pesantren yang telah memiliki jenjang kurikulum yang cukup lengkap. Oleh karenanya banyak Pondok Pesantren, Madrasah ataupun Lembaga Pendidikan Agama di Pekalongan dan sekitarnya yang menggunakan kurikulum yang telah diterapkan di Pondok Pesantren Ribatul Muta’allimin.

Kurikulum lengkap Madrasah Diniyah Salafiyah Ribatul Muta’allimin adalah sebagai berikut :

Tingkat Ibtidaiyah

 

Kelas I

-       Adzkaarussholaat

-       Al-Lughoh Al-‘Arabiyah

-       Al-Imla’/Al-Khoth

-       Al-Taukhiid

-       Al-Ad’iya’

-       Al-Tahaji

Kelas II

-       Adzkaarussholaat

-       Al-Lughoh Al-‘Arabiyah

-       Al-Imla’/Al-Khoth

-       Al-Qur’an

-       Al-Taarikh

-       Syaraaith

Kelas III

-       Al-Qur’an

-       Al-Lughoh Al-‘Arabiyah

-       Al-Imla’/Al-Khoth

-       Al-Taukhiid (‘Aqiidatul ‘Awaam)

-       Al-Akhlaaq (Tanbiih Al-Ta’liim)

-       Al-Taarikh (Qishoh Al-Anbiyaa’)

-       Al-Fiqh (Mabaadi’ Al-Fiqhiyyah)

Kelas IV

-       Al-Qur’an

-       Al-Lughoh Al-‘Arabiyah (Ta’Liim Al-Lughoh Al-‘Arabiyah 1)

-       Al-Taukhiid (Qotrul Ghoits)

-       Al-Adaab (Nadhom Al-Mathlab)

-       Al-Taarikh (Khulaashoh Al-Nur Al-Yaqiin, Juz 1)

-       Al-Tajwiid (Hidaayah Al-Shibyaan)

-       Al-Fiqh (Safiinah Al-Najaah)

Kelas V

-       Al-Nakhwu (Al-Ajrumiyyah, Awal)

-       Al-Shorf (Al-Amtsilah Al-Tashriifiyyah, Awal)

-       Al-Lughoh Al-‘Arabiyah (Ta’Liim Al-Lughoh Al-‘Arabiyah 2)

-       Al-Qur’an

-       Al-Tajwiid (Jazariyyah, Awal)

-       Al-Taukhiid (Syu’b Al-Iimaan)

-       Al-Taarikh (Khulaashoh Al-Nur Al-Yaqiin, Juz 2)

-       Al-Fiqh (Matan Al-Ghaayah wa Al-Taqriib, Awal)

Kelas VI

-       Al-Nakhwu (Al-Ajrumiyyah, Tsaani)

-       Al-Shorf (Al-Amtsilah Al-Tashriifiyyah, Tsaani)

-       Al-Lughoh Al-‘Arabiyah (Ta’Liim Al-Lughoh Al-‘Arabiyah 3)

-       Al-Qur’an

-       Al-I’laal (Al-Qowaaid Al-I’laal)

-       Al-Hadits (Al-Arbaiin Al-Nawawi)

-       Al-Tajwiid (Jazariyyah, Tsaani)

-       Al-Taukhiid (Khoriidah Al-Bahiyyah)

-       Al-Taarikh (Khulaashoh Al-Nur Al-Yaqiin, Juz 3)

-       Al-Fiqh (Matan Al-Ghaayah wa Al-Taqriib, Awal)

Tingkat Tsanawiyah

Kelas I

-       Al-Nakhwu (Al-Imriithi)

-       Al-Shorf (Nadhm Al-Maqsuud)

-       Al-Lughoh Al-‘Arabiyah

-       Al-Tafsiir (Ilmu Al-Tafsiir)

-       Al-Hadits (Buluughul Al-Maraam, Awal)

-       Mushtholah Al-Hadits (Al-Baiquuniyyah)

-       Al-fiqh (Fath Al-Qoriib Al-Mujiib, Awal)

-       Al-Taukhiid (Jawaahir Al-Kalaamiyyah)

-       Al-Balaaghoh (Al-Isti’aaroh)

Kelas II

-       Al-Nakhwu (Alfiyah Ibn Al-Maalik, Awal)

-       Al-Tafsiir (Tafsiir Al-Ahkaam)

-       Al-Hadits (Buluughul Al-Maraam, Tsaani)

-       Ushul Al-Fiqh (Nadhm Al-Waraaqaat, Awal)

-       Al-Fiqh (Fath Al-Qoriib Al-Mujiib, Tsaani)

-       Qowaaid Al-I’rob (Kifaayah Al-Ashhaab)

-       Al-Taukhiid (Kifaayah Al-Awaam)

-       Al-Balaaghoh (Jauhar Al-Maknuun, Awal)

-       Al-Faraaidh (‘Iddah Al-Fariidh, Awal)

 Tingkat Aliyah

 Kelas I

-       Al-Nakhwu (Alfiyah Ibn Al-Maalik, Tsaani)

-       Al-Tafsiir (Tafsiir Al-Ahkaam)

-       Al-Hadits (Ibn Abi Jamroh)

-       Ushul Al-Fiqh (Nadhm Al-Waraaqaat, Tsaani)

-       Al-Fiqh (Fath Al-Mu’iin, Awal)

-       Al-Qowaaid Al-Fiqhiyyah (Al-Faraaid Al-Bahiyyah, Awal)

-       Al-Akhlaaq (Bidaayah Al-Hidaayah)

-       Al-Balaaghoh (Jauhar Al-Maknuun, Tsaani)

-       Al-Faraaidh (‘Iddah Al-Fariidh, Tsaani)

Kelas II

-       Al-Nakhwu (Alfiyah Ibn Al-Maalik, Tsaalits)

-       Al-Fiqh (Fath Al-Mu’iin, Tsaani)

-       Al-Qowaaid Al-Fiqhiyyah (Al-Faraaid Al-Bahiyyah, Tsaani)

-       Al-‘Aruudh

-       Al-Balaaghoh (Jauhar Al-Maknuun, Tsaalits)

-       Al-Mantiq (Sullam Al-Munawwaraq)

-       Al-Falak (Risaalah Al-Falaakiyyah)

-       Al-Tasawuf (Kifaayah Al-Atqiyaa’)

Sedangkan kitab kuning (kitab salaf) yang diajarkan di Ribatul Muta’allimin diantaranya :

-       Tafsiir Jalalain

-       Fath Al-Mu’iin

-       Al-Ajruumiyyah

-       Mabaadi’ Al-Fiqhiyyah

-       Majaalis Al-Saniyyah

-       Ta’liim Al-Muta’allim

-       Bahjah Al-Wasaail

-       Nashaikh Al-Diniyyah

-       Kailani

-       Kitaab Al-Makhiidh

-       dsb.




http://adib-gja.com/pesantren-1/