Jumat, 23 November 2018

Kbutbah maulid 2

KHUTBAH JUM'AT : PERINGATAN MAULID NABI MUHAMMAD SAW..

Oleh : Oleh KH Abdurrahman Navis Lc.

Sumber : http://www.nu.or.id
Disunting oleh : Abdul Latif, S.Pd.I

الْحَمْدُ للهِ شَرَّفَ الأَنَاَمَ بِصَاحِبِ الْمَقَامِ الأعْلَى. وَكَمَّلَ السُّعُوْدَ بِأَكْرَمِ مَوْلُوْدٍ. أَشْهَدُ أنْ لاإلهَ إلاّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الْمَبْعُوْثُ بِالْحُجَّةٍ الَبَالِغَةِ وَحُسْنِ الْبَيَانِ. أللّهُمَّ صَلِّي وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأصْحَابِهِ أجْمَعِيْنَ. أمَّا بَعْدُ. فَيَا عِبَادَ اللهِ أًوْصِيْكُمْ وَنَفْسِي بِتَقْوَى اللهِ وَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ. اتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوْتُنَّ اِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ

Ma’asyiral muslimin sidang Jum’at rahimakumullah

Dalam kesempatan yang mulia ini marilah kita tadzakkur dan tafakkur, mengingat segala apa yang kita amalkan selama ini dan berusaha meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kita kepada Allah SWT. Dalam arti kita berusaha melaksanakan segala usaha yang diperintahkan Allah dan menjauhi segala yang dilarang-Nya. Marilah kita tinggalkan sejenak tugas-tugas duniawiyah, pekerjaan di kantor, bisnis dan perdagangan, untuk masuk masjid melaksanakan sholat Jumat,untuk dzikrullah, ingat kepada Allah SWT.

Semoga dengan demikian kita termasuk golongan orang-orang yang tidak lalai ingat kepada Allah, walaupun kita disibukkan dengan aktivitas jual beli dan perdagangan. Semoga kita semua dijadikan oleh Allah SWT sebagai hamba Allah yang muttaqin dan husnul khatimah. Amin.

Ma’asyiral muslimin sidang Jum’at rahimakumullah
Di bulan Rabi’ul Awwal yang lebih dikenal dengan bulan maulid atau bulan kelahiran Nabi Muhammad SAW, tepatnya tanggal 12 rabi’ul awwal, biasanya kaum muslimin merayakan peringatan mauld Nabi Muhammad SAW, baik dirumah dengan mengundang tetangga dan handai taulan. Atau diadakan oleh lembaga, organisasi, masyarakat kampung dengan bentuk pengajian umum dan ceramah, ada juga dengan bakti sosial, khitanan masal, dan bentuk amal-amal sholeh yang lain.

Yang menjadi pertanyaan, pernakah nabi Muhammad merayakan peringatan maulidnya? Dan sejak kapankah diadakan dan untuk apa? Lalu bagaimana hukumnya mengadakan peringatan mauled Nabi Muhammad SAW?

Ma’asyiral muslimin sidang Jum’at rahimakumullah

Jika menelusuri sejarah, ternyata Nabi Muhammad SAW belum pernah merayakan hari ulang tahunnya dengan upacara dan acara. Rasulullah memperingati kelahirannya dengan berpusa. Suatu ketika Nabi Muhammad ditanya: ”Wahai rasul, mengapa engkau berpuasa hari Senin?” Rasul menjawab: “Pada hari Senin itu aku dilahirkan.” 

Dengan demikian Nabi Muhammad merayakannya denga puasa yang kemudian di masyarakat kita dikenal dengan puasa weton (puasa kelahiran). Namun sejarah tidak pernah mencatat Rasulullah merayakan maulid dengan mengundang orang lain untuk bacaan shalawat, untu bacaan berberzanjian, dibaan dan pengajian umum.

Nah, apakah kalau Nabi Muhammad SAW sahabat tidak pernah mengadakan peringatan maulid ini berarti mengada-ngada, dan apakah termasuk bid’ah?

Ma’asyiral muslimin sidang Jum’at rahimakumullah

Mari kita mengkaji hukum peringatan mauled Nabi Muhammad SAW. Dalam sebuah kitab yang ditulis oleh Imam Jalaluddin as-Suyuthi yang berjudul Husnul Maqasid fil Amal al-Mawalid. Beliau menjelaskan bahwa di zaman Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin memang belum diadakan peringatan dalam bentuk upacara, shalawatan dan pengajian tentang maulid Nabi, sehingga ada sebagian kaum muslimin yang tidak mau memperingati kelahiran dengan bentuk upacara itu.

Jadi, kapan peringatan kelahiran Nabi ini mulai dilaksanakan?

Ma’asyiral muslimin sidang Jum’at rahimakumullah

Sejarah menyebutkan bahwa sejak Islam berjaya dengan menaklukan romawi, Persia bahkan Eropa, banyaklah orang non muslim masuk Islam, termasuk orang-orang salib dari Eropa. Baik karena sukarela ataupun karena terpaksa. Hal ini menimbulkan dendam kaum Nasrani, akhirnya mereka membalas dendam dengan menjajah Timur Tengah. Maka berkobarlah perang salib. Kaum kafir membunuh orang islam, merampas kekayaan, dijauhkan dari Islamnya, dijauhkan dari Nabinya, dijauhkan dari sejarah kejayaan Islam. Yang ditampilkan oleh penjajah di hadapan kaum muslimin adalah tokoh-tokoh kafir, tokoh-tokoh fiktif sehingga rusaklah moral anak-anak muda, hancurlah kejayaan kaum muslimin, hilang keteladanan, hingga tidak kenla kehebatan Islam.

Melihat kondisi umat yang terpuruk dan semakin jauh dari Islam, serta tidak punya semangat memperjuangkan agamanya, para ulama’ dan tokoh Islam mencari solusi bagaimana membangkitkan keislaman kaum muslimin dan melepaskan diri dari cengkraman tentara salib.

Di antaranya seorang raja yaitu Al-Malik Mudhaffaruddin (Raja Himsiyyah), mengundang para ulama’ dan masayikh ke istana untuk bermusyawarah, bagaimana membangkitkan semangat umat Islam, membebaskan diri dari penjajah, serta menanamkan kecintaan anak muda dan muslimin kepada Rasulullah, sehingga mau menteladani beliau.

Dari musyawarah ulama tersebut akhirnya ada yang mengusulkan agar diadakan peringatan peristiwa bersejarah dalam Islam, diantaranya dengan peringatan maulid Nabi Muhammad SAW, yang kemudian dikampanyekan dengan besar-besaran, mengundang para penyair agar menulis syair pujian kepada Nabi, serta para ulama dan mubaligh yang bertugas menceritakan sejarah Nabi.

Al-Malik Mudhaffaruddin menanggapi usulan ini dengan antusias. Tetapi ada yang tidak setuju, dengan alasan kerena peringatan seperti itu tidak pernah dikerjakan oleh Nabi, dan itu berarti itu bid’ah.

Menanangapi ketidak setujuan mereka, akhirnya dijawab oleh ulama’ yang hadir, bahwa dalam penjelasan tentang bid’ah itu tidak semua sesat. Menurut Imam al-Iz Abdussalam, Ibnu Atsar menjelaskan bahwa ada bid’ah dholalah dan bid’ah hasanah. Bid’ah dholalah (sesat) adalah bid’ah yang tidak ada dasar hukummnya dan tidak ada perintah sama sekali dari syariat, sedangkan bid’ah hasanah adala suatu amalan yang dasar perintahnya sudah ada dari Rasulullah, namun teknisnya tidak diatur langsung dan itu bukan temasuk ibadah mahdah muqayyadah (ibadah murni yang telah ditentukan tata caranya).

Ma’asyiral muslimin sidang Jum’at rahimakumullah

Seperti sering dijelaskan bahwa ibadah itu ada dua macam. Pertama, ibadah mahdah muqayyadah yaitu ibadah murni yang tata caranya terikat dan tidak boleh diubah, karena perintah dan teknis pelaksanaannya contohkan langsung oleh Rasulullah, seperti shalat dan haji yang harus sesuai dengan apa yang dicontohkan oleh Rasul.

Kedua, ibadah muthalaqah ghoiru muqayyadah, yaitu ibadah mutlaq yang tata caranya tidak terikat, perintahnya ada sedangkan teknis pelaksanaannya terserah masing-masing orang. Seperti berdzikir, perintahnya sudah ada namun teknisnya tidak ditentukan sebagaiman firman Allah:

فَاذْكُرُواْ اللّهَ قِيَاماً وَقُعُوداً وَعَلَى جُنُوبِكُمْ

Yang artinya: ”Berdzikirlah kalian dalam keadaan berdiri duduk, dan berbaring." (QS an-Nisa)

Dzikir merupakan perintahnya, sedangakan teknisnya terserah kita, duduk, berdiri, berbaring dirumah, dimasjid sendirian, bersama-sama, suara pelan ataupun dengan suara keras tidak ada batasan-batasan, tergantung kepada situasi dan kondisi asal tidak melanggar ketentuan syariat.

Membaca shalawat juga diperintahkan sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur’an:

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيماً

Yang Artinya: ”Sesungguhnya Allah dan malaikat bershalawat kepada Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu kepada Nabi dan ucapkanlah salan penghormatan kepadanya.” (QS al-Ahzab56).

Perintah membaca shalawat ada sedangkan teknisnya terserah kita. Boleh sholawat yang panjang, pendek, prosa, maupun syair, yang penting bershalawat kepada rasullullah. Hal ini termasuk juga berdakwah, Allah berfirman dalam Al-Qur’an:

ادْعُ إِلِى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ

Yang artinya: ”Serulah (manausia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik.” (QS an-Nahl 125)

Berdakwahlah kamu ke jalan Allah dengan cara hikmah dan mauidzah hasanah atau wejangan yang baik. Perintahnya ada sedangkan teknis pelaksanaannnya terserah kita, boleh dalam bentuk pengajian umum, pengajian rutin di masjid, ataupun media TV, radio, koran, majalah,diskusi, maupun seminar. Semuanya dipersilakan, yang penting momentum dan misinya adalah dakwah.

Ma’asyiral muslimin sidang Jum’at rahimakumullah

Peringatan Maulid Nabi yang diisi dengan pembacaan shalawat kepada Rasul, pengajian umum, ceramah tentang kesadaran terhadap islam, membaca sejarah Nabi, amal saleh, bakti sosial, khitanan massal dan lain-lain itu merupakan ibadah mutlaqah ghairu muqayadah atau ibadah yang mutlaq dan tidak terikat tata caranya dimana perintahnya ada sedangakan pelaksanaannya terserah kita.

Maka dengan demikian mengadakan peringatan Maulid Nabi yang diisi dengan pembacaan shlawat, pengajian umum dan perbuatan yang baik bukan termasuk bid’ah dlalalah, tapi tapi merupakan amrum muhtasan, yaitu “sesuatu yang dianggap baik” dan kalau kalau dilakukan secara ikhlas karena Allah maka akan mendapatka pahala dari Allah SWT.

Demikian juga Sayyid Alwi Al-Maliki al-Hasani menjelaskan dalam kitab Mukhtashar Sirah Nabawiayah: “Bahwa memperingati Maulid Nabi bukan bid’ah dlalalah, tapi sesuatu yang baik”. 

Ma’asyiral muslimin sidang Jum’at rahimakumullah
Akhirnya para ulama yang hadir bersama Al-Malik Mudhaffaruddin dalam pertemuan itu memutuskan bahwa peringatan Maulid Nabi Muhammad itu boleh. Kemudian Al-Malik Mudhafar sendiri langsung menyumbang 100 ekor unta dan sekian ton gandum untuk mengadakan peringatan maulid Nabi muhammad SAW. Setiap daerah diundang penyair untuk membuat syair pujian dan shalawat kepada Nabi muhammad. Kitab-kitab yang tersisa hingga sekarang di antaranya yang dikarang oleh Syeikh al-Barzanji dan Syeikh Addiba’i.

Ternyata dengan diadakannya peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW ini sangat efektif untuk menyadarkan kaum Muslimin cinta kepada Rasul, sehingga seorang pemuda bernama Shalahudin Al-ayyubi menggalang anak-anak muda, dilatih fisiknya, disadarkan cinta Rasul, diajak membebaskan diri dari penjajahan tentara salib. Akhirnya, laskar Islam bersama panglima Shalahudin al-Ayyubi, bisa memenangkan perang salib pada tahun 580 H. Sejak tahun itulah peringatan Maulid Nabi SAW diadakan oleh negara muslim lainnya.

Mudah-mudahan dengan peringatan Maulid Nabi hati kita semakin cinta kepada Rasulullah SAW. Dengan cinta kepada Rasulullah kita akan melaksanakan perintahnya dan menjauhi larangannya dan kita termasuk orang yang menghidupkan sunnah Rasulullah SAW. Sebagaimana sabda beliau yang artinya: “Orang-orang yang telah menghidupkan sunnahku maka dia berarti cinta kepadaku, dan orang-orang yang cinta padaku nanti akan bersamaku disurga.” 

Semoga kita dikumpulkan bersama Rasulullah SAW kelak disurga nanti. Amiin, ya rabbal alamin.

أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَنِ الرَّجِيْمِ. بِِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ. إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَر فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَر

أقُوْلُ قَوْلِي هَذا وَأسْتَغْفِرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ لَِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ

Khutbah Maulid


Khutbah I

اْلحَمْدُ للهِ اْلحَمْدُ للهِ الّذي هَدَانَا سُبُلَ السّلاَمِ، وَأَفْهَمَنَا بِشَرِيْعَةِ النَّبِيّ الكَريمِ، أَشْهَدُ أَنْ لَا اِلَهَ إِلَّا الله وَحْدَهُ لا شَرِيك لَه، ذُو اْلجَلالِ وَالإكْرام، وَأَشْهَدُ أَنّ سَيِّدَنَا وَنَبِيَّنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَ رَسولُه، اللّهُمَّ صَلِّ و سَلِّمْ وَبارِكْ عَلَى سَيِّدِنا مُحَمّدٍ وَعَلَى الِه وَأصْحابِهِ وَالتَّابِعينَ بِإحْسانِ إلَى يَوْمِ الدِّين، أَمَّا بَعْدُ: فَيَايُّهَا الإِخْوَان، أوْصُيْكُمْ وَ نَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنْ، قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِي اْلقُرْانِ اْلكَرِيمْ: بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَانِ الرَّحِيْمْ: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا الله وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا، يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ الله وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا وقال تعالى يَا اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ. صَدَقَ اللهُ العَظِيمْ

Jamaah shalat Jumat hafidhakumullâh,
Wasiat taqwa

Alhamdulillah, pada bulan ini kita memasuki bulan Rabi’ul Awal 1440 H. Dalam bahasa Jawa biasa kita sebut dengan bulan Maulud atau bulan Maulid. Sebutan ini selaras dengan makna harfiahnya, momen kelahiran, persisnya kelahiran Baginda Nabi Muhammad ﷺ yang merupakan kenikmatan  amat besar dari Allah ﷻ bagi seluruh alam. Penting bagi kita sebagai umat Islam untuk bersyukur atas kelahiran Nabi dan mengekspresikan kegembiraan dan kebahagiaan ketika memperingati Maulid Nabi.   Ibnu Hajar sebagaimana dikutip oleh Imam Jalaludin As Suyuti dalam kitab al-Hawi lil Fatawi, juz 1 halaman 230 menyatakan bahwa peringatan Maulid Nabi Muhammad ﷺ merupakan ritual untuk mensyukuri nikmat Allah ﷻ. Karena itu, dalam kesempatan yang mulia ini khatib ingin menyampaikan bagaimana hukum merayakan Maulid Nabi Muhammad ﷺ? bagaimana cara merayakan Maulid Nabi Muhammad ﷺ? dan bagaimana esensi perayaan Maulid Nabi Muhammad ﷺ? 

Jamaah shalat Jumat hafidhakumullâh,

Menurut Sayyid Muhammad bin Alwi Al Maliki dalam kitab Mafahim Yajib an Tushahhah halaman 316, peringatan maulid Nabi Muhammad ﷺ merupakan bentuk tradisi yang baik di masyarakat, bukan termasuk bagian dari masalah ibadah yang dipersoalkan keabsahannya. Sekali lagi, acara peringatan Maulid Nabi adalah tradisi dan adat kebiasaan yang baik. Dikategorikan tradisi yang baik, karena substansi peringatan Maulid Nabi Muhammad ﷺ memiliki banyak manfaat dan kebaikan bagi masyarakat, seperti meneladani prilaku Nabi, pembacaan ayat-ayat Al Qur’an, dzikir, tahlil, kalimat thayyibah dan pembacaan sejarah dan perjuangan Nabi Muhammad ﷺ. Hal tersebut juga berlaku untuk tradisi keagamaan selainnya, seperti peringatan Isra’ Mi’raj, peringatan Nuzulul Qur’an, Peringatan Tahun Baru Muharram, dan sesamanya.  Syekh Abdul Karim Zidan dalam kitabnya al-Wajiz fi Ushulil Fiqhi halaman 253 menjelaskan bahwa tradisi yang syar’i adalah tradisi yang tidak berlawanan dengan nash agama, tradisi yang membawa maslahat syar’i, dan tradisi yang tidak menimbulkan mudarat bagi masyarakat. Dari sini dapat disimpulkan bahwa peringatan Maulid Nabi Muhammad ﷺ adalah tradisi yang baik, karena substansinya dilegitimasi oleh syariat agama.  

Jamaah shalat Jumat hafidhakumullâh,

Selanjutnya, bagaimana cara kita memperingati maulid Nabi Muhammad ﷺ? Sayyid Muhammad bin Alwi Al Maliki dalam kitab Mafahim Yajib an Tushahhah halaman 317 menjelaskan bahwa peringatan Maulid Nabi Muhammad ﷺ  merupakan kegiatan yang efektif untuk berdakwah kepada Allah ﷻ. Menjadi sarana yang tepat untuk mengingatkan umat tentang kehidupan dan keteladanan Nabi Muhammad ﷺ. Seperti meniru akhlak, perilaku, adab, sejarah perjuangan, bisnis, politik, strategi kepemimpinan dan cara ibadah Nabi Muhammad ﷺ. Peringatan Maulid Nabi juga menjadi momen yang tepat untuk memberikan nasihat yang baik bagi umat dan menunjukkan mereka menuju jalan kebaikan dan kebahagiaan. Mencegah umat dari musibah, bid’ah, kejelekan, hoaks, dan fitnah. Sekali lagi peringatan Maulid Nabi Muhammad bukanlah semata-mata kata tanpa makna, namun tradisi Maulid Nabi merupakan tradisi yang memiliki banyak kebaikan yang hanya bisa dirasakan oleh orang yang mencintai Nabinya.  

Sementara itu, Imam Jalaludin As Suyuti dalam kitab al-Hawi lil Fatawi, juz 1 halaman 230 menyatakan bahwa peringatan Maulid Nabi sebaiknya diisi dengan kegiatan yang menandakan syukur kita kepada Allah ﷻ atas kelahiran Nabi Muhammad ﷺ. Seperti pembacaan Al-Qur’an, sedekah terhadap fakir miskin, membahagiakan keluarga dengan syukuran, pembacaan sejarah perjuangan, perilaku, keteladanan, dan pujian terhadap Nabi Muhammad ﷺ. Seperti dengan membaca kitab Barzanji dan kitab Burdah. Tujuannya adalah agar kita dapat meniru akhlak dan perilaku Nabi, sehingga hati dan pikiran kita tergerak untuk melakukan kebaikan dan berorientasi pada akhirat.  

Jamaah shalat Jumat hafidhakumullâh,

Bagaimana Esensi perayaan Maulid Nabi Muhammad ﷺ? Ada hal penting bagi kita dalam merayakan maulid Nabi Muhammad ﷺ, yaitu ungkapan rasa syukur kita atas rahmat Allah ﷻ yang agung bagi seluruh alam semesta. Yaitu kelahiran Nabi Muhammad ﷺ. Kelahiran Nabi Muhammad merupakan rahmat yang agung untuk alam semesta ini. Imam Hakim meriwayatkan hadis dalam kitab Mustadrak Shahihain, Juz 1 halaman 91. Nabi bersabda:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّمَا أَنَا رَحْمَةٌ مُهْدَاةٌ

“Wahai manusia, tiada lain aku ini adalah rahmat yang dihadiahkan (oleh Allah untuk kalian).”

Selain itu, penting juga mengingat pesan presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno dalam pidatonya pada peringatan Maulid Nabi tahun 1963 di Jakarta. Beliau menjelaskan bahwa kita saat ini merayakan maulid Nabi. Apa sebenarnya yang kita rayakan? Hakikat merayakan Maulid Nabi tidak hanya memperingati kelahiran Nabi saja, bukan sekadar beliau dahulu adalah seorang Nabi, namun yang kita rayakan adalah ajaran, konsepsi, dan agama yang beliau berikan kepada umatnya. Diberi oleh Allah ﷻ via Malaikat Jibril kepada Rasul, Rasul meneruskan lagi kepada umat, yaitu kita saat ini. Itu yang kita rayakan saat ini. Oleh karena itu kita berkata: Jika benar-benar engkau mencintai Nabi Muhammad ﷺ, jika benar-benar engkau merayakan Maulid Nabi Muhammad ﷺ bin Abdullah,  jika benar-benar engkau merayakan Rasulullah yang punya hari maulid, kerjakanlah apa yang beliau perintahkan, kerjakanlah apa perintah agama yang beliau bawa, kerjakan sama sekali, agar supaya benar-benar kita bisa berkata: kita telah menerima agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad ﷺ.  

Jamaah shalat Jumat hafidhakumullâh,

Oleh karena itu dalam kesempatan yang berbahagia ini, yaitu di bulan kelahiran Nabi Muhammad ﷺ, mari kita menjadikan Rasulullah Nabi Muhammad ﷺ sebagai teladan dan contoh dalam beragama. siapa pun kita, baik sebagai pejabat maupun rakyat, baik sebagai orang kaya maupun kaum papa, baik sebagai pemimpin maupun yang dipimpin, baik sebagai politisi maupun pemilik aspirasi, mari kita meneladani perilaku Nabi Muhammad ﷺ yang penuh dengan adab dan kesopanan, akhlak beliau yang mulia, sifat beliau yang pemaaf, perkataan beliau yang lemah lembut dan jauh dari sikap kasar, dan selalu membimbing umat menuju kebaikan dan kemaslahatan. Semoga kita semua benar-benar dapat menjalankan ajaran beliau sehingga kita benar-benar diakui sebagai umatnya dan mendapatkan syafaatnya baik di dunia maupun di akhirat. Allahumma aamiin.

جَعَلَنا اللهُ وَإيَّاكم مِنَ الفَائِزِين الآمِنِين، وَأدْخَلَنَا وإِيَّاكم فِي زُمْرَةِ عِبَادِهِ المُؤْمِنِيْنَ : أعُوذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطانِ الرَّجِيمْ، بِسْمِ اللهِ الرَّحْمانِ الرَّحِيمْ: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا 

باَرَكَ اللهُ لِيْ وَلكمْ فِي القُرْآنِ العَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيّاكُمْ بِالآياتِ وذِكْرِ الحَكِيْمِ.  إنّهُ تَعاَلَى جَوّادٌ كَرِيْمٌ مَلِكٌ بَرٌّ رَؤُوْفٌ رَحِيْمٌ

Khutbah II

اَلْحَمْدُ للهِ عَلىَ إِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى إلىَ رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كِثيْرًا

أَمَّا بَعْدُ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوااللهَ فِيْمَا أَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِى بَكْرٍ وَعُمَر وَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَىيَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ

اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَا وَاإنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ. عِبَادَاللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُنَا بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ

Rustam Ibrahim, Dosen UNU Surakarta

Sabtu, 10 November 2018

Mengenal Husein Mutahar

Habib Husein Al-Mutahar, Pencipta Lagu Hari Merdeka

Gambar: majeliswalisongo.com

Selama ini kita hanya mengenalnya sebagai H. Muthahar, pencipta puluhan lagu wajib nasional. Ternyata beliau adalah seorang habib, keturunan Rasulullah SAW. Nama lengkapnya adalah Habib Muhammad Husein Muthahar, paman dari Habib Umar Muthahar Semarang. Beliau juga dikenal sebagai penyelamat bendera pusaka asli (saat Agresi Militer Belanda II) dan pendiri Paskibraka.

Habib Muhammad Husein Muthahar adalah seorang komponis lagu Indonesia yang hebat. Habib yang dikenal dengan nama H. Mutahar ini telah menghasilkan ratusan lagu Indonesia, seperti lagu nasional Hari Merdeka, Hymne Syukur, Hymne Pramuka, Dirgahayu Indonesia Ku, juga lagu anak2 seperti Gembira, Tepuk Tangan Silang-silang, Mari Tepuk dan lain-lain. Lagu Hari Merdeka dan Hymne Syukur adalah salah satu lagu fenomenal yang diciptakan oleh Habib Muhammad Husein Muthahar.

Terkait penciptaan lagu Hari Merdeka, ada satu cerita yg menarik. Ternyata inspirasi lagu Hari Merdeka ini muncul secara tiba-tiba saat beliau sedang berada di toilet salah satu hotel di Yogyakarta. Bagi seorang komponis, setiap inspirasi tidak boleh dibiarkan lewat begitu saja. Beliau pun cepat-cepat meminta bantuan Pak Hoegeng Imam Santoso (Kapolri pada 1968–1971). Saat itu Pak Hoegeng belum menjadi Kapolri.

Sang Habib menyuruh Pak Hoegeng untuk mengambilkan kertas dan ballpoint. Berkat bantuan Pak Hoegeng, akhirnya jadilah sebuah lagu yang kemudian diberi judul “Hari Merdeka.” Sebuah lagu yang sangat fenomenal dan sangat terkenal yang banyak dinyanyikan oleh bangsa Indonesia, bahkan anak2-anak pun sangat hafal dan pandai menyanyikannya.

Berikut lirik lagu “Hari Merdeka” ciptaan Habib Muhammad Husein Muthahar:

Tujuh belas Agustus tahun empat lima

Itulah hari kemerdekaan kita

Hari merdeka Nusa dan Bangsa

Hari lahirnya bangsa Indonesia

Merdeka

Sekali merdeka tetap merdeka

Selama hayat masih di kandung badan

Kita tetap setia tetap sedia

Mempertahankan Indonesia

Kita tetap setia tetap sedia Membela negara kita…

Selain “Hari Merdeka”, lagu berikut juga menjadi karya fenomenal beliau. Judulnya “Syukur”. Lagu ini tercipta dibuatnya pada tgl 7 September 1944 setelah menyaksikan banyak warga Semarang, kota kelahirannya, bisa bertahan hidup dengan hanya memakan bekicot. Berikut lirik lagunya:

Dari yakinku teguh

Hati ikhlasku penuh

Akan karuniaMu

Tanah Air pusaka

Indonesia merdeka

Syukur aku sembahkan

KehadiratMu Tuhan

Sekilas Tentang Habib Husein Muthahar

“Husein Mutahar,” begitu nama latinnya, lahir di Semarang, Jawa Tengah pada tgl 5 Agustus 1916. Perjalanan pendidikan formalnya dimulai dari ELS (Europese Lagere School atau sama dgn SD Eropa selama 7 thn), kemudian dilanjutkan ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Ondewwijs atau sama dgn SMP selama 3 tahun) dan dilanjutkan ke AMS (Algemeen Midelbare School atau sama dgn SMA selama 3 thn) Jurusan Sastra Timur khususnya Bahasa Melayu, di Yogyakarta. Kemudian beliau melanjutkan ke Universitas Gajah Mada dengan mengambil Jurusan Hukum dan Sastra Timur dengan khusus mempelajari Bahasa Jawa Kuno. Namun perkuliahannya hanya 2 thn, drop out (DO) karena harus ikut berjuang.

Habib Husein Muthahar terlibat Pramuka sejak awal lembaga kepanduan berdiri. Beliau adalah salah seorang tokoh utama Pandu Rakyat Indonesia, gerakan kepanduan independen yang berhaluan nasionalis. Ia juga dikenal anti-komunis. Ketika seluruh gerakan kepanduan dilebur menjadi Gerakan Pramuka, Habib Husein Muthahar juga menjadi tokoh di dalamnya.

Dlm kehidupan berorganisasi, pengalaman beliau adalah sebagai berikut :

1. Ikut mendirikan dan bergerak sebagai pemimpin Pandu serta menjadi anggota Kwartir Besar Organisasi Persatuan dan Kesatuan Kepanduan Nasional Indonesia “Pandu Rakyat Indonesia”, 28-12-1945 s/d 20-5-1961.

2. Ikut mendirikan dan bergerak sebagai Pembina Pramuka, duduk sebagai anggota Kwartir Nasional Gerakan Pramuka dan Andalan Nasional Urusan Latihan 1961-1969.

3. Sekjen Majelis Pembimbing Nasional Gerakan Pramuka 1973-1978, dan anggota biasa 1978-2004.

Habib Muhammad Husein Muthahar, yang juga mantan duta besar Italia ini, kemudian meninggal dunia di Jakarta tanggal 9 Juni 2004 di usia 88 tahun

---

*informasi ini disampaikan oleh Departemen Komunikasi

(Di share via Whatssap)

https://www.kakbayu.web.id/2017/08/habib-husein-al-mutahar-pencipta-lagu-hari-merdeka.html?m=1



Selasa, 06 November 2018

Rebo Pungkasan

صلاة اخر اربعاء من شهر صفر:
في المأثور أنه ينزل في كل سنه 320 ألف بليه كلها في يوم الاربعاء الاخير من شهر صفر
فيكون ذلك اليوم من اصعب ايام السنه 
فمن صلى في ذلك اليوم أربع ركعات يقرأ في كل ركعه بعد الحمد الكوثر سبع عشرة مرة والاخلاص 
ثلاث مرات و المعوذتين كل واحده مره وبعد السلام يقرأ هذا الدعاء مره واحدف فإن الله تعالى يكفيه
ذلك ويحفظه من جميع البلايا آمنا في ماله وولده سالما من صروف الدهر..
وهذا هو الدعاء:
(اللهم صلى على محمد عبدك ورسولك النبي الامي وبارك, اللهم إني أعوذ بك من شر هذا الشهر
ومن كل بلاء وشدة وقدرتها فيه يا مبدئ ويا معيد ياذا الجلال والاكرام يا ذا العرش المجيد أنت فعال
لما تريد , اللهم احرس بعينك نفسي ومالي وأهلي وأولادي وديني ودنياي صاحبتها , بحرمة الأبرار
والاخيار برحمتك يا ارحم الراحمين , اللهم يا شديد القوى, يا شديد المحال و يا عزيز يا كريم أذللت
بعزتك جميع خلقك يا محسن يا مجمل يا منعم يا مكرم يا من لا إله إلا إنت يا لطيف لطفت خلق السموات
والأرض الطف بي بقضائك وعافني من بلائك ولا حول ولا قوة الا بالله العلي العظيم)
يستحب دفع الصدقه والاكثار من الادعيه وقرأت هذا الدعاء:
" اللهم إصرف عنا هذا اليوم، وأعصمنا من شؤومته, وأجعله اللهم علينا بركة واجنبنا عما نخافه من نحوسته وكراهيته، بفضلك ولطفك يا دافع الشرور، يا ملك يوم النشور، برحمتك يا أرحم الراحمين ".
وروي أن من قرأ هذا الدعاء في آخر أربعاء من شهر صفر لم يمت في تلك السنة، وناجى عزرائيل ربه فقال يا رب إن فلانا أنقضى أجله وعمره ولم تأمرني بقبض روحه، فقال جل جلاله: قلت حقا ولكن أطلت عمره بسبب قراءته هذا الدعاء إلى شهر صفر المقبل وحفظته من جميع الآفات والبليات.
وهو هذا الدعاء الشريف: " بسم الله الرحمن الرحيم، اللهم يا ذا العرش العظيم والعطاء الكريم عليك إعتمادي يا الله يا الله يا الله الصمد الرحمن الرحيم يا فرد يا وتر يا حي يا قيوم إمنع عني كل بلاء وبلية وفرقة وهامة وأمنع عني شر كل ظالم وجبار يا قدوس يا رحمن يا رحيم ".
ثم تكتب في إناء نظيف وتشرب مائه:
بسم الله الرحمن الرحيم
(سلام قول من رب رحيم سلام على نوح في العالمين إنا كذال نجزي المحسنين سلام على آل ياسين سلام عليكم فادخلوها خالدين والحمدالله رب العالمين وصلى الله على محمد أله الطاهرين وسلم تسلما كثيرا والحمد لله رب العالمين

Sabtu, 27 Oktober 2018

Penelitian Tentang HTI

Bak Disambar Petir ! TGB Bongkar Soal Bendera Nabi. HTI Bohongi Umat Islam Indonesia ?


detik.com

Kontroversi bendera HTI yang diklaim sebagai bendera Nabi menemukan titik baru yang sangat mencengangkan. Seorang Ulama yang otoritasnya tidak diragukan , yakni Dr. KH Tuan Guru Bajang, berhasil membongkar literasi terkait bendera Nabi SAW itu dan ternyata HTI telah salah besar atas bendera Nabi.

Pertama bendera Nabi bentuknya tidak seperti itu dan kedua yang sangat fatal adalah bahwa bendera Nabi tidak pernah dikibarkan oleh Nabi dan para sahabatnya dalam situasi damai. Bendera Nabi hanya dikibarkan dalam kondisi perang melawan musuh.

Lalu dalam kontek Indonesia, apa yang HTI telah lakukan ? Mereka mengibarkan ribuan bendera HTI yang diklaim sebagai bendera Nabi smentara negara dalam kondisi damai. Lalu ajaran dan tuntunan siapa yang mereka ikuti ?

Redaksi Indonesia

Ya Tuhan, betapa telah sangat banyak umat ini diajak oleh orang-orang yang tidak paham agama dan akibatnya sangat fatal. Umat bisa tersesat dalam pertumpahan darah gara-gara mengikuti orang-orang bodoh namun dijadikan pimpinan agama.

Sebagaimana detik.com menulis (25/10), Eks Gubernur NTB TGH Zainul Majdi atau Tuan Guru Bajang (TGB) merespons insiden pembakaran bertuliskan kalimat tauhid di Garut, Jabar. Menurutnya tidak tepat bila disebut bendera tersebut dikaitkan dengan bendera Rasulullah Nabi Muhammad SAW.

"Kita semua harus jujur dengan apa yang terjadi, saya pikir ketika kita bicara tentang atribut bendera, tidak pas kalau semata kita bicara bahwa, wah itu kan bendera Rasul, misalnya. Itu kan zaman Rasul bendera itu sudah ada," kata TGB di Jl Proklamasi no 53, Jakarta Pusat, Kamis (25/10/2018).

TGB mengatakan dirinya telah mengecek literatur soal bendera Rasulullah. TGB yang juga sebagai ulama sekaligus cendikiawan muslim ini mengatakan tak pernah menemukan literatur yang menceritakan bendera Rasulullah dikibarkan di situasi damai.

Rmolsulsesl.com

"Saya sampai hari ini, saya mengecek di semua khazanah kitab-kitab hadis tentang perjalanan Rasul, saya dari awal sampai akhir, saya belum pernah menemukan ada satu narasi terkait dengan bendera Rasul itu dikibar-kibarkan di Madinah dalam keadaan damai, dalam keadaan damai, biasa-biasa, lalu bendera masa perang dikibarkan, itu tidak pernah ada. Sampai sekarang saya nggak menemukan," lanjut dia. 

TGB kemudian menyinggung soal HTI yang dilarang di negara lain. Pelarangan tersebut tak serta merta menjadi sebuah sikap anti-Islam. Dia menyebut ada 20 negara yang melarang, termasuk Turki, Arab Saudi, sampai Mesir.

Dan dengan demikian, tidak masuk akal menuduh pihak yang menolak bendera HTI itu disebut sebagai pihak yang anti Islam. Beranikah mengatakan Arab Saudi sebagai negara yang anti Islam ? **


http://idstory.ucnews.ucweb.com/story/1413626608128877?channel_id=103&host=http:%2F%2Fidstory.ucnews.ucweb.com&list_article_from=&item_type=201&content_type=0&cluster=iflow_server_indonesian&no_title=0&media_type=1&app=browser_homepage&uc_param_str=dnvebifrmintcpwidsudsvpfmtch&ver=12.2.5.1102&sver=inapppatch3DPstatnew&demote_type=normal&adapter=&grab_time=2018-10-26_19.48.07&lang=indonesian&comment_stat=1&comment_type=0&reco_id=23e2bf62-f1c4-4867-9140-1f825ecb3fb4&ucnews_rt=kUser2Item&entry=browser&entry1=shareback&entry2=content_Whatsapp&shareid=bTkwBODtPHDxMdCd5jrG7ok8Jzws%2BsClW5TSWWWNAhQHjA%3D%3D

Kamis, 11 Oktober 2018

Syekh Abul Khair

Abu Said Abu Khair: Sufi yang Sejak Kecil Diprediksi Akan Menjadi Wali

“Jadilah kau seperti butiran debu yang menggelinding terbawa sapuan. Dan janganlah seperti batu yang tertinggal.” ~Abu Said Abu Khair

Abu Said Abu Khair lahir pada 978 M di kota Maihana, sebuah kawasan di Negara Iran. Ia adalah seorang sufi agung. Ayahnya adalah seorang ahli kedokteran yang mempunyai perhatian terhadap dunia sufisme.  Konon, Abu Said sendiri sempat berjumpa dengan Ibnu Sina. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Abu Said mendaku bahwa apapun yang dimiliki oleh Ibnu Sina tentang sebuah ilmu pengetahuan ia juga memilikinya. Artinya, ia ingin mengatakan bahwa ia juga seorang ilmuwan.

Sejak kecil ia menggandrungi sastra klasik. Tentang hal ini, ia pernah menyatakannya secara langsung bahwa ia telah hafal 30.000 bait syair-syair era Jahiliyyah. Pada suatu hari dan saat usianya menginjak umur 26 tahun di mana ia sedang belajar kepada gurunya, Abu Ali, ia mendengarkan ayat : Katakanlah: “Allah”, Kemudian biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatannya (QS Al-An’am: 91)

Abu Said mengatakan bahwa ayat tersebut selalu terngiang di telinganya hingga ia dibukakan pintu hatinya yang seolah-olah mengingatkan dirinya untuk membuang segala apa yang dimilikinya. Sejak kejadian itu ia terus menyendiri di rumahnya. Selama tujuh tahun ia mengasingkan diri hanya untuk menyebut asma-Nya. Lafadz Jalalah atau Asma Allah bagi kalangan sufi merupakan sebuah jalan menuju fana’.

Diprediksi Seorang Syaikh Menjadi Wali

Muhammad bin Munawwir bin Abu Sa’id, yang masih merupakan cucu dari Abu Said, dalam karyanya “Asrar at-Tauhid” mengulas biografi yang juga mengupas kisah-kisah kakeknya. Salah satunya adalah sebuah kisah yang menceriterakan bahwa sejak kecil Abu Said telah diprediksi oleh seorang Syaikh bahwa kelak ia akan menjadi seorang wali.

Suatu ketika, ayahandaku mengajakku menuju ke Masjid untuk melaksanakan salat Jumat. Di tengah perjalanan, kami berjumpa dengan Syaikh Abu Qasim Bisyr Yasin. Beliau adalah seorang ulama yang masyhur di masanya dan merupakan pembesar para syaikh. Beliau tinggal di Maihana.

Saat beliau melihatku, ia bertanya, “Putra siapa si anak kecil ini?” Ayahku menjawab, “putraku”. Lalu beliau mendekatiku dan duduk di depanku. Sambil menatap wajahku, aku melihat air matanya menetesi wajahnya yang teduh. Lalu beliau berkata kepada ayahandaku, “Wahai Abu Khair, aku belum sanggup meninggalkan dunia fana ini karena aku melihat bahwa dunia hari ini sedang mengalami kekosongan orang yang mencapai maqam kewalian. Para darwis pun begitu langka. Namun, sekarang aku melihat puteramu kelak akan mencapai maqam kewalian.” Ia membisik ayahandaku, “Selepas solat Jumat, bawa putramu ke hadapanku,” pinta Syaikh.

Seusai melaksanakan salat jumat, ayahku membawaku ke hadapan Syaikh Abu Qasim. Aku duduk di hadapan Syaikh di mana terdapat sebuah jendela yang terbuka. Lalu ia berkata kepada ayahku, “Angkat putramu Abu Said di atas pundakmu agar roti di atas jendela itu jatuh ke bawah.” Lalu ayahku mengangkat tubuhku dan tidak lama aku julurkan tanganku roti di atas jendela itu jatuh ke tanganku. Roti tersebut dalam keadaan panas. Aku merasakannya sebab roti itu ada dalam genggamanku. Lalu Syekh Abu Qasim mengambil roti dari tanganku sembari menitikkan air mata ia membagi roti menjadi dua. Ia memberikan setengah roti untukku sambil berkata kepadaku, “Makanlah, nak!” Ia sendiri memakan sebagian yang lainnya. Sementara ayahku tidak mendapatkan bagian. Lalu ayahku bertanya kepada Syaikh, “Wahai Syaikkh, mengapa engkau tidak memberikan bagian roti itu kepadaku agar aku mendapatkan berkah darimu?” Syaikh Abu Qasim menjawab, “Wahai Abu Khair, aku telah menaruh roti tersebut di atas jendela selama tiga puluh tahun lamanya. Dan aku berjanji bahwa siapa pun yang dapat memegang roti itu dalam keadaan panas, ia kelak akan menjadi kebanggaan dunia dan menjadi pelengkap dunia tasawuf. Sekarang, kebahagian ini telah nyata di hadapan kita. Puteramu inilah orang tersebut. Lalu Syekh Abu Qasim berkata kepadaku, “Wahai Abu Said, hafalkan amalan ini: Subhanaka wa bihamdika ‘ala hilmika ba’da Allamaka, subhanaka wa bihamdika ‘ala afwika ba’da qudratika.” Lalu aku pun menghafalkan amalan tersebut dan mengamalkannya secara istiqamah.

Kontribusinya paling penting dalam kajian tasawuf menurut Mojdeh Bayat (2000 :27) adalah pendirian pusat-pusat sufi atau yang biasa disebut khanaqah sebagai sebuah tempat formal yang dikhususkan untuk pengajaran dan pendidikan spiritual serta binaan etika dan tatakrama serta adab bagi kaum darwis.

Nasehat Abu Said: Jadilah Debu, Jangan Jadi Batu

Mojdeh Bayat mengisahkan sejumlah anekdot mengenai kisah Abu Said. Salah satunya adalah kisah berikut ini:

Seorang darwis tengah menyapu halaman khanaqah dan Abu Said melihatnya sembari berkata kepada si Darwis, “Jadilah kau seperti butiran debu yang menggelinding terbawa sapuan. Dan janganlah seperti batu yang tertinggal.” Dengan kata-kata ini, Abu Said ingin menunjukkan kepada muridnya bahwa untuk bisa terus menempuh jalan spiritual, seseorang harus menjadi seperti debu, yang tidak memiliki kemauan sendiri tapi pergi ke mana pun menuruti perintah sapu (sang pembimbing spiritual) dan jagan seperti batu (ego), yang bersikap keras menuruti kemauannya sendiri dan bahkan menentang sang pembimbingnya.

 

Wallahu A’lam bis-Shawab

Twitter, @midrismesut


https://islami.co/abu-said-abu-khair-sufi-yang-sejak-kecil-diprediksi-akan-menjadi-wali/

Selasa, 09 Oktober 2018

Kyai Irfan Kaliwungu

KH. Irfan Kaliwungu

Posted by saifur ashaqi

» BIOGRAFI

» Kamis, 06 Februari 2014

Perjuangan Kyai Irfan

KH. Irfan bin KH. Musa adalah salah seorang ulama besar Kaliwungu era 1910-an. Pada tanggal 12 Februari 1919 M atau bertepatan dengan tanggal 12 Dzulhijjah 1338 H, beliau mendirikan Pondok Pesantren dengan nama Al-Ma’hadus Salafi al-Kaumani. Alasan beliau menamakan Ponpes tersebut dengan nama itu, karena beliau berpandangan bahwa Ponpes ini akan menjadi Ponpes salaf selamanya. Sedang nama al-Kaumani disandangkan sebagai pengenal bahwa Ponpes itu berada di Kp. Kauman atau daerah sekitar Masjid Al-Muttaqien Kaliwungu. Sekarang nama Al-Ma’hadus Salafi al-Kaumanidirubah menjadi Pondok Pesantren Asrama Pelajar Islam Kauman atau Ponpes APIK Kaliwungu.

Ponpes ini pertama kali didirikan diatas tanah wakaf salah satu istri beliau dan dana pembangunan 75 % dari kakak beliau, yaitu KH. Abdurrasyid bin KH. Musa, sedang 25 % nya dari sumbangan masyarakat Kaliwungu. Dan bangunan Ponpes pertama kali ini sekarang dinamakan Komplek A.

Komplek Makam KH. Irfan di Kp. Djagalan KaliwunguSelama kurang lebih 10 tahun mengabdikan diri untuk santri dan masyarakat, pada hari Ahad kliwon ba’da dhuhur tanggal 13 Ramadhan 1349 H atau bertepatan dengan tanggal 1 Februari 1931 M beliau dipanggil oleh Allah swt. untuk selama-lamanya. Beliau dimakamkan di Pemakaman Kp. Djagalan, Kutoharjo, Kaliwungu.

Setelah beliau wafat, kepemimpinan Ponpes diserahkan kepada KH. Ahmad Ru’yat yang masih merupakan keponakan beliau. Berkat jasa dan pengabdian KH. Irfan kepada santri dan masyarakat, hingga kini keturunan-keturunan beliau banyak yang menjadi ulama dan bermanfaat bagi masyarakat. Diantara putra-putra beliau yang menjadi ulama adalah KH. Humaidullah Irfan (Pengasuh Ponpes APIK periode 1968 – 1985), KH. Ibadullah Irfan (mertua KH. Dimyati Rois), KH. Ahmad Dum Irfan (Pendiri Ponpes ARIS), KH. Abdul Aziz Irfan (Pendiri Ponpes Al-Aziziyah), KH. Fauzan Irfan dan masih banyak lagi. Dan sampai sekarang perjuangan beliau-beliau diteruskan oleh keturunan dan penerus-penerusnya.

     

 

Ponpes APIK Kaliwungu

 

Kyai Yang Wira’i

Syahdan, suatu ketika KH. Humaidullah bin KH. Irfan, Pengasuh Ponpes APIK Kaliwungu periode 1968 - 1985, yang waktu itu masih kanak-kanak sedang bermain-main bersama anak-anak sebayanya, tiba-tiba KH. Humaid kecil bersama teman-temannya menemukan 'ceceran' krupuk mentah di kampung yang mungkin terjatuh ketika habis dijemur, maklumlah Kaliwungu banyak pengusaha krupuk lokal.

Humaid kecil dapat 3 krupuk mentah, kemudian dibawa pulang terus digoreng, setelah matang. Tiba-tiba ayah beliau al-arif billah KH. Irfan bin KH. Musa, Pendiri Ponpes APIK Kaliwungu melihat putranya mau makan krupuk tersebut, sebelum dimakan Humaid kecil, ayahnya menahan tangan Humaid dan bertanya.

''Humaid. Ini krupuk dari mana?'', Humaid kecil menjawab dengan polos, ''Saya nemu di pinggir kampung sana Bah.''

Setelah mendengar jawaban anaknya, KH. Irfan mengajak Humaid kecil ke lokasi dimana Humaid menemukan krupuk mentah yang tercecer itu. Kemudian KH. Irfan menanyakan kesana-kemari, ke tetangga kanan-kiri di lokasi tersebut, perihal siapa yang jam sekian menjemur dan mengambil krupuk. 

Setelah tahu pemiliknya, KH. Irfan pun silaturahim seraya menyatakan mohon ''halalnya'' untuk 3 kerupuk kecil yang dipungut putranya karena tercecer di jalan. Kontan, si pemilik krupuk begitu di datangi oleh KH. Irfan langsung menyambut dengan gembira, tidak terbayangkan seorang ulama besar dan kharismatik sekelas Kyai Irfan mau silaturahim ke rumahnya, apalagi hanya gara-gara 3 krupuk kecil mentah yang tercecer.

Maka dengan sangat gembira, si pemilik rumah tidak hanya menghalalkan tapi malah membawakan oleh-oleh krupuk mentah beberapa kg. untuk oleh-oleh Kyai Irfan.

Demikianlah, begitu wira'i dan hati-hatinya beliau terhadap tiap suap makanan yang masuk ke mulut keluarganya, agar tidak sampai jatuh kemasukan barang atau makanan 'syubhat' apalagi yang haram. Maka, pantaslah kalau dikemudian hari putra-putra dan keturunan beliau menjadi ulama-ulama besar dan pesantren yang didirikan beliau menjadi pesantren besar dan kharismatik serta bersejarah, yang turut andil dalam memperjuangkan Islam dengan nilai-nilai aswaja di bumi nusantara ini.

Disusun Oleh SaifurroyyaDari Berbagai Sumber


http://saifurroyya.blogspot.com/2014/02/kh-irfan-kaliwungu.html?m=1

Senin, 08 Oktober 2018

Sunan Katong (2)

Kisah Sunan Katong di Kendal



Kisah Syiar Islam Sunan Katong di Kaliwungu, Kendal, Jateng

Mengislamkan Empu Pagerwojo, Putra Adipati Majapahit

Sunan Katong adalah sosok ulama yang berilmu tinggi dan berbudi luhur hingga disegani masyarakat. Datang ke Kaliwungu, Kendal untuk menyebarkan agama Islam atas petunjuk Sunan Pandan Arang Semarang. Berikut ini kisah dakwahnya.

Sunan Katong adalah cucu Bhatara Katong putra Pangeran Suryapati Unus atau Adipati Unus putra Raden Fatah, Sultan Kerajaan Demak pertama. Ia diutus Ki Ageng Pandan Arang Semarang tahun 1500-an usai melakukan tugas perang di Malaka melawan pasukan Portugis. Tujuannya untuk berdakwah di daerah Kaliwungu, Kendal yang terdapat “Pohon Ungu” yang batangnya condong ke sungai.

Untuk menuju ke pohon tersebut tidak mudah dibayangkan orang. Karena pohon tersebut merupakan pohon satu-satunya di Kendal. Namun Sunan Katong tidak putus asa meskipun mengalami kesulitan menemukan pohon ungu sesuai petunjuk Kia Ageng Pandanaran. Karena sudah menjadi niatan sebagai penyebar agama Islam pasca-Walisongo.

Dari arah Semarang menuju wilayah barat menuju Kaliwungu, Kendal. Parjalanan tersebut rupanya tidak sia-sia. Akhirnya Sunan Katong menemukan pohon warna ungu bersama pasukannya dan berteduh sampai ketiduran beberapa waktu di pohon tersebut.

“Daerah tersebut sekarang dikenal dengan nama “Kali Ungu” atau “Kali Wungu Kali Wungu” dan sungai yang ada di dekat pohon tersebut oleh masyarakat dinamakan “Kali Sarean”. Ungkap sejarawan Ahmad Hamam Rochani penulis buku 'Babad Tanah Kendal'.

Pasukan dan santrinya bermana Wali Jaka (Raden Panggul), Ki Tekuk Penjalin (Ten Koe PenJian Lien), dan Kyai Gembyang (Han Bie Yan). dan Raden Panggung. Dalam cerita tutur atau cerita rakyat terkenal dengan nama-nama Tekuk Penjalin, Kiai Gembyang dan Wali Joko.

Kemudian bertempat di pegunungan Penjor atau pegunungan telapak kuntul melayang. Selanjutnya Sunan Katong membangun sebuah padhepokan di tepian Kali Sarean. Tidak disangka-sangka banyak santri yang berdatangan ke padhepokan untuk belajar ilmu agama Islam. Penyebaran Islam di sekitar Kaliwungu tidak ada hambatan apa pun.

Setelah berhasil mengembangkan syiar agama Islam, Sunan Katong mengembangkan wilayah dakwahnya ke bagian barat yang masyarakatnya beragama Hindu dan Budha. Tokohnya adalah Empu Pakuwojo yang dulunya merupakan petinggi kerajaan Majapahit.

Empu Pakuwojo merupakan seorang ahli membuat pusaka.Ia seorang adipati Majapahit yang pusat pemerintahannya di Kaliwungu/Kendal. Untuk meng-Islamkan atau menyerukan kepadanya supaya memeluk agama Islam, Tidaklah mudah sebagaimana meng-Islamkan masyarakat biasa lainnya yang cukup dengan akhlakul karimah.

Untuk mengislamkan Empu Pagerwojo menggunakan pendekatan pilih tanding atau adu kesaktian, sebagaimana Ki Ageng Pandan Aran meng-Islamkan para 'Ajar' di perbukitan Bergota/Pulau Tirang. Mengingat orang yang didakwahi memiliki ilmu kesaktian dan pengaruh yang cukup besar kepada rakyatnya. Ketika Sunan Katong mengajak masuk Islam, maka Empu Pagerwojo mengajukan syarat yang cukup menagangkan dengan cara adu kesaktian. Maka kesepakatan pun dibuat dengan penuh kesadaran, sebagaimana seorang kesatria kerajaan Majapahit.

"Untuk mengislamkan Empu Pagerwojo menggunakan pendekatan pilih tanding atau adu kesaktian, sebagaimana Ki Ageng Pandan Aran meng-Islamkan para 'Ajar' di perbukitan Bergota/Pulau Tirang. Mengingat orang yang didakwahi memiliki ilmu kesaktian dan pengaruh yang cukup besar kepada rakyatnya.

Adu Kesaktian

Ketika Sunan Katong mengajak masuk Islam, maka Empu Pagerwojo mengajukan syarat yang cukup menagangkan dengan cara adu kesaktian. Maka kesepakatan pun dibuat dengan penuh kesadaran, sebagaimana seorang kesatria kerajaan Majapahit.

Bila Anda berhasil mengalahkan saya, maka mau memeluk agama Islam dan menjadi murid Anda”, ujar sumpah Pakuwojo di hadapan Sunan Katong. 
Dengan didampingi dua sahabatnya dan satu saudaranya, pertarungan antarkeduanya berlangsung seru. Selain adu fisik dengan menggunakan pedang dan keris, mereka pun adu kekuatan batin yang sulit diikuti oleh mata oran awam. Kejar mengejar, baik di darat maupun di air hingga berlangsung lama dan Pakuwojo tidak pernah menang.

Kemudian Empu Pakuwojo lari dan bersembunyi agar tidak terbunuh oleh Sunan Katong yang posisinya berada diatas angin kemenangan. Kebetulan sekali ada sebuah pohon besar yang berlubang cukup besar dan dapat dijadikan sebagai tempat persembunyian.

Lantas oleh Pakuwojo digunakan sebagai tempat bersembunyi dengan harapan musuhnya tidak mengetahuinya. Namun berkat ilmu yang dimiliki, Sunan Katong berhasil menemukan Empu Pakuwojo, dan menyerahlah dia. Sesuai janjinya, maka Empu Pakuwojo mengucapkan dua kalimat syahadat sebagai tanda masuk Islam di hadapat Sunan Katong. Kemudian pohon yang dijadikan tempat persembunyian itu diberi nama Pohon Kendal yang artinya penerang. Di tempat itulah Pakuwojo terbuka hati dan pikirannya menjadi terang dan masuk Islam. Sedangkan nama tempat di sekitar pohon Kendal disebutnya denganKendalsari

Sedangkan Sungai yang dijadikan tempat pertarungan kedua tokoh itu diberi namaKali/Sungai Kendal, yaitu sungai yang membelah kota Kendal, tepatnya di depan masjid Kendal. Sungai tersebut hingga kini masih dapat dilihat sebagai saksi sejarah.

Pakuwojo yang semula oleh banyak orang dipanggil Empu Pakuwojo, oleh Sunan Katong dipanggil dengan nama Pangeran Pakuwojo, sebuah penghargaan. Karena ia seorang petinggi Majapahit yang masih trah darah biru.

Setelah sekian lama berguru kepada Sunan Katong di Gunung Penjor, Empu Pagerwojo memilih di desa Getas Kecamatan Patebon dan kadang-kadang. Mendirikan padepokan yang terletak di perbukitan Sentir atau Gunung Sentir dan menjadi murid Sunan Katong pun ditepati dengan baik. HUSNU MUFID


http://penerbit-menara-madina.blogspot.com/2016/06/kisah-sunan-katong-di-kendal.html?m=1

Perjalanan Sunan Katong

Perjalanan Sunan Katong Menuju Ke Kaliwungu

Sunan Katong adalah sosok ulama yang berilmu tinggi dan berbudi luhur hingga di segani masyarakat. Bathara Katong atau Sunan Katong lebih di kenal dengan nama demikian bersama para santrinya Wali Jaka (Raden Panggul), Ki Tekuk Penjalin (Ten Koe PenJian Lien), dan Kyai Gembyang (Han Bie Yan) mendarat di Kaliwungu Jawa Tengah. Beliau menempati tempat di pegunungan Penjor atau pegunungan telapak kuntul melayang. Kemudian Sunan Katong membangun sebuah padhepokan di tepian Kali Sarean. Namun tak lama banyak waktu lagi mendapatkan banyak santri yang berbondong – bondong datang ke padhepokan untuk belajar ilmu agama Islam.

 

Cerita Sunan Katong Ketika Memasuki Agama Islam

Sunan Katong merupakan adipati Ponorogo yang memeluk agama Hindu, beliau menerima anjuran dari Raden Patah (Sultan Bintoro Demak) untuk memeluk agama Islam. Sunan Katong menerima dan mendapatkan ilham dari Tuhan mendapat petunjuk agar meninggalkan sebagai adipati dan berguru ke pulau Tirang untuk berguru kepada Ki Pandanarang I (Made Pandan) hinggah masuk agama Islam setelah cukup mendalami belajar agama Islam. Kemudian oleh Wali Songo di utus untuk menyadarkan Empu Pakuwaja ke Kendal atau Kaliwungu.

 

Sunan Katong Menyadarkan Empu Pakuwaja Murid Syekh Siti Jenar

Sunan Katong melakukan perjalanan ke tanah Perdikan Prawoto karena di utus oleh Wali Songo untuk menyadarkan Empu Pakuwaja atau Suro Menggolo (orang Jawa menyebutkan Empu Pakuwojo) yang merupakan murid dari Syekh Siti Jenar sendiri. Ia seorang petinggi Majapahit dan handal pembuatan pusaka atau empu. Untuk masuk di Islam tidaklah mudah, Empu Pakuwojo yang merasa mempunyai kelebihan, maka untuk mengagama Islamkan juga harus di damping dengan adu kesaktian. Sesuai perjanjian jika Ia di kalahkan oleh Sunan Katong maka Ia mau masuk di agama Islam dan menjadi muridnya. Setelah perang lama, Empu Pakuwojo tidak pernah menang dan menyerah. Kemudian Empu Pakuwojo mengucapkan 2 kali kalimat syahadat sebagai tanda masuk Islam

http://kresnabayutour.com/sunan-katong/

Sunan Katong

SUNAN KATONG (KYAI KATONG KALIWUNGU)

Belum banyak buku yang menulis dan menemukan catatan baku atau buku induk yang menerangkan riwayat hidup Sunan Katong. Cerita perjalanan hidup Sunan Katong ini akhirnya diperoleh dari keterangan para sesepuh, itu pun belum dijamin kelengkapan ceritanya dan validitasnya. Oleh karena itu, dalam menulis riwayat hidup Sunan Katong ini banyak didominasi oleh cerita-cerita tutur sebagai pelengkap cerita perjalanan Sunan Katong. 

Banyak buku sejarah yang menerangkan tentang Walisongo akan tetapi tidak satu buku pun yang menerangkan dan bahkan menyebut sekalipun nama Sunan Katong. Oleh karena itu, untuk bisa mencari identitasnya diperlukan data-data yang menyamping yang berhubungan dengan masa ketika itu. Namun, ada satu riwayat yang menjelaskan, bahwa kedatangan seorang santri yang bernama Bhatara Katong atau Kyai Katong ke Kaliwungu adalah atas petunjuk dari gurunya yaitu Kyai Pandan Arang (Semarang). Kyai Katong sendiri adalah keturunan Prabu Brawijaya V, sedang Kyai Pandan Arang merupakan santri Sunan Kalijaga. Kyai Pandan Arang mengutus Kyai Katong pada sekitar tahun 1500-an untuk berdakwah di daerah yang terdapat “Pohon Ungu” yang batangnya condong ke sungai. Setelah berjalan ke arah barat Semarang beberapa kilometer, akhirnya Kyai Katong menemukan pohon itu dan berteduh sampai ketiduran beberapa waktu di pohon tersebut. Maka, daerah tersebut sekarang dikenal dengan nama “Kali Ungu” atau “Kali Wungu” dan sungai yang ada di dekat pohon tersebut oleh masyarakat dinamakan “Kali Sarean”.

Baca: Kisah Perjalanan Panjang Kaliwungu Menjadi Kota Santri

Sejarah Sunan Katong Dalam Beberapa Versi

Ada tiga tokoh penyebar agama Islam di wilayah Kendal mereka adalah; 1. Bhatara Katong atau Sunan Katong atau Kyai Katong, 2. Wali Joko, dan 3. Kyai Gembyang atau Wali Gembyang atau Raden Gembyang atau Jaka Gembyang. Diantara sentral sejarahnya ada pada diri Sunan Katong yang makamnya di Astana Kuntul Melayang, Protomulyo Wetan Kaliwungu. Itupun banyak diwarnai dengan cerita tutur.

Maka muncul pertanyaan, kapan Bhatara Katong atau Sunan Katong atau Kyai Katong datang di Kaliwungu-Kendal?. Untuk bisa mengetahui kapan Sunan Katong datang di Kaliwungu-Kendal, terlebih dahulu perlu memahami siapa Sunan Katong yang dimaksud. 

Nama Sunan Katong erat hubungannya dengan kerajaan Majapahit, karena tokoh ini masih ada hubungan darah dengan raja Majapahit yang terakhir, Prabu Brawijaya V, ia adalah putra Majapahit dari istri Ponorogo. Setelah kerajaan Majapahit berakhir, ada keterangan yang menerangkan bahwa tokoh ini secara otomatis menjadi keluarga besar kerajaan Demak, karena ia masih ada hubungan saudara dengan Raden Fatah, saudara seayah. 

Makam Sunan Katong di Bukit Jabal Nur Protomulyo KaliwunguAda keterangan lain yang menerangkan bahwa Sunan Katong yang makamnya ada di kota Kaliwungu itu bukanlah Bhatara Katong putera Brawijaya ke V tetapi cucu dari Bhatara Katong, yang mempunyai nama “nunggak semi” dengan kakeknya, yaitu Bhatara Katong. Tokoh muda itu bernama Kyai Katong. 

Dijelaskan bahwa Kyai Katong yang cucu Bhatara Katong itu adalah putera Pangeran Suryapati Unus atau Adipati Unus atau Patih Yunus atau Pangeran Sabrang Lor, putera Raden Fatah, Sultan kerajaan Demak pertama. Sedangkan kapan tokoh ini datang di Kaliwungu-Kendal, memang tidak ada catatan yang jelas. Namun jika dipahami dengan berdasarkan dengan peristiwa yang terjadi pada masa itu, dan kemudian menghubungkannya dengan berdasar analisa rasional, maka kedatangan Sunan Katong ini akan bisa diketahui. Data-data itu berhubungan erat dengan penyerangan Kerajaan Islam Demak terhadap bangsa Portugis yang telah menguasai Malaka  dan Sunda Kelapa (Jakarta). Maka, kapan peristiwa itu terjadi? 

Bhatara Katong atau Sunan Katong bersama pasukannya mendarat di Kaliwungu dan memilih tempat di pegunungan Penjor atau pegunungan telapak “kuntul melayang”. Beberapa tokoh rombongannya antara lain terdapat tokoh seperti Ten Koe Pen Jian Lien, Han Bie Yan dan Raden Panggung. Dalam cerita tutur atau cerita rakyat terkenal dengan nama-nama Tekuk Penjalin, Kyai Gembyang dan Wali Joko. Dalam catatan sejarah nasional bahwa ketika Nusantara (Malaka dan Aceh) diserang oleh bangsa Portugis (1511), banyak pembesar-pembesar Samudera Pasai (Aceh) yang mengungsi ke Demak, salah satunya pembesar itu terdapat Faletehan atau Fatahillah.

Terhadap penyerangan bangsa Portugis itu, kerajaan Islam Demak melakukan penyerangan balik selama dua kali. Penyerangan pertama terjadi pada tahun 1513 dibawah pimpinan Pangeran Sabrang Lor atau Adipati Unus, putera mahkota Kerajaan Islam Demak. Karena penyerangan itu memiliki tujuan multi politik, yaitu politik ekonomi dan politik agama, maka dalam perjalanan pasukan Demak disertai dengan pembinaan pada daerah-daerah pelabuhan di sepanjang pantai utara Jawa sebagai basis pertahanan. Dimungkinkan dalam ekspedisi pertama ini (1513) Kyai Katong ada dalam rombongan itu, dan kemudian memilih berhenti membina daerah baru di Kaliwungu-Kendal. 

Bila kemungkinan ini benar maka Sunan Katong datang ke Kaliwungu-Kendal pada tahun 1513. akan tetapi catatan ini sedikit kurang valid karena tidak ada data pendukung lainnya. Dan disamping itu masanya sangat terlampau jauh bila dihubungkan dengan sejarah semasanya. Penyerangan kedua terhadap bangsa Portugis dilakukan pada tahun 1527. penyerangan ditujukan terhadap bangsa Portugis yang sudah menguasai Jayakarta atau Sunda Kelapa (Jakarta). Penyerangan kedua dipimpin oleh Faletehan atau Fatahillah, menantu Raden Fatah atau kakak ipar Sultan Trenggono. Sudah barang tentu penguasaan pelabuhan-pelabuhan di sepanjang pantai utara pulau Jawa terlebih dahulu dilakukan. Dimungkinkan sekali, Kyai Katong ada dalam rombongan ekspedisi ini.

Kelihatannya catatan ini ada sedikit dukungan data lainnya. Dengan demikian bisa mendekati kebenaran bila kedatangan Sunan Katong di Kendal-Kaliwungu pada tahun 1527, atau ketika itu Kerajaan Islam Demak dibawah pimpinan Sultan Trenggono. Catatan itu didukung dan ada sedikit sentuhan positif dengan cerita rakyat yang sudah menjadi cerita baku dan bahkan sudah menyatu pada diri masyarakat Kaliwungu-Kendal, yaitu cerita Sunan Katong. Data Pendukung itu antara lain menyebutkan sebagai berikut: 

Baca juga: Sejarah Kaliwungu Yang Telah Melahirkan Ribuan Kyai

Adanya cerita perguruan antara Sunan Katong dengan Ki Ageng Pandan Arang I (Ki Made Pandan) dan Ki Ageng Pandan Arang II atau Sunan Tembayat di padepokan Tirang Amper atau Bergota. Ketika bertemu dengan penguasa Semarang itu, Ki Ageng Pandan Arang belum pindah ke Tembayat. Artinya Ki Made Pandan ataupun Ki Pandan Arang II masih dalam satu wilayah, di Tirang Amper atau Bergota. 

Adanya cerita Bhatara Katong dengan Syeikh Wali Lanang, dengan perintah Sunan Bonang pada Syeikh Wali Lanang yang ditugasi mengajar Sunan Katong, dan kemudian adanya pertemuan antara Ki Ageng Pandan Arang dengan Syeikh Wali Lanang. Untuk memperjelas data-data itu kiranya perlu kesabaran dan perlu ketelitian dalam rangka menghindari kesalahan yang fatal. Dan perlu disadari bahwa pertemuan itu belum tentu bisa mencapai kebenaran seratus persen. Antara Sunan Katong dan Ki Ageng Pandan Arang adalah saudara seayah, keduanya putera Pangeran Suryapati Unus. Ibu Ki Made Pandan Arang adalah puteri Adipati Urawan di Madiun. Sedangkan Kyai Katong putera Adipati Unus dari istri Ponorogo. Puteri Bhatara Katong.

Kedua putera Adipati Unus itu ternyata mempunyai visi sama. Mereka tidak tertarik dengan politik pemerintahan, mereka memilih sebagai penyiar agama Islam atau dunia spiritual. Dengan demikian mereka juga harus rela meninggalkan kerajaan. Padahal kalau mereka ada ke sana, baik Ki Ageng Pandan Arang maupun Kyai Katong sangat mudah. Ki Made Pandan Arang bisa memilih ingin menjadi penguasa Demak ataupun Adipati di Urawan Madiun. Kedua daerah itu sangat memungkinkan untuk mengantarkan dirinya untuk menjadi orang nomor satu. Sedangkan Kyai Katong juga demikian. Ia tinggal memilih apakah di Demak atau Ponorogo, keduanya memberi harapan yang bagus. 

Baca juga: Kumpulan Nasihat atau Wejangan Sunan Katong

Dalam cerita sejarah dan cerita rakyat atau cerita tutur diterangkan bahwa cerita-cerita yang menyangkut riwayat perjalanan Sunan Katong memang saling berhubungan, dan cerita-cerita itu saling melengkapi. Alur cerita sejarahnya kemudian dikemas dalam bentuk cerita rakyat yang seakan-akan saling bertentangan. Padahal tidaklah demikian. Cerita-cerita itu dimaksudkan untuk saling mengisi dan saling melengkapi. Dengan bahasa lain, alur sejarahnya dibungkus dengan cerita rakyat yang dihiasai dengan "sanepo" atau kiasan-kiasan yang mengandung filsafat/pendidikan. Sebab, para penulis cerita babad itu lebih dilingkari dengan budaya dan bahasa yang sangat halus. Dan para pujangga itu lebih mengedepankan rasa dari pada lainnya. Sehingga penulisannya lebih mengarah pada filsafat kehidupan. 

Melihat keadaan daerah serta nama-nama tempat di Kendal/Kaliwungu memberi pengertian bahwa di wilayah itu dulu menjadi pusat pemerintahan agama Hindu/Budha. Nama-nama itu terus melembaga sampai dengan agama Islam masuk ke daerah itu. Nama-nama itu antara lain; Patian, Demangan, Kranggan, Kenduruan, Katemenggungan Sepuh dan Kandangan. Patih, Ronggo, Tumenggung, Demang, Kenduruwan adalah perangkat pemerintahan Majapahit, yang disebut Sapta Riwilwatika. Sedangkan Kandangan adalah Sameget Sapta Upapati. Hakim pemutus perkara yang jumlahnya tujuh ; Kandangan, Pamotan, Panjang Jiwa, Andamohi, Manghuri dan Jamba. Dengan demikian tidak berlebihan bila Kaliwungu dulunya sebuah Kadipaten Majapahit. Seperti disebut-sebut bahwa menurut tuturan jaman Majapahit, bahwa "kali' disebutnya dengan “banyu”.

            Penyerangan pertama terhadap Bangsa Portugis ini tercatat tahun 1513. Ketika merebut pelabuhan-pelabuhan di sepanjang pulau Jawa itu, dimungkinkan adik Sultan Fatah yang bernama Bathara Katong ikut dalam pasukan Faletehan. Daerah/pelabuhan yang berhasil ditaklukkan, ditempatkan seorang pemimpin yang telah berpengalaman di bidang pemerintahan. Daerah pelabuhan yang pertama kali ditaklukkan adalah Kendal/Kaliwungu karena tempatnya berdekatan dengan Demak. Setelah Kaliwungu-Kendal berhasil dikuasai, maka Bhatara Katong diminta untuk mengislamkan masyarakat di Kaliwungu-Kendal dan sekitarnya serta sekaligus menata pemerintahannya. 

Banyaknya cerita dan data-data berupa tulisan yang tidak jelas asal-usulnya menjadikan data yang diperoleh kurang valid. Bila pendapat ini yang menjadi rujukan, maka kedatangan Sunan Katong di Kaliwungu-Kendal kurang lebih tahun 1513-an, dan Demak masih di bawah kepemimpinan Sultan Fatah. Terlepas benar atau salah, kelihatannya tahun 1513 itu terlalu tua, dan bila dihubungkan dengan catatan yang akan diuraikan nanti kurang adanya kecocokan masa. Cerita yang berhubungan Ki Ageng Pandan Arang atau Sunan Tembayat, kelihatannya akan terkubur, yang berarti adanya keberatan untuk menerima temuan di atas. Namun ada keterangan lagi, bahwa masa itu terlalu jauh bila dihubungkan dengan masa kehidupan Ki Pandan Arang atau Sunan Tembayat. Dimungkinkan, kedatangan Bhatara Katong di Kaliwungu-Kendal itu bersamaan dengan penyerangan terhadap Portugis di Sunda Kelapa yang terjadi pada tahun 1527 yang dipimpin oleh Faletehan atau Fatahilah. Ketika Kerajaan Islam Demak di bawah pemerintahan Sultan Trenggono. 

Bila masa itu yang menjadi rujukan, kelihatannya mendekati kebenaran. Maka Bhatara Katong yang dimaksud itu adalah Kiai Katong cucu dari Bhatara Katong, atau Kiai Katong putera Adipati Unus dari istri putera Prabu Brawijaya V. Dengan demikian, Kiai Katong tetap disebut juga sebagai keturunan Prabu Brawijaya V. 

Kondisi dan perkembangan sejarah ketika itu sangat cocok bila dihubungkan dengan daerah sekitar, terutama Tirang Amper di bawah pimpinan Ki Ageng Pandan Arang I atau Ki Made Pandan, walaupun sedikit ada selisih tahun. Kalau diyakini bahwa Ki Made Pandan adalah anak Pangeran Suryapati Unus putera Sultan Fatah, maka dapat dihitung bahwa kepergian Ki Made Pandan dari Demak menuju Tirang Amper sekitar tahun 1521-an. Sebab, Suryapati Unus memangku Sultan II, menggantikan ayahandanya sekitar tahun 1518-1521. Dan pada tahun-tahun tersebut memang agama Islam belum menyebar ke pelosok: Di Tirang Amper atau Bergota sendiri masih banyak Ajar atau pemimpin agama Hindu yang masih kokoh dengan sikap keyakinannya. Maka tidak berlebihan bila Kaliwungu-Kendal yang letaknya lebih jauh dari Demak, juga masih banyak petinggi Majapahit, salah satunya Pakuwojo, yang mempunyai nama asli Suromenggolo. Selain sebagai seorang Adipati, ia juga seorang yang ahli membuat pusaka, sebagaimana Empu Supo, seorang yang ahli membuat pusaka keris, dan kemudian menjadi Adipati di daerah Tuban.

Cerita-cerita yang menyangkut antara Pakuwojo dan Sunan Katong sebenarnya menyangkut soal perkembangan agama Islam di Kaliwungu-Kendal. Pakuwojo sendiri disebutkan sebagai seorang petinggi Majapahit yang ditempatkan di Kaliwungu. Selain sebagai petinggi kerajaan, Pakuwojo juga dipandang sebagai tokoh agama. Selain itu Pakuwojo juga memiliki kepribadian yang kokoh dan sangat kuat mempertahankan prinsip, terlebih soal kepercayaan dan keyakinan. Oleh karenanya tidak mudah merubah keyakinan yang telah bertahun-tahun bahkan telah mendarah daging pada diri Pakuwojo. Kalau saja ada perlawanan dari Pakuwojo terhadap ajakan/da'wah Sunan Katong, hal itu termasuk sikap yang wajar. 

Kisah perjalanan Sunan Katong menurut catatan, dituturkan bahwa Sunan Katong yang makamnya di Protomulya Kaliwungu itu adalah Bhatara Katong putera Prabu Brawijaya V dari istri Ponorogo. Dan silsilah ini di antara para penulis sejarah tidak ada yang berbeda. Dengan demikian hubungan antara Bhatara Katong dengan Sultan Fatah, Raja Demak adalah saudara seayah lain ibu, karena Raden Fatah lahir dari ibu asal negeri Campa, dan kelahirannya di Palembang. 

Catatan ini sudah dijadikan bahan baku cerita rakyat sebenarnya sudah dikemas dalam bentuk cerita yang penuh dengan filsafat kehidupan. Artinya, alur ceritanya tidak langsung terfokus pada titik ceritanya, tetapi sudah disusun sedemikian rupa, dan didalamnya banyak mengandung pelajaran keimanan dan filsafat kehidupan. Lengkapnya catatan sejarawan itu sebagai berikut; 

“Bhatara Katong sebenarnya masih terbilang seorang putera Prabu Brawijaya, Raja Majapahit. Setelah Kerajaan Majapahit runtuh, ia belum bersedia memeluk agama Islam. Adipati Ponorogo ini pernah diminta oleh saudara tuanya, Panembahan Demak untuk memeluk Agama Islam. namun waktu itu minta tangguh, setelah ayahnya meninggal dunia. Namun setelah Prabu Brawijaya meninggal, Bhatara Katong ternyata telah mengingkari janjinya, bahkan bertapa pergi ke pegunungan Penjor. Setelah Panembahan Demak mendengarnya, maka masalah ini diserahkan kepada Sunan Ratu Wadat alias Sunan Bonang. Sunan Bonang kemudian mengutus seorang bangsawan dari negeri Arab, bernama Syeikh Wali Lanang atau Syeikh Djumadil Kubro, untuk mengislamkan Bhatara Katong. Bhatara Katong mempunyai dua orang anak. Yang pertama seorang perawan, dan yang bungsu masih remaja puteri. Bhatara Katong merasa sedih memikirkan jodoh kedua anaknya itu. Demikian sedihnya, hingga dalam hati ia sampai berkata bahwa ia rela meninggalkan dunia fana ini jika kedua putrinya telah bersuami. Di samping itu, ia juga memikirkan di mana tempat yang tepat untuk memeluk Agama Islam. Tidak lama antaranya Bhatara Katong melihat teja mencorong di sebelah barat laut. Kemudian ia bertanya pada dirinya sendiri, apakah teja tersebut tidak merupakan isyarat bagi dirinya? “Jika demikian aku pergi ke sana untuk menjumpainya,” katanya dalam hati. Sayang sekali, ketika mau dihampiri olehnya, teja itu tiba-tiba menghilang, tidak tentu arah rimbanya. Bhatara Katong bersama istrinya kemudian pergi ke arah barat laut sambil membawa kedua orang anak perempuannya. 

Setelah Bhatara Katong pergi, Syeikh Wali Lanang datang di padepokannya. Syeikh Wali Lanang memperhatikan keadaan sekitar tempat itu dengan seksama. Setelah meneliti ke kanan dan ke kiri, Syeikh Wali Lanang mengetahui arah kepergian Bhatara Katong. Syeikh Wali Lanang segera pergi ke arah barat laut, mau menyusulnya. Sementara itu perjalanan telah sampai di Jurangsuru. Di tempat itu ia bertemu dengan seorang bekas Ajar (pendekar) yang telah memeluk Agama Islam bernama Naya Gati. Setelah saling menanyakan nama dan tempat asalnya masing-masing, Bhatara Katong menyampaikan maksudnya mau mencari teja yang pernah dilihatnya, namun setelah sampai di suatu tempat, di tepi laut tiba-tiba menghilang. “Tahukah Andika siapa orang suci yang diam di tempat itu?” Naya Gati menjawab, bahwa orang suci tersebut masih gurunya sendiri, bernama Pandan Arang. Orangnya masih sangat muda, lagi pula seorang orang suci yang sakti. Atas pertanyaan Bhatara Katong; Naya Gati juga menerangkan, gurunya tersebut berasal dari Demak dan masih cucu Panembahan Demak. Ia diperintahkan Sunan Bonang bermukim di tempat itu untuk mengislamkan para Ajar (pendekar). 

Bhatara Katong minta diantarkan ke tempat kediaman Ki Pandan Arang. Permintaan itu disanggupi Naya Gati. Setelah bertemu dengan Ki Pandan Arang, ia ditanyai asal usul dan maksud kedatangannya. Bhatara Katong dengan terus terang menyebutkan namanya sambil menjelaskan bahwa ia berasal dari Ponorogo dan masih putera Prabu Brawijaya. Maksud kedatangannya tak lain ingin memeluk agama Islam dengan perantara Ki Pandan Arang. Ki Pandan Arang menjawab, bahwa maksud itu lebih dari baik. Akhirnya Bhatara Katong mau memeluk agama Islam. Ki. Pandan Arang lalu minta kepadanya mengucapkan kalimat syahadat, sedang Bhatara Katong kemudian menyerahkan anak perempuannya yang sulung pada Ki Ageng Pandan Arang untuk dijadikan istrinya.

Catatan Amien Budiman itu dengan jelas menerangkan bahwa Bhatara Katong yang makamnya di Protomulyo itu berasal dari Ponorogo, saudara seayah Sultan Fatah. Catatan ini nampaknya sudah tersebar dan bahkan sudah dijadikan pemahaman baku oleh masyarakat. Brosur syawalan yang menceritakan tentang riwayat Sunan Katong kelihatannya lebih mengacu pada catatan ini. 

Sementara itu Mas'ud Thoyib, sastrawan asal Kaliwungu juga menyimpan catatan tentang Bhatara Katong yang riwayatnya sedang dibahas ini. Disebutkan dalam bukunya Sunan Katong dan Pakuwaja, Mas'ud Thoyib memperlihatkan catatan Dr. H. Rachmat Djatmiko dengan bersumber pada Babad Ponorogo, menerangkan bahwa Prabu Brawijaya memang punya anak dari istri Ponorogo yang bernama Bhatara Katong. Lebih lengkapnya catatan Dr. H. Rachmat Djatmiko itu sebagai berikut ; “Bhatara Katong adalah putera Raja Majapahit Prabu Brawijaya V, sehingga dengan Raden Fatah merupakan saudara seayah. Bhatara Katong diperintah oleh ayahnya, Raja Majapahit, untuk menghadapkan Ki Demang Kutu yang membangkang kepada Raja. Ki Demang Kutu itu mempunyai keahlian dalam ilmu kanuragan, mempunyai banyak pengikut dan murid yang terkenal sebagai warok dan jatil. Untuk mendatangkan Demang Kutu, Bhatara Katong disertai Seloaji. Sampai di Desa Mirah mereka bertemu dengan seorang muslim, yang dikenal dengan sebutan Ki Ageng Mirah. Bhatara Katong minta bantuan pada Ki Ageng Mirah untuk mengalahkan Ki Demang Kutu. 

Baca: Tradisi Yang Diajarkan Sunan Katong

Menurut tradisi, Bhatara Katong dan Seloaji masuk Islam dihadapan Ki Ageng Mirah. Selanjutnya Bhatara Katong, Seloaji dan Ki Ageng Mirah beserta pengikutnya kembali ke Ponorogo. Setelah sampai di suatu tempat yang diperkirakan sesuai untuk dijadikan kota, didirikan sebuah masjid. Dan dari daerah itulah dapat mengalahkan Ki Demang Kutu.” Rachmat Djatmiko juga mencatat bahwa nama “Bhatara” di belakang nama Katong, adalah atas pemberian Raden Fatah sebagai upaya untuk memudahkan berdakwah di lingkungan masyarakat yang masih memeluk agama Hindu/Budha.

Dalam catatan akhirnya, Rachmat Djatmiko juga menerangkan bahwa setelah wafat, Bhatara Katong dimakamkan di depan masjid (tidak di belakang masjid). Menurut candra sengkolo Sinengkalan yang terdapat pada watu gilang di ruang jero tengah kompleks kuburan terdapat gambar-gambar: Gajah, Burung terbang, Udang dan orang sedang bertapa. Yang diartikan oleh J. Knebel sebagai tanda tahun 1318 Caka (1398 M) dan menurut M. Hari Suwarno menunjukkan tahun 1408 Caka (1486 M). Tahun tersebut kemungkinan waktu didirikannya masjid Setono, dan Bhatara Katong kemungkinan wafat pada pertengahan awal abad 16, dan wakaf tanah kompleks Bhatara Katong terjadi tahun 1554 Catatan Rachmat Djatmiko di atas menjelaskan bahwa Bhatara Katong sudah masuk Islam di hadapan Ki Ageng Mirah ketika masih menjabat sebagai Adipati Ponorogo, dan ia menjadi Adipati Wengker, Ponorogo mulai tahun 1466 M, dan mendirikan masjid di Setono pada tahun 1486 M. Kemudian adakah hubungan antara Bintara, Ponorogo dan Kaliwungu? 

Disebutkan dalam kitab Centhini sebagai berikut: Bathara Katong sejarah neki saking Bintoro warti putrane sang aji Dukuh Lepentangi. Arti bebasnya; Sejarah Batara Katong itu berasal dari Bintoro. Menurut cerita ia putera raja, yang tinggal di Kaliwungu.

Bila isi serat Centhini dihubungkan dengan Babad Tanah Jawi yang isinya; Sawise lawas-lawas Sultan Demak wus peputero nenem, kakung lan puteri yoiku: (1) Pangeran Sabrang Lor, iku kang pembarep, kromo daup lan puteri Ponorogo Bhatara Katong. (2) Pangerang Trenggono, (3) Pangeran Sedo ing Kali, (4) Pangeran Kandurunan (5) Pangeran Pamengkas (6) Puteri Nimas Ratu kromo angsal Bagelen. Arti bebasnya kurang lebih; Setelah lama Sultan Demak (Raden Fatah), sudah berputera enam orang lelaki dan perempuan yaitu (1) Pangeran Sabrang Lor (Dipati Unus, putera mahkota) anak yang pertama, menikah dengan puteri Ponorogo, Puteranya Batara Katong (2) Pangeran Tranggono (3) Pangeran Seda ing kali (4) Pangeran Kandurunan, atau Kanduruan (5) Pangeran Pamengkas (6) Puteri Nimas Ratu, menikah dengan orang Bagelen. 

Dapatlah diartikan bahwa Bhatara Katong yang sejarahnya berasal dari Bintara, Demak adalah putera raja (Adipati Unus) yang tinggal di dukuh Kaliwungu. Dengan demikian Kiai Katong ing Gunung Penjor (Kaliwungu) adalah bukti adanya hubungan sejarah antara Bintoro dengan Ponorogo/Wengker (yang pernah menjadi pusat kerajaan Majapahit, 1456-1466 M) 

Sedangkan dalam catatan lain juga disebutkan bahwa ketika Bupati Kendal, Pangeran Ario Notohamiprojo pernah mengikuti perjalanan Prins Federijk, cucu Raja Nederland keliling pulau jawa (1837), singgah di kuburannya Bhatara Katong di Ponorogo. Dengan demikian jelas sekali bahwa di Ponorogo juga ada nama Bhatara Katong, putera Brawijaya. Untuk sementara, cerita kita beralih pada Adipati Unus atau Suryapati Unus atau Pangeran Sabrang lor, yang menjadi sentral pembahasan kedua. Selain punya istri puteri Bhatara Katong, Adipati Unus juga punya istri puteri Pangeran Puruboyo atau Adipati Urawan penguasa Madiun. Hasil perkawinan ini lahir Ki Made Pandan. Anak Adipati Unus ini lebih tertarik pada kegiatan-kegiatan spiritual dari pada pemerintahan. Disebutkan pula bahwa pengaruh Sunan Bonang lebih mewarnai kehidupan Made Pandan. Ketika ayahandanya wafat, ia lebih rela jabatan atau tahta itu diserahkan pada pamannya, yaitu Pangeran Trenggana. Ki Made Pandan bersama istri dan dua anaknya meninggalkan Demak, yang akhirnya lebih puas bermukim di pulau Tirang dengan mengembangkan Agama Islam di sekitar tempat itu, dan mengislamkan para Ajar di sekitar gunung Bergota. Di Made Pandan kemudian menetap di daerah itu yang diberi nama Tirang Amper.

Begitu pendapat kedua ini mengemuka, maka kedatangan Sunan Katong di Kaliwungu/Kendal diduga kuat sekitar tahun 1527-an bersamaan dengan penyerangan Demak ke Sunda Kelapa yang juga dipimpin oleh Faletehan, ulama asal Samodra Samudera Pasai dan menantu Sultan Fatah. Pada tahun itu Demak dibawah pimpinan Sultan Trenggono, Sultan Demak III putera Sultan Fatah (adik Suryapati Unus). Apabila dihubungkan dengan daerah sekitar, terutama Tirang Amper di bawah Ki Made Pandan dan Ki Ageng Pandan Arang (Bupati Semarang I) memang ada kedekatan masa. 

Dalam buku Sejarah Hari Jadi Kota Semarang dijelaskan bahwa dua catatan diatas ternyata alurnya sama. Hanya saja catatan Rachmad Djatmiko yang dihubungkan dengan serat Centini itu dengan jelas bahwa Sunan Katong yang makamnya di Kaliwungu itu memang berasal dari Ponorogo tetapi bukan Bhatara Katong putera Brawijaya, melainkan Bhatara Katong putera Adipati Unus, cucu Adipati Bhatara Katong di Ponorogo, yang berarti juga masih cicit Prabu Brawijaya V. 

Lanjutan dari cerita perjalanan Sunan Katong disebutkan lagi, ketika dua keturunan Adipati Unus bertemu di Jurungsuru atau pulau Tirang atau Bergota berkat peran Ajar Naya Gati dan keduanya saling bertukar pikiran soal agama Islam, dengan sebutan lain Sunan Katong berguru pada Ki Ageng Pandang Aran. Setelah itu, kemudian Sunan Katong diberi tugas penyiaran Agama Islam ke arah barat dengan ditunjukkan dan diberi isyarat yaitu pada suatu tempat dimana ada sebuah pohon ungu yang condong ke sungai, dan ditempat itulah Sunan Katong diperintahkan membuka perguruan sebagai pusat penyebaran Agama Islam. 

Sebelum meninggalkan padepokan Ki Pandan Arang, Sunan Katong memenuhi keinginannya yaitu menikahkan puteri sulungnya yang sudah perawan. Puteri sulung itu dinikahkan dengan putera gurunya sendiri, yang namanya nunggak semi dengan orang tuanya, yaitu Ki Ageng Pandan Arang II atau Pangeran Kasepuhan. Dikemudian hari, nama puteri Sunan Katong itu dikenal dengan nama Nyai Ageng Kaliwungu, dan dialah yang mendampingi suaminya, Ki Ageng Pandan Arang, ketika awal-awal menjadi Adipati semarang menggantikan ayahnya, maupun dalam perjalanannya menuju Gunung Jabalkat atau Gunung Tembayat, karena atas saran dan nasihat Sunan Kalijaga. 

Selanjutnya Ki Ageng Pandan Arang II lebih dikenal dengan panggilan Sunan Tembayat atau Sunan Jabalkat. Sedangkan puteri Sunan Katong yang satunya, seperti diterangkan oleh Suwignya dalam bukunya Kyai Pandanarang, gadis itu dinikahkan dengan murid Sunan Katong sendiri, bernama Ki Ageng Prawito atau Prawoto asal Begelen. Dalam buku tersebut kemudian: dijelaskan lagi, bahwa Ki Prawito inilah yang menjadi tuan tanah di daerah Kaliwungu. Bisa jadi nama Proto itu berasal dari kata Prawito atau Prawoto.

Perjalanan Sunan Katong ke arah barat sebagaimana pesan gurunya untuk mencari tempat yang tumbuh sebuah pohon ungu yang condong ke sungai. Mungkin sudah merupakan kehendak takdir. Ketika Sunan Katong istirahat pada suatu tempat/di pinggir sungai, ia tertidur, dan setelah bangun dilihatnya ada sebuah pohon sebagaimana yang dimaksud oleh gurunya. Disitulah Sunan Katong mengucapkan dua kata “Kali Ungu”. Sedangkan sungainya disebut oleh banyak orang dengan nama “Kali Sarean”. Dan tempat itulah yang dikemudian hari terkenal dengan nama Kaliwungu. 

Oleh Ki Ageng Pandan Arang juga dipesankan pada Sunan Katong bahwa untuk lebih mendalami ilmu-ilmu agama serta mengamalkannya. Untuk mencapai tingkat kehidupan sufi, Sunan Katong dinasihati harus bisa mencari telapake kuntul melayang atau telapak burung Kuntul terbang berada di daerah yang terdapat “pohon yang condong ke sungai”. Mencari telapak kuntul melayang pada hakekatnya tidak berbeda dengan perintah untuk mencari susuhing angin atau mencari sarang angin dalam lakon wayang Dewa Ruci atau Bima Suci. Namun kalau diperhatikan di mana tempat Sunan Katong mengamalkan ilmunya, ternyata menempati daerah yang agak tinggi, yaitu di perbukitan Penjor yang bentuknya seperti burung kuntul melayang, yaitu di perbukitan Protomulyo sekarang ini, dan sebagian arealnya dijadikan pemakaman raja-raja Mataram, baik dari tanah Yogyakarta maupun Surakarta.

Daerah perbukitan Penjor yang juga dinamakan bukit kuntul melayang itu, kalau dipandangi secara cermat memang seperti bentuk seekor burung yang sedang terbang menghadap ke arah barat. Rasanya memang aneh, dan mungkin itu sudah kehendak Tuhan. Dikemudian hari perbukitan itu disebut dengan Astana Kuntul Nglayang. Disebut demikian karena pada akhirnya bukit itu menjadi istana terakhir para leluhur Kaliwungu atau tempat peristirahatan terakhir para leluhur Mataram keturunan Pangeran Djoeminah. Astana Kuntul Nglayang menjadi saksi bahwa bumi Kaliwungu itu ditempati oleh orang-orang besar kerajaan.

Maka diperlukan kecermatan dalam melihat pegunungan kuntul melayang itu. Pada ujung atas (kepala) ditempati oleh makam Pangeran Djoeminah, Raden Tumenggung Ronggo Hadimenggolo, dan beberapa makam bupati Kendal lainnya. Bagian tengah (dada) ditempati oleh Sunan Katong, dan beberapa makam bupati Kendal lainnya: Sayap sebelah kanan ditempati oleh Kiai Musyafak dan Kiai Musthofa, Kiai Rukyat dan ada disitu Bupati Kendal ke 36, Drs. H. Djoemadi. Sayap bagian kiri ada Tumenggung Mendurorejo dan Kiai Asy'ari. Sedangkan bagian belakang (ekor) ditempati oleh Pakuwojo, yang disebut dengan gunung Sentir.

Catatan-catatan di atas sejalan dengan pakem yang ditulis oleh Raden Ngabehi Tjokro Hadiwikromo yang menyatakan bahwa dalam kehidupan pribadi, Ki Pandan Arang telah kawin dengan puteri Bhatara Katong, dan juga dengan putri Endang Sejanila. Sayang istri kedua Ki Pandan Arang ini baik oleh Raden Ngabehi Tjokro Hadiwikromo maupun Amen Budiman serta Mas'ud Thoyib tidak diterangkan bahwa ia puteri keturunan siapa. Hanya disebut bahwa Endang Sejanila juga Endang Semawis. "Pangeran Pandanarang Ikromo oleh putrane kiai Katong ing goenoeng Penjor (Kaliwoengoe) Ian. kromo malih oleh Endang Sedjonila, iyo Endang Semawis, " begitu pakem yang tulis oleh Tjokro Hadikromo.



Dari beberapa penemuan para pencatat sejarah akhirnya bisa dimengerti bahwa Sunan Katong adalah seorang Wali yang masih ada hubungan nasab dengan Prabu Brawijaya V. Para penulis sejarah tidak ada yang beda pendapat, dan mereka sepakat bahwa Sunan Kathong yang makamnya di pemakaman Protomulyo itu memang berasal dari Ponorogo. 

Kira-kira lengkap silsilahnya adalah sebagai berikut: Prabu Kertabhumi atau Prabu Brawijaya V berputera Bhatara Katong. Dan Bhatara Katong berputera seorang puteri yang menjadi istri Adipati Unus atau Suryapati Unus putera Raden Fatah. Dari Perkawinan itu, lahir Kyai Katong, dan kemudian terkenal dengan nama Sunan Katong.

Wallahu A’lam

http://talimulquranalasror.blogspot.com/2014/05/sunan-katong-kyai-katong-kaliwungu.html?m=1