Minggu, 19 Februari 2017

Tanggapan Berdirinya NU versi Habib Luthfi

Tanggapan atas Kisah Berd

Tanggapan atas Kisah Berdirinya NU Versi Habib Luthfi (I)
Tanggapan atas Kisah Berdirinya NU Versi Habib Luthfi (I)
Abdullah, NU Online | Jumat, 17 Februari 2017 03:01
Oleh: Muhammad Ali Rahman 

Dalam NU Online edisi 02/02/2017, dimuat artikel berjudul: Habib Luthfi Ungkap 2 Ulama Penting dalam Penentuan Berdirinya NU. Artikel tersebut, kiranya perlu diteliti ulang. Kenapa? Karena, selain tidak mencantumkan tahun peristiwanya, juga terdapat keganjilan. Kisah tersebut sebenarnya sudah lama beredar di internet, namun sepertinya belum ada yang memberikan tanggapan. 

Pada pertengahan 2016 lalu, dari seorang kiai, penulis mendapat informasi, bahwa di internet beredar artikel tentang latar belakang berdirinya NU yang berbeda dengan yang umum. Penulis pun lalu mencari tahu. Alhasil, penulis mendapati artikel yang dimaksud dalam: www.muslimoderat.com/2015/08/, lalu di  utarabersatu.blogspot.co.id/2013/10/. 

Kisah dalam artikel itu bersumber dari Habib Luthfi bin Yahya, Pekalongan, Jawa Tengah. Di bagian akhir sumber kedua ditambahi kalimat: “Atau Anda bisa kunjungi ke: http://www.habiblutfiyahya.net/......”  Penulis pun mengunjungi alamat website tersebut, yang pada intinya didapati informasi serupa. 

Agar lebih jelas, berikut ini penulis akan cantumkan artikel tersebut, sebagaimana aslinya. Habib Luthfi berkisah: 

"Menjelang berdirinya NU beberapa ulama besar kumpul di Masjidil Haram, ini sudah tidak tertulis dan harus dicari lagi narasumber-narasumbernya, beliau-beliau menyimpulkan sudah sangat mendesak berdirinya wadah bagi tumbuh kembang dan terjaganya ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah. Akhirnya diistikharahilah oleh para ulama Haramain. Lalu mengutus Kiai Hasyim Asy’ari untuk pulang ke Indonesia agar menemui dua orang di Indonesia. Kalau dua orang ini meng-iya-kan jalan terus, kalau tidak jangan diteruskan. Dua orang tersebut adalah al-Habib Hasyim bin Umar bin Thoha bin Yahya Pekalongan dan Syaikhuna Mbah Kiai Kholil Bangkalan Madura.


Oleh sebab itu, tidak heran jika Muktamar NU yang ke-5 dilaksanakan di Pekalongan tahun 1930 M, untuk menghormati Habib Hasyim yang wafat pada itu. Itu suatu penghormatan yang luar biasa. Tidak heran kalau di Pekalongan sampai dua kali menjadi tuan rumah Muktamar Thariqah. Tidak heran karena sudah dari sananya. Kok tahu ini semua sumbernya dari mana? Dari seorang yang shaleh, Kiai Irfan.


Suatu ketika saya duduk-duduk dengan Kiai Irfan, Kiai Abdul Fattah dan Kiai Abdul Hadi. Kiai Irfan bertanya pada saya: “Kamu ini siapanya Habib Hasyim?”


Yang menjawab pertanyaan itu adalah Kiai Abdul Fattah dan Kiai Abdul Hadi: “Ini cucunya Habib Hasyim, Yai.”


Akhirnya saya diberi wasiat, katanya: “Mumpung saya masih hidup, tolong catat sejarah ini. Mbah Kiai Hasyim Asy’ari datang ke tempatnya Mbah Kiai Yasin. Kiai Sanusi ikut serta pada waktu itu. Di situ diiringi oleh Kiai Asnawi Kudus, terus diantar datang ke Pekalongan. Lalu bersama Kiai Irfan datang ke kediamannya Habib Hasyim. Begitu KH. Hasyim Asy’ari duduk, Habib Hasyim langsung berkata: “Kyai Hasyim Asy’ari, silakan laksanakan niatmu kalau mau membentuk wadah Ahlussunnah wal Jama’ah. Saya rela, tapi tolong saya jangan ditulis.” Begitu wasiat Habib Hasyim.


Kiai Hasyim Asy’ari pun merasa lega dan puas. Kemudin Kiai Hasyim Asy’ari menuju ke tempatnya Mbah Kiai Kholil Bangkalan. Mbah Kyai Kholil bilang sama Kyai Hasyim Asyari: “Laksanakan apa niatmu. Saya ridha seperti ridhanya Habib Hasyim. Tapi saya juga minta tolong, nama saya jangan ditulis.”


Lantas Kiai Hasyim Asy’ari bertanya: “Bagaimana Kiai, kok tidak mau ditulis semua?”


Mbah Kiai Kholil pun menjawab: “Kalau mau tulis silakan, tapi sedikit saja.”


Itu tawadhu’nya Mbah Kiai Ahmad Kholil Bangkalan. Dan ternyata sejarah tersebut juga dicatat oleh Gus Dur,” pungkas Kiai Irfan.” 


Memabaca tulisan di atas, awalnya penulis tertarik, sebab jika informasi itu benar, maka terdapat kisah lain tentang ikhwal berdirnya NU yang akan memperkaya penulisan sejarah NU. Apalagi bersumber dari seorang tokoh yang membawahi jam’iyah thariqah. 

Hanya saja, setelah dicermati, tanpa mengurangi rasa hormat penulis kepada beliau, ternyata banyak keganjilan. Dari keganjilan yang ada, penulis berbaik sangka dengan berusaha mencari sumber-sumber pembanding yang mungkin saja ada kaitannya. Namun, dari sekian sumber yang penulis telaah, tidak ada yang berkaitan, apalagi yang menguatkan. 

Informasi tersebut telah beredar di media online. Bahkan menurut  sumber online di atas, informasi itu disampaikan oleh Habib Luthfi pada 2010 M, dalam Harlah NU di Kota Pekalongan. Itu artinya, kurang lebih enam tahun beredar.

Sepengetahuan penulis, belum ada yang menyanggahnya. Lagi-lagi penulis tersudut pada pertanyaan: “Ini benar atau sebaliknya?” Sampai pada akhirnya penulis bertemu beberapa orang kiai (maaf, namanya tidak dicantumkan) yang menyarankan agar ada tulisan pembanding. Sebab, menyangkut organisasi dan tokoh-tokoh besar.



Tanggapan atas Kisah Berdirinya NU Versi Habib Luthfi (II)

Tanggapan atas Kisah Berdirinya NU Versi Habib Luthfi (II)
Abdullah, NU Online | Sabtu, 18 Februari 2017 10:06

Oleh: Muhammad Ali Rahman 

Mengenai keganjilan yang dimaksud di tulisan bagian pertama (Baca: Tanggapan atas Kisah Berdirinya NU Versi Habib Luthfi (I)), penulis akan mengurai secara garis besarnya saja. Pada alinea pertama, sebagaimana tertera di atas, dijelaskan: "Menjelang berdirinya NU beberapa ulama besar kumpul di Masjidil Haram…” Para ulama itu menyimpulkan sudah sangat mendesak untuk membentuk wadah bagi terjaganya ajaran Aswaja, kemudian ulama Haramain melakukan istikharah, lalu mengutus Kiai Hasyim Asy’ari untuk pulang keIndonesia…” Sampai di sini, sudah timbul pertanyaan. Apakah saat peristiwa itu, Kiai Hasyim masih mondok di Makkah atau dalam rangka yang lain? 

Kalau dikatakan “Menjelang berdirinya NU,”berarti tidak lama selang waktunya dari peristiwa tersebut. Sedangkan di akhir abad XIX, yakni pada tahun 1899 M, Kiai Hasyim sudah mulai merintis pesantren di Tebuireng, Jombang, Jawa Timur. Sehingga, menjelang berdirinya NU, di paroh awal abad XX, beliau sudah menyandang predikat sebagai ulama besar. Dalam kata lain, saat menjelang berdirinya NU, Kiai Hasyim tidak mukim di Makkah. Lantas, keberadaan beliau di Makkah, seperti dituturkan Habib Luthfi, dalam rangka apa? Mungkin dalam rangka yang lain, misalkan sedang berhaji. Tapi apa mungkin, sebab: 

Pertama, beliau sudah menunaikan ibadah haji, dan dua kali bermukim di Makkah. Tahun 1892 M, beliau dihadiahi naik haji bersama istri, oleh Kiai Ya’kub, guru sekaligus mertuanya, lalu mukim di Makkah selama satu tahun. Kemudian, dalam rentang waktu tahun 1893 M,mondok lagi ke Makkah, sampai kembalinya ke tanah air lalu mendirikan pesantren. 

Kedua, saat itu orang naik haji butuh waktu berbulan-bulan karena naik kapal laut, sementara posisi beliau adalah pengasuh pesantren dan kondisi Indonesia sedang dijajah Belanda. 

Karena kemungkinan tersebut di atas rasanya tidak mungkin, penulis lalu mencoba merujukkan pada keterangan Kiai As’ad Syamsul Arifin, Situbondo. Di mana, pada 1923 M, terjadi pertemuan para ulama di kediaman KH Mas Alwi Abdul Aziz (Kawatan, Surabaya, Jawa Timur), membahas masalah aliran baru yang antimazhab. Salah satu hasil pertemuan itu, diutuslah empat orang kiai untuk istikharah di setiap makam Wali Songo, serta empat orang kiai lagi diutus ke Madinah. Walau dikatakan, diutus ke Madinah, bisa saja mampir ke Makkah. Namun, Kiai As’ad tidak menyebut kehadiran Kiai Hasyim dalam pertemuan itu, serta tidak menyebut nama-nama kiai yang diutus ke Madinah. Karenanya, sulit diidentifikasikan dengan keterangan Habib Luthfi terkait dengan pertemuan ulama di Masjidil Haram yang kemudian mengutus Kiai Hasyim pulang ke Indonesia.

Menilik uraian penulis di atas ini, mungkin pembaca menilainya masih agak remang-remang. Selanjutnya mari kita elaborasikan dengan penjelasan Chairul Anam dalamPertumbuhan & Perkembangan NU. Dalam buku tersebut dijelaskan, pada 1924 M, ketika pertahanan Syarif (Raja) Husein mulai lemah atas serbuan pasukan Abdul Aziz Al-Saud di Hijaz; Kiai Wahab Hasbullah menyampaikan gagasan kepada Kiai Hasyim, selaku guru dan ulama terkemuka saat itu, untuk membentuk wadah bagi Ulama Aswaja. Mendapat gagasan itu, Kiai Hasyim tidak serta merta merestuinya. Walau beliau menerima, namun ditanggapi dengan sangat hati-hati. Sebab jika salah mengambil keputusan, bisa berakibat fatal. Menurut Kiai As’ad Syamsul Arifin, walau gagasan itu diterima, namun sebagai ide atau wacana. “Hadratus Syaikh (demikian Kiai As’ad memanggil Kiai Hasyim) ingin melapor dulu kepada Allah SWT melalui istikharah…” 

Kenyataan seperti diungkap di atas, terbalik dengan sikap Kiai Hasyim, seperti diceritakan Habib Luthfi, ketika beliau diutus pulang ke Indonesia untuk menemui Habib Hasyim dan Syaikhona Kholil, yang ternyata beliau berdua menyetujui, dengan catatan: “…tapi tolong saya jangan ditulis.” Hingga akhirnya: ”Kiai Hasyim Asy’ari pun merasa lega dan puas.”

Nah, jika informasi ini benar, semestinya Kiai Hasyim langsung mendirikan wadah bagi terjaganya ajaran Aswaja tersebut—bukan atas gagasan dari Kiai Wahab. Sebab, beliau sudah menerima mandat dari ulama di Haramain, serta direstui pula oleh Syaikhona Kholil, selaku gurunya. Atau, setidak-tidaknya, ketika beliau menerima gagasan dari Kiai Wahab, bak gayung bersambut, karena sebelumnya sudah mendapat mandat dan restu. Tapi faktanya, Kiai Wahab harus menunggu lama, yakni antara tahun 1924 sampai awal 1926 M, untuk mendapat restu dari Kiai Hasyim. Chairul Anam dan Kiai As’ad, menjelaskan, Kiai Hasyim merestui gagasan Kiai Wahab, setelah beliau mendapat jawaban dari istikharahnya melalui isyarah dari Syaikhona Kholil—selengkapnya dapat dibaca dalam: Pertumbuhan & Perkembangan NU (1985).

Penjelasan di atas, kiranya sudah cukup terang. Agar jadi benderang, sekarang kita coba mencari kemungkinan lain. Misalkan: mungkin saja peristiwa di Masjidil Haram itu terjadi pada tahun 1924 M, atau setelah Kiai Wahab menyampaikan gagasannya, dan atau pada tahun 1925 M, alias menjelang bulan-bulan berdirinya NU—sebaimana Habib Luthfi mengatakan: “Menjelang berdirinya NU...” Hal ini bisa dijawab sebagai berikut: 

1-Pada tahun 1924 M, sedang terjadi perang antara pasukan penguasa setempat, Raja Husein, menghadapi serbuan pasukan keluarga penguasa Najd, Abdul Aziz Al-Saud. Apa mungkin dalam situasi perang. Kiai Hasyim berangkat ke Makkah. Belum lagi jika bicara soal alat transportasi yang masih menggunakan kapal laut, serta tidak mudah. 

   2-Sebagaimana uraian di atas, Chairul Anam menulis: pada tahun 1924 M, Kiai Wahab menyampaikan gagasannya kepada Kiai Hasyim. Dalam rekaman ceramah Kiai As’ad Syamsul Arifin (yang penulis miliki), beliau menjelaskan: pada tahun 1924 M, dua kali diutus Syaikhona Kholil menemui Kiai Hasyim di Tebuireng, Jombang. Pertama, untuk mengantarkan tongkat. Yang kedua, mengantarkan tasbih. Untuk kepergiannya yang kedua menemui Kiai Hasyim, Kiai As’ad mengatakan, “Tahun 1924 akhir…” Ini artinya, dalam rentang waktu tahun 1924 M, Kiai Hasyim berada di tanah air. 

3-Kalau peristiwa di Masjidil Haram itu terjadi pada tahun 1925 M, di tahun ini, tepatnya 24 April, Syaikhona Kholil wafat, setelah sebelumnya beliau sakit. Apa mungkin—anggaplah—tahun 1924 M akhir Kiai Hasyim masih di Tebuireng, kemudian awal 1925 M, beliau bertolak dari Makkah ke tanah air, lalu menemui Habib Hasyim di Pekalongan, Jawa Tengah, selanjutnya menemui Syaikhona Kholil di Bangkalan, Madura, Jawa Timur? Selain persoalan biaya; bagaimana dengan lamanya perjalanan, pulang pergi Makkah-Tebuireng, baik perjalanan darat atau ketika naik kapal laut, yang bisa berbulan-bulan, serta tidak mudah. Belum lagi persoalan lain, tahun 1925 M, Hijaz dikuasai Abdul Aziz Al-Saud yang melarang berbagai kegiatanAswaja

Tanggapan atas Kisah Berdirinya NU Versi Habib Luthfi (III-Habis)
Tanggapan atas Kisah Berdirinya NU Versi Habib Luthfi (III-Habis)
Abdullah, NU Online | Ahad, 19 Februari 2017 09:03
Oleh: Muhammad Ali Rahman

Mengacu pada data peristiwa sejarah yang diuraikan pada tulisan terdahulu (Baca:Tanggapan atas Kisah Berdirinya NU Versi Habib Luthfi (I) dan Tanggapan atas Kisah Berdirinya NU Versi Habib Luthfi (II), sangat tidak memungkinkan terjadinya peristiwa di Masjidil Haram yang melibatkan Kiai Hasyim Asy’ari pada tahun-tahun itu.

Kemudian, untuk memperjelas bagaimana sulitnya transportasi menuju Makkah, saat itu, di antaranya kita bisa cermati perjuangan Kiai NU ketika hendak mengirim utusannya ke Muktamar Alam Islami. Langkah awal, harus mencari dana, yang akhirnya terkumpul sebesar f 1500.28,5 (mata uang Hindia Belanda). Pendanaan siap, dan KHR Asnawi, Kudus (Jawa Tengah), sebagai utusan pun juga siap. Langkah berikutnya, Kiai Wahab menghubungi perusahaan pelayaran di Tanjung Perak, Surabaya. Ternyata, setelah beliau sampai di pelabuhan Tanjung Perak, kapal yang menuju Arab Saudi sudah berangkat. Maka gagallah pemberangkatan Kiai Asnawi untuk menghadiri muktamar di Makkah.

Dua tahun kemudian, utusan NU yang diwakili oleh Kiai Wahab dan Syaikh Ghanaim, baru bisa berangkat, yakni pada 19 Maret 1928 M, dan tiba di Makkah pada 7 Mei 1928 M. Utusan NU ini pun bukan untuk mengikuti muktamar, melainkan menemui langsung Raja Arab Saudi, Abdul Aziz Al-Saud, guna menyampaikan surat dari NU.

Uraian ini, baru persoalan transportasi, belum lagi ketatnya pengawasan pihak Raja Abdul Aziz Al-Saud terhadap semua bentuk kegiatan Aswaja di Hijaz. Pada tahun-tahun itu sulit melakukan diskusi di Masjidil Haram yang berkaitan dengan Aswaja. Satu misal, diinformasikan surat kabar Pewarta Surabaya, yang memberitakan nasib ulama asal Indonesia, yakni KH Mukhtar. Beliau nyaris dihukum mati, atau diusir dari Hijaz, hanya karena menjawab pertanyaan jamaah, mengenai sunnahnya membaca "ushalli" menjelang shalat, dengan merujuk pada kitab Tuhfah. 

Berikutnya, kita cermati kembali tugas Kiai Hasyim seperti diceritakan Habib Luhtfi. Setelah dari Habib Hasyim di Pekalongan, beliau menemui salah seorang gurunya, yakni Syaikhona Kholil, di Bangkalan. Setelah bertemu. terjadilah dialog:

Syaikhona  :  Laksanakan apa niatmu. Saya ridha seperti ridhanya Habib Hasyim. Tapi saya  juga minta tolong, nama saya jangan ditulis. 


Kiai Hasyim:  Bagaimana Kiai, kok tidak mau ditulis semua? 


Syaikhona   :  Kalau mau tulis silakan, tapi sedikit saja. 


Di luar konteks ketidakmungkinan seperti yang penulis urai tadi, keterangan dan rangkaian kalimat ini ganjil; dari sisi tatakrama atau pun dari sisi fakta. 

Pertama, Syaikhona Kholil adalah guru Kiai Hasyim. Sebagai seorang santri, apalagi santri di masa itu, lazimnya mendahulukan gurunya sebelum yang lain. Namun dalam cerita itu, Kiai Hasyim menemui Habib Hasyim terlebih dadulu, baru ke Syaikhona. Secara georafis pun, jarak tempuh dari Tebuireng lebih dekat ke Bangkalan ketimbang ke Pekalongan.

Hal lain. cerita ini menimbulkan kesan, ridhanya Syaikhona terhadap niatan santrinya, setelah diridhai Habib Hasyim. Serta mengesankan, kedua tokoh itu sama-sama memiliki tingkatan spiritual, dalam pengertian adikodrati yang tinggi. Sehingga, jarak yang jauh antara Makkah-Indonesia, dan antara Pekalongan-Bangkalan bisa disadapnya. 

Kedua, dialog antara Syaikhona dan Kiai Hasyim digambarkan begitu akrab. Sementara jika merujuk pada keterangan Kiai As’ad Syamsul Arifin, ketika tahun 1920 M, sebanyak 66 ulama seluruh Indonesia datang ke Bangkalan, ingin bertemu Syaikhona guna memohon petunjuk terkait dengan gerakan aliran baru anti madzhab, mereka terlebih dahulu menemui Kiai Muntaha, menantu Syaikhona, yang tinggal di daerah berbeda di Bangkalan.

Setelah para ulama itu menjelaskan maksudnya, sebagaimana ditirukan oleh Kiai As’ad, satu di antara mereka berkata:

“Bagaimana Kiai Muntaha, mohon dihaturkan ke Kiai Kholil, karena kami tidak berani sowan langsung. Kami semua sudah sama-sama azam untuk bertemu Hadratus Syaikh Kiai Kholil. Kami tidak ada yang berani kalau bukan panjenengan yang mengantarkan…”

Kisah ini menggambarkan betapa kharismatiknya Syaikhona serta tawadhu’-nya para ulama saat itu.

Ketiga, cerita ini terbalik dengan keterangan Kiai As’ad Syamsul Arifin, di mana Kiai Hayim yang datang menemui Syaikhona menyampaikan amanat dari ulama di Haramain. Sedangkan dalam keterangan Kiai As’ad, beliau diutus Syaikhona untuk menemui Kiai Hasyim, yang menjadi jawaban dari istikharahnya berkenaan dengan gagasan akan membentuk wadah bagi Ulama Aswaja—seperti diurai di atas. 

Keempat, terkait dengan narasumber. Kiai As’ad Syamsul Arifin adalah santri Syaikhona, pelaku peristiwa, menyampaikan sendiri kisahnya, dijelaskan dengan tahun peristiwanya, dan termasuk juga pendiri NU. Secara data, keterangan Kiai As’ad, ada bukti rekamannya, bahkan tidak hanya satu kali kisah itu disampaikan. Setidak-tidaknya, yang penulis tahu ada dua rekaman, walau redaksinya agak beda, tapi intinya sama. Kisah itu juga pernah disampaikan ke Chairul Anam ketika mewawancarai untuk materi buku Pertumbuhan & Perkembangan NU.

Sedangkan keterangan Habib Luthfi, yang katanya didapat dari Kiai Irfan, tidak dilengkapi dengan penjelasan siapa tokoh Kiai Irfan yang dimaksud. Apakah beliau terlibat langsung saat peristiwa di Masjidil Haram tersebut, sehingga mengetahui kisahnya. Apakah semasa dengan Syaikhona dan Habib Hasyim dan seterusnya dan sebagainya. Terlepas siapa Kiai Irfan, yang pasti, keterangan Kiai As’ad Syamsul Arifin yang runutannnya jelas dan selaras dengan data-data tertulis tentang pembentukan NU, sehingga memenuhi syarat ilmiah dalam standar penulisan sejarah.

***

Dari semua uraian di atas, menjadi jawaban, mana yang bisa diterima, mana yang tidak. Adapun keterangan: “Dan ternyata sejarah tersebut juga dicatat oleh Gus Dur,” kiranya tidak perlu diurai lebih lanjut. Sebab tidak ada penjelasan, dicatat dalam bentuk apa, di mana, dan seperti apa rinciannya. Sedangkan Gus Dur sudah wafat, yakni pada 29/12/2009 M; sementara kisah itu disampaikan pada 2010 M—sebagaimana diurai di atas.

Namun demikian, jika Habib Luthfi, sebagai shahibul kisah memiliki bukti materi yang kuat dari apa yang dikisahkan, sebaiknya didiskusikan dalam forum ilmiah dengan melibatkan berbagai pihak, terutama para penulis sejarah NU yang selama ini menjadi rujukan. Dengan demikian akan lebih jernih dan jelas, sehingga tidak timbul kerancuan yang ujungnya bisa saja dapat mengaburkan sejarah NU dari aslinya. 

Demikian tanggapan penulis, semoga bermanfaat dan mohon maaf jika terdapat kesalahan. Wallahu a’lam.


Penulis tercatat sebagai pengurus di salah satu Lembaga dan Banom NU; penulis buku "Riwayat Syaikhona Kholil Bangkalan, Isyarah & Perjuangan di Balik Berdirinya NU", "Istighatsah An-Nahdliyah", "Syair Gus Dur", dan lain-lain