Jumat, 22 Januari 2016

Syaikh Nawawi Al Bantani

Jenazah Syech Nawawi al-Bantani Masih Utuh



Perjalanan Intelektual Sang Pujangga Sejati

Nama lengkapnya adalah Abu Abdul Mu’ti Muhammad bin Umar bin Arbi bin Ali Al-Tanara Al-Jawi Al-Bantani. Ia lebih dikenal dengan sebutan Muhammad Nawawi Al-Jawi Al-Bantani. Dilahirkan di kampung Tanara, kecamatan Tirtayasa, kabupaten Serang, Banten. Pada tahun 1813 M atau 1230 H. Ayahnya bernama Kyai Umar, seorang pejabat penghulu yang memimpin masjid. Dari silsilahnya, Nawawi merupakan keturunan kesultanan yang ke 12 dari Maulana Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati, Cirebon), yaitu keturunan dari Putra Maulana Hasanuddin (Sultan Banten I) yang bernama Sunyara-ras (Tajul ‘Arsy). Nasabnya bersambung dengan Muhammad melalui Imam Ja’far Assidiq, Imam Muhammad Al-Baqir, Imam Ali ZainAl-Abidin, Sayyidina Husain, Fatimah Al-Zahra

Pada usia lima tahun Syekh Nawawi belajar langsung dibawah asuhan ayahandanya. Di usia yang masih kanak-kanak ini, beliau pernah bermimpi ber-main dengan anak-anak sebayanya di sungai, karena merasakan haus ia meminum air sungai tersebut sampai habis. Namun, rasa dahaganya tak kunjung surut. Maka Nawawi bersama teman-temannyaberamai-ramai pergi ke laut dan air lautpun diminumnya seorang diri hingga mengering.

Ketika usianya memasuki delapan tahun, anak pertama dari tujuh bersaudara itu memulai peng-gembaraannya mencari ilmu. Tempat pertama yang dituju adalah Jawa Timur. Namun sebelum berangkat, Nawawi kecil harus menyanggupi syarat yang diajukan oleh ibunya, “Kudo’akan dan kurestui kepergianmu mengaji dengan syarat jangan pulang sebelum kelapa yang sengaja kutanam ini berbuah.” Demikian restu dan syarat sang ibu. Dan Nawawi kecilpun menyanggupi-nya.

Maka berangkatlah Nawawi kecil menjalankan kewajibannya sebagai seorang muslim yaitu menuntut ilmu. Setelah tiga tahun di Jawa Timur, beliau pindah ke salah satu pondok di daerah Cikampek (Jawa Barat) khusus belajar lughat (bahasa) beserta dengan dua orang sahabatnya dari Jawa Timur. Namun, sebelum diterima di pondok baru tersebut, mereka harus mengikuti tes terlebih dahulu. Ternyata mereka ber-tiga dinyatakan lulus. Tetapi menurut kyai barunya ini, pemuda yang bernama Nawawi tidak perlu mengu-langi mondok. “Nawawi kamu harus segera pulang karena ibumu sudah menunggu dan pohon kelapa yang beliau tanam sudah berbuah.” Terang sang kyai tanpa memberitahu dari mana beliau tahu masalah itu.

Tidak lama setelah kepulangannya, Nawawi muda dipercaya yang mengasuh pondok yang telah dirintis ayahnya. Di usianya yang masih relatif muda, beliau sudah tampak kealimannya sehingga namanya mulai terkenal di mana-mana. Mengingat semakin banyaknya santri baru yang berdatangan dan asrama yang tersedia tidak lagi mampu menampung, maka kyai Nawawi berinisiatif pindah ke daerah Tanara Pesisir.

Pada usia 15 tahun, ia mendapat kesempatan un-tuk pergi ke Makkah menunaikan ibadah haji. Disana ia memanfaatkan waktunya untuk mempelajari bebe-rapa cabang ilmu, diantaranya adalah: ilmu kalam, bahasa dan sastra Arab, ilmu hadits, tafsir dan ilmu fiqh. Setelah tiga tahun belajar di Makkah ia kembali ke daerahnya tahun 1833 M dengan khazanah ilmu keagamaan yang relatif cukup lengkap untuk mem-bantu ayahnya mengajar para santri.

Namun hanya beberapa tahun kemudian ia memutuskan berangkat lagi ke Makkah sesuai dengan impiannya untuk mukim dan menetap di sana. Di Makkah ia melanjutkan belajar ke guru-gurunya yang terkenal. Pertama kali ia mengikuti bimbingan dari Syekh Khatib Sambas (Penyatu Thariqat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah di Indonesia) dan Syekh Abdul Gani Bima, ulama asal Indonesia yang bermukim di sana. Setelah itu belajar pada Sayyid Ahmad Dimyati, Sayyid Ahmad Zaini Dahlan yang keduanya di Makkah. Sedang di Madinah, ia belajar pada Syekh Muhammad Khatib Al-Hambali. Kemudian pada tahun 1860 M. Nawawi mulai mengajar di lingkungan Masjid Al-Haram. Prestasi mengajarnya cukup me-muaskan, karena dengan kedalaman pengetahuan agamanya, ia tercatat sebagai syekh disana. Pada tahun 1870 M, kesibukannya bertambah, karena ia harus banyak menulis kitab. Inisiatif menulis banyak datang dari desakan sebagian koleganya dan para sahabatnya dari Jawa. Kitab-kitab yang ditulisnya sebagian besar adalah kitab-kitab komentar (syarh) dari karya-karya ulama sebelumnya yang populer dan dianggap sulit dipahami. Alasan menulis syarh selain karena permin-taan orang lain, Nawawi juga berkeinginan untuk melestarikan karya pendahulunya yang sering meng-alami perubahan (ta’rif) dan pengurangan.

Dalam menyusun karyanya Syekh Nawawi selalu berkonsultasi dengan ulama-ulama besar lainnya, sebelum naik cetak naskahnya terlebih dahulu dibaca oleh mereka. Karya-karya beliau cepat tersiar ke berbagai penjuru dunia karena karya-karya beliau mudah difahami dan padat isinya. Nama Nawawi bahkan termasuk dalam kategori salah satu ulama besar di abad ke 14 H./19 M. Karena kemasyhurannya beliau mendapat gelar: Sayyid Ulama Al-Hijaz, Al-Imam Al-Muhaqqiq wa Al-Fahhamah Al-Mudaqqiq, A’yan Ulama Al-Qarn Al-Ram Asyar li Al-Hijrah, Imam Ulama’ Al-Haramain.

Syekh Nawawi cukup sukses dalam mengajar murid-muridnya, sehingga anak didiknya banyak yang menjadi ulama kenamaan dan tokoh-tokoh nasional Islam Indonesia, diantaranya adalah: Syekh Kholil Bangkalan, Madura, KH. Hasyim Asy’ari dari Tebu Ireng Jombang (Pendiri Organisasi NU), KH. Asy’ari dari Bawean, KH. Tubagus Muhammad Asnawi dari Caringin Labuan, Pandeglang Banten, KH. Tubagus Bakri dari Sempur-Purwakarta, KH. Abdul Karim dari Banten.

Syekh Nawawi Banten Sebagai Mahaguru Sejati

Nama Syekh Nawawi Banten sudah tidak asing lagi bagi umat Islam Indonesia. Bahkan kebanyakan orang menjulukinya sebagai Imam Nawawi kedua. Imam Nawawi pertama adalah yang membuat Syarah Shahih Muslim, Majmu’ Syarhul Muhadzab, Riyadhus Sholihin dan lain-lain. Melalui karya-karyanya yang tersebar di Pesantren-pesantren tradisional yang sampai sekarang masih banyak dikaji, nama kyai asal Banten ini seakan masih hidup dan terus menyertai umat memberikan wejangan ajaran Islam yang menyejuk-kan. Di setiap majelis ta’lim karyanya selalu dijadikan rujukan utama dalam berbagai ilmu, dari ilmu tauhid, fiqh, tasawuf sampai tafsir. Karya-karyanya sangat terkenal.

Di kalangan komunitas pesantren Syekh Nawawi tidak hanya dikenal sebagai ulama penulis kitab, tapi juga mahaguru sejati (the great scholar). Nawawi telah banyak berjasa meletakkan landasan teologis dan batasan-batasan etis tradisi keilmuan di lembaga pendidikan pesantren. Ia turut banyak membentuk keintelektualan tokoh-tokoh para pendiri pesantren yang sekaligus juga banyak menjadi tokoh pendiri organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Apabila KH. Hasyim Asy’ari sering disebut sebagai tokoh yang tidak bisa dilepaskan dari sejarah berdirinya NU, maka Syekh Nawawi adalah guru utamanya. Di sela-sela pengajian kitab-kitab karya gurunya ini, seringkali KH. Hasyim Asy’ari bernostalgia bercerita tentang kehidupan Syekh Nawawi, kadang mengenangnya sampai meneteskan air mata karena besarnya kecintaan beliau terhadap Syekh Nawawi.

Goresan Tinta Syekh Nawawi

Di samping digunakan untuk mengajar kepada para muridnya, seluruh kehidupan beliau banyak dicurahkan untuk mengarang beberapa kitab besar sehingga tak terhitung jumlahnya. Konon saat ini masih terdapat ratusan judul naskah asli tulisan tangan Syekh Nawawi yang belum sempat diterbitkan.

Kitab-kitab karangan beliau banyak yang di-terbitkan di Mesir, seringkali beliau hanya mengirim-kan manuskripnya dan setelah itu tidak memperduli-kan lagi bagaimana penerbit menyebarkan hasil karyanya, termasuk hak cipta dan royaltinya, selanjutnya kitab-kitab beliau itu menjadi bagian dari kurikulum pendidikan agama di seluruh pesantren di Indonesia, bahkan Malaysia, Filipina, Thailand dan juga negara-negara di Timur Tengah. Menurut Ray Salam T. Mangondana, peneliti di Institut Studi Islam, Universitas of Philippines, ada sekitar 40 sekolah agama tradisional di Filipina yang menggunakan karya Nawawi sebagai kurikulum belajarnya. Selain itu Sulaiman Yasin, dosen di Fakultas Studi Islam Universitas Kebangsaan di Malaysia juga menggunakan karya beliau untuk mengajar di kuliahnya. Pada tahun 1870 para ulama universitas Al-Azhar Mesir pernah mengundang beliau untuk memberikan kuliah singkat di suatu forum diskusi ilmiah. Mereka tertarik untuk mengundang beliau, karena sudah dikenal di seantero dunia.

Karya-karya Syekh Nawawi al-Bantani secara lebih lengkap antara lain adalah sebagai berikut:

1.) al-Tsamâr al-Yâni’ah syarah al-Riyâdl al-Badî’ah

2.) al-‘Aqd al-Tsamîn syarah Fath al-Mubîn

3.)Sullam al-Munâjah syarah Safînah al-Shalâh

4.)Baĥjah al-Wasâil syarah al-Risâlah al-Jâmi’ah bayn al-Usûl wa al-Fiqh wa al-Tasawwuf

5.)al-Tausyîh/ Quwt al-Habîb al-Gharîb syarah Fath al-Qarîb al-Mujîb

6.)Niĥâyah al-Zayyin syarah Qurrah al-‘Ain bi Muĥimmâh al-Dîn

7.)Marâqi al-‘Ubûdiyyah syarah Matan Bidâyah al-Ĥidâyah

8.)Nashâih al-‘Ibâd syarah al-Manbaĥâtu ‘ala al-Isti’dâd li yaum al-Mi’âd

9.)Salâlim al-Fadhlâ΄ syarah Mandhûmah Ĥidâyah al-Azkiyâ΄

10.)Qâmi’u al-Thugyân syarah Mandhûmah Syu’bu al-Imân

11.)al-Tafsir al-Munîr li al-Mu’âlim al-Tanzîl al-Mufassir ‘an wujûĥ mahâsin al-Ta΄wil musammâ Murâh Labîd li Kasyafi Ma’nâ Qur΄an Majîd

12.)Kasyf al-Marûthiyyah syarah Matan al-Jurumiyyah

13.)Fath al-Ghâfir al-Khathiyyah syarah Nadham al-Jurumiyyah musammâ al-Kawâkib al-Jaliyyah

14.)Nur al-Dhalâm ‘ala Mandhûmah al-Musammâh bi ‘Aqîdah al-‘Awwâm

15.)Tanqîh al-Qaul al-Hatsîts syarah Lubâb al-Hadîts

16.)Madârij al-Shu’ûd syarah Maulid al-Barzanji

17.)Targhîb al-Mustâqîn syarah Mandhûmah Maulid al-Barzanjî

18.)Fath al-Shamad al ‘Âlam syarah Maulid Syarif al-‘Anâm

19.)Fath al-Majîd syarah al-Durr al-Farîd

20.)Tîjân al-Darâry syarah Matan al-Baijûry

21.)Fath al-Mujîb syarah Mukhtashar al-Khathîb

22.)Murâqah Shu’ûd al-Tashdîq syarah Sulam al-Taufîq

23.)Kâsyifah al-Sajâ syarah Safînah al-Najâ

24.)al-Futûhâh al-Madaniyyah syarah al-Syu’b al-Îmâniyyah

25.)‘Uqûd al-Lujain fi Bayân Huqûq al-Zaujain

26.)Qathr al-Ghais syarah Masâil Abî al-Laits

27.)Naqâwah al-‘Aqîdah Mandhûmah fi Tauhîd

28.)al-Naĥjah al-Jayyidah syarah Naqâwah al-‘Aqîdah

29.)Sulûk al-Jâdah syarah Lam’ah al-Mafâdah fi bayân al-Jumu’ah wa almu’âdah

30.)Hilyah al-Shibyân syarah Fath al-Rahman

31.)al-Fushûsh al-Yâqutiyyah ‘ala al-Raudlah al-Baĥîyyah fi Abwâb al-Tashrîfiyyah

32.)al-Riyâdl al-Fauliyyah

33.)Mishbâh al-Dhalâm’ala Minĥaj al-Atamma fi Tabwîb al-Hukm

34.)Dzariyy’ah al-Yaqîn ‘ala Umm al-Barâĥîn fi al-Tauhîd

35.)al-Ibrîz al-Dâniy fi Maulid Sayyidina Muhammad al-Sayyid al-Adnâny

36.)Baghyah al-‘Awwâm fi Syarah Maulid Sayyid al-Anâm

37.)al-Durrur al-Baĥiyyah fi syarah al-Khashâish al-Nabawiyyah

38.)Lubâb al-bayyân fi ‘Ilmi Bayyân.

Syeikh Nawawi menghembuskan nafas terakhir di usia 84 tahun, tepatnya pada tanggal 25 Syawal 1314 H. atau 1897 M. Beliau dimakamkan di Ma’la dekat makam Siti Khadijah, Ummul Mukminin istri Rasulullah SAW. Beliau sebagai tokoh kebanggaan umat Islam di Jawa khususnya di Banten, umat Islam di desa Tanara, Tirtayasa Banten setiap tahun di hari Jum’at terakhir bulan Syawal selalu diadakan acara haul untuk memperingati jejak peninggalan Syekh Nawawi Banten.

Pembantaian Keluarga Syeikh Nawawi oleh Kaum Wahabi

Kisah ini diceritakan oleh keturunan dari keluarga Syaikh Nawawi al-Bantani yang berhasil lolos dari kejaran Wahabi. Beliau adalah KH. Thabari Syadzily. Berikut adalah sedikit kisah pembataian tersebut.

Pada zaman dahulu di kota Mekkah keluarga Syeikh Nawawi bin Umar Al-Bantani (Muallif Kitab) pun tidak luput dari sasaran pembantaian Wahabi. Ketika salah seorang keluarga beliau sedang duduk memangku cucunya, kemudian gerombolan Wahabi datang memasuki rumahnya tanpa diundang dan langsung membunuh dan membantainya hingga tewas. Darahnya mengalir membasahi tubuh cucunya yang masih kecil yang sedang dipangku oleh beliau.

Sedangkan keluarganya yang lain terutama golongan yang laki-laki dikejar-kejar oleh gerombolan Wahabi untuk dibunuh. Alhamdulillah, mereka selamat sampai ke Indonesia dengan cara menyamar sebagai perempuan.


Posisi Strategis Syeikh Nawawi bagi Dunia dan Indonesia

1. Syekh Nawawi Al-Bantani adalah satu dari tiga ulama Indonesia yang mengajar di Masjid Al-Haram di Makkah Al-Mukarramah pada abad ke-19 dan awal abad ke-20. Dua yang lain ialah muridnya, Ahmad Khatib Minangkabau dan Kiai Mahfudz Termas. Ini menunjukkan bahwa keilmuannya sangat diakui tidak hanya di Indonesia, melainkan juga di semenanjung Arab. Syekh Nawawi sendiri menjadi pengajar di Masjid al-Haram sampai akhir hayatnya yaitu sampai 1898, lalu dilanjutkan oleh kedua muridnya itu. Wajar, jika ia dimakamkan berdekatan dengan makam istri Nabi Khadijah di Ma’la.

2. Syekh Nawawi Al-Bantani mendapatkan gelar “Sayyidu Ulama’ al-Hijaz” yang berarti “Sesepuh Ulama Hijaz” atau “Guru dari Ulama Hijaz” atau “Akar dari Ulama Hijaz”. Yang menarik dari gelar di atas adalah \beliau tidak hanya mendapatkan gelar “Sayyidu ‘Ulama al-Indonesi” sehingga bermakna, bahwa kealiman beliau diakui di semenanjung Arabia, apalagi di tanah airnya sendiri. Selain itu, beliau juga mendapat gelar “al-imam wa al-fahm al-mudaqqig” yang berarti “Tokoh dan pakar dengan pemahaman yang sangat mendalam”. Snouck Hourgronje member gelar “Doktor Teologi”.

3. Pada tahun 1870, Syekh Nawawi diundang para ulama Universitas Al-Azhar dalam sebuah seminar dan diskusi, sebagai apresiasi terhadap penyebaran buku-buku Syekh Nawawi di Mesir. Ini membuktikan bahwa ulama al-Azhar mengakui kepakaran Syekh Nawawi al-Bantani.

4. Paling tidak terdapat 34 karya Syekh Nawawi yang tercatat dalam Dictionary of Arabic Printed Books. Namun beberapa kalangan lainnya malah menyebut karya-karyanya mencapai lebih dari 100 judul, meliputi berbagai disiplin ilmu, seperti tauhid, ilmu kalam, sejarah, syari’ah, tafsir, dan lainnya. Sebagian karyanya tersebut juga diterbitkan di Timur Tengah. Dengan kiprah dan karya-karyanya ini, menempatkan dirinya sebagai alim terpandang di Timur Tengah, lebih-lebih di Indonesia.

5. Kelebihan dari Syekh Nawawi al-Bantani adalah menjelaskan makna terdalam dari bahasa Arab, termasuk sastera Arab yang susah dipahami, melalui syarah-syarahnya. Bahasa yang digunakan Syekh Nawawi memudahkan pembaca untuk memahami isi sebuah kitab. Wajar jika syarah Syekh Nawawi menjadi rujukan, karena dianggap paling otentik dan paling sesuai maksud penulis awal. Bahkan, di Indonesia dan beberapa segara lain, syarah Syekh Nawawi paling banyak dicetak yang berarti paling banyak digunakan dibandingkan dengan buku yang terbit tanpa syarahnya.

6. Syekh Nawawi hidup di zaman di mana pemikiran Islam penuh perdebatan ekstrim antara pemikiran yang berorientasi pada syari’at dan mengabaikan hal yang bersifat sufistik di satu sisi (seperti Wahabi) serta sebaliknya pemikiran yang menekankan sufisme lalu mengabaikan syari’at di sisi lain (Seperti tarekat aliran Ibn Arabi). Kelebihan dari Syekh Nawawi adalah mengambil jalan tengah di antara keduanya. Menurutnya, syari’at memberikan panduan dasar bagi manusia untuk mencapai kesucian rohani. Karena itu, seseorang dianggap gagal jika setelah melaksanakan panduan syari’at dengan baik, namun rohaninya masih kotor. Hal sama juga berlaku bagi seorang sufi. Mustahil ia akan mencapai kesucian rohani yang hakiki, bukan kesucian rohani yang semu, jika ia melanggar atau malah menabrak aturan syari’at. Selain itu, di masa itu juga muncul pemikiran yang secara ekstrem mengutamakan aqli dan mengabaikan naqli atau sebaliknya mengutamakan naqli dan mengabaikan aqli. Namun Syekh Nawawi berhasil mempertemukan di antara keduanya, bahwa dalil naqli dan aqli harus digunakan secara bersamaan. Namun jika ada pertentangan di antara kedunya, maka dalil naqli harus diutamakan.

7. Dalam konteks Indonesia, Syekh Nawawi merupakan tokoh penting yang memperkenalkan dan menancapkan pengaruh Teologi ‘Asy’ariyah. Teologi ini merupakan teologi jalan tengah antara Teologi Qadariyah bahwa manusia mempunyai kebebasan mutlak dengan teologi Jabariyah yang menganggap manusia tidak mempunyai kebebasan untuk berbuat baik atau berbuat jahat.

8. Cara berpikir jalan tengah ini kemudian diadopsi dengan baik oleh Nahdlatul Ulama (NU). Karena itu, banyak kalangan yang berpandangan bahwa NU merupakan institusionalisasi dari cara berpikir yang dianut oleh Syekh Nawawi al-Bantani. Apalagi pendiri NU, KH. Hasyim ‘Asy’ari merupakan salah satu murid dari Syekh Nawawi al-Bantani.

9. Dalam konteks penjajahan, Syekh Nawawi al-Bantani berpendapat bahwa bekerja sama dengan penjajah Belanda adalah haram hukumnya. Karena itu, murid-murid Syekh Nawawi al-Bantani merupakan bagian terpenting dari sejarah perjuangan memperebutkan kemerdekaan Indonesia. Pemberontakan Petani Banten di abad 18 yang sangat merugikan Belanda, misalnya, merupakan salah satu contoh dari karya murid Syek Nawawi. Karena itu, wajar jika Syekh Nawawi menjadi salah satu objek “mata-mata” Snouck Hourgronje.

10. Berdasarkan penelitian Martin Van Bruinesen (Indonesianis dari Belanda) setelah mengadakan penelitian di 46 pesantren terkemuka di Indonesia ia berkesimpulan bahwa 42 dari 46 pesantren itu menggunakan kitab-kitab yang ditulis Syekh Nawawi al-Bantani. Menurut Martin, sekurang-kurangnya 22 karangan Nawawi yang menjadi rujukan di pesantren-pesantren itu.

Karomah-Karomah Syekh Nawawi Al-Bantani

1. Pada suatu malam Syekh Nawawi sedang dalam perjalanan dari Makkah ke Madinah. Beliau duduk di atas ‘sekedup’ onta atau tempat duduk yang berada di punggung onta. Dalam perjalanan di malam hari yang gelap gulita ini, beliau mendapat inspirasi untuk menulis dan jika insipirasinya tidak segera diwujudkan maka akan segera hilang dari ingatan, maka berdo’alah ulama‘alim allamah ini, “Ya Allah, jika insipirasi yang Engkau berikan malam ini akan bermanfaat bagi umat dan Engkau ridhai, maka ciptakanlah telunjuk jariku ini menjadi lampu yang dapat menerangi tempatku dalam sekedup ini, sehingga oleh kekuasaan-Mu akan dapat menulis inspirasiku.” Ajaib! Dengan kekuasaan-Nya, seketika itu pula telunjuk Syekh Nawawi menyala, menerangi ‘sekedup’nya. Mulailah beliau menulis hingga selesai dan telunjuk jarinya itu kembali padam setelah beliau menjelaskan semua penulisan hingga titik akhir. Konon, kitab tersebut adalah kitabMaroqil Ubudiyah, komentar kitab Bidayatul Hidayah karangan Imam Al-Ghazali.

2. Ketika tempat kubur Syekh Nawawi akan dibongkar oleh Pemerintah untuk dipindahkan tulang belulangnya dan liang lahatnya akan ditum-puki jenazah lain (sebagaimana lazim di Ma’la) meskipun yang berada di kubur itu seorang raja sekalipun. Saat itulah para petugas mengurungkan niatnya, sebab jenazah Syekh Nawawi (beserta kafannya) masih utuh walaupun sudah bertahun-tahun dikubur. Karena itu, bila pergi ke Makkah, insya Allah kita akan bisa menemukan makam beliau di pemakaman umum Ma’la. Banyak juga kaum muslimin yang mengunjungi rumah bekas peninggalan beliau di Serang Banten.

Syekh Nawawi Al-Bantani mampu melihat dan memperlihatkan Ka’bah tanpa sesuatu alatpun. Cara ini dilakukan oleh Syekh Nawawi ketika membetulkan arah kiblatnya Masjid Jami’ Pekojan Jakarta Kota. 

 Makam Syech Nawawi al-Bantani

Jenazah Syech Nawawi Masih Utuh Hingga Sekarang

Telah menjadi kebijakan Pemerintah Arab Saudi bahwa orang yang telah dikubur selama setahun kuburannya harus digali. Tulang belulang si mayat kemudian diambil dan disatukan dengan tulang belulang mayat lainnya. Selanjutnya semua tulang itu dikuburkan di tempat lain di luar kota. Lubang kubur yang dibongkar dibiarkan tetap terbuka hingga datang jenazah berikutnya terus silih berganti. Kebijakan ini dijalankan tanpa pandang bulu. Siapapun dia, pejabat atau orang biasa, saudagar kaya atau orang miskin, sama terkena kebijakan tersebut. Inilah yang juga menimpa makam Syaikh Nawawi. Setelah kuburnya genap berusia satu tahun, datanglah petugas dari pemerintah kota untuk menggali kuburnya. Tetapi yang terjadi adalah hal yang tak lazim. Para petugas kuburan itu tak menemukan tulang belulang seperti biasanya. Yang mereka temukan adalah satu jasad yang masih utuh. Tidak kurang satu apapun, tidak lecet atau tanda-tanda pembusukan seperti lazimnya jenazah yang telah lama dikubur. Bahkan kain putih kafan penutup jasad beliau tidak sobek dan tidak lapuk sedikitpun.Terang saja kejadian ini mengejutkan para petugas. Mereka lari berhamburan mendatangi atasannya dan menceritakan apa yang telah terjadi. Setelah diteliti, sang atasan kemudian menyadari bahwa makam yang digali itu bukan makam orang sembarangan. Langkah strategis lalu diambil. Pemerintah melarang membongkar makam tersebut. Jasad beliau lalu dikuburkan kembali seperti sediakala. Hingga sekarang makam beliau tetap berada di Ma΄la, Mekah.

Oleh Saifurroyya Dari Berbagai Sumber

http://talimulquranalasror.blogspot.co.id/2013/10/jenazah-syech-nawawi-al-bantani-masih.html?spref=fb&m=1

Rabu, 20 Januari 2016

KH ASY'ARI KALIWUNGU

KH. Asy’ari (Kyai Guru Kaliwungu)

Makam KH. Asy’ari di Jabal Nur Kaliwungu – Kendal

Kyai Asy’ari merupakan ulama besar yang kharismatik pada dekade tahun 1781-an di daerah Kaliwungu khususnya dan Kendal pada umumnya. Kepopuleran Kyai Asy’ari disebabkan metode dakwah yang unik, menarikdan kontroversial. Kemampuannya mengajak masyarakat yang mulanya primitif dan awam terhadap masalah keagamaan, terutama ajaran Islam, menjadi masyarakat yang agamis dan religius. Kepribadian beliau yang sederhana dan kharismatik sangat disegani oleh masyarakat, sehingga namanya selalu dikenang hingga sekarang. Perjuangan dakwahnya sudah semestinya diteladani, diteruskan dan ditumbuhkembangkan.

Dilahirkan di Wanantara Yogyakarta, kira-kira pada tahun 1746 dengan nama yang cukup singkat, yaitu Asy’ari bin Ismail bin H. Abdurrahman bin Ibrahim. Dari garis silsilahnya, menurut salah satu sumber, Kyai Asy’ari masih termasuk keluarga Sayyidina Ali, dan dengan Nabi Muhammad SAW bertemu pada keluarga Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdul Manaf bin Qusay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab

Kyai Asy’ari dibesarkan dan hidup pada masa kerajaan Mataram Islam, semenjak kecil ia mendapatkan didikan yang cukup keras di kedalaman Keraton Ngayogyakarta, dengan harapan kelak nantinya bisa meneruskan perjuangan dakwah Islam seperti yang dilakukan para waliyullahauliya dan para syuhada. Pada masa itu Kyai Asy’ari belajar membaca dan menulis dari para ulama, kyai dan tokoh agama yang ada di lingkungan kerajaan Mataram Islam. Banyak hal yang ia dapatkan dari hasil belajar yang diperoleh dari para gurunya, terutama masalah keagamaan diantaranya, ilmu Al-Qur’an, ilmu nahwu, ilmu sharaf, ilmu badi, ilmu mantiq, ilmubayan, ilmu ‘aruld, ilmu hadits, lughatul Arabiyyah dan ilmu agama lainnya. Setelah menginjak dewasa ia melanjutkan menuntut ilmu ke Makkah untuk mempelajari agama Islam, kira-kira selama 10 tahunan.

Dengan bekal ilmu agama tersebut diharapkan Kyai Asy’ari akan mampu meneruskan perjuangan para tokoh agama Mataram Islam. Sepulang dari Makkah Kyai Asy’ari ditugaskan oleh susuhunan Mataram untuk berdakwah, menyebarkan ajaran-ajaran agama Islam khususnya di daerah Kaliwungu Kendal.

Kyai Asy’ari datang di Kaliwungu pada usia 35 tahun, maka tahun kedatangan Kyai Asy’ari di Kaliwungu kira-kira tahun 1781-an. Setelah kedatangan Kyai Asy’ari di Kaliwungu, ia kemudian bermukim dan menetap di kampung yang saat ini terkenal dengan nama Kampung Pesantren Desa Krajankulon Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Kendal. Di Kampung Pesantren itulah Kyai Asy’ari merintis dan mengajarkan Islam dengan kitab kuningnya dengan mendirikan sebuah pondok pesantren salaf. Yang sekarang ini menjadi pondok APIP (Asrama Pelajar Islam Pesantren), karena pada waktu itu fasilitas dan sarana untuk belajar belum memadai, maka Kyai Asy’ari juga menggunakan musholla sebagai tempat untuk belajar dan menuntut ilmu agama Islam bagi para santri, yang sekarang ini menjadi Musholla Al-Asy’ari, tepatnya di Kampung Pesantren Desa Krajankulon kecamatan Kaliwungu.

Sejarah nama Musholla Al-Asy’ari berasal dari nama pendirinya yaitu Kyai Asy’ari (Kyai Guru), sehingga dinamakan Musholla Al-Asy’ari. Tindakan Kyai Asy’ari dalam berdakwah, dan mengajarkan ilmu-ilmu agama Islam melalui pondok pesantren yang didirikannya merupakan langkah yang tepat, karena kondisi masyarakat Kaliwungu pada saat itu awam agama dan jauh dari nilai-nilai agama Islam. Selama ia tinggal dan menetap di pondok pesantren yang didirikannya di Kaliwungu, tidak lama kemudian berdatanganlah santri-santri dari berbagai daerah untuk belajar dan menuntut ilmu.

Selama kedatangannya di Kaliwungu Kyai Asy’ari bertemu dan saling kenal dengan KH. Abu Sudjak dan KH. Muhammad Marhum (kakek dan ayah Kyai Ahmad Rifa’i) dan juga saudara-saudara Kyai Ahmad Rifa’i. Tidak lama kemudian menikah dengan Nyai Radjiyah (kakak kandung Kyai Ahmad Rifa’i) pada usia 40 tahun, sedangkan Nyai Radjiyah kira-kira 20 tahun maka pernikahan itu kira-kira berlangsung pada tahun 1786, bersamaan dengan tahun kelahiran Kyai Ahmad Rifa’i. Kalau Kyai Asy’ari menikah dengan Nyai Radjiyah pada usia 40 tahun (mungkin istri Kyai Asy’ari tidak satu orang, dan Nyai Radjiyah mungkin juga bukan istri pertamanya), maka kelahiran Kyai Asy’ari kira-kira pada tahun 1746 (1786 dikurangi 40 tahun = 1746)

Muhammad Marhum, ayah Kyai Ahmad Rifa’i meninggal dunia, ketika Ahmad Rifa’i berusia 6 tahun (1792), dan ketika ditinggal wafat oleh kakeknya, KH. Ahmad Abu Sudjak atau Raden Setjowidjojo (1794), umur Kyai Ahmad Rifa’i baru 8 tahun. Maka untuk mengurangi beban berat Siti Rahinah (ibu Kyai Ahmad Rifa’i) dan demi kelangsungan pendidikan masa depan, setelah memasuki usia tujuh tahun, Ahmad Rifa’i dibawa oleh kakak kandung Nyai Radjiyah ke Kaliwungu dan tinggal di rumahnya (Pondok Pesantren Kyai Asy’ari). Selama di Kaliwungu ia mendapat pendidikan dan pembinaan dari kakak iparnya yaitu Kyai Asy’ari. Kyai Asy’ari dalam mengasuh, mendidik dan membina Ahmad Rifa’i cukup rajin dan teliti, dibandingkan dengan murid-murid yang lain. Berkat ketekunan dan keikhlasan Kyai Asy’ari, Ahmad Rifa’i menjadi murid yang pandai dan cerdas.

Dengan modal dasar pemberian Allah RabbulAlamin, berupa akal cerdas, pikiran luas, dalam waktu relatif singkat Ahmad Rifa’i sudah dapat menguasai beberapa ilmu agama yang diajarkan oleh Kyai Asy’ari, diantaranya ilmu Al-Qur’an, ilmu nahwu, ilmu sharaf, ilmu Badi’, ilmu mantiq, ilmu bayan, ilmu ‘arudh, ilmu hadits,, ilmu lughatul arabiyah dan ilmu agama lainnya.

Seperti tradisi di pesantren, kyai Ahmad Rifa’i sering membantu pekerjaan gurunya, kyai Asy’ari yang juga sebagai kakak iparnya. Setelah kyai Ahmad Rifa’i mencapai usia delapan tahun, ia sering berkumpul dan tidur bersama para santri di masjid atau mushalla. Bangun pagi dari tidurnya, sholat subuh berjama’ah, berdzikir membaca tahmid dan takbir serta tahlil sudah menjadi kebiasaannya, karena merupakan kebiasaan  (tradisi) di pesantren.

Kyai Asy’ari adalah seorang ulama yang dalam ilmunya, dalam kesehariannya sangat dekat dan akrab kepada semua kalangan masyarakat, sehingga disegani dan dihormati oleh masyarakat luas, rakyat dan pejabat kolonial Belanda. Dalam aktivitasnya, setiap pagi, siang, sore, malam atau kapan saja waktunya digunakan untuk mendidik dan mengajar serta membina para santrinya. Khusus tengah malam, digunakan untuk munajat kepada Allah ‘Azza Wa jalla, bertaqorrub, mendekatkan diri pada Al- Khaliq, Allah Yang Maha Esa, seperti shalat tahajud, sholat nisfullail dan ibadah lainnya. Kegiatan semacam itu sudah menjadi kebiasaan yang tidak ditinggalkan, di rumah, di masjid, atau dimana saja ia berada. Sehingga pada suatu saat tengah malam, kyai Asy’ari keluar rumah pergi ke masjid untuk melakukan peribadatan dengan sekaligus melihat suasana para santri yang tidur di serambi masjid itu. Sesampainya di dalam masjid, ia terkejut karena melihat sesuatu yang belum pernah dilihatnya, sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya yaitu, melihat cahaya yang terang dari jasad seorang anak didiknya yang tidak dapat diketahui namanya, menyinari ruangan masjid sekelilingnya, walaupun tidak seterang lampu “deplak” yang biasa di pakai oleh santri pada zamannya. Konon cahaya itu bisa menembus ke atap langit masjid dan tembus ke angkasa.

Menurut cerita tutur, apabila dari jasad seorang anak keluar cahaya atau (nur) dan cahaya itu menyinari ke atas dan sekelilingnya, maka tandanya anak tersebut kelak akan menjadi orang besar yang sanggup membina (menyinari) kepada masyarakat banyak. Dengan firasat kedalamannya yang mendorong kyai Asy’ari ingin mengetahui dari mana sumber cahaya yang disaksikan sendiri itu. Suasana menjadi sunyi sepi dan gelap, tidak ada satu lampu yang menyala, sehingga untuk mengetahui anak yang bercahaya mengalami kesulitan. Maka di sobeklah kain sarung yang di pakai anak tersebut dengan harapan semoga besok pagi dapat diketahui siapa anak yang bermandikan cahaya itu.

Pagi hari pada saat ramainya orang sholat berjamaah dan para santri siap akan pergi mengaji, terdengarlah suara isak tangis yang memilukan dari seorang anak yatim yang bapak kandungnya telah lama meninggal, yaitu kyai Ahmad Rifa’i namanya, menangis karena sobek kain sarungnya. Suara tangisnya makin lama semakin keras, sehingga sempat didengar oleh kyai Asy’ari dirumahnya. Kemudian dipanggilah Ahmad Rifa’i oleh kakak iparnya untuk menghadap beliau, setelah itu Ahmad Rifa’i mendapat ganti kain sarung yang sobek dengan yang baru. Betapa gembiranya hati Ahmad Rifa’i, sebagaimana gembiranya kyai Asy’ari setelah mengetahui bahwa anak yang bermandikan cahaya di masjid semalam adalah adik iparnya sendiri, yang insya Allah kelak akan menjadi ulama besar kenamaan.

Makam KH. Asy’ari di Jabal Nur Kaliwungu – Kendal

Selama hidupnya kyai Asy’ari lebih banyak menghabiskan waktunya untuk mengabdi dan berjuang untuk menegakkan tali agama Allah swt. (agama Islam) yaitu, dengan mendidik, mengajar dan membina para santri di pondok pesantrennya maupun mengabdi kepada masyarakat Kaliwungu melalui ketrampilan dan ilmu Agama Islam yang ia miliki, karena kondisi masyarakat Kaliwungu pada saat itu masih sangat primitif dan awam terhadap masalah agama dan jauh dari nilai-nilai agama Islam.

Menurut sejarah sebelum kyai Asy’ari menikah dengan nyai Radjiyah ia juga mempunyai istri yang berasal dari Aceh yang bernama Nyai Guru Manila dan mempunyai enam anak putra dan putri yaitu: Kyai Ya’kub, Muhammad, Rodhiyah, Afiyah, Ibrahim Umi Aceh dan Umar Umi Aceh.

Dengan dukungan para istri, adik iparnya yaitu kyai Ahmad Rifa’i dan anak-anaknya, kyai Asy’ari terus mengembangkan dakwahnya hingga akhir hayatnya. Kapan kyai Asy’ari wafat dan pada umur berapa kyai Asy’ari wafat belum ditemukan catatannya, tetapi dapat di perkirakan bahwa setelah kyai Ahmad Rifa’i wafat pada tahun (1876) tidak lama kemudian kyai Asy’ari wafat.

Makam kyai Asy’ari atau kyai Guru di Jabal, sebelah selatan desa Protomulyo atau protowetan Kaliwungu, ditempatkan pada sebuah bangunan rumah yang besar dan indah serta dilengkapi dengan air untuk bisa dipergunakan berwudhu. Menandakan bahwa Kyai Asy’ari adalah seorang tokoh ulama yang sangat dihormati.

Jasa dan Perjuangan Kiai Guru

Peranan Kyai Asy’ari (Kyai Guru) dalam berdakwah di Kecamatan Kaliwungu mencakup tiga hal yaitu:

Kyai Asy’ari (Kyai Guru) mengenalkan budaya Mataram Islam di KaliwunguKyai Asy’ari (Kyai Guru) mengenalkan ajaran Islam di KaliwunguKyai Asy’ari (Kyai Guru) mendirikan pondok pesantren di Kaliwungu

Mengenalkan Budaya Mataram Islam di Kaliwungu

Kaliwungu dalam perspektif kebesaran Mataram pada abad XVII, merupakan suatu kota di pesisir utara pulau Jawa, merupakan titik penting dalam peta sejarah Mataram awal abad XVII. Hal ini terbukti dengan adanya pemerintahan kadipaten yang masih Nampak bekas gapuranya. Pagelaran kraton atau kabupaten biasanya menghadap ke laut atau membelakangi pegunungan atau gunung. Di daerah jawa bagian selatan, pendapa kabupaten biasanya menghadap ke selatan (laut kidul), dan membelakangi pegunungan Kendeng. Di jawa utara atau pesisir utara, kabupaten menghadap ke utara dan membelakangi gunung, dan ada pula yang menghadap ke selatan membelakangi gunung Muria, atau seperti di Jepara menghadap ke barat (laut) dan membelakangi gunung Muria juga.

Pusat pemerintahan terletak didaerah yang disebut Krajan  (kerajaan). Disebelah barat disebut Krajankulon, dan disebelah timurnya disebut Krajanwetan. Rumah patih disebut Ronggo, disebut Kranggan, Di sebelah selatan pemerintahan Kadipaten Kaliwungu terbujur perbukitan yang di kenal dengan Bukit Kuntul Melayang, membujur dari desa Protowetan ke selatan sampai Penjor dan berbatasan dengan desa Nolokerto. Bukit tersebut mengesankan bentuk burung kuntul yang sedang melayang. Diatas bukit kuntul melayang inilah beristirahat dengan abadi para leluhur yang pada zamannya menjadi tokoh sejarah dan sampai sekarang masih dimulyakan dan di hormati masyarakat sekitarnya.

Agama Islam yang berkembang di tanah Jawa tidak bisa dilepaskan dari jasa dan usaha para Walisongo. Pengaruh yang di bawa Walisongo dalam mengembangkan Islam di tanah Jawa sangat besar sekali. Masyarakat Jawa yang pada mulanya penganut aliran animisme dan dinamisme berubah menjadi masyarakat mayoritas muslim. Perjuangan yang di lakukan tidak mudah dan tidak singkat. Kepercayaan masyarakat pada aliran animisme dan dinamisme sudah sangat mengakar kuat. Oleh sebab itu diperlukan langkah yang revolutif. Perubahan yang radikal tidak akan menghasilkan simpati masyarakat, tetapi hanya akan menambah ketidakpercayaan masyarakat terhadap ajaran Islam.

Penyebaran agama Islam oleh Walisongo bahkan sampai ke pelosok-pelosok desa. Setiap Wali melakukan dakwah dengan cara dan pendekatan yang berbeda-beda sesuai dengan karakteristik masyarakat di daerahnya. Ajaran Islam pun tersebar sampai didaerah Kaliwungu Kendal dan sekitarnya, hanya saja belum dipahami secara baik oleh sebagian besar masyarakat, jadi hanya sebatas tahu dan sepenggal-penggal.

Kaliwungu sebagai bagian dari Kendal, Jawa tengah, juga mengalami perubahan kultural dengan datangnya ajaran Islam, seperti telah dipaparkan sebelumnya bahwa masyarakat Kaliwungu adalah masyarakat yang masih awam terhadap ajaran Islam, mereka mengenal Islam hanya sebagai suatu agama. Meskipun mereka mengaku beragama Islam, tetapi tindakan yang dilakukannya jauh dari nilai-nilai ajaran Islam. Masyarakat Kaliwungu pada saat itu mempunyai kebiasaan memuja arwah para leluhur dan mendewakan benda-benda yang dianggap keramat seperti keris atau pusaka, cincin atau jimat, pohon besar, patung atau batu yang semuanya itu dianggap dapat memberikan kekuatan, keselamatan dan dapat memberikan sesuatu yang diminta

Kebiasaan-kebiasaan seperti itu sudah menjadi budaya yang berkembang dalam masyarakat Kaliwungu. Kondisi yang parah dan terpuruk jauh dari ajaran Islam yang benar, menimbulkan kekhawatiran tersendiri bagi para petinggi pemerintahan kadipaten Kaliwungu, mulai berfikir mencari jalan agar masyarakatnya tidak semakin terlena dan terjerumus ke dalam perbuatan musyrik atau menyekutukan Allah.

Untuk mengatasi hal tersebut maka pihak pemerintah kadipaten Kaliwungu mencoba menyadarkan masyarakatnya agar segera menghentikan perbuatan musyrik itu dan lebih mendekatkan diri kepada Allah. Hanya saja, pihak pemerintah sadar dalam hal ini perubahan secara radikal tidak akan menghasilkan sesuatu yang maksimal. Oleh sebab itu, proses penyadaran masyarakat harus dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan.

Langkah pertama yang diambil oleh para petinggi pemerintah Kaliwungu adalah mencari seseorang yang memahami dengan benar tentang ajaran Islam dan mengajaknya untuk menyerukan dakwahnya di Kaliwungu, usaha pemerintah kadipaten belum juga membuahkan hasil karena belum juga ditemukan sosok ulama atau kyai yang bersedia mengabdikan dirinya untuk menyerukan dakwah dan memajukan umat Islam di Kaliwungu, akhirnya berita itu di dengar oleh pemerintah kerajaan Mataram Islam, karena pada waktu itu Kota Kaliwungu merupakan titik penting dalam peta sejarah Mataram awal abad ke XVII, untuk mengatasi kondisi yang parah dan terpuruk jauh dari ajaran Islam yang benar, maka Kyai Asy’ari di berikan amanat dan di utus oleh susuhunan Mataram Islam untuk berdakwah, mengajarkan dan menyebarkan ajaran agama Islam di Kaliwungu.

Kyai Asy’ari merupakan ulama dan kyai yang memiliki ilmu tinggi, rajin dan tekun juga memiliki keikhlasan yang sangat luar biasa yang siap mengabdikan dirinya untuk menegakkan agama Allah yaitu aga Islam di Kaliwungu nantinya

Masa-masa pertama menetap di kampung Pesantren desa Krajankulon Kaliwungu sempat membuat kyai Asy’ari terkejut, lingkungan yang sangat berbeda dengan lingkungan sebelumnya selama ini membuatnya harus beradaptasi terlebih dahulu. Kyai Asy’ari yang sehari-harinya bergelut dengan dunia pesantren, harus belajar memahami ritme kehidupan masyarakat Kaliwungu. Setelah melakukan observasi tentang masyarakat Kaliwungu dengan segala aktivitas dan budayanya, maka kyai Asy’ari menemukan pendekatan yang paling efektif dalam mengembangkan dakwahnya di Kaliwungu. Pendekatan yang dilakukan adalah dengan mengenalkan dan mengajarkan tentang nilai-nilai ajaran Islam yang ada pada kebudayaan Mataram Islam seperti : wayang kulit, terbangan, atau kentrungan, mauludan, rajaban, bubur suran, rebo pungkasan, nyadran, nyekar, slametan, dzikir atau tahlil kepada masyarakat Kaliwungu. Berikut sekilas tentang cara pendekatan Kyai Asy’ari dalam mengenalkan budaya Jawa yang dikemas dalam balutan Islam :

Wayang Kulit

Pada zaman Sultan Agung, wayang kulit berbentuk pipih menyerupai bentuk bayangan (gestylered) seperti apa yang kita lihat sekarang. Wayang kulit purwa disempurnakan bentuknya. Cara pembuatannya, warnanya, alat kelir, deblog,Blencongdisempurnakan dan disesuaikan dengan zaman baru agar tidak bertentangan dengan agama (dibuat sejak) 1518 = 1440 Jawa (Sirnasuci caturing Dewa) dan menambah jumlah wayang semalam suntuk gamelan slendro (sejak ±1521) dengan pimpinan yang disebut kyai Dalang. Membuat perampokan dan gunungan (1443 Jawa, geni dadi surining jagad)

Di Kaliwungu, pada tahun sekitar 1965, masih ada dalang yang dikenal dengan nama Ki Dalang Riyanto, Ki Dalang Denu Purwocarito, Ki Dalang Akhmat. Bahkan pernah dikenal ada dalang Bocah. Pertunjukan wayang kulit dilaksanakan pada zamannya lurah Sahri (al-marhum) setiap bulan Apit (Legeno) dalam rangka “merti deso”. Bagi masyarakat juga ada yang melaksanakan “ruwatan” dengan menyelenggarakan wayang kulit dengan ceritera Murwokolo

TerbanganKentrungan,

            Dikenal sejak zaman Sultan Agung, terbukti dalam surat centini yang menceriterakan pengembaraan She Among Rogo melihat kesenian kentrung yang biasanya diselenggarakan semalam suntuk menceriterakan tokoh-tokoh legendaris nenek moyangnya, maupun kisah para nabi seperti yang termaktub dalam buku Serat Anbia tidak jarang ceritera menak, seperti Umarmaya Umarmadi menjadi kegemaran masyarakat. Sekitar tahun 1950-1960, dikenal kentrung Siman, mengambil nama Pak Siman, Seniman Kentrung tunanetra tapi hafal cerita-cerita Babad. Terbangansendiri, dilakukan oleh 3, 5, 7, 9 atau 11 orang, dengan alat utama terbang. Syair-syair yang dibacakan disebutMarkhahanan mengambil dari kitab BurdahNashor,Dzibaatau Saraful Anam untuk menghormati kelahiran Nabi Muhammad SAW di bulan Maulud.

Mauludan

Tradisi mengagungkan Nabi Muhammad SAW adalah bernilai simbolis agar dalam setiap kehidupan muslim mewarisi akhlak yang baik seperti Nabi Muhammad. Oleh sebab itu, pada bulan Maulud (Rabiul Awal), untuk mengenang kelahiran Nabi Muhammad, diselenggarakan pembacaan syair Mauludan di langgar-langgar maupun di rumah penduduk. Bagi anak-anak peristiwa yang paling menyenangkan adalah kegiatan yang menyertai Mauludan, yaitu Ketuwin. Peristiwanya adalah, anak-anak keluar rumah membawa makanan di atas piring kecil dari tanah, yang diberi lilin yang memancarkan cahaya. Secara bergantian makanan saling ditukar dengan tetangga. Makna simbolik yang menyertai peristiwa ini adalah: Telah Datang Cahaya (Nur) Muhammad yang memberi petunjuk (penerangan) kepada umat manusia.

Rajaban

Pada bulan Rajab (Rejeb), tepatnya 27 Rejeb tahun Hijriah. Diselenggarakan perayaan membaca riwayat Mi’raj Nabi Muhammad SAW sejak hati Nabi Muhammad disucikan oleh Malaikat Jibril sampai perjalanan melihat Surga dan Neraka. Serta ditetapkannya shalat lima waktu.

Bubur Suran

Sultan Agung telah mengganti tahun Saka dengan tahun Jawa, dimana 1 Suro adalah merupakan tahun baru. M dirayakan dengan bubur Suro, yang khas, yakni bubur nasi dicampur tahu, tempe dan daging kerbau. Menurut hikayat, konon Nabi Nuh telah selamat sampai ke darat setelah dilanda banjir tepat pada tanggal 1 Syuro. Sebagai rasa syukur kepada Tuhan maka dibuatkan selamatan ataubancaan dengan memasak sisa makanan yang ada. Hasil makanan tersebut menjadi Bubur Suran.

Rebo Pungkasan

Yaitu hari Rebo terakhir bulan Sapar, menjadi tradisi menjalankan puasa Sunnah dan beribadah. Hal ini dikarenakan setiap tahun hanya ketemu satu hariRebo Pungkasan bulan Sapar. Arti simboliknya adalah agar manusia diingatkan akan arti pentingnya sang waktu, seperti yang tercantum dalam surat Wal Asri.

Nyadran

Upacara nyadran, menurut ahli antropolog Koentjaraningrat, adalah diselenggarakan untuk merawat makam para Cikal Bakal (leluhur) atau nenek moyang pendiri komunitas. Pelaksanaannya dengan membawa makanan (nasi) dan ikan ayam (panggang), ke komplek makam leluhur. Diawali dengan pembacaan Tahlil, dan doa bagi yang telah dikubur, dan diakhiri dengan makan bersama. Dengan demikian merupakan alasan untuk mengadakan pesta dan perayaan yang mengintensifkan solidaritas antara para anggota kelompok kerabat.

Nyekar

Nyekar atau menabur bunga di kuburan para leluhur pada hari raya Idul Fitri, bermakna simbolik, harumkanlah nama leluhur kita, dengan merefleksikan pada diri kita sendiri untuk bertindak dan bercita-cita menjadi manusia utama dalam kehidupan kita.

Slametan

Adalah bentuk doa yang diekspresikan melalui seni makanan. Makna simbolisnya bahwa adanya tumpeng (nasi yang meruncing ke atas seperti gunung), dan dihiasi dengan lauk-pauk dari ayam, telur, tempe, tahu, sayur-mayur (janganan) melambangkan bahwa makanan sebagai sumber kehidupan berasal dari Yang Esa meliputi semesta. Oleh sebab itu disertai doa oleh modin agar manusia selamat di dalam kehidupan dan disertai dengan kata: Amin!, kabulkanlah permintaan kami.

Dzikir atau Tahlil

Inti dari agama Islam adalah tauhid. Tuhan Yang Maha Pencipta adalah Esa. Oleh sebab itu di setiap kesempatan, meng-Esakan Tuhan adalah dianjurkan. Dengan berdzikir dan tahlil, manusia diingatkan kepada kalimat: La Ilaha IllAllah. Tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammadur Rasulullah: Muhammad utusan Allah. Oleh sebab itu penyelenggaraan dzikir bisa di rumah, di mesjid, di tempat “Selamatan”, di tempat kematian, di kuburan dan di mana saja yang memungkinkan khusuk untuk berdzikir. Boleh sendirian dan boleh bersama-sama. Kyai Asy’ari yang berasal dari tokoh ulama Mataram Islam, tentunya banyak mewarisi kebudayaan yang ada pada Mataram Islam tersebut.

Setelah beberapa saat berjalan, masyarakat semakin banyak yang mengetahui dan memahami yang akhirnya tertarik dengan tradisi atau budaya Mataram Islam tersebut, yang di kenalkan oleh kyai Asy’ari kepada mereka, maka langkah selanjutnya kyai Asy’ari mulai mengadakan tradisi atau budaya Mataram Islam di Kaliwungu yang kemudian diselingi dengan pengajian atau ceramah.

Dalam perkembangan sosial masyarakat, aspek kebudayaan tidak akan terlepas dari kehidupan manusia. Tindakan kyai Asy’ari dalam menyebarkan ajaran-ajaran Islam kepada maddi Kaliwungu dengan cara mengenalkan budaya atau tradisi Mataram Islam adalah langkah yang tepat, karena masyarakat Kaliwungu tidak bisa terlepas dengan kebudayaan. Dengan mengenalkan nilai-nilai ajaran Islam dalam kebudayaan Mataram Islam seperti wayang kulit, terbangan atau kentrungan, mauludan, rajaban, bubur suran, rebo pungkasan, nyadran, nyekar, slametan,dzikiratau tahlil maka dengan sendirinya tradisi atau kebiasaan masyarakat Kaliwungu yang suka memuja para arwah leluhur dan mendewakan benda-benda yang dianggap keramat seperti keris atau pusaka, cincin atau jimat, pohon besar, patung atau batu, yang semuanya itu dianggap dapat memberikan kekuatan, keselamatan, dan sesuatu yang diminta. Kyai Asy’ari berharap dengan dakwahnya masyarakat Kaliwungu sedikit demi sedikit bahkan meninggalkan kebudayaan mereka dengan mengenalkan kebudayaanMataram Islam tersebut. Karena kebudayaan Mataram Islam lebih mengajarkan kepada nilai-nilai ajaran Islam. Sedangkan kebiasaan masyarakat Kaliwungu sebelum itu lebih menjurus kepada perbuatan musyrik (menyekutukan Allah).

Penyajian pesan dakwah yang disampaikan oleh Kyai Asy’ari lewat kebudayaan Mataram Islam tersebut sangat praktis dan mudah untuk dilakukan pada setiap waktu tertentu. Misalnya dapat kita lihat pada tradisi mauludan, yaitu tradisi yang diadakan pada bulan maulud (Rabiul awal), untuk mengenang kelahiran nabi Muhammad SAW, diselenggarakan pembacaan syair mauludan di musholla-musholla maupun di rumah penduduk.

Bagi anak-anak peristiwa yang paling menyenangkan adalah kegiatan yang menyertaimauludan, yaitu ketuwen. Peristiwanya adalah anak-anak keluar rumah membawa makanan diatas piring kecil dari tanah, yang di beri lilin yang memancarkan cahaya. Secara bergantian makanan saling di tukar dengan tetangga. Makna simbolik yang menyertai peristiwa ini adalah, telah datang cahaya (nur) Muhammad SAW yang memberi petunjuk atau (penerangan) kepada umat manusia. Tradisi mengagungkan nabi Muhammad SAW adalah bernilai simbolis agar dalam setiap kehidupan muslim mewarisi akhlak yang baik seperti nabi Muhammad SAW. Misalnya lagi tradisirabo pungkasan, yaitu tradisi yang diadakan pada hari raboterakhir bulan sapar, menjadi tradisi menjalankan puasa sunnah dan beribadah. Hal ini dikarenakan setiap tahun hanya ketemu satu harirebo pungkasan bulan sapar.

Mendirikan Pesantren dan Mencetak Ulama – Ulama Besar

Kyai Asy’ari mempunyai banyak santri dan hampir semuanya menjadi ulama besar. Diantara santri yang menjadi ulama besar adalah sebagai berikut:

1. Kyai Ahmad Rifa’i dari Tempuran, Kendal (seorang ulama kharismatik tokoh pendiri jamaah Rifa’iyyah dan Pahlawan Nasional)

2. Kyai Musa dari Kaliwungu, Kendal (dicatat pernah menjalani baiat thariqat as-syathariyyah pada Kyai Asy’ari selaku Khalifah ahli thariqat as-syathariyyah)

3. Kyai Sholeh Darat dari Semarang (mempunyai murid KH. Hasyim Asy’ari Pendiri NU, KH. Ahmad Dahlan Pendiri Muhammadiyyah dan RA. Kartini)

4. Kyai Bulkin dari Mangkang, Semarang

5. Kyai Anwaruddin dari Bendokerep,  Cirebon

Kemudian para santri atau ulama tersebut banyak yang mendirikan pondok pesantren atau madrasah bahkan tempat ibadah di berbagai daerah atau tempat Kyai tersebut berasal dan bertempat tinggal.

Peran Kyai Asy’ari dalam berdakwah di Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Kendal sangat besar dan sungguh luar biasa, khususnya di lingkungan pondok pesantren. Hal ini dapat kita buktikan dengan berdirinya pondok pesantren yang pertama kali di Kaliwungu oleh Kyai Asy’ari yaitu yang bernama Pondok Pesantren Salaf APIP dan Musholla Al-Asy’ari tepatnya di Kampung Pesantren desa Krajankulon, sekitar tahun 1781-an. Sejak itulah kemudian sampai sekarang ini berdiri pula banyak pondok pesantren salaf dan madrasah yang berbasis NU di Kaliwungu Kendal, yang didirikan oleh para kyai dan ulama besar yang ada di Kaliwungu

Banyaknya pondok pesantren yang berdiri di desa Krajan Kulon, sehingga desa ini menjadi pusatnya pembelajaran ilmu agama di Kaliwungu. Istilah Kaliwungu sebagai kota santri mungkin berasal dari desa Krajankulon, karena desa ini berada di tengah / pusat kota Kaliwungu. Jika datang ke desa Krajankulon kita akan melihat para santri hilir mudik, terutama di pagi dan sore hari. Selain santri yang menetap di pondok pesantren, ada juga banyak santri yang nglaju, datang ke pondok atau ke rumah guru ngajinya hanya pada jam mengaji saja, sehari-harinya tetap berada di rumah. Santri nglajuini biasanya diikuti oleh santri yang bertempat tinggal di Kaliwungu dan sekitarnya.

Santri yang mengaji tidak hanya usia aktif belajar saja, tetapi bagi kaum ibu dan bapak juga masih aktif semangat untuk mengaji. Pengajian untuk kalangan ibu dan bapak misalnya yang diadakan oleh KH. Nidhomudin Asror Kampung Kauman. Pengajian diikuti oleh kalangan ibu dan bapak tiap pagi setelah sholat subuh, yang dimulai dengan pembacaan Al-Qur’an dan dilanjutkan dengan pengajian ceramah. Masyarakat yang mengikuti pengajian ini biasanya hanya mendengarkan saja yang biasa dikenal dengan jiping (ngaji kuping), meskipun ada juga yang menyimak bacaan Al-Qur’an dengan membawa Al-Qur’an sendiri dan kemudian mencatat pelajaran yang penting.

Selain pengajaran yang diadakan oleh KH. Nidhomudin Asror, ada juga pengajian setiap hari selasa dan sabtu di Pondok Bani Umar Kampung Patekan. Masyarakat yang mengikuti pengajian tersebut tidak hanya masyarakat lokal saja, yaitu masyarakat Kaliwungu itu sendiri akan tetapi juga dari luar Kaliwungu.

Pesantren dilihat dari aspek kesejarahannya, bisa jadi sebagai penelusuran sistem pendidikan pra Islam di negeri ini, yang oleh sementara kalangan diidentifikasikan dengan nama sistem Mandala. Istilah pesantren untuk daerah Kaliwungu saat ini, umumnya diacukan kepada tempat pemukiman atau asrama para santri yang sebagai tempat belajar mengaji dan mengenal hidup yang Islami. Pesantren-pesantren ini memiliki banyak arti dan fungsi, sebagai sumber penting bagi pendidikan humaniora di pedesaan, karena ia sebagai pusat kreativitas masyarakat. Dibanding dengan lembaga pendidikan Islam yang lain, pesantren memiliki kelebihan mental keagamaannya. Salah satu alasan kelebihannya itu adalah cara memandang santri terhadap kehidupan.

Lahu Al-Faatihah

Sumber : Saifurroyya, library.walisongo.ac.id

https://fahmialinh.wordpress.com/2015/07/09/kh-asyari-kyai-guru-kaliwungu/