Rabu, 26 Oktober 2016

Riwayat KH Syafii

Kisah KH. Syafi’i, Ulama dan Pahlawan Pekalongan

KH. Syafi’i atau biasa dikenal dengan Kyai Syafi’i merupakan ulama’ besar dan menjadi panutan di wilayah Pekalongan. Beliau adalah putra kedua dari pasangan KH. Abdul Majid bin Katijoyo dan Ibu Ruqoyyah. Beliau lahir pada tahun 1908 M di Dukuh Kemisan yang sekarang termasuk wilayah Kradenan. Diantara saudara-saudara beliau yaitu H. Mawardi, H. Sya’ban, H. Sausari, dan H. Khulari. Kyai Syafi’i mempunyai dua orang istri yaitu Ibu Shofiyah dan Ibu Munipah.

Biografi KH. Syafi’i bin KH. Abdul Majid Pringlangu Pekalongan.

Awalnya Kyai Syafi’i mengaji kepada ayahnya sendiri yaitu KH. Abdul Majid (pendiri Masjid Jami Pringlangu, sekarang dikenal sebagai Masjid Jami’ Asy-Syafi’i). Setelah itu beliau nyantri di Pondok Pesantren Kempek Cirebon. Beliau kemudian dibawa ke Makkah oleh saudara dari H. Nahrowi, Kyai Syafi’i sendiri sejak kecil sudah diangkat anak oleh H. Nahrowi. Tak cukup sampai disitu, Kyai Syafi’i juga melanjutkan nyantri ke Pondok Kaliwungu dan Pondok Tebuireng. Setelah pulang ke Pekalongan Kyai Syafi’i mengajar Tafsir Al-Qur’an di musholla di samping rumahnya serta mengajar juga di Masjid Pringlangu. Ketekunan dan konsisten dalam mengajar agama membuat Kyai Syafi’i kemudian terkenal. Santrinya pun sangat banyak. Pada masa itu, tentara Jepang masih menduduki wilayah Pekalongan. Salah seorang santri Kyai Syafi’i yang bernama Anwar warga Kandang Panjang mengatakan, pada masa itu semua pemuda giat mencari ilmu agama. Gemblengan Kyai Syafi’i begitu hebat sehingga manfaatnya masih bisa dirasakan hingga hari tuanya.

Minggu, 20 Maret 2016

Shalat hadiah

SHALAT HADIAH

PENDAHULUAN

Sholat hadiah ini adalah sholat untuk menyenangkan mayyit..

sholat ini bukan hanya ditujukan kepada seseorang yg baru meninggal, tapi juga bisa ditujukan kepada orang yg telah lama meninggal..

RUMUSAN MASALAH

Pengertian shalat hadiah

Status shalat hadiah dalam islam

Dalil dalil tentang shalat hadiah

Pendapat ulama tentang shalat hadiah

PEMBAHASAN

Kedengarannya aneh, kok ada "shalat hadiah". Yang ada, ya shalat lima waktu, atau shalat-shalat sunnah seperti Dhuha, Tasbih, Witir, Hajat, Tahajjud, dan Istikharah. Istilah "shalat hadiah" ini dicari di kitab manapun tidak akan ditemui. Jadi, jika orang berniat : Ushally sunnatan hadiyatan, ini jelas tidak mengena sasaran dan tidak diperkenankan. Sebab yang dimaksud adalah shalat yang pahalanya dihadiahkan kepada si mayit yang telah meninggal. Niatnya adalah melakukan shalat sunnah muthlak, yakni: Ushally sunnatan rak'ataini lillahi ta 'ala.

Ada kebiasaan di sebuah kampung tertentu, bila acara pemakaman telah usai, di samping ada pengumuman Tahlil untuk setiap malamnya, ada juga pengumuman khusus bagi keluarga, yakni rembukan keluarga untuk bersama-sama mengerjakan shalat sunnah muthlak yang pahalanya dihadiahkan kepada si mayit yang telah meninggal. Jumlah rakaatnya tidak dibatasi. Yang mampu 2 rakaat silakan 2 rakaat dan yang mampu 4 rakaat silakan 4. Hal ini berdasar kepada:

ولا تصح الصلوات بتلك النيات التي استحسنها الصوفية من غير أن يرد لها اصل فى السنة . نعم ان اطلق الصلاة ثم دعا بعدها بما يتضمن نحو استعاذة او استخارة مطلقة لم يكن بذالك بأس. اما حديث صلاة الهدية الذي ذكر فى الميهي فلا يعرف صحة رواية

Artinya

Tidak sah shalat dengan niat seperti yang dianggap baik kalangan sufi tanpa dasar hadits sama sekali. Jika melakukan shalat muthlak dan berdoa sesudahnya dengan sesuatu yang mengandung semisal isti'adzah atau istikharah maka shalat tersebut sah-sah saja.  Mengenai hadits tetang shalat hadiah seperti termaktub di dalam kitab al Mauhibah, hal itu tidak diketahui kesahihan perawinya. (Tuhfat al-Muhtaj, Juz II, Bab Shalat Isyraq)

DALIL yang berkaitan dengan SHALAT HADIAH

روي عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال لا يأتى على الميت أشد من الليلة الأولى, فارحموا بالصدقة من يموت. فمن لم يجد فليصل ركعتين يقرأ فيهما: أي في كل ركعة منهما فاتحة الكتاب مرة, وآية الكرسى مرة, وألهاكم التكاثر مرة, وقل هو الله أحد عشر مرات, ويقول بعد السلام: اللهم إني صليت هذه الصلاة وتعلم ما أريد, اللهم ابعث ثوابها إلى قبر فلان بن فلان فيبعث الله من ساعته إلى قبره ألف ملك مع كل ملك نور وهدية يؤنسونه إلى يوم ينفخ فى الصور.

Diriwayatkan dari Rasulullah, Ia bersabda, “Tiada beban siksa yang lebih keras dari malam pertama kematiannya. Karenanya, kasihanilah mayit itu dengan bersedekah. Siapa yang tidak mampu bersedekah, maka hendaklah sembahyang dua raka‘at. Di setiap raka‘at, ia membaca surat Alfatihah 1 kali, Ayat Kursi 1 kali, surat Attaktsur 1 kali, dan surat Al-ikhlash 11 kali. Setelah salam, ia berdoa, ‘Allahumma inni shallaitu hadzihis shalata wa ta‘lamu ma urid. Allahummab ‘ats tsawabaha ila qabri fulan ibni fulan (sebut nama mayit yang kita maksud),’ Tuhanku, aku telah lakukan sembahyang ini. Kau pun mengerti maksudku. Tuhanku, sampaikanlah pahala sembahyangku ini ke kubur (sebut nama mayit yang dimaksud), niscaya Allah sejak saat itu mengirim 1000 malaikat. Tiap malaikat membawakan cahaya dan hadiah yang kan menghibur mayit sampai hari Kiamat tiba.” [Syekh Nawawi Albantani, Nihayatuz Zain,

Hadiah semacam ini dalam tradisi Islam Nusantara dikenal dengan berbagai sebutan sesuai kaedah local masing-masing. Ada yang menyebutnya ‘tahlilan’, ada yang menyebutnya arwahan, ada yang menyebut samadiahan dan lain sebagainya. Semua itu merupakan perilaku terpuji yang telah me-tradisi dalam wacana Islam Nusantara. Begitu pula dengan shalat hadiah dua rakaat untuk mayit, yang kesunnahannya dilakukan saat malam pertama mayit meninggal. Walaupun taka apa pula jika dilakukan setelah jauh-jauh hari sepeninggal si mayit.

Pahala dari berbagai hadiah itu juga mengalir bagi kita yang masih hidup dan melakukannya, seperti yang diterangkan dalam sebuah hadits

أن فاعل ذلك له ثواب جسيم, منه أنه لا يخرج من الدنيا حتى يرى مكانه فى الجنة.

“Siapa saja yang melakukan sedekah atau sembahyang itu, akan mendapat pahala yang besar. Di antaranya, ia takkan meninggalkan dunia sampai melihat tempatnya di surga kelak.”
Sejumlah ulama menganjurkan akan baiknya sembahyang 2 raka‘at ini. Ringan dan mudah dilakukan, “Beruntunglah orang yang melakukan sembahyang ini setiap malam dan menghadiahkan pahalanya untuk mayit kaum muslimin.”

Mengenai shalat hadiah kepada orang yang baru meninggal dunia atau yang sudah lama meninggal dunia, dapat dilakukan setiap saat bagi sanak keluarga atau sahabat almarhum / almarhumah. Amalan ini telah dilakukan oleh para shalaf dan khalaf dari kalangan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Oleh karenanya, maka bagi yang mengamalkannya disyaratkan memenuhi salah satu syarat yaitu bertaqlid kepada Imam Syafi’i.

Diriwayatkan dari Nabi SAW, bahwasanya Beliau bersabda : “Tiada jua datang atas mayit yang terlebih keras pada malam yang pertama, maka kasihanilah kamu akan dia dengan shadaqah. Maka barang siapa tidak mampu olehnya akan shadaqah, maka hendaklah ia sembahyang dua raka’at, pada tiap-tiap raka’at membaca : Surat Al-Fatihah (1x),  Ayat Qursi (1x), Surat Al-Hakumuttakattakasur (1x),  dan Surat Al-Ikhlas (10x)”.

Untuk dalil yang mengulas khusus tentang shalat hadiah ini memang tidak pernah diriwayatkan oleh nabi ataupun sahabat, kalaupun ada itu adalah dalil tentang shalat jenazah.

Tapi, apabila dikaitkannya shalat jenazah ini dengan ibadah yang lain akan erat hubungannya dengan ibadah haji badal, yang mana haji badal ini ada dasar masyruiyahnya.

Tetapi untuk shalat kami belum menemukan dalil yang secara langsung menguraikan tentang shalat ini. baik untuk orang yang masih hidup atau pun untuk mereke yang sudah wafat. Baik hubungannya antara orang tua dan anak, atau pun tidak ada hubungannya.

Namun bila anda berniat ingin membahagiakan orang tua yang sudah di alam barzakh, anda masih bisa melakukan banyak hal. Dan tentunya pahalanya akan bisa disampaikan kepada almarhum.

Misalnya, anda berdoa memohon kepada Allah SWT agar almarhum di alam kuburnya diberikan kelapangan, cahaya, kenikmatan dan kebahagiaan. Doa yang anda panjatkan ini insya Allah akan dikabulkan, asalkan memenuhi semua syarat dan aturan dalam berdoa. Esensinya bisa dalam bentuk memintakan ampunan kepada Allah SWT.

KESIMPULAN

SHALAT dalam bentuk apapun juga namanya….adalah…….. DO’A yaitu Permohonan kepada Allah dengan mengingat Allah swt., baik untuk diri sendiri maupun untuk orang lain siapapun dia, apakah yang masih hidup ataupun mereka yg sudah tiada. Ternyata setiap kita shalat, maka saat duduk tasyahud akhir, WAJIB membaca do’a TAHYAT dimana shalat akan menjadi batal apabila duduk dalam duduk tasyahud akhir tidak membaca Doa Tahyat, yg didalamnya ada do’a selamat bagi para SHOLIHIN dan ” wa ala ‘ali ( bg Keluarga Rasulullah saw. dan Keluarganya Nabi Ibrahim as. ) “. Itu berarti bahwa RAHMAT ALLAH TIDAK PERNAH ADA PUTUSNYA BAGI SELURUH MAKHLUQ MANUSIA CIPTAAN ALLAH, baik bagi yang masih hidup ataupun yang sudah dialam barzahk. Memohon apapun juga kepada Allah lebih aula jika dilakukan dalam shalat, karena didalam shalat ada SUJUD dimana Rasulullah saw. saat/momentum Hamba yg paling terdekat dengan Khaliknya untuk berdo’a.

SHALAT HADIAH adalah ” shalat untuk mendo’akan mereka yang sudah meninggal agar dapat diringankan / dibebaskan dari azab kubur “. ‘Ulama menamakannya shalat hadiah karena dalam penjelasan tentang shalat hadiah ini dijabarkan bahwa : ” Allah akan mengirimkan 1.000 Malaikat ( ke liang lahat alam barzahknya si mayit ) membawa NUR dan HADIAH kepada si Mayit yang amat sangat berguna bagi mayit hingga ditiupnya sangkakala “.

Bagi yang tidak yakin dan tidak mau mengerjakan shalat hadiah ini, ya sudah saja, jangan repot2 melarang

http://syariah2014.blogspot.co.id/2015/01/shalat-hadiah.html?m=1

Senin, 14 Maret 2016

Wayang sebagai media da'wah

Empat Sekawan Semar Gareng Petruk Bagong sebagai Metode Dakwah Islam ala Walisongo

Sejak Islam datang dan disebarkan, wayang kulit Purwa (awal) telah mengalami perubahan. Budaya keislaman dalam wayang kulit purwa tak hanya dijumpai pada wujudnya saja, tetapi juga pada istilah-istilah dalam bahasa padalangan, bahasa wayang, nama tokoh wayang, dan lakon (cerita) yang dipergelarkan.

Penggubahan wayang yang dipelopori oleh Sunan Kalijaga sendiri, peristiwa itu terjadi kira-kira tahun 1443 M, dan sekaligus para walisongo menciptakan gamelannya.

Untuk memainkan wayang dan gamelannya itu para walisongo mengarang cerita yang bernafaskan nilai nilai keislaman. Adapun pelaku cerita dalam pewayangan yang terkenal hingga saat ini adalah cerita tentang “Punokawan Pandawa” (Empat tokoh Jenaka Pengiring Ksatria Pandawa Lima) terdiri dari Semar, Petruk, Gareng dan Bagong.
Keempat pelaku yang dimunculkan para Wali Songo ini mengandung falsafah yang amat dalam, diantaranya sebagai berikut :

1. Semar, dari bahasa Arab “Simaar” yang artinya Paku,

Perlambang bahwa kebenaran agama Islam adalah kokoh, sejahtera bagaikan kokohnya paku yang tertancap yakni SIMAARUDDUNYA.

2. Gareng, dari bahasa Arab “Naala Qoriin” (diucapkan lidah Jawa: nala gareng), yang artinya memperoleh banyak kawan,

3. Petruk, dari bahasa Arab “Fatruk” yang artinya tinggalkan

Diambil dari kalimat FATRUK KULLU MA SIWALLAHI yaitu tinggalkanlah segala yang selain Allah.

4. Bagong, dari bahsa Arab “Bagha” yang artinya lacut atau berontak, yaitu memberontak terhadap sesuatu yang zalim.

Kadang muncul juga tokoh ‘Togog’ yang dimunculkan dari kata ‘Thogut’ (Iblis)

Dalam pergelaran wayang, keempat tokoh Punakawan itu selalu keluar pada waktu yang tak bersamaan. Biasanya, tokoh Semar yang dimunculkan pertama kali, baru kemudian diikuti Gareng, Petruk, dan terakhir Bagong. Secara tak langsung urutan tersebut menunjukkan ajakan (dakwah) yang diserukan para wali zaman dahulu agar meninggalkan kepercayaan animisme, dinamisme, dan kepercayaan-kepercayaan lain menuju ajaran Islam.

Jika Punakawan ini disusun secara berurutan, Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong, secara harfiah bermakna, “Berangkatkan menuju kebaikan, maka kamu akan meninggalkan kejelekan.”

Tafsiran lain menyatakan….


Semar berasal dari kata Sammir yang artinya “siap sedia”. Namun, ada pula yang meyakini bahwa kata Semar berasal dari bahasa arab “Ismar”. Menurut orang yang berpendapat ini, lidah orang Jawa membaca kata is- menjadi se-. Contohnya seperti Istambul dibaca Setambul atau Isnain menjadi Senin.

Ismar berarti paku. Tak heran, jika tokoh Semar selalu tampil sebagai pengokoh (paku) terhadap semua kebenaran yang ada. Ia selalu tampil sebagai penasihat.

Gareng berasal dari kata Khair yang bermakna kebaikan. Versi lain meyakini, Nala Gareng diadaptasi dari kata “Naala Qariin”. Orang Jawa melafalkannya menjadi Nala Gareng. Kata ini berarti “memperoleh banyak teman”. Hal itu sesuai dengan dakwah para aulia sebagai juru dakwah untuk memperoleh sebanyak-banyaknya umat agar kembali ke jalan Allah SWT dengan sikap arif dan harapan yang baik.

Petruk berasal dari kata Fatruk yang berarti meninggalkan. Selain itu, ada juga yang berpendapat kata Petruk diadaptasi dari kata Fatruk-kata pangkal dari sebuah wejangan (petuah) tasawuf, “Fat-ruk kulla maa siwalLaahi” (tinggalkan semua apa pun yang selain Allah).

Bagong, diyakini berasal dari kata Bagho yang artinya lalim atau kejelekan. Pendapat lainnya menyebutkan, Bagong berasal dari kata Baghaa yang berarti berontak. Yakni, berontak terhadap kebatilan dan keangkaramurkaan.

Keempat tokoh tersebut memiliki bentuk yang lucu dan aneh, begitu pula dengan watak dan pola perilakunya yang unik. Semar digambarkan sebagai sosok manusia yang bijaksana dan kaya akan ilmu pengetahuan. Ia mempunyai sumbangsih besar melalui petuah-petuah yang disampaikan kepada para majikannya, meski terkadang dengan cara bercanda.

Tokoh Gareng memiliki pemikiran yang cerdik, tetapi kurang dapat menyampaikannya secara lugas, sehingga seringkali dianggap sebagai tokoh di balik layar. Sementara itu, Petruk adalah tokoh yang kurang cerdas tapi banyak omong, sedangkan Bagong merupakan bayang-bayang Semar. Bagong memiliki sikap yang kritis dalam menyampaikan aspirasi secara humoris.

Wallahua’lam

Diolah dari berbagai sumber. http://bit.ly/1OmHxrD
http://www.berdecak.top/2015/12/subhanallaah-ternyata-4-sekawan-semar-gareng-petruk-bagong-itu-metode-dakwah-islam.html

Minggu, 28 Februari 2016

Santri

Kepribadian Santri


 KEPRIBADIAN  KESANTRIAN  

SEBAGAI ETIKA DAN MODEL PEMBELAJARAN    

 KITAB TALÎM AL-MUTA’ALLIM

Oleh  : Abdul Majid Khon[*]

Abdtract :

Ta’lim Muta’allim book, which is thought in almost of boarding school in Indonesia, has major influence in forming student’s personality. Generally, the student’s personality has Islamic positive ethics and behavior. The personality of Islamic student is made the target of study in Islamic boarding school, beside that it is made as the study’s method and ethic to reach the target. There are two study method which have been submitted by Ta’lim; rational method and irrational method. The rational method as like as in modern education, among of them drill method, question and answer, discussion, etc. the irrational method are ethics method, kindness, and behavior. These two methods are the grateful of Ta’lim’s method to reach the study target which can’t found in modern education.

Kata Kunci : model pembelajaran santri

A. Pengantar

Pada umumnya  Kitab Ta’lîm al-Muta’allim   dijadikan sebagai bidang studi   Akhlak  yang diajarkan di berbagai pesantren tradisional (salafiyah) di seluruh Indonesia di tingkat  Menengah. Pernyataan ini diakui oleh  berbagai pondok pesantren di seluruh Indonesaia dalam berbagai diskusi dan seminar.  Sedang di kalangan pesantren modern yang menekankan pemahaman  terhadap kitab-kitab salaf  agak berkurang, kitabTa’lîm al-Muta’allim nyaris tidak populer, bahkan tidak dikenal sama sekali.     

Kitab Ta’lîm  al-Muta’allim  sangat populer di setiap Pondok Pesantren, seakan menjadi buku wajib bagi stiap santri. Sedang  di madrasah luar pesantren  atau di sekolah-sekolah umum, kitab ini tidak diajarkan dan baru sebagian kecil yang mengenalnya sejak buku tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Pengaruh pengajaran kitab inilah di antaranya yang menjadi penyebab  perbedaan kepribadian antara santri alumni Pondok Pesantren dan alumni dari Sekolah Umum atau madrasah yang tidak mengajarkan kitab tersebut. Pada umumnya kepribadian santri lebih moralistis dibandingkan dengan pelajar sekolah non pesantren. Kepribadian santri  sarat  dengan nilai-nilai moral spiritual  sementara pelajar non pesantren relatif lebih kurang atau malah hampa dari nilai-nilai tersebut.

Kitab Ta’lîm al-Muta’allim (TM) atau sebagian orang menyebut kitab Ta’lîm mendidik para santri  dengan meletakkan akhlak dan  etika sebagai dasar utama dalam menggunakan metode belajar. Metode belajar yang ditawarkan metode berganda yaitu metode  rasional sebagaimana dalam pendidikan modern dan metode irrasional yaikni metode akhlak seperti hormat guru,  mengagungkan ilmu dan kitab-kitab tentang ilmu. Oleh karena itu jarang terdengar para santri mengadakan demontrasi kepada para Kyai atau para Ustadznya, atau para santri tawuran dengan santri lain da  lain-lain.      

Al-Zarnujî sendiri sebagai penulisTa’lîm mengungkapkan bahwa  saya melihat banyak para santri, pelajar, mahasiswa dan mahasantri pada masa kita, sudah bersungguh-sungguh mencari ilmu tetapi tidak menghasilkan apa-apa atau tidak memetik buahnya yakni mengamalkannya, karena  mereka salah jalan atau metode yang digunakan bahkan mereka mengabaikan  berbagai persyaratannya. Padahal barang siapa yang salah menentukan jalan maka sesat dan tidak mencapai maksud yang diharapkan (Isamail : 3).  Ini maknanya metode dan model pembelajarannya tidak hanya mengandalkan rasio belaka tanpa menggunakan pemndekatan kepada Allah swt yakni pendekatan akhlak, etika dan moral yang baik. Sesuai dengan nama  kitab ini adalah Ta’lîm al-Muta’allim Tharîqat al-Ta’allum, maknanya  Pengajaran  Metode Belajar Bagi Para Santri kata “tharîq” diartikan metode atau model pembelajaran.

            Kitab TM   ditulis oleh Syeikh al-Zarnujî (w. 640 H/1242 M). Nama al-Zarnujî di ambil dari  nama sebuah kota tempat beliau tingal yaitu Zarnuj termmasuk wilayah Irak. Tetapi boleh jadi pada peta sekarang  sebagaimana keterangan Yaqut al-Hamawî yang dikuti M Aly As’ad dalam buku terjemahannya, ia masuk wilayah Turkistan (Afghanistan) yang dekat   dengan kota Khoujandan (M.Aly As’ad/2007 : ii).  Para peneliti belum menemukan kapan al-Zarnujî dilahirkan, tetapi diyakini hidupnya  satu kurun dengan al-Zarnujî lain yang namanya Nu’man bin Ibrahim al-Zarnujî seorang ulama besar yang wafat pada tahun 640 H/1242 M.(al-Yasu’i/ : 337)

            Dulu sekitar masa orde baru banyak kritikan  yang dialamatkan kepada kitab Ta’lîm baik dari kalangan ahli didik  maupun ilmuan lain, yang pada intinya merendahkan nilai-nilai pengajaran kitab tersebut. Terutama pengaruhnya terhadap pembentukan kepribadian santri yang dinilai suatu kemunduran bagi umat Islam seperti tawadhu` (rendah hati) yag membuat rendah diri dan lain-lain.  Tetapi dewasa ini kepribadian santri justru dicari dan dijadikan referensi dalam pembentukn karakter bangsa Indonesia stelah bangsa Indonesia mengalami morat-marit dan dilanda krisis moral.

             Dari kalangan ahli didik Islam juga mengkritik kitab tersebut.   Salah satu kritikus adalah Dr. Ahmad al-Ahwanî dalam bukunya al-Tarbiyah al-Islamiyah. Di antara kritikannya, bahwa dalam kitab Ta’lîm banyak angen-angen kosong  dan tidak ilmiah  sehingga menurunkan derajat i’tiqad  orang awam. Misalnya ia berkata  hal-hal yang mencegah datangnya rizki :  menyapu rumah pada malam hari, membakar kulit bawang merah dan putih, menyisir rambut  dengan sisir yang telah rusak, mengenakan serban dalam keadaan duduk dan mengenakan celana dalam keadaan berdiri (al-Ahwani, tth. : 238-239) dan lain-lain adalah suatu ungkapan  yang tidak patut diucapkan oleh ulama.

Dalam artikel yang sederhana ini penulis tidak akan menanggapai kritik etika atau sopan santun sebagaimana kritikan al-Ahwanî,  tetapi lebih kepada kepibadian yang dibentuk sifat-sifatnya, karena etika yang diajarkan al-Zarnujî hanya berdasarkan rasio, tradisi,  madharat manfaat atau menempatkan sesuatu yang tidak apada tempatnya saja tidak menyangkut aqidah. Ia hanya sebagai motivasi agar santri berbudi pekrti dan mernjaga sopan santun yang baik. Misalnya, menyapu pada malam hari memang  jelas tidak baik karena malam hari waktu beristirahat, membakar kulit bawang mmbencikan baunya, bersisir yang rusak akan melukai kepala dan seterusnya.          

           

B. Kepribadian Kesantrian

1. Pengertian

            Kepribadian dari asal kata dasar “pribadi” kemudian mendapat awalan “ke” dan akhiran “an” yang menunjukkan sifat pribadi. Dalam  Kamus Umum Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa arti kepribadian adalah : “ Keadaan manusia sebagai perseorangan, keseluruhan sifat-sifat yang merupakan watak orang (bisa juga bergeser berarti ; orang yang baik sifat dan wataknya). Misalnya ia terkenal sebagai seorang pemimpin yang kuat kepribadiannya ; dalam cerita karangannya terbayang kepribadian pengarangnya. (PJS  Poerwadarminta, 1984 : 768).

Menurut terminilogi Ilmu Jiwa Kepribadian, adalah ; “Suatu totalitas organisir dari disposisi-disposisi psykhis manusia yang individual yang memberi kemungkinan untuk membedakan  ciri-cirinya yang umum dengan pribadi lainnya”. (Suparlan Surya Pratondo, 1980 : 109)

            Sidi Gazalba mengemukakan bahwa kerpibadian adalah : “sifat jasmaniah dan terutama cara berpikir  serta cara merasa ruhaniah yang menyatakan diri pada tabiatnya yang selanjutnya jadi ciri-ciri pembeda antara dia dengan orang-orang lain”.  (Sidi Gazalba/1970 : 26)

            E.Y.Kemp yang dikutip oleh Rahmayulis mengatakan, bahwa kepribadian adalah integritas dari pada sistem kebiasaan-kebiasaan yang menunjukkan cara khas pada individu untuk menyesuaikan dirinya dengan lingkungan (Rahmayulis, 2002 : 288) 

            Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan,  bahwa kepribadian adalah suatu totalitas  sifat-sifat jasmani, ruhani dan nafsani hasil dari suatu proses kehidupan yang dijalani oleh seseorang yang sudah menjadi tabiat atau watak perseorangan sehingga membedakan antara pribadi seseorang dengan pribadi orang lain.

            Sedang kesantrian berasal dari kata “santri”. Secara etimologis para ahli berbeda pendapat tentang asal kata santri ini. Di antara mereka  ada yang mengatakan dari bahasa Tamil yang berarti ; “guru mengaji”. Ada juga yang mengatakan dari bahasa India ; “shastri” yang berarti  orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu dan ada juga yang berpendapat dari  kata “Shastra” yang berarti buku-buku suci  atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan (Zamakhsyari/  : 18).

            Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia disebutkan  santri diartikan ;Pertama, orang yang mendalami pengajiannya dalam agama Islam (dengan pergi berguru ke tempat yang jauh seperti pesantren). Kedua, orang yang beribadah dengan sungguh-sungguh, orang saleh. (WJS Poerwadarminta, 1984  : 870).

            Dengan demikian kepribadian  santri adalah  sifat-sifat  kepribadian yang dimiliki  santri yakni seperti  mencintai ilmu, mencintai orang  berilmu, mencintai ibadah, dan memiliki sifat-sifat saleh lain.  

            Menurut KH Imam Zarkasyi -- seorang pendiri Pondok Pesantren Gontor yang terkenal --   sifat-sifat kesantrian itu ada 5  yang disebut dengan Panca Jiwa, yaitu jiwa keikhlasan, jiwa kesederhanaan, jiwa kesanggupan menolong  diri sendiri atau berdikari, jiwa ukhuwah Islamiyah dan jiwa bebas (KMI Pondok Gontor, 1404 : 12).

Sedang Dawam Rahardjo mengemukakan sifat-sifat keperibadian santri adalah :

            Nilai-nilai keagamaan sepertiukhuwwah (persaudaraan), ta’âwun (tolong menolong atau kooperasi), ittihâd(persatuan), thalab al-‘ilmi ( menuntut ilmu),ikhlas (ihlas), jihâd (berjuang), tha’at(patuhkepada Tuhan, Rasul, ulama atau Kyai  sebagai pewaris Nabi  dan kepada mereka yang diakui sebagai pemimpin) dan berbagai nilai  yang eksplisit tertulis sebagai ajaran Islam ikut menmdukung Pondok ( Dawam Rahardjo, 1979 : 3)

            Melihat dari berbagai sifat  atau ciri-ciri kesantrian di atas, maka kepribadian santri  identik dengan kepribadian muslim, karena kandungan kepribdian santri di atas  sesuai dengan ajaran agama Islam yang menjadi tujuan pendidikan Islam. Sebagaimana kata Ahmad D Marimba bahwa kepribadian  muslim adalah “ kepribadian  seluruh aspek yakni tingkah laku luar, kegiatan jiwa, filsafat hidup dan kepercayaannya menunjukkan pengabdian kepada Tuhan  serta penyerahan diri kepada-Nya ( A D Marimba, 1974 : 73). Hanya saja kepribadian santri lebih menonjolkan sifat-sifat kesantriannya yang lebih menitik beratkan pada akhlak al-karimah menuju kepada kepribadian muslim yang lebih sempurna yakni mencakup tiga aspek ; aqidah, syari’ah dan akhlak.

            Dr. Ahmad Fuad al-Ahwanî memposisikan akhlak  merupakan bagian dari kepribadian sebagaimana ungkapannya, bahwa perbuatan seseorang setelah beberapa masa, akan sampai pada tingkat pembiasaan yang kuat dan otomatis. Perbuatan itu menjadi ciri khusus  bagi kepribadiannya yang kemudian disebut dengan kepribadian. Bagian dari kepribadian  inilah yang dinamakan akhlak seperti dapat dipercaya,  jujur, dan lain-lain.(al-Ahwani,tth. : 127).

Akhlak menurut penjelasan di atas, merupakan bagian dari kepribadian. Sedangkan kesantrian adalah bagian dari akhlak, karena kepribadian kesantrian belum merealisir seluruh nilai-nilai akhlaq al-karîmah dalam Islam.  Akhlak di sini ditinjau  dari segi materi yang berpengertian sempit bukan secara luas. Sebab jika akhlak dilihat dari pengertian yang luas kata akhlak sudah mengakomodir seluruh aspek dalam agama tersebut. Sebagaimana sabda Rasulillah saw :“Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak” (HR. Bukhari dan Baihaqi ) Demikian juga Aisyah ketika ditanya tentang akhlak Nabi menjawab :“Akhlak beliau adalah al-Qur’an” (HR. Abu Dawud dan Ahmad)             

            Makna Hadis di atas, akhlak adalah seluruh ajaran agama Islam dengan segala aspeknya, tidak  secara  persial.  Lebih dari itu al-Ghazali berpendapat bahwa akhlak adalah  suatu sifat atau keadaan  yang telah tertanam dalam jiwa yang dapat direalisasikan  dalam berbagai  perbuatan dengan mudah tanpa dipikir-pikir dulu. Jika sifat-sifat yang direalisasikan itu baik dan terpuji baik menurut ratio maupun menurut syara’, maka dinamakan akhlak yang baik dan jika perbuatan yang direalisasikan  itu buruk maka sifat itu dinamakan akhlak yang buruk (al-Ghazali,tth. : 53)

            Dari definisi di atas  akhlak adalah bantuan nafsaniah dan tetap pada nafsani itu sendiri. Nafsani seseorang bukanlah sesuatu yang beku dan kaku tetapi ia membentuk diri  dalam nilai-nilai akhlak yang kemudian menampakkan diri menjadi sifat-sifat yang mewarnai tingkah laku seseorang  adakalanya tercela dan adakalanya terpuji. Meneliti nafsani berarti membongkar dokumen pribadi, mencari dan menghitung-hitung  cela diri   yang terselip pada perbendaharaan  nafsani dan setelah itu  ada usaha mawas diri  untuk membentuk kepribadian. Sedangkan kepribadian seseorang adalah nilai-nilai akhlak atau nilai-nilai moral. Jadi akhlak adalah bagian dari kepribadian dan kemudian diusahakan untuk membentuk kepribadian, karena walaupun  akhlak bentukan  nafsani yang abstrak, tetapi dimanifestasikan  dalam bentuk sifat-sifat yang  mewarnai segala tingkah laku seseorang yang harus melibatkan melalui nafsu dengan berbagai macamnya, jasmani dan rohani.

        

2. Pembentukan Kepribadian Santri

            Kepribadian seseorang tidak tumbuh dan berkembang dengan sendirinya, akan tetapi harus dibentuk dan dipengaruhi oleh pendidikan dan lingkungan  ke arah tujuan yang sesuai dengan kepribadian yang diinginkan. Oleh karena itu perlu proses yang disebut dengan pembentukan kepribadian. Pembentukan kepribadian ini dijadikan etika dan metode pembelajaran sehingga tercapai sebuah tujuan pembelajaran yang ditentukan yaitu kepribadian kesantrian pula. Di sini ada perbedaan antara  pembentukan kepribadian santri dalam proses motivasi dengan kepribadian santri yang sudah menjadi tabiat watak yang menjadi tujuan pembelajaran.

 Menurut kitab Ta’lîm al-Muta’allimpembentuk kepribadian adalah beberapa faktor  berikut :

a. Santri (al-muta’allim),

b. Guru (al-Ustadz) dan

c. Bapak  (al-Abu)  (Ibrahim bin Ismail : 21).

d. Teman (al-Syarîk ) (Ibid : 15-16)

Syeikh al-Zarnujî menomorsatukan faktor santri, karena meskipun ia menjadi obyek pendidikan yang harus dibentuk kepribadiannya, namun santri harus proaktif  dalam usha pembentukan kepribadian tersebut, karena pada dasarnya  santri sebagai anak  sudah mempunyai potensi fithrah Islamiah sejak dilahirkan. Di sini berarti al-Zarnujî sangat menghargai potensi santri, santri tidak dianggap sebagai benda mati, tetapi makhluk hidup yang berpontensi dan dapat berbuat dan berkembang sesuai dengan pengembang di sekelingnya. Segala etika dan metode pembelajaran selalu diarahkan kepada santri atau pencari ilmu, misalnya santri hendaknya mempunyai niat yang baik dalam mencari ilmu yakni  mencari rida Allah, tekun dan ulet tahan, membawa pena di mana saja untuk mencatat ilmu.     

Pesantren adalah  merupakan kelanjutan pendidikan si anak didik yang telah diawali  dari orang tua dalam keluarga. Komunmitas  pesantren terdiri dari santri, guru (ustadz)  dan Kyai. Para ustdaz dan Kyai inilah yang  menjadi orang tua santri di dalam pesantren bahkan disebut lebih tinggi yakni bapak dalam agama. Hubungan antara Kyai, Ustadz dan santri  seperti hubungan antar keluarga yang saling menyayangi dan menghormati. Di samping itu lingkungan pesantren adalah lingkungan religius  yang dapat menggabungkan antara ilmu teoritis dan pragmatis. Anak-anak santri dalam pesantren terbina dengan pendidikan yang optimal dan lingkungan yang sangat mendukung.

  Kitab Ta’lîm  di atas menyebutkan  faktor lingkungan teman atau bermasyarakat sebagaimana dalam pendidikan modern, bahklan beliau sangat mengutamakan dalam bab tersendiri yang disebut sebagaial-Syarîk = sekutu, rekanan, teman persekutuan. Interpretasi kata tersebut oleh  Dr. Ahmad Syalabi  mengingat suatu kemanfaatan bersama yang menghubungkan teman dengan teman  dan mengingat pula bahwa kerja sama antar mereka menghasilkan  berbagai kebaikan untuk mereka bersama. Sebagaimana yang terjadi antara dua orang berserikat  dalam suatu perdagangan  atau usaha-usaha keuangan lainya.  Karena kerja sama dan keikhlasan masing-masing pihak terhadap lainnya akan mendatangkan laba yang banyak bagi mereka bersama dan mempunyai pengaruh  yang besar untuk memasukkan  tujuan bersama yang diusahakan mencapainmya oleh mereka berdua. (Ahmad Syalabi : 315).

Dengan demikian al-Zarnujî sudah meletakkan sejak awal pembentuk kepribadian atau pengaruh  dalam pendidikan ada tiga faktor sebagaimana dalam pendidikan modern yaitu ; santri atau murid itu sendiri, guru berarti lingkungan sekolah, orang tua lingkungan rumah tangga dan masyarakat yakni teman pergaulan.

Kepribadian santri adalah tujuan akhir pendidikan kitab Ta’lîm al-Muta’allimsedangkan tujuan pendidikan di pesantren pada umumnya  lebih mementingkan pendidikan akhlak. Oleh karena itu segala upaya dan usaha pesantren pada umumnya  diarahkan untuk membentuk kepribadian kesantrian. Kepribadian dalam proses pembentukannya dapat berlanjut dengan baik  asal ada kontinuitas pendidikan yanmg dialami  individu dalam kehidupan  yang membawa kontinuitas perobahan kepribadian. Kepribadian itu secara kontinuitas mengalami proses pembentukan sampai kepada tingkat kedewasaan yang stabil. Itupun kemungkinan besar masih akan mengalami perobahan hanya agak lamban, sehingga kepribadian  yang diperoleh  bentuknya seolah-olah tidak berobah lagi.

Kemudian aspek-aspek kepribadian yang meliputi aspek jasmani, aspek rohani dan jasmani masing-masing mempunyai potensi. Aspek  jasmani, meliputi seluruh tenaga yang bersumber pada  pisik dibentuk oleh tenaga jasmani. Aspek  nafsani meliputi karsa, rasa dan cipta dibentuk oleh tenaga nmafsani. Sedang aspek  rohani yang luhur dibentuk oleh tenaga budhi.       

            Ada tiga  proses pembentukan kepribadian santri, yaitu sebagai berikut :

            a. Pengulangan dan  Pembiasaan

            Dalam pembiasaan al-Zarnujî menggunakan teori pengulangan (trail and eror). Menurutnya,  jika pelajaran pertama yang diajarkan itu memerlukan waktu yang lama dan santri memerlukan pengulangan 10 kali, maka sampai akhirpun demikian sehingga menjadi kebiasaan. Pembiasaan seperti itu akan sulit dihilangkan kecuali dengan susah payah. Dikatakan, bahwa pelajaran satu huruf pengulangannya 1000 kali.( Ibrahim Ismail/tth. : 28)

            Pembiasaan membentuk aspek kejasmaniahan dari kepribadian atau kecakapan  berbuat dan mengucapkan sesuatu dengan dibantu tenaga-tenaga nafsani.  Pembiasaan adalah salah satu alat pendidikan untuk membentuk kepribadian yang dinginkan. Misalnya pembiasaan melaksanakan salat sejak kecil, pembiasaan hormat kepada guru, pembiasaan berkata jujur dan lain-lain.

             Sidi Gazalba menjelaskan, pendidikan adalah proses yang kontinu. Ia merupakan pengulangan yang perlahan-lahan tetapi serba terus sehingga sampai pada bentuk yang diingini. Laksana tetesan air yang serba terus menitik akhirnya membolongi batu, demikianlah misal dari proses  aspek pendidikan (Sidi Gazalba : 15)  

            Dengan pembiasaan yang kontinu pribadi santri yang sekeras apapun lambat laun akan dapat diukir sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai oleh pendidik. Pengulangn yang ditawarkan oleh kitab Ta’lîm al-Muta’allim tidak tanggung-tanggung satu huruf diulang sampai 1000 kali. Ini ungkapan yang menunjukkan betapa pentingnya pengulangan yang tidak ada bosan, atau diartikan banyak kali.

            b. Pembentukan kognisi

            Nilai-nilai kepribadian santri yang ditanamkan  akan membentuk pengertian (kognisi), minat dan sikap melalui pengajaran, ceramah, konsultasi pribadi dan lain-lain. Misalnya cinta dan taat kepada Allah,  Rasul, Kyai, ulama,. guru  dan para pimpinan, cinta ilmu, ikhlas dalam pengabdian, wara’ (memelihara diri dari haram), tawadhu’ (merendahkan hati), menjauhi sifat-sifat tercela dan  lain-lain.

            Pembentukan kognisi sesuatu yang berproses yang berlaku pada seseorang dengan memberikan interpretasi  pada miliau. Samuel Soeitoe mengatakan, bahwa  hendakanya anak dikenalkan beraneka ragam pengertian melalui proses kognisi. Perkembangan kepribadian pada anak dipengaruhi oleh pengertian-pengertian  yang dikuasai oleh anak. (Samue Soeitoe, 1982 : 54)

       Dalam membentuk pengertian, minat dan sikap mengenai  dasar dan pokok sebagaimana dalam kitab Ta’lîm al-Muta’allim  tersebut, perlu diperhatikan bahwa manusia yang ingin dibentuk adalah manusia secara keseluruhan melalui tenaga-tenaga aspek kepribadian.  Dengan mempergunakan akal pikiran  dapat ditanamkan pengertian ikhlas dan lain sebagainya yang akan membentuk sikap  dan pandangan seorang santri. Sedangkan pembentukan aspek nafsani dengan mempergunakan tenag-tenaga karsa, rasa dan cipta yaitu dengan memberi pengertian dan  poengetahuan  tentang amalan-amalan  dan ucapan-ucapan yang biasa dilakukan oleh  para santri dan penanaman dasar-dasar kesusilaan serta pokok-pokok kepercayaan.

c. Pembentukan rohani 

            Pembentukan rohani  adalah dengan memperbanyak dzikir, misalnya wirid, dzikir dan berdo’a setelah salat wajib, melanggengkan wudhu,  dalam keadaan bersuci dari hadats ketika mudzakarah, membaca kitab dan lain-lain (Ibrahim Ismail : 45-47). Alat utama  untuk membentuk kerohaniahan  adalah budhi dibantu  oleh tenaga-tenaga kejiwaan yang akan menghasilkan adanya kesadaran dan pengertian yang dalam. Segala pemikiran, pemilihan dan keputusan didasarkan pada kesadaran dan keinsyafan sendiri.

            Ahmad D Marimba mengemukakan, bahwa budhi adalah inti tenaga dalam taraf pembentukan  ini dan budhi pulalah justru yang dibentuk dalam taraf ini. Budhi yang telah dapat bekerja dengan baik akan mendapat pengaruh-pengaruh  dari alam ghaib, dari alam jin mukminm, dari alammalakût dan lâhût. (Ahmad D Marimba/1974 : 86-87)

            Lingkungan pesantren sangat mendukung  pembentukan rohani ini, karena suasana relegius karena kesatuan sistem pendidikannya dari madrasah, asrama dan masjid. Para santri melaksanakan segala aktifitas di pesantren seperti air mengalir artinya sangat mudah beraktifitas karena terbawa oleh kingkungan  di sekitarnya,  seperti shalat berjamaah,  dzikir setelah shalat, mengaji kitab dari waktu ke waktu, mengaji al-Qur’an daln lain-lain. Suasana ini sangat mendukung dalam membentuk dan memperbaharui iman dan pembentukan rohani santri sebagaimana Rasululllah saw bersabda : “Perbaharuhilah imanmu dan perbanyaklah membaca “Ttidak ada Tuhan selain Allah” (HR. Ahmad)

C. Sifat-sifat Kepribadian Kesantrian

            Sebagaimana keterangan di atas bahwa kepribadian santri dijadikan sebagai etika atau metode untuk mencapai tujuan pembelajaran dan sekaligus sebagai tujuan pembelajaran itu sendiri yakni agar sifat-sifat kepribadian itu  melekat menjadi watak,  tabiat dan pribadi. Paparan ini akan menjelaskan sifat-sifat keperibadian santri. Yang perlu dimaklumi terlebih dahulu, bahwa kepribadian  adalah keseluruhan sifat-sifat jasmani, rohani dan nafsani yang sudah menjadi watak seseorang sehingga membedakan   antara pribadi satu dengan lainnya. Namun,  bisa dikatakan bahwa kepribadian  yang terikat dengan kesantrian mempunyai persamaan atau hampir sama karena satu proses dan satu produk pendidikan serta  lingkungan yang sama. Kepribadian adalah suatu hal yang abstrak dan non indrawi, tetapi dapat dilihat beberpa indikatornya yang disebut dengan sifat-sifat kepribadian santri. Di antara sifat kepribadian santri  yang sangat menojol  adalah  sebagai berikut :

1. Ketekunan dalam pembelajran

            Di antara motivasi yang diberikan kitab Ta’lîm untuk mencapai keberhasilan dalam pembelajaran adalah kesungguhan, sebagaimana yang disebutkan di sebagaian sebab-sebab tercapainya hapalan adalah ketekunan, kontinuitas, mengurangi makan,  shalat layl (salam malam hari) dan membaca al-Qur’an. Dikatakan,  bahwa tidak ada sesuatu yang lebih menambah daya hapal terhadap ilmu melainkan membaca al-Qur’an. (Ibrahim Ismail : 40)

            Ketekunan dalam pembelajaran yang ditawarkan adalah ketekunan lahir batin atau ketekunan pisik dan non pisik. Ketekunan pisik adalah ketekunan rasional yakni  kerja keras secara kontinui. Sedangkan ketekunan non pisik adanya pendekatan kepada Allah swt seperti berpuasa, mengurangi makan, shalat malam dan membaca al-Qur’an.

2. Ikhlas dalam pengabdian

            Dalam mencapai tujuan pembelajaran, pengabdian yang ditanamkan kepada santri  di samping pengabdian kepada Allah adalah  pengabdian kepada guru. Guru di sini diposisikan seperti dokter  terhadap pasiennya, keduanya tidak akan mengantarkan  kesuksesan jika tidak dipatuhi.( Ibrahim bin Ismail : 18). Pengabdian kepada guru dimaksudkan sebagai penghormatan dan kepatuhan, karena guru sebagai sumber ilmu  yang sangat berharga.  Penghormatan tersebut merupakan kewajiban santri terhadap orang alim,  bukan guru yang  minta dihormati. Sebagaimana   sabda Nabi  saw :

“Tidak tergolong umat kami barang siapa yang tidak menghormati orang  tua di antara kami,  tidak menyayangi yang lebih kecil di antara kami dan tidak mengetahui hak orang alim di antara kami”. (HR. Ahmad).

            Ali bin Abi Thalib meskipun salah seorang  sahabat yang sangat alim sampai dikatakan Nabi sebagai “Pintu Kota Ilmu” menghambakan dirinya terhadap guru. Sebagaimana kata beliau : “Saya hamba orang yang mengajar aku satu huruf, jika ia berhendak  menjual aku atau memerdekakan dan atau tetap menjadikan buda”. (Ibrahim bin Ismail : 16)

            Pada umumnya santri yang banyak membantu guru adalah santri yang dekat dan  dicintai guru. Ini merupakan kebanggaan tersendiri bagi santri dengan berharap ilmu yang didapatkannya mengandung keberkahan. Dan konsep seperti itu banyak dibuktikan para alumninya setelah pulang ke kampung halaman. Mereka sekalipun tidak terlalu banyak ilmunya tetapi mendapat kepercayaan masyarakat untuk membangun madarasah atau pesantren yang banyak  santrinya.

3. Cinta dan Menghormati Ilmu    

            Ada  beberapa metode  yang dilakukan para santri sebagaimana yang dianjurkan kitab Ta’lîm dalam mencapai keberhasilan pembelajarannya, di antaranya menghormati ilmu itu sendiri, menghormati kitabnya dan menghormati guru  sebagai sumber ilmu serta keluarganya.

a. Menghormati ilmu

Di antara cara menghormati ilmu adalah melanggengkan wudhu (bersuci) selama pembelajaran berjalan. Alasan yang dikemukakan al-Zarnujî adalah ilmu itu cahaya, berwudhu juga cahaya, cahaya ilmu akan bertambah dengan cahaya berwudhu (Ibrahim : 18). Syeikh al-Zarnujî menganjurkan agar  para santri benar-benar mendengarkan dan memperhatikan ilmu yang disampaikan guru dengan penuh ta’zhim dan rasa hormat, sekalipun sudah pernah mendengar berkali-kali. Sebagaimana kata beliau dengan mengutip kata sebagian ulama, bahwa orang yang ta’zhimnya kepada guru (dalam ilmu ) setelah mendengar 1000 kali tidak seperti ta’zhimnya pada pertama  kali, tidak tergolong  ahli ilmu (Ibrahim : 19).

Retorika Ta’lim memang indah sesuai dengan psichlogi para santri yang pada umunya anak remaja atau muda. Setiap pesan-pesan yang diberikan selalu dibungkus dengan motoivasi-motivasi yang menarik jiwa mereka sehingga seorang santri terbawa untuk melaksanakannya dengan senang hati. Misalnya pada  anjuran mendengarkan atau memperhatikan ilmu disertai motivasi menjadi seorang ilmuan atau pakar ilmu.

b.  Menghormati kitab-kitab  ilmu

 Cara lain yang dilakukan adalah menghormati kitab yang berisikan ilmu. Sebagaimana kata al-Zarnujî, bahwa di antara ta’zhim (hormat ilmu) yang wajib adalah tidak memanjangkan kaki ke arah kitab, menumpuk kitab Tafsir  di atas segala kitab lain karena keagungannya dan  tidak meletakkan sesuatu benda di atas kitab (Ibrahim : 18)  Di sinilah letak perbedaan yang menonjol antara antara santri yang mempelajri kitab Ta’lîm dengan santri  atau pelajar yang tidak pernah mempelajrinya. Bagi santri atau pelajar  yang tidak pernah mempelajarinya tidak merasa salah ketika memanjangkan atau melonjorkan  kaki ke arah kitab, bahkan menarauh kitab sembarangan di tempat yang tidak terhormat. Bahkan meletakkan al-Qur’anpun sembarangan temapt tidak ada rasa ta’zhim dan penghargaan yang tinggi.

Di antara penghormatan kepada kitab ilmu juga menghormati kepada penulisnya, karena penulispun sebagai guru utama baik lagsung maupun tidak langsung. Realisasi penghormmatan para santri dan para guru santri pada umumnya ketika memulai akan membaca  atau mengajarkan sebuah kitab selalau membaca surah al-Fatihah. Atau selalu mendoakan penulisnya, sebagaimana yang sering dibaca :

قَالَ الشَّيْخُ الْمُؤَلِّفُ رَحِمَهُ اللهُ تعَالَى ونَفَعنَا بهِ وَبُعلُوْمِهِ فِي الدَّارَيْنِ آمين

 Syeikh penulis buku berkata, semoga Allah merohmatinya dan memberi manfaat ilmunya kepada kita dunia akhirat.

c. Menghormati guru dan keluarganya

            Di antara penghormatan terhadap guru yang dipaparkan kitab Ta’lîm, adalah tidak berjalan di depan guru, tidak duduk di tempat duduk guru,  tidak memulai berbicara  kecuali dengan izin, tidak banyak bertanya pada saat guru lelah, harus menjaga waktu dan  tidak mengetuk pintu ketika bertamu tetapi sabar sampai guru keluar. Singkatnya santri mencari rida guru, menjauhi yang dibenci guru dan melaksanakan yang diperintah kecuali maksiat kepada Allah. Berikutnya Syeikh al-Zarnujî mengutip dari perkataan Syeikh Imam Sadid al-Dîn al-Syairazî, bahwa para masyâyikh (para gurunya) berkata :  Barang siapa yang ingin   anaknya  menjadi orang alim   hendaknya menghormati para ulama dan para guru terutama yang hidup dalam perantauan. Hormati mereka, agungkan mereka dan beri hadiah. Jika tidak anaknya, cucuknya akan menadi orang alim (Ismail : 17 ).

Sedangkan alinea berikutnya ada motivasi seorang ingin menjadi alim atau anak kalau tidak cucunya hendaklah menghormati guru dan mencari ridanya.

Dalam kitab Ma’a al-Raîl al-Awwal, bahwa Imam Abu Hanifah (w.150 H) mengatakan ; Aku tidak shalat  sejak wafat gurunya  yakni Syeikh Hammad bin Muslim al-Asy’ari (w. 120 H) kecuali aku memohonkan ampunan bersama ayahandaku  dan aku tidak pernah melonjorkan kakiku  ke arah rumahnya yang jaraknya kurang lebih 7 gang. Sungguh aku memohonkan ampunan  kepada orang yang aku pernah belajar dari padanya atau orang yang pernah mengajar aku. (Muhib al-Dîn al-Khathîb,tth. : 68)    

Di antara penghormatan kepada guru adalah menghormatan kepada anak, istri atau  keluarganya. Anjuran ini disertai dengan kisah yang menarik. Seorang Ulama besar  Syeik al-Islam Burhan al-Dîn pengarang kitab al-Hidayah, mengkisahkan bahwa salah seorang ulama senior dari negeri Bukhara duduk di majlis pengajaran, sesekali ulama itu beridiri. Ketika ditanya para santrinya, beliau menjawab : “Anak guru saya bermain sama teman-temannya di jalanan, ketika aku melihat aku berdiri karena ta’zhim kepada guru saya”.

   Pesan Ta’lîm pada alinea di atas disertai bukti-bukti pengalaman sejarah, kisah atau peristiwa yang terjadi sebagai kisah ahli didik bagaimana ia dapat mencapai sutu tujuan yang dinginkan dengan cara penghormatannya kepada guru dan keluarganya. Dengan demikian mudah dicerna dan dipahami oleh murid, kartena semua orang pada umumnya senang mendengar cerita-cerita atau kisah orang-orang yang berpengalaman.

Banyak pertanyaan atau diskusi dengan guru   tentang ilmu tidak menghalangi makna ta’zhim (hormat ) terhadap guru. Kitab Ta’lîm sendiri menganjurkan bertanya kepada guru asal pada waktu dan kondisi yang tepat. Ibnu Abbas pernah ditanya, dengan apa engkau berhasil mendapatkan ilmu ?  Ibnu Abbas menjawab : “Dengan lesan yang banyak bertanya dan akal yang banyak berpikir”. (Ibrahim : 31).

            Tradisi sebagian santri atau pelajar yang lebih banyak diam di hadapan guru dan merasa tidak sopan banyak pertanyaan adalah tradisi budaya yang dipengaruhi oleh lingkungan setempat bukan anjuran dari kitab Ta’lîm,  kitab ini menganjurkan bertanya dengan sopan artinya  sesuai dengan waktu dan  kondisi yang baik. Bukankah Nabi telah mengajarkan penyampaian ilmu dengan tanya jawab. Ketika Jibril datang seperti seorang laki-laki datang duduk manis di hadapan Nabi sambil menyandarkanm kedua lututnya pada kedua lutut Rasulillah dan meletakkan kedua tangannya di atas kedua pahanya dengan penuh ketenangan, penuh perhatian dan penuh ta’zhim. Kemudian Jibril  bertanya tentang iman, Islam dan ihsan. Setelah itu Rasulullah saw bersabda :“Sesungguhnya ia Jibril datang  kepada kalian untuk mengajar agama kalian”. (HR Muslim)

4. Wara’ (menjaga dari hal yang haram) 

            Di antara sifat pribadi santri adalahwara’ artinya berhati-hati dari barang haram. Bahkan wara’nya santri  yang diajarkan kitab Ta’lîm adalah menjauhi dari syubhat (barang yang tidak jelas statusnya antara halal dan haram), dan menjauhi dari makanan yang kurang berkah. Di antara ungkapan al-Zarnujî, sayogyanya santri menjaga dari makanan pasar jika mungkin, karena makanan ini lebih mudah terkena najis atau kotoran,  menjauhkan   dzikir kepada  Allah dan lebih dekat kepada kemunafikan, menjadi arah pendangan orang-orang fakir  sedang mereka tidak mampu membelinya sehingga menjadi sedih  sehingga menghilangkan keberkahan. (Ibrahim : 39)

            Memang sulit dan amat berat pada zaman sekarang  seseorang hidup bersifat wara’ menjaga dari hal yang haram, syubhat dan makanan pasar. Apa lagi hidup di kota-kota besar seperti di Jakarta  yang banyak tantangan dan godaannya. Di antara tantangannya hidup yang serba efektif dan efisien seperti budaya makanan yang siap saji bahkan makanan  matang masakan pasar siap disaji. Al-Qur’an perintah makan makanan yang halal dan yang baik (thayib) seperti dalam QS al-Mukminun : 51 :

Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. 23:51)

            Syeikh Muhammad Alawî al-Malikî memberikan komentar bahwa ayat tersebut memberi isyarat, bahwa makanan yang halal  menolong   untuk beramal saleh. Oleh karena itu Ibrahim bin  al-Adham  berkata : “Buat sebaik mungkin makananmu dan tidak ada alasan engkau tidak bangun pada malam hari untuk beribadah dan berpuasa pada siang hari”. Artinya engkau tidak merasa terbebankan  dan tidak merasa berat melaksanakannya. Taufik Allahlah yang menyertaimu  sehingga engaku ringan menjalankannya. Demikian itu implikasi dari makanan halal, sebab setiap daging yang tumbuh dari makanan haram neraka lebih utama baginya. (al-Maliki/1393 : 107)

             Dengan demikian makanan halal yakni yang   tidak mengandung haram, syubhat dan  yang tidak barakah punya pengaruh dalam pembentukan kepribadian santri yakni peribadi muslim yang berakhlak.

5. Tawâdhu’ (rendah hati)

            al-Zarnujî menukil bait-bait syair tentang  tawadhu’, di antaranya :

Sesungguhnya tawadhu’ itu di antara  sifat orang taqwa

Dan dengan taqwa  inilah seseorang  dapat naik ke derajat yang tinggi

Ilmu itu musuh bagi orang yang sombong

Bagaikan air musuh bagi tempat yang tinggi (Ibrahim : 12,20)

            Semua sifat-sifat kepribadian yang dipaparkan al-Zarnujî selalu dikaitkan dengan tercapainya tujuan pembelajaran seperti tercapainya ilmu yang bermanfaat sebagaimana  yang disebutkan pada syair di atas. Sifat tawadhu’ adalah sifat rendah hati dengan sesama manusia meskipun banyak kelebihan seperti kekayaan, kedudukan, kecerdasan, ilmu dan lain-lain. Orangtawadhu’ sekalipun banyak kelebihan tidak membanggakan kelebihannya itu dan tetap hormat kepada orang lain dan tidak merendahkan potensi orang lain.

            Para santri pada umumnya terlatih sifat tawadhu’nya  selama berionteraksi dengan lingkungan di pesantren. Mereka menundukkan kepalanya dan merendahkan suara pada saat berkomuniklasi dengan orang yang lebih tua terutama  dengan gurunya dan mencium tangan para guru ketika berjabat tangan. Sifat tawadhu’ ini  sedikit demi sedikit menghilangkan sifat kesombongan, anani, sifat ingin dihormati, ingin dilayani dan  lain sebagainya. Sifat rendah hati tidak mesti  bukan berarti menjadi rendah,  akan tetapi menurunklan suhu  emosi dan ambisi kedudukan dan penghormatan yang tidak pada tempatnya.      

            Beberapa sifat kepribadian kesantrian yang disebutkan dalam kitabTa’lim sebagai upaya atau model pembelajaran santri untuk mengimbangi model rasional yakni model akhlak dan etika yang sesuai dengan kaedah aaran agama Islam. Al-Shabuni dalam bukunya al-Shafwat al-Tafâsîr menjelaskan, bahwa ilmu ada dua macam yaitu  :

1. Ilmu Kasbi, ilmu yang harus diusahakan melalui pembelajaran yang tekun

2., Ilmu Wahbi, ilmu pemberian Allah tanpa melalui usaha pembelajaran (outodidak).

            Ilmu pertama diperoleh  dengan kesungguhan, ketekunan dan mudzakarah. Sedang ilmu kedua  dengan jalan taqwa dan amal saleh sebagaimana firman allah dalam QS. Al-Baqarah/2 : 282  “Dan takutlah kepada Allah dan Dia mengajarkan kamu dan Allah dengan segala sesuatu Maha Mengetahui”. Ilmu ini juga disebut ilmu laduni sebagaimana firman-Nya QS. Al-Kahfi/18 : 66 “Dan ia Kami berikan ilmu dari pada Kami” yaitu ilmu yang bermanfaat yang diberikan kepada orang-orang yang dikehendaki Allah dari para hamba yang taqwa kepada-Nya (al-Shabuni : 165)

            Demikian juga syair al-Syafi’i  tentang pengaduannya kepada guru tentang hapalannya yang kurang baik.:

            Aku mengadu kepada Imam Waki’ tentang hapalanku yang lemah

            Maka ia memberi petunjuk kepadaku agar aku tinggalklan segala maksiat

            Beliau menceritakan kepadaku, bahwa ilmu itu cahaya

            Dan cahaya Allah tidak ditunjukkan kepada orang-orang yang maksiat.

            Syair al-Syafi’i di atas juga dikutip oleh al-Zarnujî dalam kitab Ta’lîm (Ismail .14). Hal ini menunjukkan adanya kesamaan antara pemikiran al-Syafi’i, Muhammad Ali al-Shabuni dan al-Zarnujî tentang perlunya pemndekatan kepada Allah bagi para penuntut ilmu atau para santri untuk memperoleh ilmu yang bermnanfaat.

E. Penutup

            Kitab Ta’lîm al-Muta’allimmempunyai pengaruh besar dalam membentuk kepribadian santri. Kepribadian santri di samping dijadikan tujuan pembelajaran di pesantren juga dijadikan sebagai metode serta etika pembelajaran untuk mencapai tujuan tersebut. Metode pembelajaran yang ditawarkan Ta’lim ada dua yaitu metode rasional atau pisik dan metode irrasional atau non pisik. Metode rasional  atau pisik  pada umumnya di kalangan santri disebut usaha lahir Sedangkan metode irrasional atau nonpisik disebut usaha batin. Metode pisik sebagaimana yang diajarkan dalam pendidikan modern, seperti metode drill, trail and error dan lain-lain. Metode irrasional adalah metode etika yang  berbentuk akhlak dalan budi pekerti seperti yang sekaligus merupakan tujuan pendidikan. Metode berganda inilah di antara keistimewaan metode kitab Ta’lim yang diperaktekan oleh mayoritas santri di berbagai pesantren di Indonesia yang juga merupakan kepribadian  santri, seperti tawadhu’, hormat kepada guru dan lain-lain.  

            Dalam kehidupan santri sehari-hari tidak lepas dari  double method  dalam meraih suatu ilu yakni metode lahir dan batin.  Metode lahir untuk menempuh ilmu kasbi  sedang metode  etika dan akhlak untuk mencapai ilmu wahbi atau laduni. Keseimbangan antara dua metode tersebut dijadikan suatu metode untuk mencapai ilmu baik kasbi dan laduni. Karena pada dasarnya manusia tidak bisa membedakanm antara dua ilmu tersebut setelah dimilikinya, keduanya secara sbstansial datangnya dari Allah.






DAFTAR  PUSTAKA

Al-Ahwanî, Ahmad Fuad,  al-Tarbiyah fi al-Islâm, Cairo : Dâr al-ma’ârif, tth

.

Abd al-Qâdir, Muhammad, Thuruq Ta’lîm al-Tarbiyah al-Islâmiyah, Mesir : Maktabah al-Nahdhah,  tth

Dhafir, Zamakhjsyari, Tradisi Pesantren, Jakarta : LP3ES, 1984

Gazalba, Sidi, Pendidikan Umat Islam, Jakarta : Bahtera, 1970

Al-Ghazalî, Abu Hâmid Muhammad bin Muhammad, Ihyâ ‘Ulûm al-Dîn,  Beirut : Dâr al-Fikr,  tth,

Al-Ghulâyayni, Mushthafa, ‘Izhat al-Nâsyi’în, Mesir : al-Ashriyah, tth

   

Ibn Isma’il, Ibrahim, Syarah Talîm al-Muta’allim, Citrebon, al-Maktabah  al-Mishriyah, tth

al-Khathîb,  Muhib al-Dîn,  Ma’a al-Raîl al-Awwal, Beirut : Dar a;l-Fikr, tth.

KMI Pondok Gontor, Khuthbah Iftitah (diktat) dalam Pekan Perkenalan, Ponoroga : 1404 H

Marimba, Ahmad D., Pengantar Filsafat pendidikan Islam, Bandung : PT al-Ma’arif, 1974

Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarata :  Balai Pustaka, 1984

Raharjdo, M. Dawam (ed), Pesantren dan pembaharuan, Jakarta : Mutiara,  1979

Rahmayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta : Kalam Mulia, 2002 

Shaleh, Abd. Rahman, et al., Pedoman Pembinaan Pondok Pesantren, Jakarta : Depag RI, 1982

Syalabi, Ahmad,  Târîkh al-Tarbiyah al-Islâmiyah, Terjemahan Mukhtar Yahya dan M sanusi Lathif, Jakarta  : Bulan Bintang,  1973

Soeitou, Samuel, Psikologi  Pendidikan : Mengutamakan Segi-Sego Perkembangan, Jakarta : Fak. Ekonomi UI, 1982

Suryapratondo, Suparlan, Ilmu Jiwa Kepribadian, Jakarta : Paryu Barkah, 1980

 Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung : Rosdakarya, 2007 Cet. Ke-7

Al-Yasû’î, Abu Luwîs, al-Munjid fi al-Lughah, Beirut : Dar al-Masyriq, tth.

Al-Zarnuji, Talîm al-Muta’allim, Terjemahan Aly As’ad, Kudus : Menara Kudus, 2007 Edisi Baru

Zuhairini, at al., Metodik Khusus Pendidikan Agama, Surabaya : Usaha Nasional : 1981


[*] Dosen Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UniversitasIslam Negeri  Jakarta

Doa aqad nikah KH Maimun Zubeir

Doa Setelah Akad Nikah (Versi KH. Maimun Zubair)

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ . اَلْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ حَمْدًا يُوَافِى نِعَمَهُ وَيُكَافِئُ مَزِيْدَهُ يَارَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ كَمَا يَنْبَغِى لِجَلَالِ وَجْهِكَ وَعَظِيْمِ سُلْطَانِكَ اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَاةً تَمْلاَءُ خَزَائِنَ اللهِ نُوْرًا وَتَكُوْنُ لَنَا وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ فَرَجًا وَفَرَحًا وَسُرُوْرًا وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا . اَللَّهُمَّ اجْعَلْ هَذَا العَقْدَ عَقْدًا مُبَارَكًا عَقْدًا لَيْسَتْ عَاقِبَتُهُ فِرَاقًا وَلَا خُصُوْمًا عَقْدًا مُبَارَكًا لَهُمَا وَعَلَيْهِمَا فِى أُوْلَاهُمَا وَأُخْرَاهُمَا حَتَّى يَلْقَاكَ وَأَنْتَ رَاضٍ عَنْهُمَا يَارَبَّ العَالَمِيْنَ . اَللَّهُمَّ وَسِّعْ لَهُمَا الأَرْزَاقَ وَحَسِّنْ لَهُمَا الأَخْلاَقَ وَأَعِذْهُمَا مِنَ الشِّرْكِ وَالشَّكِّ والنِّفَاقِ وَسُوْءِ الأَخْلاَقِ . اَللَّهُمَّ اجْعَلْ بَيْنَهُمَا يَاإِلَهَنَا الوِفَاقَ مَالَانِهَايَةَ وَلَاغَايَةَ وَجَنِّبْهُمَا عَنِ التَّخَاصُمِ وَالفِرَاقِ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ . اَللَّهُمَّ اجْعَلْ هَذَا النِّكَاحَ أَبَدِيًّا سَرْمَدِيًّا حَتَّى يَلْقَاكَ وَأَنْتَ رَاضٍ عَنْهُمَا يَارَبَّ العَالَمِيْنَ . اَللَّهُمَّ اجْعَلْ مَعَاشَهُمَا مَعَاشًا طَيِّبًا وَحَيَاةً طَيِّبَةً رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً وَارْزُقْ لَهُمَا ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً تَكُوْنُ مَعْقِبَةً عَاقِبَةً حَسَنَةً تَكُوْنُ سَبَبًا لِقُرَّةِ أَعْيُنِهِمَا إِنَّكَ عَلَى مَا تَشَآءُ قَدِيْرٌ وَبِالْإِجَابَةِ جَدِيْرٌ . رَبَّنَآ آتِنَا فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى الْأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ . وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا وَمَوْلَانَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ. وَالْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ

“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah Tuhan Semesta Alam. Pujian yang sebanding dengan nikmat-nikmat-Nya dan akan menjamin tambahan nikmat-Nya. Wahai Tuhan kami, bagi-Mu segala bentuk pujian, sebagaimana pujian yang layak kepada Dzat-Mu Yang Maha Agung, dan kepada kerajaan-Mu yang Maha Besar. Ya Allah, berikanlah rahmat-Mu kepada junjungan kami Nabi Muhammad saw., dengan rahmat yang penuh cahaya sebagai simpanan di sisi Allah dan menjadi kemudahan, kebahagiaan dan kegembiraan bagi kami dan orang-orang mukmin dan (berikanlah rahmat-Mu) kepada keluarga dan para sahabatnya, serta selamatkanlah mereka dengan keselamatan yang sempurna. Ya Allah, jadikanlah akad ini, akad yang penuh berkah, akad yang tidak ada setelahnya perpisahan (perceraian) maupun permusuhan, akad yang diberkahi bagi keduanya dan kepada keduanya dari awal sampai akhirnya hingga keduanya bertemu Engkau dan Engkau ridha kepada keduanya Wahai Tuhan Semesta Alam. Ya Allah, luaskanlah rezeki bagi keduanya dan baguskanlah akhlaq bagi keduanya serta lindungilah keduanya dari perbuatan syirik, ragu-ragu, nifaq dan akhlaq yang buruk. Ya Allah, Ya Tuhan kami, jadikanlah diantara keduanya, keserasian yang tidak ada putus dan ujungnya dan jauhkanlah keduanya dari permusuhan dan perpisahan dengan rahmat-Mu, Wahai Dzat Yang Maha Penyayang orang-orang yang penyayang.  Ya Allah, jadikanlah pernikahan ini, pernikahan yang abadi dan langgeng hingga bertemu Engkau dan Engkau ridha kepada keduanya, Wahai Tuhan Semesta Alam. Ya Allah, jadikanlah mata pencaharian keduanya, mata pencaharian yang baik dan penghidupan yang baik, nikmat dan diridhai serta berikanlah rezeki bagi keduanya anak keturunan yang baik-baik dan membawa kebaikan serta menjadi penyenang hati bagi keduanya, Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu dan selalu segera dalam memenuhi permohonan. Wahai Tuhan kami, berikanlah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari api neraka. Semoga Allah melimpahkan rahmat dan keselamatan kepada junjungan dan panutan kami Nabi Muhammad saw. dan kepada keluarganya serta sahabat-sahabatnya. Segala puji bagi Allah Tuhan Semesta Alam.”

Wallahu A’lam

Diterjemahkan Oleh : Saifurroyya
Sumber Doa Dari : KH. Maimun Zubair (Pengasuh Ponpes Al-Anwar, Sarang, Rembang)

http://talimulquranalasror.blogspot.co.id/2015/05/doa-setelah-akad-nikah-versi-kh-maimun.html?m=1

Selasa, 23 Februari 2016

Tauhid

Jawaban cerdas sayyid Muhammad bin Alawy bin Abbas al-Maliki..

Allah sekarang sedang apa ? Allah sedang ngapain sekarang ? Jika pertanyaan pertanyaan tersebut ditanyakan kepada kita, apa jawaban kita. Mungkin kita bingung dan nggak tahu harus jawab apa.

Tapi kita akan segera tahu dan manggut manggut setelah membaca jawaban dari Sayyid Muhammad bin Alawy bin Abbas al-Maliki, seorang ulama tersohor yang ilmunya sangat mumpuni. Beliau ulama yang sangat karismatik dari kalangan cucu rasulullah sholallohu alaihi wasallam. Murid murid beliau sangat banyak termasuk dari Indonesia. Memandang wajah beliau bikin adem hati, tenang, nggak tahu kenapa.

Banyak saksi yang menceritakan tentang karomah beliau, bahkan jasad beliau pun masih utuh ketika pemerintah saudi membongkar makam beliau utk diganti dengan jenazah yang lain padahal sudah bertahun tahun dikebumikan. Maka makam beliau tidak jadi digantikan dengan jenazah yang lain karena jasadnya masih utuh. Tidak hanya sekedar masih utuh, rambutnya pun bertambah panjang.

Nah, suatu ketika pernah terjadi ada seseorang yg mengajukan suatu pertanyaan yang cukup aneh kepada Sayyid Muhammad bin Alawy bin Abbas al-Maliki, ulama tersohor Mekkah itu.

Sebuah pertanyaan aneh, bukan bermaksud dan bertujuan untuk mengolok, menyudutkan, ataupun menghina.

Sayyid Muhammad al-Maliki tahu orang ini tidak suka shalawatan, Maulidan, maupun pengajian.

Pertanyaannya adalah, "Allah sekarang sedang ngapain?"

Maka dijawab oleh Sayyid Muhammad dengan penuh keilmuan dan penuh hikmah.

"Tahu sekarang Allah lagi ngapain? Allah sekarang lagi bershalawat kepada Nabi Muhammad Saw. Dalilnya adalah surat al-Ahzab ayat 56:

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيماً

“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikatNya senantiasa bershalawat untuk Nabi (Saw.). Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.”

Yushalluna di sini masuk ke dalam fi'il mudhari' atau present tense di dalam bahasa Inggris, yang mengandung arti senantiasa (sedang dan seterusnya) bershalawat kepada Nabi Muhammad Saw. Al-Imam al-Habib Thahir bin Husin al-Haddad bershalawat atas Nabi Muhammad Saw. setiap harinya 25.000 kali.

Sebuah jawaban singkat, jelas dan punya hujjah kuat. Subhanallah....

Allahumma sholli 'alaa sayyidina Muhammad wa alaa alihi washohbihi wasallim.

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=975474325840835&id=100001348291540

Kamis, 18 Februari 2016

Menyikapi harta dengan bijak

Menyikapi Harta secara Tepat

Mahbib, NU Online | Rabu, 17 Februari 2016 19:30

Khotbah I

اَلْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، اَلَّذِى خَلَقَ اْلإِنْسَانَ خَلِيْفَةً فِي اْلأَرْضِ وَالَّذِى جَعَلَ كُلَّ شَيْئٍ إِعْتِبَارًا لِّلْمُتَّقِيْنَ وَجَعَلَ فِى قُلُوْبِ الْمُسْلِمِيْنَ بَهْجَةً وَّسُرُوْرًا. اَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلهَ اِلاَّ اللهُ وَحـْدَهُ لاَشـَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ يُحْيِى وَيُمِيْتُ وَهُوَعَلَى كُلِّ شَيْئ ٍقَدِيْرٌ. وَاَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًاعَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ لاَنَبِيَّ بَعْدَهُ. اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمـَّدٍ سَيِّدِ الْمُرْسَلِيْنَ وَاَفْضلِ اْلاَنْبِيَاءِ وَعَلَى آلِهِ وَاَصْحَاِبه اَجْمَعِيْنَ اَمَّا بَعْدُ، فَيَااَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، اِتَّقُوْااللهَ حَقَّ تُقَاتِه وَلاَتَمُوْتُنَّ اِلاَّوَاَنـْتُمْ مُسْلِمُوْنَ فَقَدْ قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِي كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ: بَلْ تُؤْثِرُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى

Jamaah shalat jum’at rahimakumullah,

Sebagian orang beranggapan bahwa Islam yang menganjurkan seseorang untuk bersikap zuhud sebagai sumber dari kemunduran Islam, terutama secara ekonomi. Tudingan ini tak hanya keluar dari orang-orang di luar Islam tapi juga para pemikir terpandang muslim masa kini. Zuhud dimaknai sebagai sikap menjauh dari dunia, terasing dari keramaian, terbelakang, dan tak selaras dengan gaya hidup modern. Benarkah demikian?

Dalam Surat al-Qashash ayat 77, Allah subhânahu wata‘âlâ berfirman:

وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِن كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ

“Dan canrilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”. (QS. Al-Qashash: 77)

Ayat di atas dengan jelas menegaskan bahwa Islam memerintahkan seseorang untuk mencurahkan segala pikiran dan tenaga demi kesuksesan kehidupan akhirat. Namun di sisi lain juga melarang seseorang untuk mengabaikan sama sekali urusan dunia, termasuk mencari harta. Perkara terhadap perkara dunia dan akhirat ini menunjukkan proporsionalitas Islam. Ia tak menekan pemeluknya hanya mempedulikan akhirat sehingga kehidupan duniawi mereka terpuruk, juga tak menganjurkan mereka melulu terfokus pada dunia yang fana sehingga kehilangan tujuan hakiki sebagai seorang hamba.

Penilaian bahwa zuhud adalah sumber kemiskinan dan keterbelakangan sesungguhnya terletak pada cara memaknai istilah zuhud itu sendiri. Zuhud dalam pengertian yang sebenarnya adalah bukan anjuran untuk lepas dari aktivitas duniawi karena zuhud memang berurusan dengan hati. Zuhud juga bukan berarti meninggalkan pekerjaan dan usaha mencari harta, karena zuhud lebih fokus pada bagaimana sikap batin kita terhadap harta. 

Dalam kitab Raudlatuz Zâhidîn disebutkan, suatu kali Rabi’ah ibn ‘Abdirrahman ditanya, 

يا أبا عثمان مَا وَأْسُ الزَّهَادَةِ؟ قال :  جَمْعُ اْلأَشْياَءِ مِنْ حَلِّهَا وَوَضَعَهَا فِي حَقِّهَا

“Wahai Abu Utsman (panggilan lain dari Rabi’ah), apa pokok dari zuhud itu?” Beliau menjawab, “Menumpuk sesuatu dari tempatnya lalu meletakkannya di tempat seharusnya.”

Islam adalah agama fitrah. Artinya, segenap ketentuannya tak akan mengingkari dari sifat alami manusia. Islam memahami karakter dasar manusia yang membutuhkan harta, karenanya dihalalkan bagi mereka bekerja dan mencari harta. Islam tidak melarang seorang hamba untuk menjadi orang kaya asalkan diraih dengan cara benar. Rasulullah sendiri adalah saudagar yang sukses. Para sahabat di zaman beliau juga tak sedikit yang berlimpah harta. Dengan harta, umat Islam justru lebih mudah untuk bersedekah kepada saudaranya. Dengan kekayaan, umat Islam juga cenderung lebih gampang mengatasi permasalahan dunianya.

Kenyataan tersebut menjadi bukti bahwa mengumpulkan harta bukan perkara najis dalam Islam. Yang menjadi penekanan adalah, bagaimana harta itu disikapi? Di manakah kekayaan itu diletakkan, sebatas “di telapak tangan” atau sampai di lubuk hati? 

Jamaah shalat jum’at rahimakumullah,

Itulah yang dimaksud dengan جَمْعُ اْلأَشْياَءِ مِنْ حَلِّهَا وَوَضَعَهَا فِي حَقِّهَا. Silakan bekerja keras menumpuk harta sebanyak-banyaknya untuk tujuan yang halal, tapi mesti diingat bahwa hati bukan tempat semestinya bagi harta. Islam melarang hubbud dunya (mencintai dunia), dan mendorong manusia untuk memprioritaskan akhirat. Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَا الدُّنْيَا في الآخِرَةِ إِلّا مِثْلُ مَا يَجْعَلُ أَحدُكُمْ أُصْبُعَهُ في الْيَمِّ فَلْيَنْظُرْ بِمَ يَرْجِعُ

“Demi Allah, tidaklah dunia dibanding akhirat melainkan seperti jari salah seorang dari kalian yang dicelup di lautan, perhatikan seberapa banyak air yang menempel dijari.” (HR. Muslim)

Dengan demikian, zuhud tidak identik dengan menjauhi harta tapi menjauh dari rasa cinta terhadap kekayaan dunia (hubbud dunya). Dengan pengertian ini, zuhud tak berhubungan langsung dengan kaya atau miskinnya seseorang. Orang miskin bisa lebih zuhud dari orang kaya, tapi sebaliknya orang miskin juga bisa lebih serakah dari orang kaya. Tergantung mana yang lebih diperbudak oleh harta. Untuk cinta dunia, seseorang tak mesti menjadi kaya raya terlebih dahulu. Karena zuhud memang berurusan dengan hati, bukan secara langsung dengan alam bendawi.

Ciri orang yang tidak diperbudak oleh harta adalah:

أَنْ لَا تَفْرَحَ بِالْمَوْجُوْدِ وَلَا يَحْزَنَ عَلَى اْلمَفْقُوْدِ وَلَا يُسْغِلُهُ طَلَبُهُ وَالتَّمَتُّعُ بِهَا عَمَّا هُوَ خَيْرٌ لَهُ عِنْدَ رَبِّهِ

“Tidak (terlalu) senang dengan sesuatu yang ada, juga tak (terlalu) sedih dengan sesuatu yang hilang. Tidak sibuk memburu dan bersenang-senang dengannya melebihi sesuatu yang lebih baik baginya di sisi Allah.”

Mengapa seseorang dilarang gandrung terhadap harta? Karena hakikat harta sesungguhnya adalah sarana (washîlah), bukan tujuan (ghâyah). Sebagai kendaraan ia hanya berhak mengantarkan, bukan masuk ke dalam. Mengantarkan ke mana? Kepada usaha mendekatkan diri kepada Allah, muara dari segala tujuan dan kebahagiaan.

Khotbah II

اَلْحَمْدُ للهِ عَلىَ اِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَاَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَاَشْهَدُ اَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى اِلىَ رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ وَاَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كِثيْرًا

اَمَّا بَعْدُ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوااللهَ فِيْمَا اَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا اَنَّ اللهّ اَمَرَكُمْ بِاَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى اِنَّ اللهَ وَمَلآ ئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ اَبِى بَكْرٍوَعُمَروَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَىيَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا اَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ

اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ اَعِزَّ اْلاِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ اَعْدَاءَالدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ اِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَاوَاِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ. عِبَادَاللهِ ! اِنَّ اللهَ يَأْمُرُنَا بِاْلعَدْلِ وَاْلاِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِى اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوااللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ اَكْبَرْ

Alif Budi Luhur