Minggu, 23 Agustus 2015

Pengurus PB NU 2015-2020

PB NU 2015-2020
Jakarta, NU Online
Susunan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) secara resmi telah diumumkan, Sabtu (22/8) di lantai 8 Gedung PBNU Kramat Raya, Jakarta. Hadir dalam pengumuman resmi ini, Rais Aam PBNU, KH Ma’ruf Amin, Ketum PBNU, KH Said Aqil Siroj, Waketum PBNU, KH Slamet Effendy Yusuf, dan Sekjen PBNU, H A Helmy Faishal Zaini.

“Susunan pengurus resmi PBNU ini dibentuk berdasarkan keputusan formatur dengan berusaha memadukan tokoh-tokoh NU di berbagai daerah dan generasi muda, baik secara kultural maupun struktural,” ujar Kiai Said Aqil dihadapan para wartawan dari berbagai media.

Berikut ini susunan lengkap pengurus PBNU masa khidmat 2015-2020 yang terdiri dari Mustasyar (Dewan Penasehat), Pengurus Harian Syuriyah, A’wan (Dewan Pakar), dan Pengurus Harian Tanfidziyah:

MUSTASYAR

K.H. Maemun Zubair
Dr. K.H. Ahmad Mustofa Bisri
K.H. Nawawi Abdul Jalil
K.H. Abdul Muchit Muzadi
Prof. Dr. K.H. M. Tholhah Hasan
K.H. Dimyati Rois
K.H. Makhtum Hannan
K.H. Muhtadi Dimyathi
AGH Sanusi Baco
TGH Turmudzi Badruddin (NTB)
K.H. Zaenuddin Djazuli
K.H. Abdurrahman Musthafa (NTT)
K.H. M. Anwar Manshur
K.H. Habib Luthfi bin Yahya
K.H. Sya’roni Ahmadi
K.H. Ahmad Syatibi
K.H. Syukri Unus
Dr. H. M. Jusuf Kalla
Prof. Dr. Chotibul Umam
Prof. Dr. Tengku H. Muslim Ibrahim
K.H. Hasbullah Badawi
K.H. Hasyim Wahid
K.H. Thohir Syarqawi Pinrang
K.H. Hamdan Kholid
K.H. Saifuddin Amsir
K.H. Zubair Muntashor
K.H. Ahmad Basyir
K.H. Ahmad Shodiq
K.H. Mahfud Ridwan
Prof. Dr. K.H. Nasaruddin Umar, MA
Prof. Dr. H. Machasin, MA
K.H. Adib Rofiuddin Izza
Habib Zein bin Smith
Dr. Ir. H. Awang Faroeq Ishaq

PENGURUS HARIAN SYURIYAH

Rais Aam  : Dr. K.H. Ma’ruf Amin
Wakil Rais Aam : K.H. Miftahul Akhyar
Rais : K.H. Mas Subadar
Rais : K.H. Nurul Huda Djazuli
Rais : K.H. Masdar Farid Mas’udi, M.A.
Rais : K.H. Ahmad Ishomuddin, M.Ag.
Rais : K.H. AR Ibnu Ubaidillah Syatori
Rais : K.H. Dimyati Romli
Rais : K.H. Abdullah Kafabihi Mahrus
Rais : K.H. Khalilurrahman
Rais : K.H. Syarifudin Abdul Ghani
Rais : K.H. Ali Akbar Marbun
Rais : K.H. Subhan Makmun
Rais : K.H. M. Mustofa Aqil Siroj
Rais : K.H. Cholil As’ad Samsul Arifin
Rais : K.H. Idris Hamid
Rais : K.H. Akhmad Said Asrori
Rais : K.H. Abdul Hakim
Rais : Dr. K.H. Zakki Mubarok
Rais : Prof. Dr. Maskuri Abdillah
Rais : K.H. Najib Abdul Qadir

Katib Aam : K.H. Yahya Cholil Staquf 
Katib  : K.H. Mujib Qulyubi
Katib  : Drs. K.H. Shalahuddin al-Ayyubi, M.Si
Katib  : Dr. K.H. Abdul Ghafur Maemun
Katib  : K.H. Zulfa Mustahafa
Katib  : Dr. H. Asrorun Niam Shaleh
Katib  : K.H. Acep Adang Ruchiyat
Katib  : K.H. Lukman Hakim Haris
Katib  : K.H. Taufiqurrahman Yasin
Katib  : K.H. Abdussalam Shohib
Katib  : K.H. Zamzami Amin
Katib  : Dr. H. Sa’dullah Affandy
A’WAN

K.H. Abun Bunyamin Ruchiat
Drs. K.H. Cholid Mawardi
K.H. TK Bagindo M Letter
Prof. Dr. H. M. Ridlwan Lubis
K.H. Mukhtar Royani
K.H. Abdullah Syarwani, S.H.
K.H. Eep Nuruddin, M.Pdi.
Drs. K.H. Nuruddin Abdurrahman, S.H.
K.H. Ulinnuha Arwani
K.H. Abdul Aziz Khayr Afandi
H. Fauzi Nur
Dr. K.H. Hilmi Muhammadiyah, M.Si
K.H. Maulana Kamal Yusuf
K.H. Ahmad Bagja
KH. Muadz Thohir
K.H. Maimun Ali
H. Imam Mudzakir
H. Ahmad Ridlwan
Drs. H. Taher Hasan
Dra. Hj. Sinta Nuriyah, M.Hum
Dra. Hj. Mahfudhoh Ali Ubaid
Ny. Hj. Nafisah Sahal Mahfudh
Prof. Dr. Hj. Chuzaimah T. Yanggo
Dr. Hj. Faizah Ali Sibromalisi, M.A.
Prof. Dr. Hj. Ibtisyaroh, S.H., M.M.
Dr. Hj. Sri Mulyati

PENGURUS HARIAN TANFIDZIYAH

Ketua Umum : Prof. Dr. K.H. Said Aqil Siroj, M.A.
Wakil Ketua Umum : Drs. H. Slamet Effendy Yusuf, M.Si.

Ketua :

Drs. H. Saifullah Yusuf
Dr. H. Marsudi Syuhud
Prof. Dr. M. Nuh, DEA
Prof. Dr. Ir. Mochammad Maksum Machfoedz, M.Sc.
Drs. K.H. Abbas Muin, Lc
Drs. H. M. Imam Aziz
Drs. H. Farid Wajdi, M.Pd
Dr. H. Muh. Salim Al-Jufri, M.Sos.I
K.H. Hasib Wahab
Dr. H. Hanief Saha Ghafur
K.H. Abdul Manan Ghani
K.H. Aizzuddin Abdurrahman, S.H.
H. Nusron Wahid, S.E., M.SE
Dr. H. Eman Suryaman
Robikin Emhas, SH, M.H
Ir. H. M. Iqbal Sullam
H. M. Sulton Fatoni, M.Si.

Sekretaris Jenderal  : Dr (HC). Ir. H. A. Helmy Faishal Zaini

Wakil Sekretaris Jenderal :

H. Andi Najmi Fuaidi
dr. H. Syahrizal Syarif, MPH., Ph.D
Drs. H. Masduki Baidlowi
Drs. H. Abdul Mun’im DZ
Ishfah Abidal Aziz, SHI
H. Imam Pituduh, SH., MH.
Ir. Suwadi D. Pranoto
H. Ulil A. Hadrawi, M.Hum
H. Muhammad Said Aqil
Sultonul Huda, M.Si.
Dr. Aqil Irham Heri Haryanto

Bendahara Umum : Dr.–Ing H. Bina Suhendra

Bendahara :

H. Abidin
H. Bayu Priawan Joko Sutono, S.E., M.BM
H. Raja Sapta Ervian, SH., M.Hum. H. Nurhin
H. Hafidz Taftazani
Umarsyah HS
N.M. Dipo Nusantara Pua Upa

(Fathoni)
Sumber ; http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,44-id,61738-lang,id-c,nasional-t,Inilah+Susunan+Lengkap+Pengurus+PBNU+2015+2020-.phpx

Kamis, 20 Agustus 2015

Islam Nusantara2

Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan Dunia
Oleh:  Afifudin Muhajir

Istilah Islam Nusantara agaknya ganjil didengar, sama dengan Islam Malaysia, Islam Saudi, Islam Amerika, dan seterusnya, karena bukankah Islam itu satu, dibangun di atas landasan yang satu, yaitu Alquran dan Sunnah. Memang betul Islam itu hanya satu dan memiliki landasan yang satu, akan tetapi selain memiliki landasan nash-nash syariat (Alquran dan Sunnah), Islam juga memiliki acuan maqāṣīd al-syarīʻah (tujuan syariat). Maqāṣīd al-syarīʻah sendiri digali dari nash-nash syariah melalui sekian istiqrāꞌ (penelitian).

Ulama kita zaman dahulu sudah terlalu banyak yang mereka lakukan. Di antaranya adalah melakukan penelitian dengan menjadikan nash-nash syariat, hukum-hukum yang digali dari padanya, ʻillat-ʻillat dan hikmah-hikmahnya sebagai obyek penelitian. Dari penelitian itu diperoleh kesimpulan bahwa di balik aturan-aturan syariat ada tujuan yang hendak dicapai, yaitu terwujudnya kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat.

Kemaslahatan (maṣlaḥah) semakna dengan kebaikan dan kemanfaatan. Namun, yang dimaksud dengan maslahat dalam konteks ini adalah kebaikan dan kemanfaatan yang bernaung di bawah lima prinsip pokok (al-kulliyāt al-khams), yaitu hifẓ al-dīn, hifẓ al-ʻaql, hifẓ al-nafs, hifẓ al-māl, dan hifẓ al-ʻirḍ.

Ulama Uṣūl Fiqh membagi maslahat kepada tiga bagian. Pertama, maslahat muʻtabarah, yaitu maslahat yang mendapat apresiasi dari syariat melalui salah satu nashnya seperti kearifan dan kebijakan dalam menjalankan dakwah islamiah. Kedua, maslahatmulgāh, yaitu maslahat yang diabaikan oleh syariat melalui salah satu nashnya seperti menyamaratakan pembagian harta pusaka antara anak laki-laki dan anak perempuan. Ketiga, maslahatmursalah, yaitu kemaslahatan yang terlepas dari dalil, yakni tidak memiliki acuan nash khusus, baik yang mengapreasiasi maupun yang mengabaikannya seperti pencatatan akad nikah.

Tujuan negara dalam Islam sejatinya sejalan dengan tujuan syariat, yaitu terwujudnya keadilan dan kemakmuran yang berketuhanan yang Maha Esa, negara yang memiliki dimensi kemaslahatan duniawi dan ukhrawi seperti tersebut sesungguhnya sudah memenuhi syarat untuk disebut negarakhilāfah, sekurang-kurangnya menurut konsep al-Mawardi. Dalam hal ini menurut beliau, “الامامة موضوعة لخلافة النبوة فى حراسة الدين وسياسة الدنيا”/kepemimpinan Negara diletakkan sebagai kelanjutan tugas kenabian dalam menjadi agama dan mengatur dunia.

Maqāṣīd al-syarīʻah sekurang-kurangnya penting diperhatikan dalam dua hal:

Dalam memahami nuṣūṣ al-syarīah, nash-nash syariat yang dipahami dengan memperhatikanmaqāṣīd al-syarīʻah akan melahirkan hukum yang tidak selalu tekstual tetapi juga kontekstual.Dalam memecahkan persoalan yang tidak memiliki acuan nash secara langsung. Lahirnya dalil-dalil sekunder (selain Alquran dan Sunnah) merupakan konsekuensi logsi dari posisi maslahat sebagai tujuan syariat. Di antara dalil-dalil sekunder adalah al-Qiyās, Istiḥsān, Sadd al-żarīʻah, ʻurf, dan maṣlaḥah mursalahseperti disinggung di atas.

Al-Qiyās ialah memberlakukan hukum kasus yang memiliki acuan nash untuk kasus lain yang tidak memiliki acuan nash karena keduanya memiliki ʻillat (alasan hukum) yang sama.

Istiḥsān ialah kebijakan yang menyimpang dari dalil yang lebih jelas atau dari ketentuan hukum umum karena ada kemaslahatan yang hendak dicapai.

Sadd al-żarīʻah ialah upaya menutup jalan yang diyakini atau didgua kuat mengantarkan kepada mafsadat.

ʻUrf adalah tradisi atau adat istiadat yang dialami dan dijalani oleh manusia baik personal maupun komunal. ʻUrf seseorang atau suatu masyarakat harus diperhatikan dan dipertimbangkan di dalam menetapkan hukum sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat. Mengabaikan ʻurf yang sahih seperti tersebut bertentangan dengan cita-cita kemaslahatan sebagai tujuan (maqāṣid) syariat.

Sebagian ulama mendasarkan posisi ʻurf sebagai hujjah syarʻiyyah pada fiman Allah,

خذ العفو وأمر بالعرف وأعرض عن الجاهلين

Jadilah engkau pema’af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.” (al-Aʻrāf: 199)

Dan sebagian yang lain mendasarkan pada hadis riwayat Ibn Masʻūd,

ما رآه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن

Apa yang oleh kaum muslimin dipandang baik, maka baik pula menurut Allah.

Al-Sarakhsi mengungkapkan dalam kitab al-Mabsūṭ,

الثابت بالعرف كاالثابت بالنص

Yang ditetapkan oleh ʻurf sama dengan yang ditetapkan oleh nash.

Pada titik ini perlu ditegaskan bahwa Islam bukanlah budaya karena yang pertama bersifat ilahiah sementara yang kedua adalah insaniah. Akan tetapi, berhubung Islam juga dipratikkan oleh manusia, maka pada satu dimensi ia bersifat insaniah dan karenanya tidak mengancam eksistensi kebudayaan.

Selain nuṣūṣ al-syarīʻah danmaqāṣīd al-syarīʻah, Islam juga memiliki mabādiꞌ al-syarīʻah(prinsip-prinsip syariat). Salah satu prinsip syariat yang paling utama sekaligus sebagai ciri khas agama Islam yang paling menonjol adalahal-wasaṭiyyah. Hal ini dinyatakan langsung oleh Allah swt dalam firman-Nya,

وَكَذلِك جَعَلْناكُم أُمَّةً وَسَطا لِتَكُوْنُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكَم شَهِيدًا.

Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu…”(al-Baqarah: 143)

Wasaṭiyyah yang sering diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan kata moderasi memiliki beberapa makna. Salah satu maknanya adalah al-wāqiʻiyyah (realistis). Realistis di sini tidak berarti taslīm atau menyerah pada keadaan yang terjadi, akan tetapi berarti tidak menutup mata dari realita yang ada dengan tetap berusaha untuk menggapai keadaan ideal.

Banyak kaidah Fikih yang mengacu pada prinsip wāqiʻiyyah, di antaranya:

الضرر يزال

اذا ضاق الامر اتسع واذا اتسع ضاق

درء المفاسد مقدم على جلب المصالح

النزول الى الواقع الأدنى عند تعذر المثل الأعلى

دارهم ما دمت فى دارهم، وحيهم ما دمت فى حيهم

Dakwah beberapa Wali Songo mencerminkan beberapa kaidah di atas. Secara terutama adalah Kalijaga dan Sunan Kudus. Sunan Kalijaga misalnya sangat toleran pada budaya lokal. Ia berkeyakinan bahwa masyarakat akan menjauh jika pendirian mereka diserang. Maka mereka harus didekati secara bertahap, mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang. Maka ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis (penyesuaian antara aliran aliran) dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Dialah pencipta Baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, Layang Kalimasada, lakon wayang Petruk Jadi Raja. Lanskap pusat kota berupa Kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini sebagai karya Sunan Kalijaga.

Metode dakwah tersebut tidak hanya kreatif, tapi juga sangat efektif (wa yadkhulūna fī dīn Allahi afwājān). Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga. Di antaranya adalah Adipati Padanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang (sekarang Kotagede – Yogya). Sunan Kalijaga dimakamkan di Kadilangu -selatan Demak.

Demikian juga dengan metode Sunan Kudus yang mendekati masyarakatnya melalui simbol-simbol Hindu dan Budha. Hal itu terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan pancuran/padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah wujud kompromi yang dilakukan Sunan Kudus.

Ada cerita masyhur, suatu waktu, ia memancing masyarakat untuk pergi ke masjid mendengarkan tabligh-nya. Untuk itu, ia sengaja menambatkan sapinya yang diberi nama Kebo Gumarang di halaman masjid. Orang-orang Hindu yang mengagungkan sapi, menjadi simpati. Apalagi setelah mereka mendengar penjelasan Sunan Kudus tentang surat Al-Baqarah yang berarti “Seekor Sapi”. Sampai sekarang, sebagian masyarakat tradisional Kudus, masih menolak untuk menyembelih sapi. Sunan Kudus juga menggubah cerita-cerita ketauhidan. Kisah tersebut disusunnya secara berseri, sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti kelanjutannya. Suatu pendekatan yang agaknya meng-copy paste kisah 1001 malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah. Dengan begitulah Sunan Kudus mengikat masyarakatnya.

Perlu juga dikemukakan perbedaan prinsip antara Fikih ibadat (ritual) dan muamalat (sosial). Salah satu kaidah Fikih ibadat mengatakan “الله لا يعبد الا بما شرع”/Allah tidak boleh disembah kecuali dengan cara yang disyariatkan-Nya. Sebaliknya kaidah Fikih muamalat mengatakan, “المعاملات طلق حتى يعلم المنع”/Muamalat itu bebas sampai ada dalil yang melarang.

Paparan di atas dikemukakan untuk menjelaskan manhaj Islam Nusantara sebagaimana dibangun dan diterapkan oleh Wali Songo serta diikuti oleh ulama Ahli al-Sunnah di Negara ini dalam periode berikutnya.

Islam Nusantara ialah faham dan praktik keislaman di bumi Nusantara sebagai hasil dialektika antara teks syariat dengan realita dan budaya setempat.

Satu lagi contoh penting dari bagaimana ulama Nusantara memahami dan menerapkan ajaran Islam adalah lahirnya Pancasila. Pancasila yang digali dari budaya bangsa Indonesia diterima dan disepakati untuk menjadi dasar negara Indonesia, meskipun pada awalnya kaum muslimin keberatan dengan itu, karena yang mereka idealkan adalah Islam secara eksplisit yang menjadi dasar negara. Namun, akhirnya mereka sadar bahwa secara substansial pancasila adalah sangat Islami. Sila pertama yang menjiwai sila-sila yang lain mencerminkan tauhid dalam akidah keislaman. Sedangkan sila-sila yang lain merupakan bagian dari representasi syariat.

Seandainya kaum muslimin ngototdengan Islam formalnya dan kelompok lain bersikeras dengan sekulerismenya barang kali sampai saat ini negara Indonesia belum lahir. Itulah pentingnya berpegang pada kaidah “درء المفاسد مقدم على جلب المصالح”/Menolak mudarat didahulukan daripada menarik maslahat.

Pemahaman, pengalaman, dan metode dakwah ulama Nusantara, sejauh ini,telah memberikan kesan yang baik, yaitu Islam yang tampil dengan wajah sumringah dan tidak pongah, toleran tapi tidak plin-plan, serta permai nan damai.

Saat ini, dunia Islam di Timur Tengah tengah dibakar oleh api kekerasan yang berujung pada pertumpahan darah. Ironisnya, agama Islam acapkali digunakan sebagai justifikasi bagi pengrusakan-pengrusakan tersebut. Maka cara berislam penuh damai sebagaimana di Nusantara ini kembali terafirmasi sebagai hasil tafsir yang paling memadai untuk masa kini.

Yang menjadi pekerjaan rumah bersama adalah bagaimana nilai-nilai keislaman yang telah dan sedang kita hayati ini, terus dipertahankan. Bahkan, kita harus berupaya ‘mengekspor’ Islam Nusantara ke seantero dunia, terutama ke bangsa-bangsa yang diamuk kecamuk perang tak berkesudahan, yaitu mereka yang hanya bisa melakukan kerusakan (fasād) tapi tidak kunjung melakukan perbaikan (ṣalāḥ). Tugas kita adalah mengenalkan Allah yang tidak hanya menjaga perut hamba-Nya dari kelaparan, tapi juga menenteramkan jiwa dari segala kekhawatiran,

فَلْيَعْبُدُوا رَبَّ هَذَا الْبَيْتِ، الَّذِي أَطْعَمَهُمْ مِنْ جُوْعٍ وَآمَنَهُمْ مِنْ خَوْفٍ.

Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini (Ka’bah). Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan” (Quraisy: 3-4)

Islam Nusantara

Islam Nusantara Perspektif Tradisi Pemikiran Nahdlatul Ulama

Oleh;

Muhammad Sulton Fatoni

Jakarta - Terma 'Islam Nusantara' menjadi perbincangan masyarakat Indonesia tidak lama setelah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menetapkannya sebagai tema Muktamar NU Ke-33 di Jombang pada tanggal 1—5 Agustus 2015, "Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan Dunia". Berbagai diskusi digelar, begitu juga puluhan artikel muncul di media nasional, dari tulisan mahasiswa hingga Guru Besar. Tak pernah terjadi dalam sejarah NU sebelumnya tema Muktamar bisa meledak dan jadi bahan diskusi seramai ini.

Di antara pemikiran yang muncul tentang 'Islam Nusantara' adalah mengkomparasikannya dengan istilah 'Islam: The Straight Path' yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, 'Islam: Jalan Lurus', atau Islam: Shiratal Mustaqim. Memaknai 'Islam: The Straight Path' dengan 'Islam: Jalan Lurus' memang tidak menimbulkan pergeseran pemahaman. Namun menjadi persoalan besar jika menyamakan makna 'Islam: The Straight Path' (Islam: Jalan Lurus) dengan 'Islam: Sirathal Mustaqim'. 

Rangkaian kata shirathal mustaqim terdapat dalam surah al-Fatihah ayat 6 (enam) yang lengkapnya, ihdinas shirathal mustaqim. Maksud kata shirath dalam nash tersebut adalah 'agama Islam'. Sedangkan maksud mustaqim dalam ayat tersebut adalah 'kemapanan tanpa distorsi' (Ahmad as-Showy, 1813M). Sehingga jika dirangkai dalam satu kalimat, 'islam: Shiratal Mustaqim' menimbulkan kekacauan arti yang bersumber dari kesalahan merangkai kata. Padahal Rasulullah saw menegaskan bahwa Islam itu kesaksian ketuhanan hanya Allah, kerasulan Muhammad saw, komitmen melaksanakan salat, mengeluarkan zakat, puasa Ramadhan dan pergi haji saat mampu (Imam Muslim, 875M).

Muncul juga pemikiran mengkomparasikan 'Islam Nusantara' dengan istilah 'Islam Rahmatan lil 'Alamin'. Kalimat 'rahmatan lil 'alamin' ini terdapat dalam surah al-Anbiya' ayat 107, wa ma arsalnaka illa rahmatan lil alamin (Aku tidak utus engkau Muhammad kecuali untuk mengasihi alam semesta). Ibn Abbas menegaskan bahwa subyek dari misi 'mengasihi alam semesta' adalah Nabi Muhammad saw. Sedangkan obyeknya adalah seluruh umat manusia (at-Thabari: 919M). Maka rangkaian kata 'Islam rahmatan lil 'Alamin' pun memunculkan kekacauan arti yang disebabkan oleh kesalahan merangkai kata. 

Kedua rangkaian kata di atas sudah cukup populer di tengah masyarakat. Kedua fakta tersebut tentu problem besar mengingat keduanya (shiratal mustaqim dan rahmatan lil 'alamin) adalah bagian dari nash al-Qur'an. Padahal telah menjadi kesepakatan ulama bahwa hanya orang-orang dengan kriteria tertentu saja yang punya otoritas untuk memaknai al-Qur'an.

Terma 'Islam Nusantara' juga tidak tepat dianalisa dengan pendekatan ilmu linguistik Arab teori nisbat. Sebab kata 'Nusantara' dalam rangkaian 'Islam Nusantara'—dalam berbagai tulisan para pemikir NU—itu bukan untuk kategorisasi. Kata 'Nusantara' dalam konteks linguistic hanya menerangkan teritori dimana penghuninya memeluk agama Islam.
  
Begitu memahami 'Islam Nusantara' dengan pisau analisa pendapat Koentjaraningrat. Sudah sepatutnya Koentjaraningrat berpendapat bahwa agama itu titah Tuhan dan sebaiknya tidak berusaha mengembangkan suatu agama Islam khas Indonesia. Pernyataan Koentjaraningrat tersebut berkesesuaian dengan prinsip Islam sebagai ajaran yang mapan tanpa distorsi (shirathal mustaqim). Hanya saja terma 'Islam Nusantara' bukanlah bentuk pengembangan agama Islam.

Lalu bagaimana dengan terma 'Islam Nusantara'? Dua rangkaian kata ini sebenarnya membutuhkan penjelasan sederhana. 'Islam' dan 'Nusantara' adalah dua kata yang masing-masing mempunyai makna, dan kedua kata tersebut digabungkan untuk membentuk frasa. Maka jadilah rangkaian 'Islam Nusantara' yang memperlihatkan hubungan erat antara bagian yang diterangkan-menerangkan (Ramlan, 1985) meski tanpa menimbulkan makna baru. 

Dalam ilmu bahasa Indonesia jenis penggabungan kata ini disebut 'aneksi'. Karena masuk dalam kategori 'aneksi' maka terma 'Islam Nusantara' sama saja dengan terma 'Islam di Nusantara'.
 
'Islam Nusantara' dengan makna yang sama dapat dipahami dari perspektif gramatika Arab bahwa rangkaian dua kata 'Islam Nusantara' bukan susunan shifat-maushuf (sifat-yang disifati), melainkan susunan idlâfah (aneksi). Karena itu di antara kedua kata tersebut terkandung kata imbuhan, bisa berimbuhan min (dari) atau fî (di). Contoh, khâtamu hadîdin, artinya cincin 'dari' besi; qiyâmul lail, artinya salat 'di' malam hari. Maka rangkaian 'Islam Nusantara' itu bukan bermakna 'Islam' disifati 'Nusantara', tapi 'Islam hidup di Nusantara'. Kata 'Nusantara' bukan sifat dari Islam, tetapi sebagai idlâfah (KH. Subhan Ma'mun, 2015).
 
Sedangkan dari sisi substansi, terma 'Islam Nusantara' itu paham dan praktik keislaman di bumi Nusantara sebagai hasil dialektika antara teks syariat dengan realita dan budaya setempat. Spirit 'Islam Nusantara' adalah praktik berislam yang didahului dialektika antara nash syariah dengan realitas dan budaya tempat umat Islam tinggal (Afifuddin Muhajir, 2015). 

Perspektif ushul fiqh, proses dialektika antara nash syariah dengan realitas dan budaya tempat umat Islam tinggal itu sesuatu yang lumrah terjadi bahkan pasti terjadi mengingat Islam itu ajaran yang universal. Dan 'Islam Nusantara'  adalah wujud Islam sebagai agama universal mengingat ia telah dipeluk oleh ratusan juta penduduk Nusantara dan telah melahirkan ratusan ribu produk hukum dan khazanah keislaman lainnya. Bertolak dari pemahaman di atas, tak perlu takut Islam terdistorsi gara-gara muncul terma 'Islam Nusantara', atau bahkan nanti menyusul muncul terma 'Islam Amerika', 'Islam Eropa', 'Islam Australia', 'Islam Afrika, dan lainnya.
  
Terlepas dari kajian sisi linguistiknya, terma 'Islam Nusantara' dan 'Islam Rahmatan lil 'Alamin' mempunyai spirit sama mengingat keduanya lahir dari rahim Nahdlatul Ulama. Hanya dari sisi konsekuensinya, 'Islam Nusantara' tidak problematik mengingat ia tidak menimbulkan kekacauan arti.

Dialektika Nash Syariah dan Budaya Lokal 

Masyarakat muslim pesisir pantai pada musim tertentu melakukan ritual 'sedekah laut'. Terdapat kajian menunjukkan bahwa 'sedekah laut' tersebut adalah bentuk konversi kepercayaan non Islam ke agama Islam. Padahal 'sedekah laut' tersebut bukan wujud konversi melainkan wujud dari hasil dialektika antara nash syariah dengan budaya setempat. Artinya, 'sedekah laut' yang masih bertahan di tengah masyarakat tidak pertentangan dengan Islam. Jika proses sedekah di laut itu sebatas konversi tentu tak ada gunanya Islam mereka anut. Begitu juga dengan kepercayaan terhadap Nyi Loro Kidul yang dianut oleh sebagian muslim di pesisir pantai bukanlah bentuk konversi namun hasil dialektika nash syariah dengan budaya.

Budaya yang telah mendapatkan legitimasi nash syariah menjelma menjadi ritual ibadah. Proses ini sesuatu yang lumrah terjadi di lingkungan para kiai di Nusantara. Sehingga keislaman masyarakat Nusantara mempunyai corak yang sama karena referensi (masyrab wal ma'khadz) dan konsep pemikirannya yang tunggal (ittifaqul ara'). KH Hasyim Asyari dalam kitabnya, Risalatu Ahlissunnah wal Jamaah mencatat masyarakat Islam negeri Jawa baru mengalami pertentangan dan gesekan saat memasuki tahun 1912M. Problem sosial keagamaan ini disebabkan kemunculan kelompok penentang (mutadafi'ah) dan kelompok-kelompok yang mengusung aliran-aliran baru (mutanawwi'ah). 

Maksud mutadafi'ah saat itu adalah kemunculan kelompok kecil pendatang yang pendapat dan perilaku keislamannya menimbulkan pertentangan di tengah masyarakat Islam. Sedangkan maksud mutanawwi'ah saat itu adalah kelompok-kelompok kecil pendatang yang masing-masing di antara mereka berbeda pemikiran dan perilakunya sehingga tampak 'aneh-aneh'. Maka menghadapi kelompok mutadafi'ah dan mutanawwi'ah yang ekspresif ini perlu gerakan sistematis. Caranya dengan mendorong Nahdlatul Ulama untuk memberikan perlindungan (jam'iyyatu aman) dan memperjuangkan keadilan (jam'iyyatu 'adl) untuk masyarakat luas (KH Hasyim Asyari, 1928). 

Memberikan perlindungan (jam'iyyatu aman) dalam konteks kemunculan kelompok mutadafi'ah dan mutanawwi'ah adalah mendampingi masyarakat muslim untuk melaksanakan ibadahnya, baik yang bersifat mahdhah (pure) maupun ghairu mahdhah (social and culture). Resources masyarakat tentu terbatas dibanding resources kelompok mutadafi'ah yang kecil dan solid. Karena itu para kiai dan perangkat organiknya selalu berupaya hadir di tengah masyarakat sebagai bentuk menjaga ketertiban sosial.

Sedangkan memperjuangkan keadilan (jam'iyyatu 'adl) dalam konteks kemunculan kelompok mutadafi'ah dan mutanawwi'ah adalah menempatkan para kiai sebagai intelektual organik yang berpikir obyektif. Masyarakat muslim yang mengalami tekanan dari kelompok mutadafi'ah dan mutanawwi'ah diadvokasi untuk mendapatkan kembali hak ritualnya. 

Para kiai tidak hanya sekedar menjelaskan ritual dari sisi basis teoritisnya namun juga proses dialektika nash syariah dengan kebudayaan setempat. Bahasa kebudayaan untuk mengekspresikan empati dan rasa yang tidak bisa diekspresikan oleh masyarakat sendiri (Leszek Kolakowski, 1978) sekaligus basis teoritik yang menjadi titik lemah masyarakat.

Meneruskan Tradisi Pemikiran

Di antara kekuatan Nahdlatul Ulama adalah melakukan diaspora pemikiran yang tak pernah putus sepanjang eksistensinya sejak 1926. Para kiai dan kelompok intelektual NU selalu melahirkan pemikiran dan ide baru yang mampu menggugah umat Islam Indonesia untuk larut dalam arus gagasannya. Contoh, gagasan besar NU yang dicetuskan pada saat Muktamar di Surabaya tahun 1927 yang menyerukan 'perang kebudayaan' melawan penetrasi budaya Barat yang disimbolkan oleh kolonial Belanda. Waktu itu asesoris dasi dilawan dengan kopyah, jas dilawan dengan baju koko, celana dilawan dengan sarung, sepatu dilawan dengan bakiak (doc. PBNU). 
 
Tradisi berpikir dan membangun gagasan besar hingga menjadi kebudayaan telah menjadi bagian penting kehidupan NU. Mestinya jika bangsa ini ingin besar tradisi ini tidak hanya tumbuh subur di kalangan NU namun di sepanjang sejarah sebagian besar orang-orang Indonesia. Namun cukup kecil para intelektual yang berminat di bidang ini.
 
Bagi kelompok tertentu, terma 'Islam Nusantara' itu diyakini gagasan yang tidak masuk akal sehingga patut diremehkan. 'Islam Nusantara' dianggap sebagai sisi gelap agama Islam. Belajar dari logika Antoni Giddens, padahal jika ingin benar-benar memahami tradisi perlu tidak menganggap 'Islam Nusantara' sebagai ketololan. Para intelektual muslim perlu mendekati gagasan 'Islam Nusantara' secara hati-hati.

Terma 'Islam Nusantara' juga bagian dari ide kreatif para kiai sebagai bagian dari ekspresi kesetiaan terhadap ilmu keislaman yang bercirikan tradisional. Terma 'Islam Nusantara' yang dijadikan tema Muktamar NU Ke-33 di Jombang pada tanggal 1—5 Agustus 2015 sebenarnya tidak berdiri sendiri. Terma ini mempunyai mata rantai dengan hasil riset KH Hasyim Asyari yang kemudian mencetuskan terma 'muslimul aqtharil Jawiyyah' (masyarakat Islam Jawa dan sekitarnya) pada 1912M. 

Memilih terma 'Islam Nusantara' agar masyarakat muslim Indonesia lebih nyaman dan mudah memahami dibanding menyebut 'Islam Negeri Jawa'. Meskipun di era lampau penyebutan kata 'jawa' itu bermaksud menunjuk teritori Asia Tenggara di era kini namun faktanya hanya segelintir orang yang mengetahui hal tersebut. Thomas Rawlison pada awal abad ke-18 pernah melakukan hal yang sama saat ia merancang mode pakaian baru menggantikan yang lama supaya lebih nyaman dan mudah bagi para pekerja (Giddens, 1999).

Kalimat 'muslimul aqtharil jawiyyah' yang dipopulerkan KH Hasyim Asyari seratus tahun lalu adalah gambaran mayoritas muslim dalam berpikir dan bertindak (manhajan wa ibadatan). Jika kebanyakan sesuatu yang dianggap tradisional itu mampu menembus batas waktu tak lebih dari dua abad (Giddens, 1999) justru terma 'muslimul aqtharil jawiyyah' menembus 14 abad. Sebab kalimat 'muslimul aqtharil jawiyyah' itu implementasi dari nash syariah, 'sawadul a'dham' (corak muslim mayoritas).
 
Menurut KH Hasyim Asyari, 'sawadul a'dham' itu masyarakat yang mengikuti khittah 'ulama mayoritas'. Sedangkan 'ulama mayoritas' (sawadhul a'dham) dalam konteks kekinian adalah yang sesuai dengan ulama Mekkah, Madinah & al-Azhar. Maka term 'Islam Nusantara' itu maksudnya kesatuan pikir & tindakan ulama Jawa-Makkah-Madinah & al-Azhar yang diikuti oleh masyarakat Islam sedunia. Maksud 'ulama al-Azhar' itu para ulama di al-Azhar as-Syarif Kairo Mesir yg selama ini kukuh dlm kebenaran. Sedangkan maksud 'ulama Makkah dan Madinah' adalah ulama-ulama ahlussunnah wal jamaah di dua kota suci tersebut yang masih bertahan di tengah kekuasaan rezim Wahabi. Inilah mata rantai 'Islam Nusantara' dalam sejarah panjang bangunan peradaban yang digagas Nahdlatul Ulama.

Terma 'sawadul a'dham' diperkenalkan Rasulullah saw. Begitu juga terma 'muslimul aqtharil jawiyyah' sebagai implementasi atas nash suci tersebut, dikreasi oleh KH Hasyim Asyari 14 abad setelah terma sawadul a'dham pertama kali di-nash-kan. Sedangkan NU memperkenalkan 'Islam Nusantara' seratus tahun setelah KH Hasyim Asyari memperkenalkan terma 'muslimul aqtharil jawiyyah'. Semua itu dirancang, dikreasikan, diwujudkan, diciptakan dan bukan tumbuh secara spontan. 

Nahdlatul Ulama mampu bertahan hingga kini salah satu faktornya adalah memposisikan dirinya sebagai agen perubahan, bukan institusi yang bertahan dari arus perubahan. Sebagai institusi di barisan tradisionalis, NU terus menciptakan tradisi-tradisi yang berbasis keislaman dan kelangsungannya dijaga orang-orang bijak, pemimpin agama, guru (Giddens, 1999) dan tentu saja para kiai.

*) Penulis adalah Wakil Sekjend PBNU; Dosen Sosiologi Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia, Jakarta

(gah/gah)

Senin, 17 Agustus 2015

Syair habib salim

Syair Al Habib Idrus ibn Salim Al Jufri menyambut Proklamasi Kemerdekaan RI 17-8-1945

Syair Al Habib Idrus ibn Salim Al Jufri menyambut proklamasi kemerdekaan RI, 17-8-1945.

Beliau ‘alim keturunan Rasulillah SAW pendiri jejaring pesantren Al-Khairat di Sulawesi, dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional tahun lalu.

راية العز رفرفت في سمآء* أرضها وجبالهاخضرآء
Berkibarlah bendera kemuliaan di angkasa. Di bumi yang menghijau daratan & gunung-gunungnya.

إن يوم طلوعها يوم فخر * عظمته الأبآء والأبنآء
Sungguh hari kemunculannya menjelma waktu berbangga. Para tetua & anak-anak memuliakannya.

كل عام يكون لليوم ذكرى * يظهر الشكر فيها والثنآء
Pada tiap tahun hari itu jadi peringatan. Nyatakan rasa syukur padanya & pujian-pujian.

كل أمة لها رمز عز * ورمز عزنا الحمراء والبيضآء
Tiap bangsa memiliki lambang kemuliaannya. Dan merah-putih adalah lambang keluhuran kita.

ياسوكارنو حييت فينا سعيدا* بالدواء منك زال عنا الدآء
Hai Soekarno; kaujadikan hidup kami bahagia. Dengan obatmu hilanglah penyakit kita.

أيها الرئيس المبارك فينا*عندك اليوم للورى كالكمياء
Wahai pemimpin penuh kebaikan di tengah kita. Bagi rakyat kau hari ini laksana kimia.

باليراع وبالسياسة فقتم * ونصرتم بذا جائت الأنبآء
Dengan perantara pena & siasatmu kau jaya. Telah terberita bahwa kau menang dengannya.

لا تبالوا بأنفس وبنين* في سبيل الأوطان نعم الفدآء
Jangan hiraukan jiwa-jiwa & anak-anak kita. Demi tanah air alangkah indah tebusannya.

خذ إلى الأمام للمعالي بأيدي* سبعين مليوناأنت والزعمآء
Gandenglah ke depan nuju kemuliaan; tangan 70 juta jiwa; kau, & para pemimpinnya.

فستلقى من الرعايا قبولا* وسماعا لماتقوله الرؤسآء
Kan kaudapati dari rakyat penerimaan; & kepatuhan pada apa yang para pemimpin ucapkan.

واعمروا للبلاد حسا ومعنى* وبرهنوا للملا أنكم أكفآء
Makmurkan tuk negeri bidang materi & ruhani. Buktikan pada rakyat bahwa kau mumpuni.

أيد الله ملككم وكفاكم * كل شر تحوكه الأعدآء
Semoga Allah membantu kekuasaan & menjagamu; dari kejahatan yang direncanakan musuh-seteru.

*dari twit ustadz @salimafillah (16 Agustus 2015)

Jumat, 14 Agustus 2015

PERJUANGAN DAN PERGOLAKAN NU

PERJUANGAN DAN PERGOLAKAN NU SEBELUM KEMERDEKAAN
Muslimedianews.com ~ Sesuai dengan Anggaran Dasar 1926 (yang disusun 1929 dan 
disahkan oleh pemerintah 1930) NU menetapkan tujuannya adalah untuk mengembangkan Islam berlandaskan ajaran keempat mazhab. Tujuan itu diusahakan dengan: 
  1. Memperkuat persatuan di antara sesama ulama penganut ajaran-ajaran empat mazhab.
  2. Meneliti kitab-kitab yang akan dipergunakan untuk mengajar agar sesuai dengan ajaran ahlusunnah wal jamaah.
  3. Menyebarkan ajaran Islam yang sesuai dengan ajaran empat mazhab.
  4. Memperbanyak jumlah lembaga pendidikan Islam dan memperbaiki organisasinya. 
  5. Membantu pembangunan mesjid, surau dan pondok pesantren serta membantu kehidupan anak yatim dan orang miskin.
  6. Mendirikan badan-badan untuk meningkatkan perekonomian anggota.(69)


Dengan berdirinya NU maka lapisan terbesar masyarakat Indonesia yang terdapat di pedesaan dibenahi oleh NU untuk mengimbangi kemajuan yang telah dicapai oleh kaum pernbaharuan di kota-kota.   
Sejak pembentukannya, Nahdlatul Ulama mampu membatasi penyebaran pikiran-pikiran Islam Moderen ke desa-desa di Jawa, yang sejak akhir tahun 1920-an tercapai suatu status quo ketika kaum Islam moderen memusatkan misinya di lingkungan perkotaan, sedangkan Nahdlatul Ulama cukup puas menarik pengikutnya, terutama mereka yang berasal dari daerah pedesaan.(70)  
NU muncul pada saat penguasa tradisional (pribumi) telah menjadi alat kekuasaan Belanda; sehingga makin rnemperkuat wibawa  ulama di mata umat Islam. "Dalam waktu bersamaan dengan menurunnya penguasa tradisional di mata publik, suatu kelompok elite baru muncul dengan menonjol yaitu para haji dan kyai," demikian Bernhard Dahm.(7l)  

Salah seorang kyai dan haji yang paling menonjol adalah Hasyim Asyari pendiri NU. Di bawah kepemimpinannya NU diantarkan sampai kepada masa kemerdekaan bangsa Indonesia. Masa hidupnya (1871-1947) merupakan karunia sejarah bagi NU, karena masa itu adalah masa yang penuh pergolakan bagi bangsa Indonesia, yaitu saat mulai memudarnya perlawanan bersenjata, kemunculan berbagai gerakan kebangsaan dengan berbagai aspirasinya, masa penjajahan Jepang dan mencapai puncaknya dalam masa kemerdekaan. Mungkin jarang ditemui sebuah organisasi secara utuh dipimpin oleh seorang tokoh saja melewati berbagai periode sejarah seperti yang dialami NU di bawah kepemimpinan Hasyim Asyari.
 
Segera setelah terbentuk, NU mengirim utusan khususnya kepada Raja Saud dengan permohonan agar diberlakukan kemerdekaan (kebebasan) di Tanah Suci menjalankan salah satu dari empat mazhab, yakni Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hambali. Permohonan ini disambut baik oleh Raja Saud.(72) Kalau pun sikap Raja Saud dapat rnengherankan — mengingat hubungannya dengan aliran Wahhabi — rupanya hal itu menyatakan telah terjadi pergeseran nilai di Tanah Suci. Antara 1924 dan 1932 Raja Saud dalarn usahanya membangun Saudi Arabia telah memutuskan hubungan dengan golongan fanatik para pendukungnya dan mulai mengambil langkah-langkah pragmatis.(73)  

Seperti dikatakan di atas bahwa yang paling penting bagi NU adalah kelangsungan mazhab. Hal itu segera ternyata dalam Muktamar pertama yang diadakan di Surabaya pada bulan Oktober 1926. Pertanyaan pertama dalam Muktamar: "Wajibkah bagi umat Islam mengikuti salah satu dari empat Mazhab?" Yang langsung dijawab oleh Muktamar, yang semua pesertanya ulama, bahwa "pada masa sekarang wajib bagi umat Islam mengikuti salah satu empat mazhab yang tersohor dan mazhabnya telah dikodifikasikan (mudawwan)."(74) Tanpa menantikan kembalinya utusan Komite Hijaz (K.H Abdulwahab Hasbullah dan Syekh Ahmad Chanaim yang baru kembali tahun 1928(75) ), NU telah menegaskan kemandiriannya dalam menganut mazhab! Memang Muktamar pertama langsung membahas masalah agama, praktek keagamaan dan etika. Yang menarik dari banyak muktamar NU adalah cara mengambil keputusan yang selalu bersandar pada pendapat (fatwa) ulama-ulama terdahulu dan selalu dihindarkan jawaban-jawaban yang mutlak (kecuali dalam soal agama). Sudah tentu cara ini hanyalah penegasan peranan ulama sebagai orang yang paling mengetahui masalah agama dan sebagai pemimpin keagamaan umat. Sebuah ilustrasi dari muktamar akan menjelaskan fenomen ini.
Bolehkah menterjemahkan khutbah jum'ah selain rukunnya atau beserta rukunnya? Apabila ia diperbolehkan apakah yang terbaik dengan bahasa Arab saja atau beserta terjemahnya? Apabila yang terbaik beserta terjemahnya apakah faedahnya? Menterjemahkan khutbah jum'ah selain rukunnya itu boleh sebagaimana tersebut dalam kitab-kitab mazhab Syafii, dan Muktarnar memutuskan: Bahwa yang terbaik adalah khutbah dengan bahasa Arab kemudian diterangkan dengan bahasa yang dimengerti oleh hadirin. Adapun faedahnya adalah supaya hadirin mengerti petuah yang ada dalam khutbah.


Bagaimana hukumnya alat-alat yang dibunyikan dengan tangan? 

Muktamar memutuskan, bahwa segala alat yang dipukul (dibunyikan) dengan tangan seperti rebana dan sebagainya itu hukumnya mubach (boleh selama) alat-alat tersebut tidak dipergunakan untuk menimbulkan kerusakan dan tidak menjadi tanda-tanda orang fasiq...(76) 
Cara yang sama masih terjadi sampai sekarang dalam pengajian-pengajian yang dipimpin oleh ulama. Sepintas lalu pertanyaan-pertanyaan yang diajukan terkesan picik dan naif, tetapi itu terjadi kalau kita kurang memahami apa arti hukum agama (syariat) bagi umat Islam. Agama atau keimanan tidak terlepas dari prakteknya yang konkret dalam kehidupan sampai kepada hal yang sekecil-kecilnya yang dapat diatur oleh hukum. Dengan demikianlah umat Islam menyatakan ketaatannya secara bulat dan menyeluruh. Islam selalu mencoba sekuat tenaga menyesuaikan kehidupannya dengan hukum yang bersumber dari Allah.
 
S.H. Nasr merumuskannya dengan indah: 
Syariah adalah hukum Tuhan, dalam pengertian ia adalah pelembagaan kehendakNya, dengan mana manusia harus hidup secara pnbadi dan bermasyarakat. Dalam setiap agama kehendak Tuhan selalu dimanifestasikan dalam satu atau lain cara . . . Tetapi di dalam Islam pelembagaan ini sesuatu yang konkret . . . Syariah berisi perintah agung yang mengatur segala keadaan dalam kehidupan...(77) 
Dalam konteks inilah para ulama (kyai) melakukan peranannya sebagai juru bahasa agama terhadap masyarakat. Kalau ia sering dituduh hanya membahas hal-hal yang sepele (furu'), itu karena ulama tidak dapat melepaskan pengetahuan keagamaannya dari kehidupan umat Islam yang mengharapkan bimbingannya. Di samping menganjurkan sesuatu perbuatan, ulama juga menilai sesuatu perbuatan yang tak dianjurkan tetapi berlangsung terus (seperti menilai ziarah, selamatan, soal jual beli, perkawinan dan sebagainya). Dalam perimbangan mana yang harus (wajib), mana yang dianjurkan (mandub), mana yang terlarang (haram), dan yang kurang baik (makruh) dan mana yang tak dilarang (halal) dan mana yang tak dianjurkan (mubah), para ulama membimbing umat menyesuaikan segala perbuatan dan tindakannya dengan kehendak Tuhan.(78) 

Setelah terbentuk NU setiap tahun mengadakan muktamar yang jumlah ulama peserta selalu meningkat dari tahun ke tahun. Pada Muktamar II (1927) pembahasan bukan lagi masalah mazhab tetapi bergeser pada masalah kemasyarakatan (perkawinan dan pendidikan agama).(79) Menarik untuk dicatat bahwa dalam Muktaar II, NU meminta kepada pemerintah Belanda agar pendidikan agama Islam dimasukkan di dalam kurikulum sekolah-sekolah umum di seluruh Jawa dan Madura karena mayoritas penduduknya beragama Islam, "Bila dinegara mayoritas muslim tidak diajarkan pelajaran agama Islam, menurut pandangan NU, sama artinya dengan berusaha mendangkalkan dan menanggalkan Islam."(80)
 
Dalam memutuskan sesuatu hal yang dianggap baru Muktamar NU tidak menerima atau menolak begitu saja, tetapi memutuskan dengan hati-hati atau memutuskan dengan memandang manfaatnya. Bagaimanakah hukumnya mengambil hasil dari barang jaminan (sebidang tanah) yang diambil hasilnya dalam pegadaian? Muktamar II menyodorkan tiga pendapat, yaitu haramhalal dan syubhat (belum jelas haram atau halal). "Adapun Muktamar memutuskan bahwa yang lebih berhati-hati adalah pendapat pertama (haram)."(81) Bagaimana hukumnya mendengarkan siaran radio? Muktamar X menjawab: "Kalau yang didengarkan haram maka haramlah mendengarnya. Kalau makruh, ya makruhlah mendengarnya begitulah seterusnya, begitu pula hukum menyimpannya."(82) Keputusan ini sesuai dengan pendapat Mufti Mesir, Bakhit El Muthi'ie, yang disiarkan dalam majalah El-Hidayatul Islamiyah bulan Agustus 1933.(83) Berarti keputusan Muktamar di samping berlandaskan buku klasik juga menggunakan pendapat lain yang datang dari luar dirinya.
 
Besar sekali keuntungan yang diperoleh NU dengan mengadakan muktamar setiap tahun sehingga ia mampu mengikuti perkembangan dan kejadian yang timbul di masyarakat umum. 

Dalam perkembangannya Muhammadiyah organisasi pendidikan dari golongan pembaharuan juga melakukan hal yang sama agar dapat memberikan pedoman bagi umat Islam. Muhammadiyah pada tahun 1927 mernbentuk sebuah badan yang berhak mengeluarkan fatwa, yaitu Majelis Tarjih.(84) Badan ini juga diharapkan menjaga agar tidak terjadi "pelanggaran-pelanggaran terhadap keputusan-keputusannya."(85) Majelis Tarjih banyak membahas tentang masalah non-agama, yang dianggap akan menimbulkan pertikaian di kalangan umat, seperti bunga bank, upacara api unggun, soal pakaian, dan sebagainya.(86) Menurut Deliar Noer — yang memuji peranan Majelis Tarjih ini — dalam memutuskan fatwanya bersifat longgar dan toleran dalam arti "memberikan kelapangan pada praktek yang berbeda dengan pendapatnya."(87) Abdurrahman Wahid yang tergolong pemikir dan tokoh muslim progresif dewasa ini (sekarang Ketua NU), dalam sebuah diskusi panel dengan warga Muhammadiyah pada tahun 1981, memuji potensi organisasi ini karena sesuai dengan wataknya yang egaliter telah mampu menghimpun kaum profesional (dokter, guru, pedagang, pekerja, dan lain-lainnya) bergiat dalam memperjuangan missi Islam dalam masyarakat.(88) Namun ia juga memberikan kritiknya bahwa dalam perkembangan Muhammadiyah peranan ulama makin tergeser ke belakang oleh kaum profesional sehingga agama kemudian hanya menjadi pemberi legitimasi bagi kegiatan kemasyarakatan Muhammadiyah.(89) Menurut hemat saya, kritik Wahid itu secara tidak langsung menegaskan ciri khas NU bahwa yang berhak memberikan fatwa yang berwibawa adalah para ulama orang yang paling mengetahui masalah agama. Peranan ulama memberikan fatwa dalam masalah kemasyarakatan, bukanlah sesuatu tanda kekolotan tetapi sesuai dengan watak Islam itu sendiri yang tidak mengenal pemisahan lingkup agama dan dunia! 

Secara bertahap NU membenahi organisasasinya terutama dalam usaha mengembangkan agama. Sebenarnya kurun waktu lahirnya NU dalam dekade duapuluhan adalah suatu kurun yang sengit. Dekade duapuluhan adalah dekade kemunculan berbagai organisasi, baik yang bersifat sosial maupun politik (yang bercorak suku daerah dan keagamaan). Kaum nasionalis berhasil menghimpun kekuatan dalam Partai Nasional Indonesia (untuk selanjutnya disebut PNI) yang didirikan dan dimotori oleh kaum intelektual muda seperti Soekarno dan Mohammad Hatta).(90) Serikat Islam mulai menegaskan aspirasi nasionalisme yang berdasarkan Islam dengan menyatakan diri sebagai partai, yaitu Partai Serikat Islam Indonesia (1929). Dorongan untak merdeka dari penjajahan membuat kaum nasionalis Islam makin dekat dengan kaum nasionalis netral agama.(91) Tetapi terjadi perbedaan pandangan (bahkan pertentangan) dalam kalangan pembaharu (antara Serikat Islam kontra Muhammadiyah dan Persatuan Islam). Menurut Deliar Noer dalam karyanya yang terbaru Partai Islam di Pentas Nasionalis, perbedaan itu terjadi "disebabkan oleh pertimbangan politik daripada pertimbangan agama; tetapi pertimbangan yang bersifat pribadi juga menentukan.(92) Sambil lalu ia juga menilai kaum tradisional atau NU ketika itu "belum menjadi penting."(93)  

Walaupun penilaiannya itu dapat diterima secara fakta sejarah karena NU belum terjun ke dalam kancah politik pada awal penampilannya, tetapi belum tentu ketidaksertaannya dalam dekade 1920-an menjadikan NU tidak penting. Sebagai wadah ulama, NU bukanlah organisasi dari sebuah gagasan (ideologi) melainkan organisasi massa dengan basis pesantren. Di atas, kita telah melihat bahwa sebelum abad XX kaum ulama dan santri telah terjun dalam perlawanan bersenjata terhadap Belanda. Abad XX corak perlawanan sudah tentu berbeda, sudah harus mengikuti cara-cara modern. Di sini kaum tradisional atau NU belum siap. Namun demikian dengan caranya sendiri melalui muktamar-muktamarnya NU mempersiapkan diri untuk terjun dalam pergerakan bangsa Indonesia mencapai kemerdekaan. Ketika kaum nasionalis (PNI) muncul sebagai saingan Islam dan kaum pembaharuan berada dalam pertikaian, maka kemunculan NU di bawah kepemimpinan Hasyim Asyari membuat peranan Islam dalam pergerakan bangsa dapat berlangsung terus. Dhofier, merumuskan dengan tepat, 
.... para pemimpin organisasi-organisasi Islam menghadapi saingan dengan munculnya pemimpin-pemimpin muda yang dengan mengorbarkan panji-panji nasionalisme segera memperoleh dukungan kuat dari rakyat, sehingga mampu menggantikan pemimpin-pemimpin nasionalis Islam seperti Cokroaminoto dan Haji Agus Salim. 

Dalam menghadapi saingan baru ini, kedudukan Kyai Hasyim Asyari dinilai .... sangat penting karena pengaruhnya yang demikian kuat dalam lingkungan kaum Islam tradisional di pedesaan dapat turut menjamin bagi kelangsungan peranan Islam dalam pergerakan kebangsaan secara keseluruhan.(94)
 
Langkah penting diayunkan oleh NU pada Muktamar IX (1934 di Banyuwangi. Choriul Anam dalam bukunyaPertumbuhan dan Perkembangan Nahdlatul Ulama menyatakan Muktamar ini sebagai awal masa perkembangan NU.(95) Ada tiga alasan diajukannya: Pertama, pemisahan sidang Syuriah (Dewan Tertinggi Keagamaan) dariTanfidziyah (Badan Pelaksana Organisasi); Kedua, tatacara persidangan mulai dibenahi; Ketiga, munculnya tokoh-tokoh muda yang berpandangan luas seperti Mahfuzd Siddiq, Wahid Hasyim, Thohir Bakri, Abdullah Ubaid dan sebagainya.(96) Di sini pula NU melengkapi organisasinya dengan membentuk wadah pemuda yang disebutAnsor Nahdlatul Ulama.(97) Pembagian pengurus atas Syuriah dan Tanfidziyah menurut Mahrus Irsyam sesuai dengan "pola hubungan antara kyai dengan santri" — antara Guru dan Murid.(98) NU membenahi organisasinya menurut pola yang sudah mapan sebelumnya dalam kehidupan di pesantren sehingga kedudukan ulama tetap diakui kendatipun suatu organisasi (termasuk  NU) tidak luput dari pengaruh zaman modern. Di kemudian hari ketika Indonesla memasuki masa pembangunan secara besar-besaran ulama tetap menuntut posisi utama; ia tidak mau disingkirkan oleh kaum politisi atau intelektual. 

Dekade tiga puluhan adalah dekade mencari identitas pergerakan bangsa Indonesia menuju kemerdekaan. Ketika golongan nasional yang dimotori oleh PNI membentuk wadah persatuan pergerakan nasional dalam Permufakatan Perhimpunan-perhimpunan  Politik Kebangsaan Indonesia (untuk selanjutnya disebut PPPKI) 
pada tahun 1927, dari golongan Islam yaitu SI turut bergabung.  Tetapi ia tidak lama betah dalam wadah itu. Pada tahun 1930 SI  ketika itu sudah menjadi Partai Serikat Islam Indonesia — PSII)  menyatakan diri keluar karena beberapa alasan; SI tidak setuju didirikannya Bank Nasional Indonesia karena "bank ini memungut  bunga uang, sesuatu hal yang dianggap bertentangan dengan agama  Islam" dan SI berpendapat bahwa keinginan beberapa anggota  memperbaiki kedudukan wanita dalam masyarakat (larangan perkawinan anak danasas monogami) bertentangan dengan "dasar  PPPKI yang menghormati keyakinan tiap-tiap orang dalam agamanya masing-masing."(99) Sebenarnya alasan yang dikemukakan di atas hanyalah perwujudan hal yang sangat mendasar sebelumnya ketika PPPKI dibentuk, yaitu pertentangan pendapat antara golongan nasional dan Islam (SI) tentang siapakah yang berhak menjadi anggota PPPKI. Golongan nasional berpendapat semua bangsa Indonesia (dan ini memang menjadi bagian dari anggaran dasarnya) sedangkan SI berpendapat (sesuai dengan anggaran dasarnya) semua orang Islam.(100) Semua pihak menderita kerugian dengan keluarnya SI. Golongan nasional kehilangan basis untuk menjangkau lapisan terbesar masyarakat, umat Islam yang tinggal di perkotaan. Sedangkan SI merasa makin "terjepit antara kaum pembaharu Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama yang konservatif dan kehilangan momentum dalam hubungan dengan golongan nasionalis sekuler."(101) 

Nampaknya kaum pembaharuan yang diwakili oleh SI belum siap menanggapi secara lebih terbuka gagasan-gagasan moderen. Sebenarnya pertentangan pendapat telah menjadi keras dan tajam dalam tahun-tahun terakhir dekade duapuluhan seperti yang ditunjukkan oleh polemik antara Sukarno dan Agus Salim; bagi Salim tanpa nilai Islam, nasionalisme akan melahirkan "berhala" modern.(102) Pertentangan itu mencuat pula dalam dekade tiga pulahan antara Sukarno dan Mohammad Natsir (juru bicara kalangan pembaharuan yang sangat tajam pandangannya). Kalangan nasional ingin melaksanakan nasionalisme sebagai tumpuan perjuangan sedangkan kalangan pembaharuan ingin menempatkan nilai-nilai Islam. Dengan kata lain, bagi kalangan nasional persatuan tidak akan tercapai kalau agama ditonjolkan sedangkan bagi golongan Islam (kalangan pembaharuan) persatuan tanpa Islam sesuatu yang tidak mempunyai nilai sama sekali. 

Selama kaum pembaharuan sibuk berpolemik dengan kaum nasionalis, kaum tradisi atau NU lebih banyak menoleh kedalam. NU sadar, pesantren dengan sistem hubungan kyai dan santri saja (dengan lebih banyak menekankan pengajian dan penghapalan buku-buku mazhab) sudah tidak memadai untuk membentuk kader baru. Atas Jasa dan prakarsa tokoh muda Wahid Hasyim, NU mulai membuka sekolah kejuruan, dan tahun 1938 telah memiliki pedoman pendidikan yang baru.(l03) Sementara itu NU mulai dipimpin oleh tokoh muda, Mahfudz Siddiq, yang menjadi Ketua Umum Tanfidziyah (1937-1942). Di bawah pimpinannya NU memperoleh banyak kemajuan dalam lapangan sosial, ekonomi pertanian, dan organisasi.(104)  

Walaupun NU bukan organisasi politik tetapi ia tanggap terhadap perkembangan yang terjadi. Tantangan makin mendekatkan sesama organisasi Islam, berbagai peraturan yang dirasakan merugikan umat Islam (ordonansi perkawinan, hukum waris, milisi, dan sebagainya), membuat NU menggalang kekuatan bersama dengan organisasi Islam lainnya (SI, Muhammadiyah, dan sebagainya) dengan membentuk Majelis Islam Ala Indonesia(MIAI) pada tahun 1937, yang diharapkan menjadi wadah perjuangan umat Islam. Semboyan MIAI adalah sebuah ayat Qur'an yang mengajak umat Islam bersatu: "Berpegang tegublah kamu sekalian dengan tali Allah dan janganlah berpecah belah." (Sura 3: 103)(105) Pemrakarsa terbentuknya MIAI adalah Abdul Wahab Hasbullah dan setelah terbentuk diketuai oleh Wahid Hasyim.(106) Tampaknya sedikit banyak wibawa ulama diakui oleh kaum pembaharuan. Sementara itu kekuatan politik yang koperatif dan non-koperatif, baik dari  kalangan nasional maupun Islam, berhasil rujuk kembali dalam wadah Gabungan Aksi Politik Indonesia (untuk selanjutnya disingkat GAPI) pada tahun 1939. Adapun maksud dan tujuan MIAI, antara 
lain: 
  1. Menggabungkan segala perhimpunan umat Islam untuk bekerja sama.
  2. Berusaha untuk menyelesaikan apabila timbul pertikaian di antara umat Islam.
  3. Mempererat hubungan dengan umat Islam di luar negeri. 
  4. Berusaha memajukan agama Islam dan
  5. Membangun Kongres Muslimin Indonesia.(107)
Bergabungnya NU dengan golongan Islam lain merupakan langkah baru; ternyata bahwa golongan tradisional mampu bekerja sama dengan golongan lain sepanjang masalahnya dilihat bersangkut paut dengan kehidupan langsung agama Islam! Mungkin Juga NU mulai merasakan bahwa ia membutuhkan tenaga intelektual. "Perjuangan politik tidak bisa hanya bermodalkan jumlah massa yang banyak saja. Ia membutuhkan taktik strategi yang direncanakan secara baik. Dengan begitu maka kelahiran MIAI adalah merupakan tangga bagi NU ke dalam dunia politik..."(108) Dengan berdirinya MIAI kita melihat bahwa organisasi Islam dapat bersatu dalam masalah sosial tetapi berpisah atau bertentangan dalam masalah politik!  Sebagai organisasi keagamaan NU juga tanggap terhadap masalah politik. Ketika Perang Dunia II makin membara Belanda memerlukan dukungan jajahannya menghadapi Jepang yang dicap sebagai kekuatan Fasis. Kalangan pergerakan di dalam GAPI berdasarkan keprihatinan terhadap nasib bangsa Indonesia sempat menyambut seruan Belanda untuk bersama menghadapi Jepang. Tetapi NU mengambil sikap lain, bahwa bangsa Indonesia yang dijajah Belanda tidak terikat membela pemerintah Hindia Belanda.
Menurut Nahdlatul Ulama, bangsa Indonesia yang sebagian terbesar adalah muslimin, selama masih menjadi bangsa jajahan tidaklah terikat oleh kewajiban-kewajiban perang yang menjadi tanggung jawab penjajah (Hindia Belanda). Bagi Nahdlatul Ulama, masalah mati adalah paling serius, dan mati untuk kepentingan penjajah adalah mati yang sia-sia.(109) 
Perbedaan sikap di antara kalangan nasionalis (GAPI) dan kalangan agama (MIAI) tentang sikap terhadap perang Pasifik berlanjut sampai Jepang menguasai Nusantara, padahal menjelang akhir kekuasaan Belanda kalangan nasionalis dan agama telah berhasil menggalang kekuatan dalam wadah yang disebut Kongres Rakyat Indonesia (disingkat Korindo). Perbedaan sikap yang kemudian menimbulkan krisis dalam Korindo tak sampai terselesaikan karena Jepang keburu masuk sehingga situasi pun berubah.(110) Kalangan nasionalis yang memperihatinkan nasib bangsa Indonesia bersedia berunding dengan Belanda, tetapi sebalilnya sikap kalangan agama terhadap Belanda makin keras.(111) 

MIAI merupakan langkah nyata keterlibatan NU dalam perjuangan bangsa Indonesia tanpa perlu mengubah karakternya sebagai organisasi keagamaan. Posisi NU cukup kuat di dalamnya, bukan saja karena kemudian wakilnya Wahid Hasyim menjadi ketua, tetapi juga karena atas desakan NU kongres MIAI yang pertama (1938) tidak menjadi lanjutan Kongres Islam yang sebelumnya yang menyebabkan golongan tradisional pernah bentrok dengan golongan pembaharuan. Kongres MIAI yang pertama dianggap sebagai permulaan yang baru, menjadiKongres Al-Islam Indonesia Pertama,(112) NU menyadari sepenuhnya rnanfaat persatuan dalam perjuangan, seperti yang dinyatakan oleh seruan Hasyim Asyari kepada pesantren.
Perkokoh persatuan kita, karena orang lain juga memperkokoh persatuan mereka. Kadang-kadang suatu kebathilan mencapai kemenangan disebabkan mereka bersatu dan terorganisasi. Sebaliknva kadang-kadang yang benar menjadi lemah dan terkalahkan lantaran bercerai berai dan saling bersengketa.(113)
Tampilnya MIAI yang dimotori oleh dua organisasi non-politik — NU dan Muhammadiyah — telah memberikan warna baru bagi kiprah umat Islam dalam arus pergerakan bangsa. Pada saat SI — kalau boleh disebut 'wakil' Islam dalam bidang politik — makin mundur dan terjepit di antara golongan nasionalis dalam GAPI umat Islam dapat memperkuat barisannya dalam pergerakan bangsa menuju kemerdekaan. Kemerdekaan bukan saja aspirasi partai  politik Islam dengan segelintir politisinya dan bukan pula hanya aspirasi golongan nasionalis, tetapi menjadi aspirasi seluruh umat Islam, baik yang tinggal di kota maupun di desa. Organisasi keagamaan mampu mengikuti perjuangan bangsa dan mampu menjalankan peranan yang kritis; dengan memberi dukungan kepada sesuatu aspirasi yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai keagamaan atau memberikan kritik terhadap sesuatu perkembangan yang dinilai tidak sesuai dengan nilai-nilai keagamaan! 

Harry Benda memberikan kepada kita catatan menarik bahwa terjadinya polarisasi sikap di antara golongan nasionalis (yang disebutnya golongan sekuler) dengan golongan agama karena secara ideologis paham nasionalisme terikat kepada Barat sedangkan pemimpin Islam tidak terikat.(114) Itulah sebabnya menjelang akhir kekuasaan Belanda peranan Islam makin besar, seperti yang dicatat oleh Benda; 
Pada tahun-tahun terakhir Belanda, Islam Indonesia dengan demikian memainkan peranan yang semakin penting dalam kehidupan politik  tanah jajahan tersebut, sebuah peranan yang serentak menggaris bawahi persamaan dan perbedaan antara pemimpin Islam dan para pemimpin non-religius.(115) 
Mungkin dapat ditambahkan pula, bahwa menjelang berakhirnya kekuasaan Belanda bangsa Indonesia telah berhasil menggalang persatuan karena mempunyai tujuan yang sama (kemerdekaan), tetapi berbeda dalamstrategi mencapai tujuannya. Dan tujuan itu pula yang merujukkan golongan tradisional (NU) dan golongan pembaharuan (Muhammadiyah)! 
 
Setelah Perang Pasifik meletus dan Jepang dengan cepat menguasai Nusantara yang dianggap mempunyai potensi besar mendukung ambisi Jepang untuk menguasai selurah Asia. Sama dengan pendahulunya (Belanda), Jepang melihat Islam adalah faktor penting untuk keberhasilan politik penjajahannya. Ia telah siap untuk memasuki bumi Nusantara "dengan suatu rencana kebijaksanaan yang ditujukan untuk memenangkan dukungan Islam. Kebijaksanaan ini — sebagian merupakan kebalikan terang-terangan dari tujuan Belanda — terutama ditujukan kepada masalah-masalah Islam di tingkat rakyat pedesaan (grassroots).''(216) Belanda dan Jepang berbeda dalam tujuan politik Islam mereka; kalau Belanda bertujuan menguasai jajahannya maka Jepang bertujuan memperalat Islam untuk mengembangkan kekuasaannya. Terlepas dari tujuan politik Islamnya di bawah kekuasaan Jepang, Islam memperkuat diri. Tampaknya golongan agama lebih leluasa bergerak ketimbang saingannya golongan nasionalis. Tentang hikmah yang dipetik oleh Islam karena politik Islam Jepang itu, Deliar Noer menguraikannya dengan Jelas, 
Berbeda dari pemerintah Belanda, memang pihak Jepang sangat banyak menaruh perhatian kepada gerakan dan perkembangan umat Islam. Tampaknya mereka, mendorong dan memberi prioritas kepada kalangan Islam dalam mendirikan organisasi mereka sendiri, sedangkan organisasi kalangan nasionalis yang netral agama tidak digalakkan.Untuk pertama kali dalam sejarah moderen, pemerintah di Indonesia secara resrni memberi tempat yang penting kepada kalangan Islam.Sikap pihak Jepang itu tidak dengan sendirinya berarti melaga golongan nasionalis dengan golongan Islam dengan maksud menguasai keduanya, sungguhpun kemungkinan politik pecah belah ini terdapat. Yang ielas ialah pemerintah Jepang kemudian secara berangsur mengakui organisasi-organisasi Islam sedangkan tetap tidak membolehkan organisasi nasionalis dari masa sebelum perang didirikannya kembali. Organisasi Taman Siswa pun yang beroperasi dalam bidang pendidikan mendapat pembatasan dalam bergerak. Banyak sekolah menengahnya ditutup. Pada tanggal 10 September 1943 pemerintah Jepang mengesahkan berdirinya Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama....(117)
Bagaimana posisi NU pada zaman Jepang? Untuk sementara umat Islam melupakan pertikaiannya dan berusaha sedapat mungkin memperkuat posisi. Deliar Noer menggarisbawahi keunggulan Muhammadiyah (golongan pembaharuan non-politik) dengan duduknya K.H. Mas Mansur sebagai salah seorang anggota Empat Serangkai (tiga lainnya adalah Soekarno, Hatta dan Ki Hajar Dewantara).(118) Sedangkan Benda mencatat keunggulan SI dengan naiknya Abikusno Tjokrosujoso yang dianggap "sebagai tokoh Islam Indonesia di Jawa yang disponsori Jepang" menjadi ketua Persiapan Persatuan Umat Islam sebuah lembaga bentukan Jepang untuk menghimpun kekuatan Islam.(119) Penilaian Noer dan Benda saya rasa terlalu terburu-buru karena telah mengabaikan NU. 

Kurang lebih setahun setelah Jepang menduduki Nusantara Jepang membentuk Kantor Urusan Agama (bahasa Jepang Shumubu) dan lembaga yang sangat strategis ini pada tahun 1944 dipegang oleh Hasyim Asyari sebagai pimpinan resmi tetapi secara praktis fungsi pimpinan dijalankan oleh anaknya Wahid Hasyim yang dijuluki oleh Dhofier sebagai "Rantai Penghubung Peradaban Pesantren dengan Peradaban Indonesia Modern."(120) Wahid Hasyim (1914-1953) adalah seorang tokoh muda yang sangat cerdas yang telah banyak berjasa bagi perkembangan NU. Ketika Hasyim Asyari ditangkap oleh Jepang dengan tuduhan terlibat kerusuhan di Jombang, dia melakukan pendekatan kepada Jepang sehingga beberapa bulan kemudian Hasyim Asyari dapat dibebaskan.(121) Tampaknya dalam zaman Jepang sikapnya lebih fleksibel ketimbang ayahnya Hasyim Asyari. Wahid Hasyim pula yang dipercayai memimpin Majelis Syuro Muslimin Indonesia (yang disingkat Masyumi) sebuah lembaga perhimpunan golongan Islam yang dibentuk oleh Jepang sebagai pengganti MIAI.(122) Setelah Indonesia merdeka ada tiga peran yang menyatakan kapasitasnya sebagai tokoh nasional, salah seorang penandatangan Piagam Jakarta (Jakarta Charter), menteri agama yang pertama setelah pengakuan kedaulatan, dan pendiri NU sebagai partai politik.(123) "Ketiga peran yang dimainkan oleh K.H.A. Wahid Hasyim tersebut," demikian Dhofier, "memberikan kumandang yang cukup kuat hingga sekarang, dan mungkin sampai beberapa puluh tahun yang akan datang."(124) Di bawah Wahid Hasyim, NU mulai menapak zaman baru, yaitu zaman perjuangan politik bersama golongan pergerakan lainnya agar NU seperti yang dikatakannya sendiri "senantiasa dapat mengikuti dan menyesuaikan diri dengan perkembangan keadaan, asal di dalam dasarnya tidak bertentangan dengan pokok-pokok Islam."(125)

Adalah tidak lengkap gambaran perjuangan NU tanpa menyinggung sikap keras yang pernah diambilnya. Ketika Jepang mewajibkan setiap orang harus menghormati kaisar Jepang dengan membungkuk ke timur (bahasa Jepang : seikerei), Nu menolak dengan tegas. Seorang ulama, K.H. Zaenal Musthafa dari Singaparna (Jawa Barat) mengangkat senjata. Walaupun kemudian dapat dipadamkan, tetapi jelas NU pernah melakukan perlawanan bersenjata terhadap Jepang. Sebab perintah Jepang itu bagi NU sama dengan perbuatan syirik(mempersekutukan Tuhan).(126) 

Beberapa bulan setelah bangsa Indonesia memproklamasikan  kemerdekaannya (17 Agustus 1945), NU menutup periode sebagai organisasi keagamaan (jamiah diniyah) dengan gemilang; NU mengeluarkan resolusiJihad(127) (Resolusi Perjuangan) pada tanggal 22 Oktober 1945 (tiga minggu sebelum pertempuran 10 November di Surabaya yang kemudian hari tanggal tersebut ditetapkan sebagai Hari Pahlawan) yang mengajak umat Islam menentang aksi pendudukan Tentara Sekutu.(128) Resolusi itu berbunyi: 
  1. Kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 wajib dipertahankan. 
  2. Republik Indonesia sebagai satu-satunya pemerintahan yang sah, wajib dibela dan diselamatkan.
  3. Musuh Republik Indonesia, terutama Belanda yang datang kemudian dengan membonceng tugas-tugas tentara Sekutu (Inggris) dalam masalah tawanan perang bangsa Jepang tentulah akan menggunakan kesempatan politik dan militer untuk kembali menjajah Indonesia. 
  4. Ummat Islam terutama Nahdlatul Ulama wajib mengangkat senjata melawan Belanda dan kawan-kawannya yang hendak kembali menjajah Indonesia. 
  5. Kewajiban tersebut adalah suatu jihat yang menjadi kewajiban tiap-tiap orang Islam (Fardlu Ain) yang berada pada jarak radius 94 km (jarak di mana umat Islam diperkenankan sembahyang jama' dan qasar). Adapun mereka yang berada di luar jarak tersebut berkewajiban membantu saudara-saudaranya yang berada dalam jarak radius 94 km tersebut.(129) 
Kita melihat betapa NU sangat prihatin terhadap negara Indonesia yang ditegaskannya harus dibela sebagaikewajiban sebagaimana kewajiban menjalankan tugas keagamaan.(130) Ia menyadari sepenuhnya bahwa pemerintahan Republik Indonesia adalah hasil perjuangan seluruh rakyat Indonesia termasuk NU! Di dalam semangat keagamaan NU ikut membela kemerdekaan sehingga umat Islam tidak terasing secara keagamaan dengan semangat perjuangan bangsa! 

NAHDLATUL ULAMA DAN PANCASILA 
Sejarah dan Peranan NU dalam Perjuangan Umat Islam di Indonesia dalam Rangka Penerimaan Pancasila  sebagai Satu-satunya Asas 
Einar M. Sitompul, M.Th 

 _________________________ 
69. Lihat, Machfoeds, op. cit., hlm. 39-40. 
70. Zamakhsari Dhofier, "K.H. Hasyim Asya'ri, Penggalang Islam Tradisional". Prisma, No. 1, Januari 1984 hlm. 80. 
71. Dikutip dalam, Ibid, hlm . 76. 
72. Yusuf, et al., op. cit., hlm. 20. 
73. Antara 1924-1932 telah terjadi perkembangan penting di Saudi Arabia Raja Saud (Abdul Aziz) memutuskan hubungan dengan sekutunya yang fanatik (yang biasanya disebut Ikhwan) dan mengijinkan masuknya penemnan-penemuan baru yang "tidak islami" (mobil, telefon, radio, dan lain-lain). Dia memberi jaminan kepada jemaah haji keamanan terjamin dan tradisi akan dihormati, lihat, Edward Mortimer, Islam dan Kekuasaan, terjemahan dari 'Faith and Power: The Politics of Islam', (Bandung: Penerbit Mizan, 1984), hlm. 152-154.
 74. Lihat, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Kumpulan masalah 2 Dinyah dalam Mu'tamar NU ke 1 s/d 15, (Semarang: Penerbit CV Toha Putra, tanpa tahun), Pertanyaan no. 1. Untuk selanjutnya akan disebut, Kumpulan Masalah saja. 
75. Yusuf, et al., op.cit., hlm. 19 catatan no. 23. 
76. Kumpulan Masalah, Pertanyaan no. 9 dan 22. Cetak tebal. dari saya. 
77. S.H. Nasr, Islam dalam Cita dan Fakta, terjemahan dari 'Ideals and Realities of Islam', (Jakarta: Lembaga Penunjang Pembangunan Nasional — LEPPENAS, 1983), hlm. 60-61. 
78. Bandingkan, Ibid., hlm. 62-63.
79. Choiru l Anam, op. cit., hlm. 75-76. 
80. Ibid., hlm. 76. 
81. Kumpulan Masalah, Pertanyaan no. 28. 
82. Ibid., Pertanyaan no. 162. 
83. Ibid
84. Noer, Gerakan Moderen, hlm. 92. Majelis Tarjih dapat diterjemahkan sebagai Majelis Pembahasan Hukum. Lihat, laporan Editor tentang Musyawarah Nasional (TanwirMuhammadiyah yang berlangsung bulan Desember 1987 di Yogyakarta. Editor, nomor 17, 19 Desember 1987, hlm. 59. 
85. Ibid., hlm. 93. 
86. Ibid., hlm. 92. 
87. Ibid., hlm. 93. 
88. Abdurrahman Wahid, Muslim di Tengah Pergumulan, kumpulan artikel (Jakarta:. Lembaga Penunjang Pembangunan Nasional — LEPPENAS, 1981), hlm. 34-35. 
89. Ibid., hlm. 35-36. 
90. Tentang latar belakang dan perjuangan awal PNI khususnya dan kaum nasionalis umumnya, lihat John Ingleson, Jalan ke Pengasingan: Pergerakan Nasionalis Indonesia Tahun 1927-1934, (Jakarta: LP3ES, 1981), hlm. 1-19. 
91. Benda, op.cit., hlm. 119; Bandingkan Yusuf, op.cit., hlm. 36. 
92. Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional, (Jakarta: Grafiti Pers, 1987), hlm. 17. Untuk selanjutnya disebut, Noer, Partai Islam
93. Ibid
94. Dhofier, "Hasyim Asya'ri", hlm. 80. 
95. Choirul Anam, op. cit, hlm. 89. 
96. Ibid, hlm. 89-91. 
97. Ibid, hlm. 91 Tentang Ansor, lihat, Infra, hlm. 167. 
98. Mahrus Irsyam, Ulama dan Partai Politik, (Jakarta: Yayasan Perkhidmatan, 1984), hlm. 12. 
99. A.K. Pringgodigdo, Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia, (Jakarta: Dian 
Rakyat, 1984) hlm. 78. 
100. Ingleson, op.cit., hlm. 145. 
101. Ibid., hlm. 144-145, Bandingkan juga, hlm. 76-82. 
102. Lihat, Noer, Gerakan Moderen, hlm. 275. 
103. Machfoedz, op.cit., hlm. 50-51. 
104. Zuhri, Sejarah, hlm. 623. 
105. Machfoedz, op.cit., hlm. 55. 
106. Ibid., hlm. 54; Zuhri, Sejarah, hlm. 624. 
107. Ibid., hlm. 55. 
108. Ibid., hlm. 56. 
109. Zuhri, Sejarah, hlm. 627. 
110. Ibid., hlm. 629. 
111. Lihat, Ibid., hlm. 627-629. 
112. Anam, op. cit, hlm. 99. 
113. Zuhri, Guruku, hlm. 83. 
114. Benda, op.cit., hlm. 124. 
115. Ibid., hlm. 123-124. 
116. Ibid, hlm. 139. 
117. Noer, Partai Islam, hlm. 23. Cetak tebal dari saya; Boland merinci hikmah atau keuntungan yang diperoleh Islam dari penjajahan Jepang dalam tiga hal: dibentukuya Kantor urusan Agama, didirikannya Masyumi, dan pembentukan Hizbullah (yang dapat diartikan "Tentara Allah" atau "Golongan Allah"), sebuah organisasi militer untuk pemuda Muslim. B.J. Boland., Pergumulan Islam di lndonesia: 1945-1970, terjemahan dari 'The Struggle of Islam in Modern Indonesia', tesis doktor pada Universitas Leiden 1971, (Jakarta: Grafiti Pers, 1985), hlm. 11-15. 
118. Ibid., hlm. 22-23. 
119. Benda, op.cit., hlm. 147. 
120. Zarnakhsyari Dhoier, "K.H.A. Wahid Hasyim, Rantai Penghubung Pesantren dengan Peradaban Indonesia Modern", Prisma, no. 8 (Agustus, 1984), hlm. 75. 
121. Machfoedz, op.cit., hlm. 64. 
122. Yusuf, et al., op. cit., hlm. 37. 
123. Dhofier, "K.H.A. Wahid Hasyim", hlm. 73. 
124. Ibid
125. K.H. Wahid Hasyim, Mengapa Memilih NU? KumpUlan artikelnya (Jakarta: Inti Sarana Aksara, 1985), hlm. 103. 
126. Yusuf, et al., op.cit., hlm. 36-37. 
127. Jihad berarti usaha atau perjuangan; tugas atau perjuangan menegakkan Islam. Ia dapat dilakukan dengan berbagai cara; perang adalah salah satu cara melaksanakannya. Lihat, Kamus Istilah Agama, hlm. 166. Tentang penggunaannya di dalam Al-Qur'an dan Hadis, lihat, Hughes, op. cit., hlm. 243-248 di bawah "Jihad". 
128. Setelah Jepang menyerah kalah di dalam Perang Dunia II, Asia Tenggara berada di dalam komando tentara Sekutu (Amerika Serikat, Inggris, dan lain-lain sebagai pihak yang menang). Indonesia yang sudah merdeka menolak kehadiran tentara Sekutu (yang diwakili Inggris) karena bersama dengan kehadiran tentara Sekutu turut pula membonceng pasukan Belanda yang ingin rnembentuk kembali pemerintahan sipil Hindia Belanda yang sering disebut NICA (Netherlands Indie Civil Administration). Oleh karena tentara Sekutu dalam mengadakan berbagai tindakan mengabaikan kedaulatan negara Indonesia, maka berkobarlah pertempuran (27/29 Oktober 1945) yang mencapai puncaknya pada Pertempuran Surabaya tanggal 10 November 1945. Lihat,Ensiklopedi Umum, hlm. 876-877 di bawah "Pertempuran Surabaya". 
129. Yusuf, et al., op.cit., hlm. 38. Cetak tebal dan saya. 
130. Lihat, Kamus Istilah Agama, hlm. 90 di bawah istilah "Fradhu".

Selasa, 04 Agustus 2015

Catatan Muktamar NU

catatan fahmi ali

Islam Nusantara

Saat 7 Ulama Sepuh Turun Gunung

Menjelang pelaksanaan Muktamar ke-27, para pemimpin NU terbelah dua: kubu Cipete yang bermuara pada Ketua Umum PBNU KH Idham Cholid dan kubu Situbondo yang bermuara KH.R. As’ad Syamsul Arifin. Kubu Situbondo mengadakan Munas, kubu Cipete juga membuat Munas.

Situasi seperti itu sudah terasa sepeninggal Rais Aam PBNU KH. Bisri Syansuri (wafat Jum’at 25 April 1980). Kubu Situbondo atau disebut juga kubu khittah didukung oleh kelompok muda yang sangat aktif di NU seperti Gus Dur.

Kubu Situbondo menggelar Munas dengan menunjuk Gus Dur sebagai ketua panitia Muktamar ke-27. Kubu Cipete juga tak kalah menggelar Munas dengan menunjuk Cholid Mawardi sebagai ketua panitia.

Dalam suasana politik represif Orde Baru, waktu itu Munas Situbondo menerima Pancasila sebagai asas. Munas Cipete juga menerima Pancasila sebagai asas, dan bahkan sudah lebih dulu diserahkan kepada pemerintah. Tetapi, pemerintah rupanya lebih menghargai hasil Munas Situbondo karena lebih konseptual, ketimbang Cipete yang cenderung sebagai manuver politik untuk mencari simpati pemerintah.

Namun setelah melihat sikap pemerintah mendukung kubu Situbondo, kubu Cipete mulai melunak. Dengan kebesaran hati para kiai sepuh, akhirnya kedua kubu dikumpulkan dalam sebuah acara ‘tahlilan’ di rumah KH Hasyim Latief, ketua PWNU Jawa Timur di Sepanjang, Sidoarjo (10 September 1984).

Di di rumah KH Hasyim Latief itulah lahir sebuah maklumat bersejarah bernama “Maklumat Keakraban” yang ditandatangani tujuh ulama terkemuka: KH As’ad Syamsul Arifin, KH Ali Ma’shum, KH Idham Cholid, KH Machrus Aly, KH Masjkur, KH Saifuddun Zuhri, dan KH Achmad Siddiq.

Isi maklumat pada intinya adalah mengakhiri konflik, saling memaafkan, dan bersepakat untuk menyukseskan muktamar ke-27 di Situbondo, Desember 1984. Maka, berakhir sudah pertikaian antardua kubu yang berlangsung 3 tahun lebih itu.

Para kiai sepuh merasa terpanggil terjun langsung mengatasi siatuasi kepemimpinan NU. Kemudian muncul pikiran tentang penggantian sistem pemilihan. Pemilihan langsung dalam menentukan Rais Aam diganti dengan sistem musyawarah para kiai seperti awal berdirinya NU yang dinamakan ahlul halli wal aqdi.

Namun dalam sistem ini mutlak diperlukan sosok kiai kharismatik yang bisa menjadi “ahlul aqdi” yang disegani dan dipercaya oleh semua pihak. Beruntung waktu itu ada KH As’ad Syamsul Arifin. Bersama para kiai sepuh lainnya, seperti Kiai Ali Ma’shoem dan Kiai Mahrus Aly, Kiai As’ad memainkan peran dengan sangat baik.

Tidak ada kiai “ahlul aqdi” yang bersedia menjadi Rais Aam. Meraka menyerahkan kepemimpinan organisasi kepada KH Achmad Siddiq.

Muktamar 1984 berlangsung sukses. Kiai As’ad kembali ke pesantrennya di Asembagus. Kiai Mahrus Aly memilih menjadi Syuriyah di Jawa Timur saja. Bahkan Kiai Ali’ Ma’shoem sejak awal tidak pernah mau menjadi Rais Aam. Para kiai sepuh ‘ahlul aqdi” kembali ke masyarakat.

https://fahmialinh.wordpress.com/2015/07/28/saat-7-ulama-sepuh-turun-gunung/