Minggu, 19 Juli 2015

10 Tokoh Berpangaruh NU

10 Tokoh Berpengaruh Nahdlatul Ulama.

2 Februari 2013 pukul 13:15 · 

Peran NU dari sejak berdirinya, 1926, sampai hari ini cukup signifikan. Tidak hanya dalam hal keagamaan, melainkan juga dalam bidang-bidang lain, termasuk politik.

Kini, ketika NU memasuki usia 84 tahun, kami menyuguhkan penggalan-penggalan kisah sepuluh tokoh berpengaruh dalam kehidupan ormas keagamaan terbesar di Indonesia itu, diantaranya ialah:

Hadratusy Syaikh K.H. Hasyim Asy’ariKH. Abdul Wahab ChasbullahKH. Bisri SyansuriK.H. Ahmad ShiddiqK.H. Wahid HasyimK.H. M. Ilyas RuhiatK.H. M.A. Sahal MahfudzK.H. Idham ChalidKH. Ali Ma’shumK.H. Abdurrahman Wahid

 Hadratusy Syaikh K.H. Hasyim Asy’ari

K.H. Hasyim Asy’ari lahir pada 24 Dzulqa`dah 1287 H atau 14 Februari 1871 M di Desa Nggedang, Jombang, Jawa Timur. Ia anak ketiga dari 10 bersaudara pasangan Kiai Asy`ari bin Kiai Usman dari Desa Tingkir dan Halimah binti Usman. Ia lahir dari kalangan elite santri. Ayahnya pendiri Pesantren Keras. Kakek dari pihak ayah, Kiai Usman, pendiri Pesantren Gedang. Buyutnya dari pihak ayah, Kiai Sihah, pendiri Pesantren Tambakberas. Semuanya pesantern itu berada di Jombang. 

Sampai umur 13 tahun, Hasyim belajar kepada orangtuanya sendiri sampai pada taraf menjadi badal atau guru pengganti di Pesantren Keras. Muridnya tak jarang lebih tua dibandingkan dirinya. Pada umur 15 tahun, ia memulai pengembaraan ilmu ke berbagai pesantren di Jawa dan Madura: Probolinggo (Pesantren Wonokoyo), Tuban (Pesantren Langitan), Bangkalan, Madura (Pesantren Trenggilis dan Pesantren Kademangan), dan Sidoarjo (Pesantren Siwalan Panji). Pada pengembaraannya yang terakhir itulah, ia, setelah belajar lima tahun dan umurnya telah genap 21 tahun, tepatnya tahun 1891, diambil menantu oleh Kiai Ya`kub, pemimpin Pesantren Siwalan Panji. Ia dinikahkan dengan Khadijah.

 

Namun, dua tahun kemudian, 1893, saat pasangan ini tengah berada di Makkah, Khadijah meninggal di sana ketika melahirkan Abdullah. Dua bulan kemudian Abdullah pun menyusul ibunya. Kala itu Hasyim tengah belajar dan bermukim di tanah Hijaz. Tahun itu juga, Hasyim pulang ke tanah air. Namun tak lama kemudian, ia kembali ke Makkah bersama adiknya, Anis, untuk dan belajar. Tapi si adik juga meninggal di sana. Namun hal itu tidak menyurutkan langkahnya untuk belajar. Tahun 1900, ia pulang kampung dan mengajar di pesantren ayahnya. Tiga tahun  kemudian, 1903, ia mengajar di Pesantren Kemuring, Kediri, sampai 1906, di tempat mertuanya, Kiai Romli, yang telah menikahkan dirinya dengan putrinya, Nafisah.

 

Selama di Makkah ia belajar kepada Syaikh Mahfudz dari Termas (w. 1920), ulama Indonesia pertama pakar ilmu hadits yang mengajar kitab hadits Shahih Al-Bukhari di Makkah. Ilmu hadits inilah yang kemudian menjadi spesialisasi Pesantren Tebuireng, yang kelak didirikannya di Jombang sepulangnya dari Tanah Suci.

Selama hidupnya, K.H. Hasyim menikah tujuh kali. Selain dengan Khadijah dan Nafisah, antara lain ia juga menikahi Nafiqah, dari Siwalan Panji, Masrurah, dari Pesantren Kapurejo, Kediri. Tahun 1899, 12 Rabi’ul Awwal 1317, ia mendirikan Pesantren Tebuireng. Lewat pesantren inilah K.H. Hasyim melancarkan pembaharuan sistem pendidikan keagamaan Islam tradisional, yaitu sistem musyawarah, sehingga para santri menjadi kreatif. Ia juga memperkenalkana pengetahuan umum dalam kurikulum pesantren, seperti Bahasa Melayu, Matematika, dan Ilmu Bumi. Bahkan sejak 1926 ditambah dengan Bahasa Belanda dan Sejarah Indonesia.

 

Kiai Cholil Bangkalan, gurunya, yang juga dianggap sebagai pemimpin spiritual para kiai Jawa, pun sangat menghormati dirinya. Dan setelah Kiai Cholil wafat, K.H. Hasyim-lah yang dianggap sebagai pemimpin spiritual para kiai. Menghadapi penjajah Belanda, K.H. Hasyim menjalankan politik non-kooperatif. Banyak fatwanya yang menolak kebijakan pemerintah kolonial. Fatwa yang paling spektakuler adalah fatwa jihad, yaitu, “Wajib hukumnya bagi umat Islam Indonesia berperang melawan Belanda.” Fatwa ini dikeluarkan menjelang meletusnya Peristiwa 10 November di Surabaya. Dalam paham keagamaan, pikiran yang paling mendasar Hasyim adalah pembelaannya terhadap cara beragama dengan sistem madzhab. Paham bermadzhab timbul sebagai upaya untuk memahami ajaran Al-Quran dan sunnah secara benar. Pandangan ini erat kaitannya dengan sikap beragama mayoritas muslim yang selama ini disebut Ahlussunnah wal Jama’ah.

 

Menurut Hasyim, umat Islam boleh mempelajari selain keempat madzhab yang ada. Namun persoalannya, madzhab yang lain itu tidak banyak memiliki literatur, sehingga mata rantai pemikirannya terputus. Maka, tidak mungkin bisa memahami maksud yang dikandung Al-Quran dan hadits tanpa mempelajari pendapat para ulama besar yang disebut imam madzhab. NU didirikan antara lain untuk mempertahankan paham bermadzhab, yang ketika itu mendapat serangan gencar dari kalangan yang anti-madzhab. Kiai Hasyim wafat pada 7 Ramadhan 1366 atau 25 Juli 1947 pada usia 76 tahun.

 

 Abdul Wahab Chasbullah

 Ia lahir pada bulan Maret 1888 di Tambakberas, Jombang. Nasabnya tidak jauh dari Hasyim Asy`ari. Nasab keduanya bertemu dalam satu keturunan dari Kiai Abdus Salam (Siapa dia?). Ayahnya, Chasbullah, adalah pengasuh Pondok Pesantren Tambakberas. Ibunya, Nyai Lathifah, juga putri kiai kondang (Siapa?).

Pendidikannya dihabiskan di pesantren, mulai dari Pesantren Langitan (Tuban), Mojosari, Nganjuk, di bawah bimbingan Kiai Sholeh, Pesantren Cepoko, Tawangsari (Surabaya), hingga Pesantren Kademangan, Bangkalan (Madura), langsung berguru kepada Mbah Cholil. Kiai Cholil kemudian menganjurkannya belajar ke Pesantren Tebuireng (Jombang).

 

Pada umur 27, ia pergi ke Makkah dan berguru kepada ulama-ulama besar Indonesia yang bermukim di sana, seperti Kiai Mahfudz Termas, Kiai Muhtarom Banyumas, Syaikh Ahmad Khatib Minangkabaw, Kiai Bakir Yogya, Kiai Asy`ari Bawean. Ia juga belajar kepada tokoh-tokoh besar lain di sana yang bukan orang Indonesia, seperti Syaikh Sa`id Al-Yamani dan Syaikh Umar Bajened. Tahun 1921, sewaktu menunaikan ibadah haji bersama istri, sang istri meninggal di Makkah. Kemudian ia menikah dengan Alawiyah binti Alwi. Setelah melahirkan seorang anak, istri kedua ini juga meninggal. Setelah itu ia menikah berturut-turut dengan tiga wanita yang semuanya tidak memberikan keturunan. Empat anak diperolehnya dari istri berikutnya, Asnah binti Kiai Said.

 

Setelah Asnah meninggal, ia menikah lagi dengan Fatimah binti H. Burhan, seorang janda yang punya anak bernama Syaichu, yang kelak menjadi ketua DPR pada masa Orde Baru. Sesudah itu ia menikah lagi dengan Masnah, dikaruniai seorang anak, lalu dengan Ashikhah binti Kiai Abdul Majid (Bangil), meninggal di Makkah setelah memberinya empat anak, dan yang terakhir dengan Sa`diyah, kakak sang istri, yang mendampinginya sampai akhir hayatnya dan memberinya keturunan lima anak. Sedikit mundur ke belakang, tahun 1914, ketika berumur 26 tahun, ia mendirikan kelompok diskusi Tashwirul Afkar (Pergolakan Pemikiran) bersama K.H. Mas Mansur.

 

Pada tahun 1916, ia mendirikan Madrasah Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Negeri) di Surabaya. Pengajarnya terdiri dari banyak ulama tradisional muda, seperti K.H. Bisri Syansuri (1886-1980) dan K.H. Abdullah Ubaid (1899-1938), yang di kemudian hari memainkan peranan penting di NU. Masih pada tahun yang sama, bersama Kiai Hasyim Asy’ari (1871-1947), ia mendirikan koperasi dagang Nahdlatut Tujjar (Kebangkitan Pedagang) untuk kalangan tradisionalis di kisaran Surabaya-Jombang.Pada tahun 1920, ia juga aktif dalam Islam Studie Club, jembatan untuk menghubungkan dirinya dengan tokoh-tokoh nasionalis modernis, seperti dr. Soetomo.

Sejak 1924, Wahab Chasbullah telah mengusulkan agar dibentuk perhimpunan ulama untuk melindungi kepentingan kaum tradisionalis.

 

Pada 31 Januari 1926, atas persetujuan Hasyim Asy`ari, ia mengundang para ulama terkemuka dari kalangan tradisionalis ke Surabaya untuk mengesahkan terbentuknya Komite Hijaz, yang akan mengirim delegasi ke kongres di Makkah untuk mempertahankan praktek-praktek keagamaan yang dianut kaum tradisionalis. Pertemuan 15 kiai terkemuka dari Jawa dan Madura itu dilakukan di rumah Wahab Chasbullah di Kertopaten, Surabaya. Pertemuan tersebut akhirnya juga menghasilkan kesepakatan mendirikan NU, sebagai representasi Islam tradisional, untuk mewakili dan memperkukuh Islam tradisional di Hindia Belanda.

 

Kemudian, MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia, Dewan Tertinggi Islam di Indonesia), yang terbentuk pada September 1937, juga merupakan gagasan Wahab Chasbullah dan Ahmad Dahlan Kebondalem (NU), Mas Mansur (Muhammadiyah), dan Wondoamiseno (SI). Federasi organisasi Islam ini bertujuan meningkatkan komunikasi dan kerja sama di antara umat Islam. Namun kemudian MIAI dibubarkan oleh Jepang dan dibentuklah Masyumi pada November 1943. Hasyim Asy`ari ditunjuk sebagai ketua umum dan Whab Chasbullah sebagai penasihat dewan pelaksananya. Meski Masyumi adalah organisasi non-politik, pada kenyataannya fungsinya setengah politis, dimaksudkan untuk memperkuat dukungan umat Islam terhadap pemerintahan Jepang.

 

November 1945, Masyumi berubah menjadi parpol. Masyumi menjadi satu-satunya kendaraan politik umat Islam. Hasyim Asy`ari menjadi ketua umum Majelis Syuro (Dewan Penasihat Keagamaan), Wahid Hasyim, putra Hasyim Asy`ari, menjadi wakilnya, dan Wahab Chasbullah menjadi anggota dewan. Selanjutnya, setelah NU menyetujui peran politik bagi Masyumi lewat muktamar di Purwokerto (1946), orang orang NU tampil di pemerintahan, yakni Wahid Hasyim, Kiai Masykur, dan K.H. Fathurahman Kafrawi. Sedang Wahab Chasbullah menjadi anggota DPA.

Tahun 1947, Wahab Chasbullah menjabat rais am NU.

 

Benih-benih krisis NU-Masyumi mulai tumbuh pada 1952. Saat itu Wahab Chasbullah menjadi ketua Dewan Syuro. Maka ia sangat gencar mengkampanyekan penarikan diri NU dari Masyumi. Dan secara resmi NU menarik diri dari Masyumi pada 31 Juli 1952. Pada sidang parlemen 17 September 1952, tujuh anggota parlemen dari NU menarik diri dari Masyumi. Di antaranya Wahab Chasbullah, Idham Chalid, Zainul Arifin. Mereka kemudian membentuk partai sendiri, NU. Akibatnya, Masyumi bukan lagi partai terbesar. “Gelar” itu jatuh ke tangan PNI.

Pada Pemilu 1955, di luar dugaan, NU meraih tempat ketiga setelah PNI dan Masyumi. Sejak itu kesibukan Wahab Chasbullah lebih banyak pada bidang politik praktis di Jakarta,  terutama sebagai anggota parlemen dan rais am NU. K.H. Wahab Chasbullah wafat tanggal 29 Desember 1971, pada usia 83 tahun, di rumahnya di Kompleks Pesantren Tambakberas, Jombang.

 

 Bisri Syansuri

 RUU Perkawinan, yang menyita banyak perhatian umat Islam pada tahun 1974, terselesaikan dan diterima umat Islam salah satunya karena peran besar Bisri. Sebagai tokoh utama PPP, ia mengajukan amandemen besar atas RUU yang telah diajukan ke DPR RI. Rancangan tandingan yang dibuat bersama sejumlah ulama itu, setelah mendapat restu dari Majelis Syuro PPP, diperjuangkan di DPR hingga akhirnya disahkan.

 

Begitu pula ketika ada usaha keras untuk mengganti tanda gambar PPP dari Ka`bah ke bintang pada Pemilu 1977, ia tampil dominan dan berhasil mempertahankan tanda gambar PPP. Diakui atau tidak, ia adalah penerus Wahab Chasbullah, yang kebetulan sahabat karib dan kakak iparnya, baik di NU, PPP, maupun DPR.

 

Setelah Wahab wafat pada 1971, ia menggantikan posisi kakak iparnya itu di NU sebagai rais am. Tapi memang sejak adanya jabatan rais am, yang ditetapkan setelah wafatnya Hasyim Asy’ari pada 1947, keduanya menjadi “dwi tunggal” sebagai ketua dan wakil. Bisri, anak nomor tiga dari lima bersaudara pasangan Syansuri dan Maiah, lahir pada 18 September 1886/26 Dzulhijjah 1304 di Tayu, Jawa Tengah, daerah yang kuat memegang tradisi ajaran Islam.

 

Umur tujuh tahun, ia belajar agama kepada Kiai Sholeh hingga umur sembilan tahun. Setelah itu ia mempelajari hadits, tafsir, dan bahasa Arab kepada Kiai Abdul Salam, salah seorang familinya yang hafal Al-Quran. Sesudah itu ia ke Jepara belajar kepada Kiai Syu`aib Sarang dan Kiai Cholil Kasingan. Umur 15 tahun ia menuju Bangkalan, Madura, berguru kepada Kiai Cholil. Di sinilah ia berjumpa dan berteman akrab dengan Wahab Chasbullah. Dari Bangkalan, ia menuju Jombang, berguru kepada K.H. Hasyim Asy’ari di Pesantren Tebuireng. Setelah enam tahun, ia mendapat ijazah untuk mengajarkan kitab hadits Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim serta kitab fiqih Matn Az-Zubad.

 

Seusai dari Tebuireng, ia melanjutkan pengembaraan ilmunya ke Makkah bersama Wahab (1912). Di sana ia berguru kepada sejumlah ulama terkemuka, seperti K.H. Muhammad Bakir, Syaikh Muhammad Sa`id Yamani, Syaikh Ibrahim Madani, Syaikh Jamal Maliki. Juga kepada Syaikh Ahmad Khatib Minangkabaw, Syaikh Syu`aib Dagestani, dan Syaikh Mahfudz Termas. Tahun 1914 ia mempersunting adik Wahab Chasbullah, Nur Chadijah, di Tanah Suci. Setelah itu, tahun itu juga, Bisri balik ke tanah air dan menetap di Jombang, membantu mertuanya mengurus Pesantren Tambakberas.

 

Pada 1917, atas bantuan mertua, ia membuka pesantren sendiri di Desa Denanyar, yang populer dengan sebutan Pesantren Denanyar. Tahun itu pula, kakak iparnya, Wahab, pulang kampung. Bisri ikut terlibat dalam sepak terjang Wahab ketika mendirikan Komite Hijaz dan pembentukan NU pada 31 Januari 1926 di Kertopaten, Surabaya. Dalam proses pendirian NU, Bisri menjadi penghubung antara Kiai Wahab dan Kiai Hasyim Asy`ari.

Segera setelah NU terbentuk, sebagai pembantu dalam susunan pengurus besar, ia menjadi motor penggerak di Jombang dan daerah pesirir utara Jawa. Posisi itu membuatnya dikenal secara luas.

 

Rumah tangga Bisri dikaruniai sepuluh anak, tapi ada beberapa yang meninggal waktu kecil. Di antaranya anaknya itu, Solichah, dinikahkan dengan Wahid Hasyim, putra sulung Hasyim Asy`ari, gurunya. Ketika Masyumi terbentuk, ia pun aktif di dalamnya. Periode kemerdekaan juga membawanya pada fase perjuangan bersenjata.    Di pemerintahan, ia mula-mula duduk di Komite Nasional Indonesia Pusat, mewakili Masyumi. Tahun 1855 ia terlibat dalam Dewan Konstituante hasil pemilu, mewakili NU. Pada Pemilu 1971 ia terpilih masuk DPR. K.H. Bisri Syansuri menutup mata beberapa bulan setelah terpilih menjadi rais am NU dalam Muktamar Semarang Juni 1979, tepatnya pada 25 April 1980, dalam usia 94 tahun.

 

 K.H. Ahmad Shiddiq

“Ibarat makanan, Pancasila, yang sudah kita kunyah selama 36 tahun, kok sekarang dipersoalkan halal dan haramnya.” Demikian ungkapan K.H. Ahmad Shiddiq mengenai penerimaan NU terhadap Pancasila sebagai satu-satunya asas organisasi, dalam Munas Alim Ulama 1983 di Situbondo. NU adalah organisasi Islam pertama yang menerima Pancasila sebagai asas tunggal, padahal tidak sedikit umat yang menolaknya, apalagi partai Islam. Itulah ketokohan, kemampuan intelektual, dan kapasitas keulamaan Ahmad Shiddiq. Pujian Presiden Suharto terucap pada tahun 1989 ketika membuka Muktamar NU ke-28 di Yogyakarta. Sejak itu, di bawah kepemimpinan Ahmad Shiddiq, sebagai rais am, pamor NU semakin terangkat.

 

Pada Muktamar NU ke-27/1984 di Situbondo, ia berhasil menjadi palang terakhir pemisahan diri yang dilakukan K.H. As`ad Syamsul Arifin terhadap kepemimpinan PBNU hasil Muktamar ke-28. Ia  merangkul kembali kiai sesepuh NU yang kharismatis tersebut. Pada Muktamar NU ke-28 itu ia berhasil menyelamatkan duet dirinya dengan Gus Dur, yang banyak menerima guncangan dari sebagian warga NU sendiri.

 

Begitu juga mengenai “kembali ke khiththah NU 1926”. Meski bukan satu-satunya perumus, dialah yang disepakati sebagai bintangnya kembali ke khiththah. Pada 1979 ia menyusun pokok-pokok pikiran tentang khiththah Nahdliyah, sebagai sumbangan berharga bagi warga NU. Ahmad Shiddiq lahir di Jember tepat seminggu sebelum NU diresmikan berdirinya oleh Hasyim Asy’ari, yaitu 24 Januari 1926. Ayahnya, K.H. M. Siddiq, adalah pendiri Pesantren Ash Shiddiqiyah di Jember. Seusai belajar di Ash-Shiddiqiyah, ia belajar di Pesantren Tebuireng.

Ia diangkat menjadi sekretaris pribadi menteri agama ketika jabatan itu dipercayakan kepada Wahid Hasyim pada 1950. Ketika menjadi ketua Tanfidziyah NU, Abdurrahman Wahid, cucu K.H. Hasyim Asy`ari, pun berduet dengannya sebagai rais am PBNU.

 

Sebelum itu, ia mundur dari DPR hasil Pemilu 1955, karena, “Saya selalu bicara keras soal Nasakom.” Ia hadir kembali sebagai wakil rakyat setelah pemilu Orde Baru pertama, 1971. Tanggal 23 Januari 1991, K.H. Ahmad Shiddiq berpulang ke rahmatullah pada usia 65 tahun. Sesuai wasiatnya, ia dimakamkan di pemakaman Auliya, Ploso, Kediri, tempat beberapa kiai hafal Al-Quran dikuburkan.

 

 K.H. Wahid Hasyim

 Gus Wahid, demikian ia biasa disapa, lahir pada Jum’at 1 Juni 1914, dari pasangan K.H. Hasyim Asy`ari, pendiri NU, dan Nyai Nafiqah binti Kiai Ilyas. Ia anak lelaki pertama pasangan tersebut. Umur lima tahun, Wahid Hasyim mulai belajar mengaji kepada ayahnya, dan umur tujuh tahun sudah khatam Al-Quran. Umur l3 tahun, ia masuk pesantren di Siwalan Panji, Sidoarjo, Mojosari, Nganjuk, dan Lirboyo. Setelah itu ia belajar sendiri berbagai ilmu pengetahuan.

 

Tahun 1932, ketika berumur 18 tahun, ia pergi haji dan bermukim di Tanah Suci selama dua tahun.

Empat tahun sepulang dari Tanah Suci, ia bergabung dengan NU. Di NU ia mulai dari bawah, sekretaris tingkat ranting di Desa Cukir. Namun lompatan panjang terjadi. Tak lama kemudian ia dipercaya menjadi ketua NU cabang Jombang, dan ketika departemen maarif (pendidikan) NU dibuka pada tahun 1940 ia ditunjuk sebagai ketuanya. Sejak itu ia duduk di barisan pengurus PBNU.

 

Pada umur 25 tahun ia menikah dengan Solichah binti K.H. Bisri Syansuri. Mereka  pasangan yang serasi, termasuk dalam dunia politik. Ketika sang suami menjadi menteri, sang istri pun menjadi anggota DPR. Pasangan ini dikaruniai enam anak, empat laki-laki dan dua perempuan. Bulan Maret 1942, Jepang mendarat. Semua ormas dan orpol Islam dilarang, dan dibentuk MIAI. Kiai Wahid terpilih menjadi ketuanya. Kedudukan itu, belakangan, mengantar dirinya ke pusat perjuangan bangsa Indonesia di zaman Jepang. Ia menjadi anggota Cu Sangi In, kemudian Dokuritsu Zombi Cosakai, hingga Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia.

 

K.H. Wahid Hasyim adalah salah satu dari sembilan orang yang menandatangani Piagam Jakarta. Sikapnya yang tegas tapi luwes menjadikannya figur yang dapat diterima oleh berbagai kalangan kendati umurnya baru sekitar 30 tahun. Suksesnya mengintegrasikan kelasykaran golongan Islam ke dalam TRI, dan kemudian TNI, mengantarnya menjadi penasihat Panglima Besar Soedirman hingga terjadi Clash I, pemberontakan PKI Madiun, dan Clash II. Setelah ayahnya wafat pada 25 Juli 1947, ia mengasuh Pesantren Tebuireng.

 

Dalam Kabinet Sukiman, ia menjadi menteri agama. Lima kali ia menjadi menteri. Yaitu menteri negara dalam Kabinet Presidentil I (1945), menteri negara dalam Kabinet Syahrir (1946-1947), menteri agama Kabinet RIS (1949- 1950), menteri agama Kabinet Natsir (1950- 1951), dan menteri agama Kabinet Sukiman (1951-1952).

Setelah tidak menjadi menteri, ia aktif dalam Partai NU, yang saat itu baru memisahkan diri dari Partai Masyumi.

Pada 19 April 1953, ia dipanggil ke haribaan Allah SWT dalam suatu kecelakaan lalu lintas di Cimindi, Cimahi, Jawa Barat, dalam usia 39 tahun. Jenazah dimakamkan di Tebuireng, hari itu juga. Dengan Keppres No. 206/1964 tertanggal 24 Agustus 1964, gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional disandangkan kepada K.H. Wahid Hasyim.

 

 K.H. M. Ilyas Ruhiat

 Mohamad Ilyas lahir pada 31 Januari 1934. Ia putra pasangan Ajengan Ruhiat dan Siti Aisyah. Ilyas hanya nyantri di Cipasung. Sejak kecil, ia berpembawaan tenang dan sejuk, namun kharisma dan kecerdasannya diakui oleh para ulama di kalangan NU dan non-NU. K.H. Ilyas memulai kariernya di organisasi NU sejak 1954, terpilih sebagai ketua NU Cabang Tasikmalaya. Saat itu ia merangkap ketua Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama Jawa Barat. Tahun 1985-1989, ia menjadi wakil rais Syuriah NU Jawa Barat.

 

Tahun 1989, saat muktamar NU di Krapyak, Ilyas terpilih menjadi salah seorang rais Syuriah PBNU. Puncaknya, tahun 1994, pada muktamar ke-29 NU yang berlangsung di Pesantren Cipasung, Tasikmalaya, ia terpilih menjadi rais am PBNU, mendampingi K.H. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur sebagai ketua umum PBNU. Pada saat muktamar NU di Krapyak, K.H. Ilyas menjadi salah satu anggota rais Syuriah PBNU. Kemudian, sejak Musyawarah Nasional dan Konferensi Besar NU di Bandar Lampung tahun 1992, ia ditunjuk sebagai pelaksana rais am Syuriah NU, menggantikan Rais Am K.H. Ahmad Siddiq, yang wafat. Kemudian, ia kembali menjadi rais am untuk periode berikutnya, 1994-1999.

 

K.H. Ilyas menikah dengan Hj. Dedeh Fuadah, dan memiliki tiga anak.

K.H. Muhammad Ilyas Ruhiat, atau kerap disebut “Ajengan Ilyas”, adalah sosok yang sangat santun, lembut, mengayomi, dan menebarkan aura kesejukan. Kepribadiannya mencerminkan tipikal ulama NU sejati: penuh toleransi, bersahaja, dan gandrung pada kedamaian.

 

Potret kesejukan Kiai Ilyas Ruhiat semakin mengemuka ketika NU diguncang prahara usai Muktamar Cipasung tahun 1994. Ketika itu perhelatan lima tahunan tersebut berakhir dengan pecahnya kepengurusan PBNU ke dalam dua kubu, pro Gus Dur dan pro Abu Hasan. Bahkan, kelompok kedua itu sempat mengadakan muktamar luar biasa di Asrama Haji Pondok Gede. Lima tahun kemudian, dengan pendekatannya yang menyejukkan, perlahan warga NU kembali bersatu. Ketika merasa tugasnya untuk menyatukan jam`iyah sudah selesai, bapak tiga anak ini kemudian mengundurkan diri pada Muktamar Lirboyo 1999. Ajengan Ilyas lebih memilih kembali mengajar di pesantrennya di lereng Gunung Galunggung. Ajengan Ilyas wafat pada Selasa 18 Desember 2007. Pengasuh Pesantren Cipasung, Singaparna, Tasikmalaya, Jawa Barat, ini berpulang ke hadirat Allah SWT dalam usia 73 tahun.

 

K.H. M.A. Sahal Mahfudz

 K.H. Muhammad Ahmad Sahal Mahfudz, pengasuh Pesantren Maslakul Huda, Kajen, Pati, Jawa Tengah, seluruh kehidupan dan aktivitasnya terkait dengan dunia pesantren, ilmu fiqih, dan pengembangan masyarakat.

Kiai Sahal memang nahdliyyin tulen. Dalam menyikapi berbagai problematik sosial, ia selalu menjunjung tinggi sikap tawasuth (moderat), tawazun (seimbang), dan tasamuh (egaliter), yang menjadi ciri khas ulama NU.

Namun, kontribusi pemikirannya yang paling menonjol adalah perhal fiqih sosial kontekstual, yakni bahwa fiqih tetap mempunyai keterkaitan dinamis dengan kondisi sosial yang terus berubah.  Penampilan Kiai Sahal Mahfudz bersahaja, tenang, dan lugas dalam berbicara tapi tidak terkesan menggurui. Padahal ia adalah nakhoda kapal besar bernama Nahdlatul Ulama dan MUI, yang fatwa-fatwanya sangat berpengaruh.

 

Muhammad Ahmad Sahal Mahfudz lahir di Desa Kajen, Margoyoso, Pati, Jawa Tengah, 17 Desember 1937. Ia putra K.H. Mahfudz Salam, pendiri Pesantren Maslakul Huda, pada tahun 1910. Nasab Mbah Sahal bermuara pada K.H. Ahmad Mutamakin, tokoh legendaris yang diyakini hidup pada abad ke-18, salah seorang waliyullah, penulis kitab tasawuf Serat Cebolek.

 

Sahal Mahfudz kecil mengaji kepada orangtuanya, sambil bersekolah di Madrasah Diniyyah tingkat ibtidaiyah (1943-1949) dan tingkat tsanawiyah (1950-1953) di lingkungan Perguruan Islam Mathaliul Falah, Kajen, Pati. Sambil sekolah di Madrasah Diniyyah, ia juga mengikuti kursus ilmu umum di Kajen (1951-1953).

Tamat MTs, Sahal nyantri di Pesantren Bendo, Pare, Kediri, Jawa Timur, yang diasuh Kiai Muhajir. Empat tahun kemudian ia melanjutkan ke Pesantren Sarang, Rembang, Jawa Tengah. Di pesantren yang terkenal dengan pendidikan ilmu fiqih itu ia belajar langsung kepada Kiai Zubair. Selain mengaji, ia, yang sudah cukup alim, juga diminta membantu mengajar santri-santri yunior.

 

Pertengahan tahun 1960, usai menunaikan ibadah haji, Sahal Mahfudz bermukim di Makkah dan belajar kepada Syaikh Muhammad Yasin Al-Fadani. Tak kurang tiga tahun ia berguru kepada ulama besar Al-Haramain asal Padang itu. Tahun 1963, ia pulang ke tanah air.

 

Kehadiran ulama muda yang berita kealimannya dalam bidang fiqih sudah mulai tersebar itu segera saja menarik perhatian beberapa lembaga. Sejak 1966 Kiai Sahal diminta mengajar sebagai dosen di beberapa perguruan tinggi. Puncaknya, sejak 1989, ia dipercaya menjadi rektor di Institut Islam Nahdlatul Ulama, Jepara.

Meski hanya belajar di bangku pesantren, sejak muda Kiai Sahal telah menunjukkan bakat menulis. Tradisi yang semakin langka di lingkungan ulama NU. Ratusan risalah atau makalah dan belasan buku telah ditulisnya.

Salah satu karya yang merupakan bukti keandalannya dalam menulis adalah kitab Thariqat al-Hushul (2000), syarah atas kitab Ghayah Al-Wushul, sebuah kitab tentang ushul fiqh karya Syaikhul Islam Zakariya Al-Anshari. Karena kelebihan tersebut, Kiai Sahal kemudian banyak didekati kalangan media.

 

Kiprah Kiai Sahal di NU diawali dengan menjadi kahtib Syuriah Partai NU Cabang Pati 1967-1975. Kedalaman ilmunya dan kearifan sikapnya perlahan membawa langkah kaki suami Dra. Hj. Nafisah Sahal itu ke jenjang tertinggi di NU, yakni rais am Syuriah PBNU, untuk periode 1999-2004, dan terpilih lagi di Muktamar Donohudan, Boyolali, Jawa Tengah, untuk periode 2004-2009.

 

Kiai Sahal sangat teguh dalam menjaga sikap. Saat terpilih menjadi rais am PBNU pada 1999, ia menyampaikan pandangan kenegaraannya bahwa, sejak awal berdirinya NU, warga nahdliyyin berada pada posisi menjaga jarak dengan negara. Karena itu, meski jabatan presiden saat itu diemban oleh K.H. Abdurrahman Wahid, yang juga tokoh NU, Kiai Sahal tetap mempertahankan tradisi tersebut dengan selalu bersikap independen terhadap pemerintah.

 

Selain di NU, kefaqihan Kiai Sahal juga membawanya ke MUI. Setelah sepuluh tahun memimpin MUI Jawa Tengah, pada tahun 2000 ia terpilih menjadi ketua umum MUI Pusat untuk periode 2000-2005, dan terpilih lagi untuk periode 2005-2010.

 

 K.H. Idham Chalid

Menyebut nama Kiai Idham Chalid, ingatan kita tentu akan melayang pada gonjang-ganjing NU pada tahun 1982-1984, yang melahirkan sekaligus menghadapkan dua kubu tokoh-tokoh nahdliyyin: kubu Cipete dan kubu Situbondo.Konflik internal NU itu juga yang kemudian membuat Idham dianggap kontroversial. Bahkan ia dijuluki “politikus gabus”, karena dianggap  tidak memiliki pendirian.

 

Tak banyak yang mau melihat sisi lain kebijakan-kebijakan Kiai Idham, yang sebenarnya sangat NU dan sangat Sunni. Sebagai politisi besar NU yang lihai, Idham memang memainkan dua lakon berbeda, sebagai politisi dan ulama. Sebagai politisi, ia melakukan gerakan strategis, dan bila perlu kompromistis. Sebagai ulama, ia bersikap fleksibel, tapi tetap tidak terlepas dari jalur Islam dan tradisi yang diembannya.

 

Semua itu ia lakukan sebagai bagian dari upaya kerasnya menjaga stabilitas kalangan bawah nahdliyyin, yang menjadi tanggung jawabnya, agar selamat fisik dan spiritual melewati masa-masa gawat transisi dari Orde Lama ke Orde Baru, yang berdarah-darah.

 

Strategi politik tersebut dilandaskan pada beberapa prinsip. Di antaranya, luwes, memilih jalan tengah ketimbang sikap memusuhi dan konfrontasi, yang justru membahayakan kepentingan umat. Menggunakan pendekatan partisipatoris terhadap pemerintah sehingga mampu memengaruhi kebijakan penguasa, demi kemaslahatan umat.

 

Menurut Idham, NU harus ikut andil dalam kekuasaan sebagai kekuatan penyeimbang. Cara ini dianggap lebih tepat dalam menghasilkan kebijakan-kebijakan pemerintah yang pro umat, daripada berada di luar kekuasaan, yang justru membuat sulit bergerak.

 

Efek kebijaksanaannya sangat luar biasa. Ia menjadi sangat berakar di kalangan bawah kaum nahdliyyin, terutama di luar Jawa, dan mampu bertahan di kancah perpolitikan tanah air lebih dari tiga dekade. Namun, dalam intrnal nahdliyyin ada anggapan bahwa keterlibatan NU di wilayah politik di bawah kepemimpinannya terlalu besar. Maka, dengan memanfaatkan isu kembali ke khiththah 1926 yang tengah digaungkan kalangan muda NU di Muktamar Situbondo 1984, pihak lawan membuat Idham terjatuh dari kursinya.

 

Idham Chalid lahir pada tanggal 27 Agustus 1922 di Setui, dekat Kecamatan Kotabaru, bagian tenggara Kalimantan Selatan. Ia anak sulung dari lima bersaudara. Ayahnya, H. Muhammad Chalid, penghulu asal Amuntai, Hulu Sungai Tengah, sekitar 200 km dari Banjarmasin.

 

Sejak kecil Idham dikenal sangat cerdas dan pemberani. Saat masuk SR, ia langsung duduk di kelas dua dan bakat pidatonya mulai terlihat dan terasah. Keahlian berorasi itu kelak menjadi modal utama Idham Chalid dalam meniti karier di jagat politik.

 

Selepas SR, Idham melanjutkan pendidikannya ke Madrasah Ar-Rasyidiyyah, yang didirikan oleh Tuan Guru Abdurrasyid, alumnus Universitas Al-Azhar, Kairo, pada tahun 1922. Kebetulan, saat Idham bersekolah di sana, beberapa guru lulusan Pesantren Gontor, yang terkenal dengan kelebihannya dalam pendidikan bahasa, direkrut untuk membantu mengembangkan pendidikan. Idham, yang sedang tumbuh dan gandrung dengan pengetahuan, mendapatkan banyak kesempatan untuk mendalami bahasa Arab, bahasa Inggris, dan ilmu pengetahuan umum.

Di mata para siswa dan wali murid, guru-guru alumni Gontor itu sangat hebat. Tak mengherankan, banyak siswa, termasuk Idham, bercita-cita melanjutkan pendidikannya ke pesantren yang didirikan oleh K.H. Imam Zarkasyi di Ponorogo, Jawa Timur, itu.

 

Di Gontor, otak cerdas Idham Chalid lagi-lagi membuat namanya bersinar. Kegiatan favoritnya di pesantren adalah kepanduan, yang kelak ditularkan kepada murid-muridnya di Amuntai dan di Cipete. Kesempatan belajar di Gontor juga dimanfaatkan Idham untuk memperdalam bahasa Jepang, Jerman, dan Prancis.

Tamat dari Gontor, 1943, Idham melanjutkan pendidikan di Jakarta. Di ibu kota, kefasihan Idham dalam berbahasa Jepang membuat penjajah Dai-Nipon sangat kagum. Pihak Jepang juga sering memintanya menjadi penerjemah dalam beberapa pertemuan dengan alim ulama. Dalam pertemuan-pertemuan itulah Idham mulai akrab dengan tokoh-tokoh utama NU.

 

Ketika Jepang kalah perang dan Sekutu masuk Indonesia, Idham Chalid bergabung ke dalam badan-badan perjuangan. Menjelang kemerdekaan, ia aktif dalam Panitia Kemerdekaan Indonesia Daerah di kota Amuntai. Setelah Proklamasi Kemerdekaan, ia bergabung dengan Persatuan Rakyat Indonesia, partai lokal, kemudian pindah ke Serikat Muslim Indonesia.

 

Tahun 1947 ia bergabung dengan Sentral Organisasi Pemberontak Indonesia Kalimantan, yang dipimpin Hassan Basry, muridnya saat di Gontor. Usai perang kemerdekaan, Idham diangkat menjadi anggota Parlemen Sementara RI mewakili Kalimantan. Tahun 1950 ia terpilih lagi menjadi anggota DPRS mewakili Masyumi. Ketika NU memisahkan diri dari Masyumi, tahun 1952, Idham memilih bergabung dengan Partai Nahdlatul Ulama dan terlibat aktif dalam konsolidasi internal ke daerah-daerah.

 

Idham memulai kariernya di NU dengan aktif di GP Ansor. Tahun 1952 ia diangkat sebagai ketua PB Ma’arif, organisasi sayap NU yang bergerak di bidang pendidikan. Pada tahun yang sama ia juga diangkat menjadi sekretaris jenderal partai, dan dua tahun kemudian menjadi wakil ketua. Selama masa kampanye Pemilu 1955, Idham memegang peran penting sebagai ketua Lajnah Pemilihan Umum NU.

 

Sepanjang tahun 1952-1955, ia, yang juga duduk dalam Majelis Pertimbangan Politik PBNU, sering mendampingi Rais Am K.H. Abdul Wahab Chasbullah berkeliling ke seluruh cabang NU di Nusantara.

 

Dalam Pemilu 1955, NU berhasil meraih peringkat ketiga setelah PNI dan Masyumi. Karena perolehan suara yang cukup besar dalam Pemilu 1955, pada pembentukan kabinet tahun berikutnya, Kabinet Ali Sastroamijoyo, NU mendapat jatah lima menteri, termasuk satu kursi wakil perdana menteri, yang oleh PBNU diserahkan kepada Idham Chalid. Pada Muktamar NU ke-21 di Medan bulan Desember tahun yang sama, Idham terpilih menjadi ketua umum PBNU, menggantikan K.H. Muhammad Dahlan.

 

Kabinet Ali Sastroamijoyo hanya bertahan setahun, berganti dengan Kabinet Djuanda. Namun Idham Chalid tetap bertahan di posisi wakil perdana menteri sampai Dekrit Presiden tahun 1959. Idham kemudian ditarik menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung, dan setahun kemudian menjadi wakil ketua MPRS.

 

Pertengahan tahun 1966 Orde Lama tumbang, dan tampillah Orde Baru. Namun posisi Idham di pemerintahan tidak ikut tumbang. Dalam kabinet Ampera, yang dibentuk Presiden Soeharto, ia dipercaya menjabat menteri kesejahteraan rakyat sampai tahun 1970 dan menteri sosial sampai 1971. Nahdlatul Ulama di bawah kepemimpinan Idham kembali mengulang sukses dalam Pemilu 1971. Namun setelah itu pemerintah melebur seluruh partai menjadi hanya tiga partai: Golkar, PDI, dan PPP. Dan NU tergabung di dalam PPP.

Idham Chalid menjabat presiden PPP, yang dijabatnya sampai tahun 1989. Ia juga terpilih menjadi ketua DPR/MPR RI sampai tahun 1977. Jabatan terakhir yang diemban Idham Chalid adalah ketua Dewan Pertimbangan Agung.

 

Ali Ma’shum

 Kiai Ali lahir pada 15 Maret 1915 di Lasem, Rembang, Jawa Tengah. Ia putra Kiai Ma`shum, pemimpin Pesantren Al-Hidayah, Soditan, Lasem Rembang, Jawa Tengah.

 

Ketika usianya menginjak 12 tahun, Ali dikirim ke Pesantren Termas, Pacitan, Jawa Timur, pesantren terbesar dan termasyhur kala itu selain Tebuireng, Jombang, dan Lasem sendiri. Di Termas ia berguru kepada Syaikh Dimyathi At-Tarmasi, adik Syaikh Mahfudz At-Tarmasi, ulama besar Nusantara yang mengajar di Masjidil Haram.

Sebagai putra kiai kondang, sejak kecil Ali telah digembleng dengan dasar-dasar ilmu agama. Sehingga, ketika delapan tahun belajar di Termas, ia sama sekali tak menemukan kesulitan. Ia mendapat perhatian istimewa dari Syaikh Dimyathi. Sejak awal mondok, Ali diizinkan gurunya mengikuti pengajian bandongan, yang biasanya hanya diikuti santri-santri senior. Bahkan ia dibiarkan membaca kitab-kitab karya ulama pembaharu, yang tidak lazim dipelajari di pesantren salaf. Syaikh Dimyathi menilai, Ali Ma’shum sudah memiliki dasar keilmuan yang cukup kuat, sehingga bacaan-bacaan itu tidak akan mempengaruhinya, bahkan justru akan memperluas pandangannya.

Segala kelebihan Ali Ma’shum itu tidak terlepas dari kepandaiannya dalam ilmu bahasa Arab, yang di atas rata-rata.

 

Sekembali dari Termas, Ali membantu ayahnya mengasuh pesantren mereka di Lasem. Tak lama kemudian ia dinikahkan dengan Hasyimah binti Munawir, putri pemimpin Pesantren Krapyak, Yogyakarta. Sebulan setelah pernikahan, ia pergi haji. Selain berhaji, selama dua tahun bermukim di Makkah, Ali juga belajar kepada ulama besar Tanah Suci, Sayyid Alwi Al-Maliky dan Syaikh Umar Hamdan.

 

Ketika Kiai Ali kembali dari Makkah, tahun 1941, kondisi tanah air kacau balau. Penjajah Jepang baru saja masuk. Seperti pesantren-pesantren lain, Pesantren Lasem pun sepi, ditinggal para santrinya.Dengan usaha Kiai Ali yang gigih, perlahan pesantren yang didirikan ayahandanya itu kembali menggeliat bangkit.

 

Namun baru dua tahun ia memimpin Pesantren Lasem, ibu mertuanya datang dan minta dirinya pindah ke Krapyak, Yogyakarta, untuk memimpin pesantren yang baru saja ditinggal wafat Kiai Munawir. Sentuhan tangan dinginnya berhasil menghidupkan kembali Pesantren Krapyak. Bersama ipar-iparnya, ia meneruskan kepemimpinan Kiai Munawir hingga Pesantren Krapyak kembali berkembang pesat dan dikenal luas.

Arus perubahan melanda NU menjelang dan di awal tahun 1980-an. Yakni, adanya keinginan untuk kembali ke khiththah 1926, bahwa NU tidak berpolitik. Setelah wafatnya Rais Am K.H. M. Bisri Syansuri pada 25 April 1981, untuk menduduki posisi puncak dalam kepemimpinan NU, salah seorang yang dianggap paling pas adalah Kiai Ali Ma’shum.

 

Benar saja, September 1981, Kiai Ali Ma’shum terpilih menjadi rais am PBNU. Ia dipilih dalam Muktamar NU di Kaliurang, Yogyakarta.Masa 1981 sampai 1984 itu ternyata merupakan babak yang sangat menarik bagi NU. Tahun 1982 berlangsung pemilihan umum. Menjelang pemilu, beberapa tokoh NU disingkirkan dari PPP, sehingga di kalangan NU timbul keinginan untuk meninggalkan partai berlambang Ka’bah itu.

 

Kiai Ali termasuk orang yang tidak setuju dengan langkah tersebut. Bersama dengan Kiai As`ad Syamsul Arifin, Kiai Mahrus Ali, dan Kiai Masykur, ia minta agar Ketua PBNU K.H. Idham Chalid mundur dari jabatan, karena dianggap gagal memimpin.Pada awalnya Idham Chalid setuju mundur. Tapi beberapa hari kemudian, karena ada pengkhianatan, ia mencabut pernyataan pengunduran dirinya itu.

 

Nahdlatul Ulama pecah menjadi dua kelompok: kelompok Idham Chalid, atau sayap politik, yang berbasis di Cipete, Jakarta Selatan, dan kelompok Kiai As’ad, atau sayap khiththah, yang disebut kelompok Situbondo. Walaupun demikian, selalu diupayakan agar terjadi ishlah. Namun usaha itu gagal.Setelah upaya ishlah mentok, Kiai Ali menganggap kelompok Cipete tidak ada, hingga jabatan ketua umum atau ketua tanfidziyah dirangkap oleh rais am.

 

Pada 1983, sayap khiththah mengadakan Musyawarah Nasional Alim Ulama di Situbondo dan menghasilkan konsep kembali ke khiththah 1926. Tahun berikutnya, pada Muktamar ke-27, ditetapkanlah konsepsi tersebut serta penerimaan asas tunggal Pancasila. Dengan keputusan itu, NU menyatakan independen, tidak ada hubungan dengan partai politik tertentu. Jabatan ketua tanfidziyyah diserahkan kepada K.H. Abdurrahman Wahid dan jabatan rais am diserahkan kepada K.H. Achmad Siddiq. Kiai Ali sendiri duduk dalam Dewan Penasihat atau Mustasyar.

 

Kamis 7 Desember 1989, tepat usai adzan maghrib, Kiai Ali Ma’shum berpulang ke rahmatullah dalam usia 74 tahun. Keesokan harinya, ribuan umat Islam mengantarkan kepergiannya ke peristirahatan terakhir di Pekuburan Dongkelan, Bantul, Yogyakarta.

 

 K.H. Abdurrahman Wahid

 Saat Muktamar Nahdlatul Ulama di Situbondo, Jawa Timur, tahun 1984, sempat terjadi suasana yang panas. Bukan hanya karena konflik kubu Situbondo dan kubu Cipete, melainkan juga karena kubu Situbondo terancam pecah akibat K.H. Machrus Ali, pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, menolak K.H. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur menjadi ketua umum Tanfidziyah Pengurus Besar NU apabila tidak mau melepaskan jabatannya sebagai ketua Dewan Kesenian Jakarta. Alasannya, ketua umum PBNU tidak pantas ngurusi “kethoprak”.

Namun ternyata Gus Dur tidak mau mundur. Ia bersikeras lebih baik tidak jadi ketua umum PBNU daripada melepas jabatan ketua DKJ. Sikap keras Gus Dur sekilas tampak agak menyimpang dari tradisi keulamaan NU, yakni tunduk kepada kiai. Apalagi K.H. Machrus saat itu rais Syuriyah Pengurus Wilayah NU Jawa Timur.

Masalahnya kemudian terselesaikan saat K.H. Achmad Sidiq dari Jember bercerita kepada K.H. Machrus Ali. Ia bermimpi melihat K.H. Wahid Hasyim, ayah Gus Dur, berdiri di atas mimbar. Spontan K.H. Machrus berubah, sikap mendukung Gus Dur tanpa syarat. Ia menakwilkan mimpi itu, K.H. Wahid Hasyim merestui Gus Dur.

Sekalipun lebih tua, K.H. Machrus tawadhu kepada K.H. Wahid Hasyim, karena K.H. Wahid Hasyim adalah putra Hadratusy Syaikh K.H. Hasyim Asy`ari, pendiri NU dan gurunya.

 

Akhirnya Gus Dur terpilih sebagai ketua umum PBNU, dan pada dua muktamar berikutnya ia kembali terpilih sebagai ketua umum. Maka selama lima belas tahun (1984-1999) NU berada dalam kendali Gus Dur.

Kejadian di tahun 1984 itu menunjukkan kuatnya tradisi keulamaan di tubuh NU. Dua pilar dalam tradisi itu adalah nasab, yaitu atas dasar hubungan darah, dan hubungan patronase kiai-santri atau guru-murid.

 

Gus Dur memiliki nasab yang sangat kuat, baik dari jalur ayah maupun ibu. Selain cucu K.H. Hasyim Asy-ari dari jalur ayah, ia pun cucu K.H. Bisri Syansuri dari jalur ibu. K.H. Bisri Syansuri, rais am ketiga NU dan pengasuh Ponpes Denanyar, Jombang, adalah ayahanda Hj. Solichah Wahid Hasyim, ibunda Gus Dur.

Dalam hubungan patronase kiai-santri, Ponpes Tebuireng merupakan ”kiblat”, khususnya semasa K.H. Hasyim Asy`ari. Banyak kiai besar yang belajar di Tebuireng. Dalam tradisi keulamaan NU, penghormatan seorang santri kepada putra kiainya sama dengan kepada kiainya. Bahkan, sampai kepada cucu kiainya. Karena itu, putra atau cucu kiai dipanggil “Gus”.

 

Wajar jika Gus Dur memiliki superioritas tinggi di mata nahdliyin. Apalagi, ia juga memiliki kemampuan keilmuan yang dipandang sangat tinggi di antara para tokoh NU. Meskipun tidak dikenal sebagai spesialis dalam salah satu atau bebrapa cabang ilmu keislaman, ia sangat menguasai kitab kuning, juga kitab-kitab kontemporer yang disusun para ulama di masa belakangan. Selain mumpuni dalam ilmu-ilmu agama, ia pun menguasai berbagai ilmu lain dengan wawasan yang sangat luas.

 

Di masa Gus Dur, pamor NU terus menaik. Ia berhasil membawa NU menjadi kekuatan yang berskala nasional sebagai pengimbang kekuasaan, yang waktu itu tak terimbangi oleh siapa pun. Setelah sebelumnya kurang diperhitungkan, kecuali di saat-saat pemilu, NU kemudian berubah menjadi betul-betul dikenal dan dihormati banyak pihak, baik dari dalam maupun luar negeri. Jika sebelumnya jarang dibicarakan orang, dalam waktu singkat NU berubah menjadi obyek studi dari banyak sarjana di mana-mana. Semua itu tak dapat dilepaskan dari peran Gus Dur, baik sebagai ketua umum PBNU maupun sebagai pribadi dalam berbagai kapasitasnya.

Ya, Gus Dur memang punya kharisma yang besar di mata para kiai, apalagi di depan umatnya. Umat NU ketika itu sedang mencari tokoh yang menjadi jendela menuju dunia modern. Ada kebanggaan di kalangan NU terhadap Gus Dur, karena ia membawa pesantren dan NU ke dunia luar yang luas. Ia membuka masyarakat NU untuk sadar bahwa kita hidup dalam dunia global.

 

Sejak di bawah kepemimpinan Gus Dur, peran NU sebagai jam`iyyah maupun peran tokoh-tokohnya sebagai individu dari waktu ke waktu semakin kuat dan terus meluas, termasuk dalam politik. Meskipun secara resmi NU telah menyatakan diri kembali ke khiththah dan tidak lagi berpolitik praktis, pengaruh politiknya tak pernah surut, bahkan semakin menguat. Tokoh-tokoh NU yang terlibat di pentas politik, meskipun tidak mengatasnamakan NU, semakin banyak.

 

Munculnya PKB dan partai-partai baru lainnya sangat mengandalkan dukungan warga NU.

Dinamika politik kemudian terus bergulir. Hanya berselang setahun tiga bulan setelah pendirian PKB, akhirnya pada bulan Oktober 1999 Gus Dur terpilih sebagai presiden RI yang keempat melalui pemilihan langsung yang dramatis di MPR. Itulah puncak karier NU di pentas politik. 

---------------------------------------------------------------------

Bill/AY (Sumber: Majalah Alkisah)

Sabtu, 18 Juli 2015

Kisah taubatnya Ibnu Taimiyah

Saturday, 21 February 2015

Kisah Taubatnya Ibnu Taimiyah Ditangan Ulama, Sebuah Fakta Sejarah

Muslimedianews.com ~ 

بسم الله الرحمن الرحيم

الحمد لله ذي الحمد المجيد، والصلاة والسلام على سيدنا رسول الله محمد خير العَبيد، ثم على المُبَشِّرين به وآله وصَحْبِه وخُلفائه وورثته إلى يوم المَزيد.

Sedikit saya akan mengungkap fakta sejarah yang jarang dikupas secara singkat tentang kisah taubatnya seorang figur yang menjadi cikal bakal ajaran wahhabiyah yaitu Ibnu Taimiyyah Al-Harrani. Fakta sejarah ini telah ditulis oleh banyak ulama Ahlus sunnah wal jama'ah yang hidup sezaman dengan Ibnu Taimiyyah bahkan di antara mereka adalah mantan murid dari Ibnu Taimiyyah, seperti Adz-Dzahabi dan Ibnu Syakir.

Para ulama yang menulis sejarah Ibnu Taimiyyah adalah orang-orang yang hidup semasa dengan Ibnu Taimiyyah, mereka menyaksikan, bertemu langsung dan bahkan ada yang berguru kepadanya sebelum Ibnu Taimiyyah menyimpang dari ajaran salaf kemudian membebaskan diri setelah mengetahui Ibnu Taimiyyah menyimpang dari ajaran mayoritas umat muslim. Maka mereka para ulama tersebut lebih mengetahui sejarah dan ajaran Ibnu Taimiyyah ketimbang kita dan para wahhabi sekarang ini.

Sebelumnya ada baiknya kita mengetahui sedikit komentar para ulama Ahlus sunnah wal jama'ah tentang ajaran Ibnu Taimiyyah :

قال المحدث الحافظ الفقيه ولي الدين العراقي ابن الشيخ الحفاظ زين الدين العراقي : انه خرق الاجماع في مسائل كثيرة قيل تبلغ ستين مسألة بعضها في الاصول و بعضها في الفروع خالف فيها بعد انعقاد الاجماع عليها. ( الاجوبة المرضية على المسألة المكية)
"Seorang Ahli Hadits yang mendapat gelar Al-Hafidz Al-Faqih, Waliyuddin Al-Iraqi bin Syaikh Al-Haffadz Zainuddin Al-Iraqi berkata " Sesungguhnya Ibnu Taimiyyah telah merusak mayoritas umat muslim di dalam banyak permasalahan, dikatakan mencapai 60 permasalahan sebagian mengenai akidah dan sebagian lainnya mengenai furu'. Ia telah menyalahi permasalahan-permasalahan yang telah disepakati oleh umat Islam ". (Al-Ajwibatul Mardhiyyah 'alal mas-alatil makkiyyah)

قال الشيخ ابن حجر الهيتمي ناقلا المسائل التي خالف فيها ابن تيميه اجماع المسلمين ما نصه : وان العالم قديم بالنوع ولم يزل مع الله مخلوقا دائما فجعله موجبا بالذات لا فاعلا بالاختيارتعالى الله عن ذالك, وقوله بالجسمبة والجهة والانتقال و انه بقدر العرش لااصغر ولا اكبر , تعالى الله عن هذا الافتراء الشنيع القبيخ والكفر البراح الصريح. (الفتاوى الحديثية ص: ١١٦)
Syaikh Ibnu Hajar Al-Haitamy berkata dengan menukil permasalahan-permasalahan Ibnu Taimiyyah yang menyalahi kesepakaran umat Islam, yaitu : (Ibnu Taimiyyah telah berpendapat) bahwa Alam itu bersifat dahulu dengan satu macam, dan selalu makhluk bersama Allah. Ia telah menyandarkan alam dengan Dzat Allah Swt bukan dengan perbuatan Allah scra ikhtiar, sungguh Maha Luhur Allah dari penyifatan yang demikian itu. Ibnu Taimiyyah juga berkeyakinan adanya jisim pada Allah Swt, arah dan perpindahan. Ia juga berkeyakinan bahwa Allah tidak lebih kecil dan tidak lebih besar dari Arsy. Sungguh Allah maha Suci atas kedustaan keji dan buruk ini serta kekufuran yang nyata ". (Al-Fatawa Al-Haditsiyyah : 116)

وقال ايضا ما نصه : واياك ان تصغي الى ما في كتب ابن تيمية وتلميذه ابن القيم الجوزية وغيرهما ممن اتخذ الهه هواه واضله الله على علم و ختم على سمعه وقلبه وجعل على بصره غشاوة فمن يهديه من بعدالله. و كيف تجاوز هؤلاء الملحدون الحدود و تعدواالرسوم وخرقوا سياج الشربعة والحقيقة فظنوا بذالك انهم على هدى من ربهم وليسوا كذالك. (الفتاوى الحديثية ص:۲۰۳)
Beliau Syaikh Ibnu Hajar juga berkata " Maka berhati-hatilah kamu, jangan kamu dengarkan apa yang ditulis oleh Ibnu Taimiyyah dan muridnya Ibnul Qoyyim Al-Jauziyyah dan selain keduanya dari orang-orang yang telah menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah telah menyesatkannya dari ilmu serta menutup telinga dan hatinya dan menjdaikan penghalang atas pandangannya. Maka siapakah yang mampu member petunjuk atas orang yang telah Allah jauhkan ?. Bagaimana orang-orang sesat itu telah melampai batasan-batasan syare'at dan aturan, dan mereka pun juga telah merobek pakaian syare'at dan hakikat, mereka masih menyangka bahwa mereka di atas petunjuk dari Tuhan mereka, padahal sungguh tidaklah demikian ". (Al-Fatawa Al-Haditsiyyah : 203)

Seorang ulama besar Syaikh Abu Al-Hasan Ali Ad-Dimasyqi Rh berkata dari ayahnya bahwasanya beliau bercerita "Ketika kami sedang duduk di majlis Ibnu Taimiyyah, dan ia berceramah hingga sampai pada pembahasan ayat Istiwa, ia berkata " Allah Swt beristiwa di atas arasy-Nya seperti istiwaku ini ", maka manusia kaget dan segera melompat ke arah Ibnu Taimiyyah dengan satu lompatan dan menurunkanya dari kursi kemudian orang-orang segera menampar dan memukulnya dengan sandal-sandal mereka dan selainnya. Mereka membawa Ibnu Taimiyyah ke salah satu hakim, maka berkumpullah di majlis tersebut para ulama dan mereka mulai mengintrogasinya " Apa dalil dari yang telah engkau katakan tadi ? ", Ibnu Taimiyyah menjawab " Firman Allah Swt ; Ar-Rahmaanu 'alal arsyis tawaa ", maka para ulama tertawa dan tahulah mereka bahwa ibnu taimiyyah adalah orang bodoh. Yang tidak mengetahui kaidah-kaidah ilmu.

Kemudian para ulama bertanya lagi untuk memastikan urusannya " Apa pendapatmu tentang firman Allah : فاينما تولوا فثم وجه الله " Dimanapun kamu menghadap maka di sanalah wajah Allah " ? Maka Ibnu Taimiyyah menjawab dengan jawaban yang meyakinkan bahwa ia termasuk orang bodoh yang sebenarnya, ia tidak mengetahui apa yang ia katakana dan ia telah tertipu oleh pujian orang-orang awam padanya dan beberapa para ulama jumud yang kosong dari ilmu yang berdasarkan dalil-dalil 
(Al-Maqoolat As-Sunniyah : 36)

ULAMA YANG BANTAH IBNU TAIMIYAH

Sangat banyak hujatan para ulama Aswaja (Ahlus sunnah wal jama'ah) kepada Ibnu Taimiyyah mengenai ajaran-ajarannya yang menyimpang dari mayoritas ulama dan umat Islam, bahkan para ulama sempat mengarang kitab-kitab untuk membantaha ajaran-ajarannya dan demi menyelamatkan umat Islam dari kesesatannya. Di antaranya :

1. Al-Qâdlî al-Mufassir Badruddin Muhammad ibn Ibrahim ibn Jama'ah asy-Syafi'i (w 733 H).
2. Al-Qâdlî Ibn Muhammad al-Hariri al-Anshari al-Hanafi.
3. Al-Qâdlî Muhammad ibn Abi Bakr al-Maliki.
4. Al-Qâdlî Ahmad ibn Umar al-Maqdisi al-Hanbali.
Ke empat ulama yang juga menjabat qodhi inilah yang merekomendasikan fatwa untuk memenjarakan Ibnu Taimiyyah. Dan sempat berpindah-pindah penjara.
4. Syekh Shaleh ibn Abdillah al-Batha-ihi, Syekh al-Munaibi' ar-Rifa'i. salah seorang ulama terkemuka yang telah menetap di Damaskus (w 707 H).
5. Syekh Kamaluddin Muhammad ibn Abi al-Hasan Ali as-Sarraj ar-Rifa'i al-Qurasyi asy-Syafi'i. salah seorang ulama terkemuka yang hidup semasa dengan Ibn Taimiyah sendiri. Tuffâh al-Arwâh Wa Fattâh al-Arbâh
6. Ahli Fiqih dan ahli teologi serta ahli tasawwuf terkemuka di masanya; Syekh Tajuddin Ahmad ibn ibn Athaillah al-Iskandari asy-Syadzili (w 709 H).
7. Pimpinan para hakim (Qâdlî al-Qudlât) di seluruh wilayah negara Mesir; Syekh Ahmad ibn Ibrahim as-Suruji al-Hanafi (w 710 H) • I'tirâdlât 'Alâ Ibn Taimiyah Fi 'Ilm al-Kalâm.
8. Pimpinan para hakim madzhab Maliki di seluruh wilayah negara Mesir pada masanya; Syekh Ali ibn Makhluf (w 718 H). Di antara pernyataannya sebagai berikut: "Ibn Taimiyah adalah orang yang berkeyakinan tajsîm, dan dalam keyakinan kita barangsiapa berkeyakinan semacam ini maka ia telah menjadi kafir yang wajib dibunuh".
9. Syekh al-Faqîh Ali ibn Ya'qub al-Bakri (w 724 H). Ketika suatu waktu Ibn Taimiyah masuk wilayah Mesir, Syekh Ali ibn Ya'qub ini adalah salah seorang ulama terkemuka yang menentang dan memerangi berbagai faham sesatnya.
10. Al-Faqîh Syamsuddin Muhammad ibn Adlan asy-Syafi'i (w 749 H). Salah seorang ulama terkemuka yang hidup semasa dengan Ibn Taimiyah yang telah mengutip langsung bahwa di antara kesesatan Ibn Taimiyah mengatakan bahwa Allah berada di atas arsy, dan secara hakekat Dia berada dan bertempat di atasnya, juga mengatakan bahwa sifat Kalam Allah berupa huruf dan suara.
11. Imam al-Hâfizh al-Mujtahid Taqiyuddin Ali ibn Abd al-Kafi as-Subki (w 756 H). • al-I'tibâr Bi Baqâ' al-Jannah Wa an-Nâr. • ad-Durrah al-Mudliyyah Fî ar-Radd 'Alâ Ibn Taimiyah. • Syifâ' as-Saqâm Fî Ziyârah Khair al-Anâm. • an-Nazhar al-Muhaqqaq Fi al-Halaf Bi ath-Thalâq al-Mu'allaq. • Naqd al-Ijtimâ' Wa al-Iftirâq Fî Masâ-il al-Aymân Wa ath-Thalâq. • at-Tahqîq Fî Mas-alah at-Ta'lîq. • Raf'u asy-Syiqâq Fî Mas'alah ath-Thalâq.
12. Al-Muhaddits al-Mufassir al-Ushûly al-Faqîh Muhammad ibn Umar ibn Makki yang dikenal dengan sebutan Ibn al-Murahhil asy-Syafi'i (w 716 H). Di masa hidupnya ulama besar ini telah berdebat dan memerangi Ibn Taimiyah.
13. Imam al-Hâfizh Abu Sa'id Shalahuddin al-'Ala-i (w 761 H). Imam terkemuka ini mencela dan telah memerangi Ibn Taimiyah. Lihat kitab Dakhâ-ir al-Qashr Fî Tarâjum Nubalâ' al-'Ashr karya Ibn Thulun pada halaman 32-33. • Ahâdîts Ziyârah Qabr an-Naby.
14. Pimpinan para hakim (Qâdlî al-Qudlât) kota Madinah Imam Abu Abdillah Muhammad ibn Musallam ibn Malik ash-Shalihi al-Hanbali (w 726 H).
15. Imam Syekh Ahmad ibn Yahya al-Kullabi al-Halabi yang dikenal dengan sebutan Ibn Jahbal (w 733 H), semasa dengan Ibn Taimiyah sendiri. • Risâlah Fî Nafyi al-Jihah.
16. Al-Qâdlî Kamaluddin ibn az-Zamlakani (w 727 H). Ulama besar yang semasa dengan Ibn Taimiyah ini telah memerangi seluruh kesesatan Ibn Taimiyah, hingga beliau menuliskan dua risalah untuk itu. Pertama dalam masalah talaq, dan kedua dalam masalah ziarah ke makam Rasulullah.
17. Al-Qâdlî Shafiyuddin al-Hindi (w 715 H), semasa dengan Ibn Taimiyah sendiri.
18. Al-Faqîh al-Muhaddits Ali ibn Muhammad al-Baji asy-Syafi'i (w 714 H). Telah memerangi Ibn Taimiyah dalam empat belas keyakinan sesatnya, dan telah mengalahkan serta menundukannya.
19. Sejarawan terkemuka (al-Mu-arrikh) al-Faqîh al-Mutakallim al-Fakhr ibn Mu'allim al-Qurasyi (w 725 H). • Najm al-Muhtadî Wa Rajm al-Mu'tadî
20. Al-Faqîh Muhammad ibn Ali ibn Ali al-Mazini ad-Dahhan ad-Damasyqi (w 721 H). • Risâlah Fî ar-Radd 'Alâ Ibn Taimiyah Fî Mas-alah ath-Thalâq. • Risâlah Fî ar-Radd 'Alâ Ibn Taimiyah Fî Mas-alah az-Ziayârah
21. Al-Faqîh Abu al-Qasim Ahmad ibn Muhammad ibn Muhammad asy-Syirazi (w 733 H). • Risâlah Fi ar-Radd 'Alâ Ibn Taimiyah
22. Al-Faqîh al-Muhaddits Jalaluddin al-Qazwini asy-Syafi'i (w 739 H).
23. As-Sulthan Ibn Qalawun (w 741 H). Beliau adalah Sultan kaum Muslimin saat itu, telah menuliskan surat resmi prihal kesesatan Ibn Taimiyah.
24. Al-Hâfizh adz-Dzahabi (w 748 H) yang merupakan murid Ibn Taimiyah sendiri. • Bayân Zaghl al-'Ilm Wa ath-Thalab. • an-Nashîhah adz-Dzahabiyyah.
Al-Mufassir Abu Hayyan al-Andalusi (745 H). • Tafsîr an-Nahr al-Mâdd Min al-Bahr al-Muhîth
25. Syekh Afifuddin Abdullah ibn As'ad al-Yafi'i al-Yamani al-Makki (w 768 H).
26. Al-Faqîh Syekh Ibn Bathuthah, salah seorang ulama terkemuka yang telah banyak melakukan rihlah (perjalanan).
27. Al-Faqîh Tajuddin Abdul Wahhab ibn Taqiyuddin Ali ibn Abd al-Kafi as-Subki (w 771 H). • Thabaqât asy-Syâfi'iyyah al-Kubrâ
28. Seorang ulama ahli sejarah terkemuka (al-Mu-arrikh) Syekh Ibn Syakir al-Kutubi (w 764 H). • 'Uyûn at-Tawârikh.
29. Syekh Umar ibn Abi al-Yaman al-Lakhmi al-Fakihi al-Maliki (w 734 H). • at-Tuhfah al-Mukhtârah Fî ar-Radd 'Alâ Munkir az-Ziyârah
30. Al-Qâdlî Muhammad as-Sa'di al-Mishri al-Akhna'i (w 750 H). • al-Maqâlât al-Mardliyyah Fî ar-Radd 'Alâ Man Yunkir az-Ziyârah al-Muhammadiyyah, dicetak satu kitab dengan al-Barâhîn as-Sâthi'ah karya Syekh Salamah al-Azami.
31. Syekh Isa az-Zawawi al-Maliki (w 743 H). • Risâlah Fî Mas-alah ath-Thalâq.
32. Syekh Ahamad ibn Utsman at-Turkimani al-Jauzajani al-Hanafi (w 744 H). • al-Abhâts al-Jaliyyah Fî ar-Radd 'Alâ Ibn Taimiyah.
33. Imam al-Hâfizh Abdul Rahman ibn Ahmad yang dikenal dengan Ibn Rajab al-Hanbali (w 795 H). •
34. Bayân Musykil al-Ahâdîts al-Wâridah Fî Anna ath-Thalâq ats-Tsalâts Wâhidah.
35. Imam al-Hâfizh Ibn Hajar al-Asqalani (w 852 H). • ad-Durar al-Kâminah Fî A'yân al-Mi-ah ats-Tsâminah. • Lisân al-Mizân. • Fath al-Bâri Syarh Shahîh al-Bukhâri. • al-Isyârah Bi Thuruq Hadîts az-Ziyârah.
36. Imam al-Hâfizh Waliyuddin al-Iraqi (w 826 H). • al-Ajwibah al-Mardliyyah Fî ar-Radd 'Alâ al-As-ilah al-Makkiyyah.
37. Al-Faqîh al-Mu-arrikh Imam Ibn Qadli Syubhah asy-Syafi'i (w 851 H). • Târîkh Ibn Qâdlî Syubhah.
38. Al-Faqîh al-Mutakallim Abu Bakar al-Hushni penulis kitab Kifâyah al-Akhyâr (829 H). • Daf'u Syubah Man Syabbah Wa Tamarrad Wa Nasaba Dzâlika Ilâ Imam Ahmad.
39. Salah seorang ulama terkemuka di daratan Afrika pada masanya; Syekh Abu Abdillah ibn Arafah at-Tunisi al-Maliki (w 803 H).
40. Al-'Allâmah Ala'uddin al-Bukhari al-Hanafi (w 841 H). Beliau mengatakn bahwa Ibn Taimiyah adalah seorang yang kafir. Beliau juga mengkafirkan orang yang menyebut Ibn Taimiyah dengan Syekh al-Islâm jika orang tersebut telah mengetahui kekufuran-kekufuran Ibn Taimiyah. Pernyataan al-'Allâmah Ala'uddin al-Bukhari ini dikutip oleh Imam al-Hâfizh as-Sakhawi dalam kitab adl-Dlau' al-Lâmi'.

Dan masih banyak lagi ulama yang lainnya.

PROSES SIDANG ULAMA TERHADAP IBNU TAIMIYAH
Sekarang marilah kita simak penuturan seorang ulama yang sezaman dengan Ibnu Taimiyyah yaitu Ibnu Syakir Al-Kutuby dalam salah satu kitab tarikhnya juz 20 yang telah diabadikan oleh seorang ulama besar dari kalangan Ahlus sunnah yang terkenal di seluruh penjuru dunia yaitu Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Astqolani dalam kitabnya "Ad-Duroru Al-Kaaminah " dan beliau juga penyarah kitab Shohih Bukhori yang dinamakan Fathu Al-Bari. Berikut penuturan beliau yang begitu panjang namun saya singkat dengan tanpa menghilangkan maksud tujuannya :

Sidang Pertama :

" Di tahun 705 di hari ke delapan bulan Rajab, Ibnu Taimiyyah disidang dalam satu majlis persidangan yang dihadiri oleh para penguasa dan para ulama ahli fiqih di hadapan wakil sulthon. Maka Ibnu Taimiyyah ditanya tentang aqidahnya, lalu ia mengutarakan sedikit dari aqidahnya. Kemudian dihadirkan kitab aqidahnya Al-Wasithiyyah dan dibacakan dalam persidangan, maka terjadilah pembahasan yang banyak dan masih ada sisa pembahasan yang ditunda untuk sidang berikutnya.

Dan di tahun 707 hari ke-6 bulan Rabi'ul Awwal hari kamis, Ibnu Taimiyyah menyatakan taubatnya dari akidah dan ajaran sesatnya di hadapan para ulama Ahlus sunnah wal jama'ah dari kalangan empat madzhab, bahkan ia membuat perjanjian kepada para ulama dan hakim dengan tertulis dan tanda tangan untuk tidak kembali ke ajaran sesatnya, namun setelah itu ia pun masih sering membuat fatwa-fatwa nyeleneh dan mengkhianati surat perjanjiannya hingga akhirnya ia mondar-mandir masuk penjara dan wafat di penjara sebagaimana nanti akan diutarakan ucapan dari para ulama.

Berikut ini pernyataan Ibnu taimiyyah tentang pertaubatannya :

الحمد الله، الذي أعتقده أن في القرءان معنى قائم بذات الله وهو صفة من صفات ذاته القديمة الأزلية وهو غير مخلوق، وليس بحرف ولا صوت، وليس هو حالا في مخلوق أصلا ولا ورق ولا حبر ولا غير ذلك، والذي أعتقده في قوله: ? الرحمن على آلعرش آستوى ? [سورة طه] أنه على ما قال الجماعة الحاضرون وليس على حقيقته وظاهره، ولا أعلم كنه المراد به، بل لا يعلم ذلك إلا الله، والقول في النزول كالقول في الاستواء أقول فيه ما أقول فيه لا أعرف كنه المراد به بل لا يعلم ذلك إلا الله، وليس على حقيقته وظاهره كما قال الجماعة الحاضرون، وكل ما يخالف هذا الاعتقاد فهو باطل، وكل ما في خطي أو لفظي مما يخالف ذلك فهو باطل، وكل ما في ذلك مما فيه إضلال الخلق أو نسبة ما لا يليق بالله إليه فأنا بريء منه فقد تبرأت منه وتائب إلى الله من كل ما يخالفه وكل ما كتبته وقلته في هذه الورقة فأنا مختار فى ذلك غير مكره.

(كتبه أحمد بن تيمية) وذلك يوم الخميس سادس شهر ربيع الآخر سنة سبع وسبعمائة.

" Segala puji bagi Allah yang aku yakini bahwa di dalam Al-Quran memiliki makna yang berdiri dengan Dzat Allah Swt yaitu sifat dari sifat-sifat Dzat Allah Swt yang maha dahulu lagi maha azali dan al-Quran bukanlah makhluq, bukan berupa huruf dan suara, bukan suatu keadaan bagi makhluk sama sekali dan juga bukan berupa kertas dan tinta dan bukan yang lainnya. Dan aku meyakini bahwa firman Allah Swt " الرحمن على آلعرش آستوى adalah apa yang telah dikatakan oleh para jama'ah (ulama) yang hadir ini dan bukanlah istawa itu secara hakekat dan dhohirnya, dan aku pun tidak mengetahui arti dan maksud yang sesungguhnya kecuali Allah Swt, bukan istawa secara hakekat dan dhohir seperti yang dinyatakan oleh jama'ah yang hadir ini. Semua yang bertentangan dengan akidah I ni adalah batil. Dan semua apa yang ada dalam tulisanku dan ucapanku yang bertentangan dari semua itu adalah batil. Semua apa yang telah aku gtulis dan ucapkan sebelumnya adalah suatu penyesatan kepada umat atau penisbatan sesuatu yang tidak layak bagi Allah Swt, maka aku berlepas diri dan menjauhkan diri dari semua itu. Aku bertaubat kepada Allah dari ajaran yang menyalahi-Nya. Dan semua yang aku dan aku ucapkan di kertas ini maka aku dengan suka rela tanpa adanya paksaan "
Telah menulisnya :

(Ahmad Ibnu Taimiyyah)

Kamis, 6-Rabiul Awwal-707 H.


Di atas surat pernyaan itu telah ditanda tangani di bagian atasnya oleh Ketua hakim, Badruddin bin jama'ah.

Pernyataan ini telah disaksikan, diakui dan ditanda tangani oleh :

  • Muhammad bin Ibrahim Asy-Syafi'i, beliau menyatakan :
 اعترف عندي بكل ما كتبه بخطه في التاريخ المذكور  
(Aku mengakui segala apa yang telah dinyatakan oleh Ibnu Taimiyyah ditanggal tersebut)
  • Abdul Ghoni bin Muhammad Al-Hanbali :
 اعترف بكل ما كتب بخطه
(Aku mengakui apa yang telah dinyatakannya)
  • Ahmad bin Rif'ah
  • Abdul Aziz An-Namrowi :
 أقر بذلك
(Aku mengakuinya)
  • Ali bin Miuhammad bin Khoththob Al-Baji Asy-Syafi'i :
أقر بذلك كله بتاريخه
(Aku mengakui itu dengan tanggalnya)
  • Hasan bin Ahmad bin Muhammad Al-Husaini :
جرى ذلك بحضوري في تاريخه
(Ini terjadi di hadapanku dengan tanggalnya)
  • Abdullah bin jama'ah (Aku mengakuinya)
  • Muhammad bin Utsman Al-Barbajubi :
أقز بذلك وكتبه بحضوري 
(Aku mengakuinya dan menulisnya dihadapanku)

Mereka semua adalah para ulama besar di masa itu salah satunya adalah Syaikh Ibnu Rif'ah yang telah mengarang kitab Al-Matlabu Al-'Aali "syarah dari kitab Al-Wasith imam Ghozali sebanyak 40 jilid. Namun faktanya Ibnu Taimiyah tidak lama melanggar perjanjian tersebut dan kembali lagi dengan ajaran-ajaran menyimpangnya. Sampai-sampai dikatakan oleh seorang ulama :

لكن لم تمض مدة على ذلك حتى نقض ابن تيمية عهوده ومواثيقه كما هو عادة أئمة الضلال ورجع إلى عادته القديمة في الإضلال.
" Akan tetapi tidak lama setelah itu Ibnu Taimiyyah melanggar perjanjian dan pernyataannya itu sebegaimana kebiasaan para imam sesat dan ia kembali pada kebiasaan lamanya di dalam menyesatkan umat "

Sidang kedua :

Diadakan hari jum'ah hari ke-12 dari bulan Rajab. Ikut hadir saat itu seorang ulama besarShofiyuddin Al-Hindiy. Maka mulailah pembahasan, mereka mewakilkan kepadaSyaikh Kamaluddin Az-Zamalkani dan akhirnya beliau memenangkan diskusi itu, beliau telah membungkam habis Ibnu Taimiyyah dalam persidangan tersebut. Ibnu Taimiyyah merasa khawatir atas dirinya, maka ia member kesaksian pada orang-orang yang hadir bahwa ia mengaku bermadzhab Syafi'i dan beraqidah dengan aqidah imam Syafi'i. Maka orang-orang ridho dengannya dan mereka pun pulang.

Sidang ketiga :

Sebelumnya Ibnu Taimiyyah mengaku bermadzhab Syafi'i, namun pada kenyataannya ia masih membuat ulah dengan fatwa-fatwa yang aneh-aneh sehingga banyak mempengaruhi orang lain. Maka pada akhir bulan Rajab, para ulama ahli fiqih dan paraqodhi berkumpul di satu persidangan yang dihadiri wakil shulthon saat itu. Maka mereka semua saling membahas tentang permasalahan aqidah dan berjalanlah persidangan sbgaiamana persidangan yang pertama.

Setelah beberapa hari datanglah surat dari sulthon untuk berangkat bersama seorang utusan dari Mesir dengan permintaan ketuaqodhi Najmuddin. Di antara isi surat tersebut berbunyi "Kalian mengetahui apa yang terjadi di tahun 98 tentang aqidah Ibnu Taimiyyah ". Maka mereka bertanya kepada orang-orang tentang apa yang terjadi pada Ibnu Taimiyyah. Maka orang-orang mendatangkan aqidah Ibnu Taimiyyah kepada qodhi Jalaluddin Al-Quzwaini yang pernah dihadapkan kepada ketua qodhi Imamuddin. Maka mereka membincangkan masalah ini kepada Raja supaya mengirim surat untuk masalah ini dan raja pun mnyetujuinya.

Kemudian setelah itu Raja memerintahkan Syamsuddin Muhammad Al-Muhamadar Ibnu untuk mendatangi Ibnu Taimiyyah dan ia pun berkata kepada Ibnu Taimiyyah "Raja telah memerintahkanmu untuk pergi esok hari". Maka Ibnu Taimiyyah berangkat ditemani oleh dua Abdullah dan Abdurrahman serta beberapa jama'ahnya.

Sidang keempat :

Maka pada hari ketujuh bulan Syawwal sampailah Ibnu Taimiyyah ke Mesir dan diadakan satu persidangan berikutnya di benteng Kairo di hadapan para qodhi dan para ulama ahli fiqih dari empat madzhab. 

Kemudian Syaikh Syamsuddin bin Adnan Asy-Syafi'i berbicara dan menyebutkan tentang beberapa fasal dari aqidah Ibnu Taimiyyah. Maka Ibnu Taimiyyah memulai pembicaraan dengan pujian kepada Allah Swt dan berbicara dengan pembicaraan yang mengarah pada nasehat bukan pengklarifikasian. Maka dijawab"Wahai syaikh, apa yang kau bicarakan kami telah mengetahuinya dan kami tidak ada hajat atas nasehatmu, kami telah menampilkan pertanyaan padamu maka jawablah !". Ibnu Taimiiyah hendak mengulangi pujian kepada Allah, tapi para ulama menyetopnya dan berkata"Jawablah wahai syaikh". Maka Ibnu Taimiyyah terdiam ". 

Dan para ulama mengulangi pertanyaan berulang-ulang kali tapi Ibnu Taimiyyah selalu berbeli-belit dalam berbicara. Maka seorang qodhi yang bermadzhab Maliki memerintahkannya untuk memenjarakan Ibnu Taimiyyah di satu ruangan yang ada di benteng tersebut bersama dua saudaranya yang ikut bersamanya itu. Begitu lamanya ia menetap di penjara dalam benteng tersebut hingga ia wafat dalam penjara pada malam hari tanggal 22, Dzulqo'dah tahun 728 H.

Sejarah ini telah ditulis oleh para ulama di dalam banyak literaul kitab yang mu'tabar di antaranya kitab Ad-Duraru Al-Kaminah karya Ibnu Hajar, kitab Nihayah Al-Arab Fi Funun Al-Adab karya As-Syeikh Syihabuddin An-Nuwairy wafat 733H cetakan Dar Al-Kutub Al-Misriyyah dan yang lainnya.

Demikian lah sejarah singkat Ibnu Taimiyah seorag figur dari cikal-bakal munculnya ajaran wahhabiyyah dan seorang ulama andalan yang dijadikan rujukan oleh para ulama wahhabi. Semoga hal ini menjadi renungan bagi para pengikut wahhabi…


Oleh : Ustadz Ibnu Abdillah Al-Katibiy
Nb : Insya Allah (jika Allah menaqdirkan umur panjang), berikutnya saya akan menulis sejarah lengkapnya Ibnu Taimiyah dan saya tampikan teks surat-surat dari para hakim saat itu dan juga surat dari para ulama besar serta mantan-mantan muridnya yang juga sempat menulis surat nasehat untuk Ibnu Taimiyyah.)

Sumber:

http://www.muslimedianews.com/2015/02/kisah-taubatnya-ibnu-taimiyah-ditangan.html?m=1

Kamis, 16 Juli 2015

Khutbah persatuan

KHUTBAH IDUL FITRI

Memaafkan, Menjaga Persatuan Kesatuan dan Keharmonisan

Syaifullah Amin *

الله ُأكْبَرْ الله ُأكْبَرْ الله ُأكْبَرْ  الله ُأكْبَرْ الله ُأكْبَرْ الله ُأكْبَرْ  الله ُأكْبَرْ الله ُأكْبَرْ الله ُأكْبَرْ  لاَإلَهَ إلاَّ الله ُوَالله ُأكْبَرْ الله ُأكْبَرْ وَلِلَّهِ الْحَمْد ، الحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ بِنِْعمَتِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَاتِ الَّذِيْ هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلاَ أنْ هَدَانَا الله ُ ، 

  أشْهَدُ أنْ لاَإلَهَ إلاَّ الله ُوَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ الَّذِيُ خَصَّنَا بِخَيْرِ كِتَابٍ أُنْزِلَ وَأَكْرَمَنَا بِخَيْرِ نَبِىٍّ أُرْسِلَ وَأَتَمَّ عَلَيْنَا النٍّعْمَةَ بِأَعْظَمِ دِيْنِ شَرْعٍ دِيْنِ اْلإسْلاَمِ ، أليَوْمَ أكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَأتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ وَرَضِيْتُ لَكُمُ اْلإسْلَمَ دِيْنًا ، وَ أشْهَدُ أنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الَّذِيْ أَدَّى اْلأَمَانَةَ وَبَلَّغَ الرِّسَالَةَ وَنَصَحَ اْلأُمَّةَ وَتَرَكَنَا عَلىَ اْلمَحَجَّةِ اْلبَيْضَاءِ لَيْلُهَا كَنَهَارِهَا ، لاَيَزِيْغُ عَنْهَا إلاَّ هَالِكٌ, أللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ النَّبِيِّ اْلكَرِيْمِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحَابَتِهِ الطَّاهِرِيْنِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإحْسَانٍ إلَى يَوْمِ الدِّيْنِ . أمَّا بَعْدُ ، 

فَيَا عِبَادَ اللهِ ! اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ, وَاعْلَمُوْا أَنَّ يَوْمَكُمْ هَذَا يَوْمٌ عَظِيْمٌ وَعِيْدٌ كَرِيْمٌ, قَالَ الله ُعَزَّ وَجَلَّ : وَلِتُكْمِلُوْا العِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللهَ عَلىَ مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ 

Hadirin Sidang Sholat Idul Fitri yang Dimuliakan Allah
Kalimat Takbir “Allahu Akbar” yang kita kumandangkan setiap saat, merupakan pangkalan kita bertolak dan berlabuh. Kalimat takbir ini kita selalu kita kumandangkan, baik di masa-masa damai tenteram dan kita kumandangkan pula ketika masa-masa kritis dan mencekam. 

Kalimat takbir yang sama, yang sedang kita kumandangkan saat ini, adalah kalimat takbir yang juga dikumandangkan oleh para pahlawan bangsa kita pada tanggal 10 Nopember 1945 lalu.

Kalimat takbir ini melambangkan keagungan dan kebesaran Allah. Kalimat ini pulalah yang mempersatukan seluruh umat Islam di muka bumi. Dalam kandungan takbir terpancar aneka kesatuan, seperti kesatuan alam semesta, kesatuan dunia dan akhirat, kesatuan natural dan supranatural, kesatuan ilmu dan kesatuan umat.

Dengan kesatuan alam semesta, maka segala wujud di alam raya ini, dari yang terkecil sampai yang terbesar, benda-benda bernyawa atau tidak, baik yang terdeteksi indera maupun tidak, seluruhnya berada dalam satu kendali, diciptakan dan diatur oleh Dzat Yang Maha Agung, yakni Allah SWT. Dzat yang mengendalikan seluruh alam, yang tiada satu pun dari isi dunia yang dapat mengelak dari ketetepan-Nya.

Allah SWT berfirman:

      وَلِلّهِ يَسْجُدُ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ طَوْعاً وَكَرْهاً وَظِلالُهُم بِالْغُدُوِّ وَالآصَالِ

”Hanya kepada Allah-lah segala yang di langit dan di bumi bersujud, baik dengan keinginannya sendiri ataupun terpaksa (dan bersujud pula) bayang-bayangnya di waktu pagi dan petang.” (QS. ar-Ra'd, 15:13)

الله ُأكْبَرْ الله ُأكْبَرْ الله ُأكْبَرْ ْ وَلِلَّهِ الْحَمْد

Hadirin Ikhwanil Muslimin Rahimakumullah
Dalam kesatuan alam raya inilah, seluruh mahluk harus bekerja sama dalam kebajikan. Sehingga daris inilah rasa aman dan damai memeperoleh pijakan yang kuat. 

Kita sebagai manusia yang beriman kepada Allah adalah khalifah di bumi. Sehingga kita harus mewujudkan kedamaian. nah, sebagai Khalifah Allah ini, tugas kita dimulai dari lingkup terkecil, bermula dari diri sendiri, keluarga, lingkungan masyarakat,  bangsa negara dan seluruh bumi. Bahkan ke seluruh jagad raya yang berlanjut ke negeri kekal di akhirat nanti.

Kedamaian bermula dari jiwa manusia. Tidak akana da kedamaian jika terdapat cekcok dan perselisihan, bahkan dengan diri sendiri sekali pun. Karenanya setiap individu Mukmin haruslah tunduk dan patuh kepada satu penguasa, satu pengendali yang menciptakan keselarasan di muka bumi, yakni Allah SWT. Janganlah pernah berani membuat perselisihan dengan Allah melalui cara-cara mempersekutukan-Nya. Jangalah pernah mencari perlindungan selain daripada perlindungan Allah SWT.

Allah SWY berfirman:
 

  ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلاً رَّجُلاً فِيهِ شُرَكَاء مُتَشَاكِسُونَ وَرَجُلاً سَلَماً لِّرَجُلٍ هَلْ يَسْتَوِيَانِ مَثَلاً الْحَمْدُ لِلَّهِ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ

” Allah membuat perumpamaan (yaitu) seorang laki-laki (budak) yang dimiliki oleh beberapa orang yang berserikat yang dalam perselisihan dan seorang budak yang menjadi milik penuh dari seorang laki-laki (saja); Adakah kedua budak itu sama halnya? Segala puji bagi Allah tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (QS. az-Zumar, 39:29)

Ayat ini menggambarkan kepada kita bahwa, seorang budak yang harus tunduk kepada beberapa majikan yang memilikinya, namun majikan ini saling berselisih dan bersengketa. Tentu budak semacam ini akan merasa risau dan gelisah, pada akhirnya ia menjadi pengidap kepribadian ganda atau munafik.  

Bandingkan dengan keadaan budak yang hanya dimiliki oleh seorang majikan saja. Ia pasti tidak akan bingung, apalagi jika sang majikan berperilaku terpuji. 

Maka ayat ini pun merupakan penggambaran dari seseorang yang mempersekutukan Tuhan dan percaya bahwa ada Tuhan-tuhan pengatur dan pengendali selain Allah. Maka bandingkanlah keadaannya, keadaan jiwanya, dengan seorang pribadi Mukmin yang hanya percaya dan patuh kepda Allah sebagai satu-satunya penguasa dan pengendali seluruh alam raya.

الله ُأكْبَرْ الله ُأكْبَرْ الله ُأكْبَرْ ْ وَلِلَّهِ الْحَمْد

Hadirin Jamaah Idul Fitri yang Berbahagia
Demikian pula kita akan menemukan keutuhan kepribadian dan kesatuan di balik kalimat Takbir yang sedang berkumandang di hari raya Idul Fitri ini.
Bagaimanapun kondisi kita, apakah kita sedang sedih, berduka ataupun sedang bersiuka ria, atau sedang terancam bahaya misalnya. Dengan kalimat takbir kita akan selalu merasakan diri sebagai pribadi yang utuh yang hanya menyembah dan berpasrah kepada satu Dzat Yang maha Agung. 

Bila takbir telah terpatri dalam dada, maka segala perbuatan dan ucapan kita akan menyatu dalam keteguhan dan keyakinan serta pengabdian kepada Allah SWT. Orang-orang yang telah menyatu dengan kalimat Takbir dalam kesehariannya, akan menjadi pribadi yang membawa manfaan dalam kehidupan diri dan lingkungan sekitarnya. 

Bila beruntung dia akan bersyukur, bila diuji dia akan bersabar, jika ditegur ia menyesal dan bila bersalah akan beristighfar dan meminta maaf serta berani bertanggungjawab. 

Demikian Agungnya kalimat Takbir, jika dihayati makna dan pesan-pesannya. Sehingga, Takbir ini diperintahkan oleh Allah untuk dikumandangkan, begitu selesai bilangan bulan teragung, bilangan puasa Ramadhan. 

وَلِتُكْمِلُوااْلعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُاللهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ ولَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ

”Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. al-Baqoroh, 2:185)

Tanpa mengumandangkan takbir, kita tidak akan dapat dinamai bersyukur, padahal tanpa bersyukur, maka siksa Allah telah menanti kita. 

الله ُأكْبَرْ الله ُأكْبَرْ الله ُأكْبَرْ ْ وَلِلَّهِ الْحَمْد

Dengan berakhirnya Ramadhan, tentu kita berharap, kiranya telah dapat mencapai ketakwaan kepada Allah SWT. Ketakwaan yang hanya dapat tercapai bila kita memiliki keimanan. Artinya ketakwaan dan keimanan adalah simbol kesatuan dalam ketauhidan. Iman membuahkan persatuan dan kesatuan. Sedangkn kufur mengantarkan kepada perselisihan dan perpecahan. 

Pada Masa hidup Rasulullah SAW,  ketika sekelompok kaum muslimin hampir terpengaruh oleh bisikan apra pemecah belah, turunlah peringatan Allah SWT yang menamai keimanan dengan persatuan dan perpecahan dengan kekufuran. 

Allah memperingatkan mereka yang nyaris terpecah belah dengan firmannya:

يَوْمَ تَبْيَضُّ وُجُوهٌ وَتَسْوَدُّ وُجُوهٌ 

"Pada hari yang di waktu itu ada muka yang putih berseri, dan ada pula muka yang hitam muram.” (QS. Ali Imran, 3:106).

Dalam kehidupan duniawi, mereka yang bersatu dan bekerja sama untuk kemaslahatan bangsa dan masyarakatnya akan memiliki wajah yang berseri-seri. Keceriaan nampak jelas di wajah ketika mereka memetik hasil dari persatuan dan kerjasama dalam kebajikan.

Sedangkan mereka yang berpecah-belah dan saling bersengketa, pun telah diperingatkan dan diancam oleh Allah dalam firman-Nya, 

 فَأَمَّا الَّذِينَ اسْوَدَّتْ وُجُوهُهُمْ أَكْفَرْتُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ فَذُوقُواْ الْعَذَابَ بِمَا كُنْتُمْ تَكْفُرُونَ

"Pada hari yang di waktu itu ada muka yang putih berseri, dan ada pula muka yang hitam muram. Adapun orang-orang yang hitam muram mukanya (kepada mereka dikatakan): "Kenapa kamu kafir sesudah kamu beriman? Karena itu rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu". (QS. Ali Imron, 3:106)

الله ُأكْبَرْ الله ُأكْبَرْ الله ُأكْبَرْ ْ وَلِلَّهِ الْحَمْد

Saudara-saudara sekalian yang dimulyakan Allah
Idul Fitri yang berarti kembali kepada kesucian, mengantarkan kita kepada persatuan dan kesatuan umat.  JIka kita memahami arti persatuan dan kesatuan, tentu di sana kita menemukan dua kata yang akan mengantarkan kita kepada makna Fitri (kesucian) yang sebenarnya. 

Kata kunci pertama dalam persatuan dan kesatuan adalah keharmonisan. Seseorang yang beragama harus selalu merasa bersama dengan orang lain. Dapat menghargai kehadiran orang lain dan menjaga perasaan orang-orang di sekelilingnya. Keadaan saling menyadari dan menjaga perasaan orang-orang disekelilingnya inilah yang disebut sebagai keharmonisan. masyarakat yang bersatu dalam keimanan kepada Allah SWT akan saling menjaga agar tidak saling berbantah-bantahan dan bersengketa di antara sesama anggota masyarakatnya. 

Hal ini  dikarenakan, masyarakat yang bersatu akan senantiasa berusaha menjaga agar tidak terjadi keadaan sebagaimana yang difirmankan oleh Allah SWT,

وَأَطِيعُواْ اللّهَ وَرَسُولَهُ وَلاَ تَنَازَعُواْ فَتَفْشَلُواْ وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ وَاصْبِرُواْ إِنَّ اللّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ

”Dan ta'atlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. al-Anfaal, 8:46)

Dalam masyarakat yang harmonis, egoisme seorang muskim menjadi lebur dalam kesetaraan dan kesederajatan manusia sebagai hamba Allah yang bertauhid. Masyarakat yang harmonis adalah membangun hubungan atasa dasara kesatuan visi dan misi dalam ketakwaan, keimanan dan kebajikan. 

Mereka saling-berlomba-lomba dalam kebajikan sembari tetap menjaga keharmonisan. Masyarakat yang harmonis dalam persatuan dan ketaqwaan akan saling terlibat dalam keseharian sebagaimana yang digambarkan oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya :

كَالجَسَدِ اْلوَاحِدِ ، إذَا اشْتَكىَ مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعىَ سَائِرُ الأعْضاَءِ بِالسَّهَرِ وَاْلحُمىَ مِنْهُ 

”Bagaikan satu jasad, bila salah satu organnya merasakan penderitaan, maka seluruh tubuh akan merasa demam dan tidak dapat tidur.”

الله ُأكْبَرْ الله ُأكْبَرْ الله ُأكْبَرْ ْ وَلِلَّهِ الْحَمْد

Hadirin Sidang Idul Fitri Rahimakumullah
Kata kunci dalam persatuan dan kesatuan umat yang kedua adalah saling memaafkan. Pada zaman pra Islam, orang-orang akan sangat merasa terginggung, memendam amarah dan menunggu untuk memwaktu balas dendam jika disakiti. Kemudian datanglah Rasulullah SAW dengan ajaran baru, yakni ajaran untuk memaafkan.

Ketika pada zaman Nabi, orang-orang enggan memaafkan, maka Allah SWT menegur mereka dalam firman-Nya :

وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا أَلَا تُحِبُّونَ أَن يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ 

”Dan hendaklah mereka mema'afkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. an-Nuur, 24:22)

Maka marilah di hari yang Fitri ini kita kembali kepada inti ajaran tauhid, yakni persatuan dan kesatuan umat.  marilah menciptakan dan menjaga keharmonisan di antara sesama umat Muslim, sesama anggota masyarakat dan sesama bangsa.  Marilah kita saling memaafkan dengan mengibarkan bendera perdamaian (as-Salam) sembari berdoa: 

َالَّلهُمَّ أنْتَ السَّلاَمْ وَمِنْكَ السَّلاَمْ وَإليَكْ َيَعُوْدُ السَّلاَمْ  فَحَيِّنَا رَبَّنَا بِالسَّلاَمِ وَأدْخِلْنَا اْلجَنَّةَ دَارَ السَّلاَمِ أّنْتَ رَبُّنَا ذُوْالجَلاَلِ وَالإكْراَمِ
َا

"Ya Allah, Engkaulah Yang Maha Damai. Dari-Mu bersumber kedamaian, Kepada-Mu Kembali Kedamaian. Tuhan kami, Hidupkanlah kami dengan penuh kedamaian dan masukkanlah kelak kami ke surga, negeri yang penuh kedamaian. Engkau pemelihara kami, lagi pemilik keagungan dan kemuliaan."

اَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ. وَاَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ ربِّهِ ونَهَيَ النَّفْسَ عَنِ اْلَهوَى فَاِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ اْلمَأْوَى. جَعَلَنَا اللهُ وَاِيَّاكُمْ مِنَ اْلعَائِدِيْنَ وَاْلفَائِزِيْنَ وَاْلمَقْبُوْلِيْنَ وَاَدْخَلَنَا وَاِيَّاكُمْ فِى زُمْرَةِ عِبَادِهِ الصَّالِحِيْنَ وَاَقُوْلُ قَوْلِى هَذَا وَاسْتَغْفِرُ لِى وَلَكُمْ وَلِوَالِدَيَّ وَلِسَائِرِ اْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ فَاسْتَغْفِرْهُ اِنَّهُ هُوَاْلغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ

KHUTBAH KEDUA

اللهُ اَكْبَرْ (3×) اللهُ اَكْبَرْ (4×) اللهُ اَكْبَرْ كبيرا وَاْلحَمْدُ للهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ الله بُكْرَةً وَ أَصْيْلاً لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَالللهُ اَكْبَرْ اللهُ اَكْبَرْ وَللهِ اْلحَمْدُ. اْلحَمْدُ للهِ عَلىَ اِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَاَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ لَهُ تَعْظِيْمًا لِشَأْنِهِ وَاَشْهَدُ اَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى اِلىَ رِضْوَانِهِ

اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَِعَلَى اَلِهِ وَاَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كَِثيْرًا. اَمَّا بَعْدُ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوااللهَ فِيْمَا اَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَزَجَرَ.وَاعْلَمُوْا اَنَّ اللهّ اَمَرَكُمْ بِاَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ 

وَقَالَ تَعاَلَى اِنَّ اللهَ وَمَلآ ئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ اَبِى بَكْرٍوَعُمَروَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَىيَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا اَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ. 

اللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَْلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ اَعِزَّ اْلاِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ اَعْدَاءَالدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ اِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ.

اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَاوَاِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ. عِبَادَاللهِ ! اِنَّ اللهَ يَأْمُرُنَا بِاْلعَدْلِ وَاْلاِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِى اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوااللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ اَكْبَرْ

* Syaifullah Amin
Anggota PP Lajnah Ta'lif wan Nasyr NU, pengajar Pesantren Al-Hikmah Jakarta Utara