Sabtu, 28 Maret 2015

Sejarah Perkembangan Islam di Jawa Barat

Sejarah Pengembangan Islam di Jawa Barat

Pada abad ke-13 dan abad ke-14M, kegiatan perdagangan pada jalur pelayaran tersebut cukup ramai. Para pedagang muslim mengunjungi pelabuhan yang terdapat di pesisir utara pulau jawa antara lain banten, kalapa, indramayu (cimanuk), Cirebon, tuban, gresik, dan jepara. Pada abad ke-14 tidaklah berarti islam baru masuk, melainkan telah meluas di Jawa Barat. Proses perluasan ini diawali dengan masuknya sejak abad ke-7.2

Sebagian daerah galuh berada pada lintasan pelayaran niaga. Ditinjau dari letak geografisnya itu, daerah Cirebon adalah daerah yang lebih dahulu mendapat sentuhan agama islam daripada daerah yang ada di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Pada perempat pertama abad ke-15 M, Pelabuhan Muhara Jati dan pasar Pasambangan sering disinggahi oleh para pedagang dari berbagai negeri atau daerah seperti Parsi, Arab, India, Pasai, dan lain-lain. Sebagian besar dari mereka adalah saudagar muslim. Sebagai muslim, para saudagar itu akan berusaha memperkenalkan agama Islam kepada orang-orang di daerah setempat yang belum masuk islam.

Pada mulanya Islam disebarkan di Pantai Utara Jawa melalui kontak dagang, kemudian di sana disebarkan ke pedalaman. Dengan kontak itu pula keuntungan ekonomi mengalir dari perniagaan yang dikuasai orang-orang islam. Memang keuntungan besar dari perdagangan sangat tergantung dengan adanya kontak dagang dengan luar negeri yang pada waktu itu terletak pada jaringan perdagangan dengan orang-orang islam.

Masuk dan berkembangnya islam di daerah galuh semakin kuat, setelah Syarif Hidayat datang di Cirebon dan menjadi penyebar agama Islam. Kedatangan Syarif Hidayat ini menyebabkan agam Islam tidak hanya menyebar di daerah Cirebon, tetapi masuk ke pedalaman Galuh dan jawa barat.

Pertimbangan lain dari keterangan Tome Pires yang menjelaskan keadaan Jawa barat pada abad ke-16. Bahwa pada 1513 penduduk Cirebon dan cimanuk (Indramayu) sudah beragama Islam.

Penyebaran agama Islam pada tahap awal dilakukan pula oleh dua orang guru agama islam yang datang di daerah Jawa Barat. Naskah Carita Purwaka Caruban Nagari menyebutkan adanya dua orang guru agama islam yaitu Syekh Quro di Karawang dan Syekh Nurjati di Amparan Jati (daerah Gunung Jati sekarang). Menurut naskah tersebut, Syekh Quro adalah Syekh Hasanuddin, putera Syekh Yusuf Sidiq seorang ulama terkenal dari negeri Campa. Seorang murid Syekh Quro adalah Nyai Subanglarang, puteri Ki Jumamjanjati (Ki Gede Tapa), penguasa pelabuhan Muhara Jati pengganti Ki Gedeng Sindangkasih. Atas kebaikan Ki Jumajanjati, Syekh Hasanuddin mendirikian pondok pesantren di Karawang. Dalam naskah itu, Syekh Nurjati disebut pula Syekh Datuk Kahpi atau Syekh Idhopi. Salah seorang muridnya ialah Walangsungsang, putera Nyai Subanglarang dari Raja Sunda, Prabu Siliwangi. Walangsungsang inilah yang menjadi perintis pembangunan kota Cirebon pada sekitar 1455M.

Syekh Quro dan Syekh Nurjati membangun pesantren di daerah pemukimannya masing-masing. Dengan kata lain berdirinya pesantren berarti terjadinya pembentukan kader penyebar agama islam. Santri-santri yang telah memahami ajaran islam kemudian menyebaran ajaran itu di lingkungan tempat tinggal masing-masing atau kedaerah lain atas perintah gurunya.

Carita Puraka Caruban Nagari juga menyebutkan tentang kegiatan perniagaan di pantai Cirebon sebelum tahun 1470M. Naskah itu menceritakan, bahwa sebelum tempat yang sekarang menjadi Cirebon dihuni orang, tidak jauh di sebelah utara tempat itu terdapat kehidupan masyarakat. Masyarakat inilah cikal bakal penduduk Cirebon. Di sana terdapat empat kegiatan perdagangan yaitu Pelabuhan Muhara Jati dan pasar Pasembangan. Di sebelah utaranya terdapat daerah yang bernama Singapura, dan disebelah Timur adalah Jayapura. Di sebelah selatan bagian pedalaman terletak Caruban Girang. Kiranya masyarakat di tempat-tempat itulah yang diislamkan oleh Haji Purwa dan Syekh Nurjati bersama santrinya.

Penyebaran agama islam di Cirebon, khususnya di Cirebon Pantai (Caruban Hilir), berkaitan erat dengan peranan pelabuhan Muhara Jati dengan Pasar Pasembangan. Kedatangan saudagar-saudagar muslim di pelabuhan Muhara Jati dan Pasar Pasembangan, memungkinkan penduduk setempat berkenalan dengan agama Islam, lebih-lebih bila para saudagar muslim itu singgah untuk waktu cukup lama, menunggu saat yang baik untuk melanjutkan pelayarannya. Dalam kesempatan itu, para saudagar muslim memperkenalkan agama mereka kepada penduduk yang belum menganut agama islam.Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa, bahwa masuk dan menyebarnya agama islam di daerah Cirebon terjadi pula melalui kontak niaga.

Salah satu bukti yang menunjukkan ramainya kegiatan pelayaran di daerah pelabuhan Muhara Jati ialah didirikannya mercusuar di bukit Amparan Jati, suatu tempat tertinggi di dekat pelabuhan itu. Mercusuar ini dibangun pada tahun 1415M oleh panglima Cina Wai Ping, dan Laksamana Te Ho beserta pengikut mereka. Pendiri mercusuar itu adalah rombongan untusan Cina dari dinasti Ming pimpinan Laksamana Cheng Ho yang sedang mengadakan muhibah ke negara-negara Asia Tenggara. Orang-orang Cina yang datang ke negara-negara Asia Tenggara pada abad ke-15 dan abad ke-16M banyak yang sudah menganut agama islam, Orang-orang Cina Islam yang turut dalam rombongan Laksamana Cheng Ho antara lain Ma Huan dan Feh Tsin.

Selama pembangunan mercusuar di bukit Amparan Jati mungkin terjadi kontak antara orang-orang Cina dengan penduduk di daerah setempat, termasuk kontak dalam masalah agama islam. Terjadinya kontak antara penduduk Cirebon dengan orang-orang islam di berbagai negara, menyebabkan dalam perkembangannya masyarakat islam Cirebon menyerap unsur-unsur budaya bangsa lain, baik yang bercorak islam maupun budaya asing. Dengan kata lain, sifat heterogen masyarakat Cirebon bukan hanya hal suku bangsa, tetapi juga dalam hal budaya termasuk budaya Islam. Pada tahap selanjutnya, penyebaran dan pembentukan kekuatan islam di daerah Cirebon semakin meningkat. Faktor utama yang menyebabkannya adalah munculnya penguasa di daerah itu, yang sekaligus berperan dalam penyebaran agama Islam.

Kahane menyatakan bahwa Islam menyebar secara bertahap melalui guru-guru agama dan institusi sehingga menjadi agama mayoritas di Jawa. Difusi atau konversi Islam di Indonesia dapat berjalan dengan lancar karena sejumlah factor. Pertama, Islam datang di Jawa lebih dahulu dibanding Kristen dan para pedagang muslim menancapkan kekuasaan ekonomi dan politiknya di sana. Kedua, Islam dianggap sebagai agama yang mudah untuk dilaksanakan. Ketiga, Terdapat kemiripan ajaran Islam dengan agama tradisional Jawa sufi dan magis yang ada di Islam pada saat itu sama dengan kepercayaan animis dan Hindu. Keempat, ada kemungkinan hidup bersama (koeksistensi) antara agama Jawa dan Islam. Kelima, adanya kegunaan instrumental yaitu hubungan dagang, pembangunan, dan pertukaran adalah alasan para pedagang untuk masuk islam. Keenam, Taktik penetrasi Islam diantaranya adalah para pedagang Arab menikah dengan wanita setempat dan mengislamkan para pembantunya. Selanjutnya, para ulama datang untuk mendirikan institusi islam yaitu mesjid dan pesantren. Ketujuh, Islam dijadikan alat untuk melawan Kolonial Barat. Kedelapan, penyebaran Islam akibat kevakuman religi dan budaya serta institusi karena kehancuran sentralisasi kerajaan, yaitu kehancuran Sriwijaya pada abad ke-11 dan kehancuran Majapahit ada bad ke-16.

Islam mengkompromikan kepentingan para pedagang dan para pengusaha lokal. Oleh karena itu, ada motivasi politik dan ekonomi di sana. Islam dengan sufinya mengisi kevakuman kultural dan struktural sehingga diterima oleh koalisi pedagang dan penguasa lokal yang ingin meningkatkan kekuatan ekonomi dan politik mereka.

Penyebaran agama Islam di Cirebon Hilir lebih pesat daripada di Cirebon Girang yang dipelopori oleh Haji Purwa, karena Islamisasi di Cirebon Hilir tidak hanya dilakukan oleh Pangeran Cakrabuana, tetapi dilaksanakan pula oleh saudagar-saudagar muslim yang singgah di pelabuhan Muhara Jati.

Sunan Gunung Jati

info : Info Lebih Lanjut Sejarah Sunan Gunung Jati Klik Disini

Islamisasi di daerah Galuh semakin meningkat setelah Syarif Hidayatullah datang ke Cirebon pada tahun 1470M. Selain singggah di Pasai setelah tiba di Indonesia, Sunan Gunung Jati datang ke Banten. Di sini dilihatnya agama Islam telah bekembang sebagai hasil dari dakwahSunan Ampel Surabaya. Sebelum datang ke Cirebon, dia terlebih dahulu menemui Sunan Ampel di Ampeldenta (Gresik). Sunan Ampel selaku guru besar agama Islam di Jawa dan pimpinan para wali, menugaskan Syarif Hidayat untuk menyebarkan agama islam diseluruh wilayah Jawa bagian barat dan berkedudukan di bukit Amparan Jati, Cirebon. Di sana dia mendirikan pesantren. Sebagai guru agama, dia bergelah Syekh Maulana Jati (Syekh Jati), dan sebagai wali yang kesembilan dia bergelar Sunan Gunung Jati.

Adapun gelar Susuhunan Jati diperoleh setelah 9 tahun kemudian ketika diangkat sebagai Tumenggung di Cirebon. Selain itu Sunan Gunung Jati juga disebut sebagai raja pendeta yang pengertiannya sama dengan khalifah. Jabatan ini dipegangnya selama 47 tahun, dan kemudian diserahkan kepada putranya yakni Pangeran Pasarean (1526).

Setelah penyerahan kekuasaan kepada putranya, Sunan Gunung Jati mengadakan aktivitas dakwah di Jawa Barat. Hasil dakwah dapat kita lihat dari hasil penyerangan pendudukan sunda kelapa yang gemilang, sehingga memudakan untuk mematahkan usaha penjajahan Portugis adan penyebaran agamanya. Tugas penyebaran Islam di Jawa barat ini masih dapat diteruskan hingga akhir hayatnya pada 1568, dan dimakamkan di Pasir Jati Bukit Sembung, Cirebon. Makam ini sampai sekarang dapat kita lihat sebagai makam  Sunan GunungJati.

Setelah selesai menuntut ilmu pada tahun 1470M. Dia berangkat ke tanah Jawa untuk mengamalkan ilmunya. Di sana beliau bersama ibunya disambut gembira oleh Pangeran Cakra Buana. Syarifah Mudain minta agar diizinkan tinggal di Pasumbangan Gunung Jati dan disana mereka membangun pesantren untuk meneruskan usahanya Syekh Datuk Latif gurunya pangeran Cakra Buana. Oleh karena itu Syarif Hidayatullah dipanggil Sunan Gunung Jati. Lalu ia dikawinkan dengan putri Cakra Buana pada tahun 1479M dengan diangkatnya dia sebagai pangeran dakwah Islam dilakukannya melalui diplomasi dengan kerajaan lain.

Sunan Gunung Jati berhasil melaksanakan tugas dan kewajibannya mengislamkan masyarakat Galuh dan Jawa bagian barat dengan gemilang. Keberhasilan Sunan Gunung Jati tidak terlepas dari sifat dan sikap serta tindakannya yang syarat dengan kepemimpinan tradisional, khususnya kepemimpinan dalam keagamaan. Dia adalah figure manusia ideal dalam ukuran zamannya. Kurang lebih dua tahun setelah memegang pemerintahan daerah Cirebon (1481/1482), Syarif Hidayatullah (Susuhunan Jati) mengislamkan daerah Luragung dan Kuningan.

Penyebaran agama islam di Kuningan menunjukkan perkembangan yang meningkat. Upaya penyebaran agama islam dilanjutkan oleh para pengusa dan para ulama lokal Kuningan. Hal ini seperti ditunjukkan oleh keberadaan tokoh ulama yang bernama Haji Hasan Maulani dan desa Lengkong Kuningan. Beliau dikenal pula dengan sebutan Eyang Hasan Maulani atau Eyang Hasan Menado karena meninggla di Menado. Beliau dianggap sebagai salah satu tokoh ulama yang menurunkan ulama-ulama lainnya di Kuningan.

Dari Cirebon, Sunan Gunung Jati, mengembangkan Islam ke daerah-daerah lain di Jawa Barat seperti Majalengka, Kuningan, Kawali (Galuh), Sunda Kelapa dan Banten. Setelah Gunung Jati wafat, ia digantikan oleh cicitnya yang terkenal dengan gelar Pangeran Ratu atau Panembahan Ratu. Panembahan Ratu wafat pada  tahun 1650, dan digantikan oleh putranya yang bergelar Panembahan Gerilaya. Keutuhan Cirebon sebagai satu kerajaan hanya sampai masa kekuasaan pangeran Gerilaya ini. Sepeninggal Gerilaya, sesuai dengan kehendaknya sendiri, Cirebon diperintah oleh kedua putranya, Martawijaya atau Panembahan Sepuh dan Kartawijaya atau Panembahan Anom. Panembahan Sepuh memimpin Kesultanan Kesepuhan sebagai rajanya yang pertama dengan gelar Syamsuddin sementara Panembahan Anom memimpin kesultanan Kanoman dengan gelar Badruddin.

  

A. PENYEBARAN ISLAM DI SUMEDANG

1. KERAJAAN SUMEDANG SEBELUM ISLAM

Masyarakat Sumedang, sebelum Islam, mempercayai Agama Hindu-Budha. Disekitar Gunung Tampomas, daerah Cilangkap dua buah ditemukan sebuah area Ganesha. Ganesha ialah putra dewa Siwa. Dewa Siwa banyak dipuja sebagai dewa tertinggi dan dipuja dalam berbagai fungsi. Masa Hindu dan Budha berakhir setelah Pangeran Santri menikah dengan Nyi Mas Ratu Pucuk Umun Sumedang dan mengislamkan para pemangku kerajaan sumedanglarang. Islam masuk ke Sumedang secara kenegaraan dan secara politik kurang lebih pada abad ke-15.

2. KERAJAAN SUMEDANG ISLAM

Dalam tradisi Sumedang menyatakan bahwa pelopor penyebaran agama Islam di Sumedanglarang adalah Maulana Muhammad atau Pangeran Palakaran. Pada tahun 1504, Pangeran Pakalaran menikah dengan seorang puteri Sindangkasih. Dari perkawinan tersebut lahir Ki Gedeng Sumedan atau dikenal dengan nama Pangeran Santri pada tahun 1505. Pangeran Santri menukah dengan Ratu Satyasih, putrid Sunan Corenda yang meneruskan ayahnya menjadi penguasa Sumedanglarang karena Styasih menyerahkan tampuk kekuasaan kepadanya. Pangeran Santri kemudian dinobatkan sebagai penguasa Sumedanglarang pada tanggal 21 Oktober 1530. Dia adalah penguasa Sumedanglarang pertama yang menganut agama Islam, dengan status bawahan Cirebon. Pangeran Santri wafat pada tanggal 2 Oktober 1579 dan dimakamkan di Dayeuh Luhur.

Pangeran Santri dan Ratu Pucuk Umun

Daerah pesisir Cirebon merupakan pusat dari kegiatan-kegiatan ekonomi perdagangan yang berlangsung di Pelabuhan juga merupakan pusat penyebaran agama dan kekuasaan Islam. Pada abad ke-16, di Kerajaan Sumedanglarang sudah mulai memasuki sistem pemerintahan yang bercorak Islam. Pemerintahan Islam dimulai sejak Pangeran Santri menikah dengan Satyasih yang bergelar Ratu Pucuk Umun.

Dari Cirebon Islam tersebar ke daerah pedalaman, termasuk Sumedang yang menjadi jalur lalu lintas antara Cirebon-Bandung. Pada pertengahan abad abad ke-16, agam Islam sudah mewarnai perkembangan Sumedanglarang. Salah satu keturunan Raja Sumedanglarang yang telah masuk Islam pada waktu itu adalah Ratu Pucuk Umun. Dia menikah dengan Pangeran Santri yang bergelar Ki Gedeng Sumedang (1505-1579M). Disamping menjadi penguasa Sumedanglarang, dia bersama istrinya Ratu Pucuk Umun menyebarkan ajaran Islam. Pengganti Pangeran Santri adalah Pangeran Angkawijaya, anak Pangeran Santri dari Ratu Satyasih yang dilahirkan pada tahun 1558. Setelah berusia 23 tahun, dia dinobatkan menjadi raja pada tanggal 18 November 1580, dengan gelar Ulun Sumedanglarang.

B. PENYEBARAN ISLAM DI TASIKMALAYA

Penyebaran Islam ke daerah pedalaman dilakukan oleh para mubalig yang mengabdikan seluruh hidupnya bagi tersyiarnya Islam dan mereka bermukim di wilayah ini. Ternyata agama islam dapat diterima dengan relative mudah, cepat, dan luas oleh masyarakat Sunda. Setelah dianut, agama islam itu tidak dilepaskan lagi oleh umumnya orang Sunda hingga sekarang ini. Setelah agama islam telah banyak dan lama diterima dan dianut oleh penduduk satu tempat, maka untuk memenuhi keperluan pengetahuan ajaran agama, etika kehidupan Islami, dan praktik peribadatan kaum Muslimin setempat, terutama kaum anak-anak dan orang mudanya, maka di tempat itu dibukalah lembaga pendidikan agama dalam bentuk pesantren. Pesantren awal yang didirikan di Tatar Sunda adalah pesantren Quro di Karawang dan pesantren Amparan, terletak sekitar 5km sebelah utara kota Cirebon.

Walaupun bentuk dan isinya tidak diketahui dengan jelas, sumber tradisional lokal mengungkapkannya dalam konteks Islami di Tatar Sunda sebelum kota pelabuhan Cirebon terwujud. Adapun di daerah pedalaman pesantren yang pertama didirikan adalah pesantren Pamijahan di Tasikmalaya Selatan yang didirikan oleh Syekh Abdul Muhyi sekitar pada abad ke-17. Setelah itulah muncul pesantren-pesantren d sejumlah tempat di Tatar Sunda hingga masa sekarang baik yang berusia lama maupun yang umurnya sebentar.

Ada dua hal yang menarik dari profil pesantren di Tatar Galuh pada masa awal Islamisasi sampai abad ke-19. Pertama, terdapat kemiripan pola dan karakter antara pesantren dengan mandala/kebuyuran, Keduanya menempati lokasi tertentu yang terpisah dari pergaulan masyarakat yang luas, pola hidup penghuninya mandiri, otoritas guru dominan, dan penggunaan naskah sebagai sarana bahan ajar. Contoh yang mencolok adalah pesantren di Pamijahan yang didirikan dan dikelola Syekh Abdul Muhyi. Di samping lokasinya terpencil di daerah pedalaman, pesantren ini juga dilengkapi dengan gua (Gua Saparwadi) sebagai prasarana ibadah ibadah dan pendidikan layaknya sebuah pertapaan.

Sebelum masyarakat Pamijahan menganal Islam dan sebelum datangnya Syekh Abdul Muhyi ke Pamijahan, kepercayaan masyarakat Pamijahan terhadap roh-roh gaib nenek moyang, penyembah pohon, batu-batu besar dan benda-benda lainnya atau yang disebut dengan animism dan dinamisme. Menurut sumber sejarah setempat, bahwa kedatangan Syekh Abdul Muhyi ke Pamijahan juga mendesak penduduk setempat yang memiliki ilmu Batara Karang yang bermarkas di dalam gua Safarwadi.

Proses Islamisasi di Pamijahan berlangsung bertahun-tahun. Karena ketabahan Syekh Abdul Muhyi, sedikit demi sedikit Islam dipeluk oleh berbagai kalangan. Karena akhlak yang baik seperti dalam sikap yang santun, berbicara dengan ramah dan dakwah dengan pendekatan persuasive, masyarakat menaruh simpatik kepadanya dan selanjutnya dengan sukarela mengikuti ajaran Islam dan menjadi murid Syekh Abdul Muhyi. Dalam menyebarkan ajaran agama Islam dia tidak memaksakan kehendaknya terhadap masyarakat. Hal ini terlihat, bahwa tidak semua masyarakat memeluk agama Islam secara spontan, walaupun pada akhirnya mereka harus pindah dari daerah tersebut karena terdesak oleh tradisi dan tata cara kehidupan Islam.

Metode dakwah Syekh Abdul Muhyi sama dengan yang dilakukan Wali Sanga. Oleh karena itu Syekh Abdul Muhyi dianggap sebagai seorang wali oleh masyarakat Jawa Barat. Bahkan tradisi setempat menyebutnya wali kesepuluh yang meneruskan tradisi Wali Sanga.

Dalam berdakwah, Syekh Abdul Muhyi menghadapi kendala geografis dan cultural. Untuk menghadapi kendala geografis, dia harus turun-naik gunung dalam menyebarkan agama Islam dari satu kampong ke kampong yang lain mengingat letak perkampungan daerah pegunungan. Priangan merupakan wilayah pegunungan dan mempunyai hutan yang sangat lebat. Untuk menghadapi kendala cultural, dia harus memodifikasi Islam sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat Pamijahan yang sebelumnya sudah memeluk agama Hindu dan agama nenek moyang. Dalam menghadapi kendala cultural ini, Syekh Haji Abdul Muhyi tidak hanya mendapat reaksi positif dari masyarakat yang didatanginya, tetapi juga sekelompok masyarakat yang menghalangi misinya. 

C. PENYEBARAN ISLAM DI CIAMIS

1. PANJALU

Menurut tradisi setempat, Prabu Sanghyang Borosngora adalah penyebar Islam pertama di Panjalu. Dialah yang telah meletakkan dasar  untuk pengembangan agama Islam disana. Selanjutnya diteruskan oleh anak dan keturunannya. Penyebaran Islam di Panjalu tergolong cepat karena didukung oleh para mubaligh-mubaligh dari luar Panjalu. Menurut R.H Atong Tjakradinata, sesepuh adat Panjalu, ajaran Islam dengan mudah diterima oleh masyarakat Panjalu karena ajaran Islam mencakup persoalan ketuhanan, kehidupan manusia dalam hubungannya dengan Tuhan, dengan sesame manusia, dan dengan alam.

Proses pengembangan Islam di desa Panjalu menurut bapak R.H Atong melalui empat tahap. Pertama, tahap perkenalan agama Islam kepada penduduk setempat. Tahap pertama ini tentu dimulai oleh Prabu Sanghyang Borosngora setelah berguru ke Mekkah. Sejak itu, dia memperkenalkan ajaran Islam dengan mengajak orang satu persatu. Kedua, tahap penyiaran Islam secara masal dan terbuka kepada masyarakat. Setelah Prabu Borosngora mempunyai beberapa pengikut, beliau mengadakan tabligh dan pertemuan-pertemuan untuk memperdalam dan memperluas jangkauan dakwahnya. Ketiga, memperbesar pengaruh Islam kedalam berbagai aspek kehidupan dan berupaya mengurangi pengaruh ajaran agama sebelumnya. Di samping itu Prabu Borosngora memperlihatkan ilmu-ilmu yang bersumber dari Islam yang dapat mempertunjukkan kesaktiannya. Keempat, membina dan memperkokoh persatuan dan kesatuan masyarakat Islam.

2. KAWALI

Untuk memerintah Kawali, Sunan Gunung Jatimenempatkan Dalem Dungkut , anak raja Kuningan (Langlang buana). Pengangkata Dalem Dungkut di Kawali menjadi permulaan masuknya Islam di daerah Galuh-Kawali, Ciamis.

Pangeran Dungkut (1528-1575) diberi tugas oleh Kesultanan Cirebon untuk menjadi penguasa di Galuh Kawali menggantikan Prabu Jayadiningrat . Pangeran Bangsit (1575-1592) adalah putra pangeran Dungkut yang melanjutkan pemerintahan menggantikan ayahnya serta meluaskan ajaran agama Islam di daerah Kawali. Pangeran Mahadikusuma (1592-1643) adalah putera Pangeran Bangsit. Dia juga salah satu ulama yang dipercaya Cirebon untuk menyebarkan agama Islam di Kawali. Dari Kawali Islam kemudian menyebar ke daerah Ciamis lainnya.

3. KAWASEN

Penguasa Kawasen yang pertama kali membangun Kawasen berasal dari Galuh Salawe (sekitar Cimaragas sekarang), menantu dari Prabu Galuh Cipta Permana yang datang untuk menyebarkan Islam.

Tumenggung Sutapura adalah penguasa di kadaleman Kawasen yang terkenal setelah ayahnya, Dalem Kawasen. Kedaleman Kawasen pada awalnya merupakan wilayah yang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Galuh Garatengah. Raja Galuh Garatengah yang pertama memeluk agama Islam adalah Prabu Cipta Permana yang menikah dengan Tanduran di Anjung, yaitu puteri dari raja Kawali yang beragama Islam.

Pada masa pemerintahan dipegang oleh Sutapura, kedaleman Kawasen semakin berkembang, terutama dalam penyebaran agama islam. Selain itu, Sutapura juga terkenal gagah berani, hal ini dapart dibuktikan degan keberhasilannya dalam mengalahkan Dipati Ukur yang memberontak kepada Mataram. Dengan keberhasilan ini kemudian Sutapura memperoleh gelar Tumenggung Sutanangga I. Penyebaran Islam yang dilakukan oleh Tumenggung Sutanangga cukup berhasil, banyak penduduk yang semula menganut agama Hindu kemudian memeluk Islam. Begitu pula dalam hal perekonomian, penduduk Kawasen sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani, keberhasilan pertanian di wilayah Kawasen karena ditunjang oleh daerahnya yang subur, serta cukup mendapatkan air sebagai penunjang utama pertanian, sebab daerah ini berada di daerah dekat gunung dengan aliran sungai yang tidak pernah kering. Penduduk Kawasen hidup rukun dan makmur, mereka sangat menghormai pimpinannya yan arif dan bijaksana.

D. PERKEMBANGAN ISLAM DI GARUT

1. Kean Santang

Kean Santang adalah putra Prabu Siliwangi. Dia terkenal gagah berani dan tidak ada seorang pun di Pulau Jawa yang dapat menandinginya. Pada suatu hari, Kean Santang menghadap ayahnya, yaitu Prabu Siliwangi untuk menyampaikan bahwa dia ingin melihat darahnya sendiri. Ayahnya tertegun mendengar keinginan anaknya itu. Diceritakan ada seorang kakek datang menghadap baginda dan mengatakan bahwa ada orang yang dapat memperlihatkan darah anaknya yaitu Baginda Ali yang berada di Mekkah. Kean Santang ingin mencari Baginda Ali ke mekkah dan setelah meminta izin ayahnya, Kean Santang berangkat menuju Mekkah.

Diceritakan paginya, Baginda Ali beangkat ke Masjidilharam dengan membawa tongkat. Diperjalanan dia bertemu dengan Kean Santang yang sedang mencari rumah Ali. Kean Santang menjelaskan bahwa dia berasal dari Jawa  dan maksud kedatangannya adalah untuk mengajak Ali bertarung adu kekuatan. Baginda Ali berjanji akan mempertemukannya di hadapan Rsulullah, lalu dia mengaja Kean Santang untuk menemuinya. Dalam perjalanan, Baginda Ali teringat pada tongkat yang tertancap di tanah tempat tadi itu. Lalu dia menyuruh Kean Santang mengambilnya. Kean Santang mencoba mencabut tongkat yang ditancapkan tetapi tidak berhasil. Baginda Ali mencabut tongkat sambil mengucapkankalimah sahadat dan membaca salawat. Setelah mengetahui bahwa orang itu adalah Baginda Ali, Kean Santang pun menyatakan takluk dan kemudian mau memeluk agama Islam serta berganti nama menjadi Sunan Rahmat atau Sunan Bidayah. Nabi tetap member tugas kepada Kean Santang agar mengislamkan penduduk pulau Jawa.

Kean Santang atau Sunan Rahmat mengislamkan rakyat yang ada di Batulayang, Lebak Agung, Lebak Wangi, Curug Dogdog, Curug Sempur dan Padusunan. Adik Sunan Rahmat diserahi daerah Curug Dogdog. Selanjutnya dia menyebarkan agama Islam di Malasari, Timbangantenan, Dayeuh Pangadegan, Dayeuh Tambaja, Cilageni, Cikupa, Sangkanluhur, Ciparay, Talaga, Cikaso, pagedeng, Dayeuh Manggung, Panggung, Lebak jaya dan Karangtenang, Sukapunten, Kedunghalang, Malere, Singaparna, Batununggal, Tawanggantungan, Cipatenggang, Cicarulang, Galuh, Parakan, Pageragung, Cikidang, Tegallaja, Panjalu, dan Cihaurbeuti.

E. PERKEMBANGAN ISLAM DI LIMBANGAN

Menurut kepercayaan orang Limbangan sebelum Islam, Nyi Pohaci adalah Dewa pelndung padi. Menurut cerita rakyat, Nyi Pohaci berasal dari airmata Dewa Anta yang kemudian menjadi telur yang dipersembahkan kepada gurudan kemudian menetas menjadi anak perempuan yang cantik jelita. Sampai sekarang, pada sebagian masyarakat, masih ada yang percaya kepada Nyi Pohaci sehingga masih mengadakan ritual penghormatan dari  mulai menanam sampai menuai padi.

Selain itu, masyarakat Limbangan sebelum mengenal Islam mempercayai makhluk halus, mempercayai bahwa benda-benda tertentu memiliki kekuatan. Untuk menghormati makhluk halus dan benda yang memiliki kekuatan sering diadakan upacara khusus. Upacara itu dilakukan agar makhluk ataupun benda-benda yang memilki kekuatan mendatangkan berkah dan tidak menatangkan malapetaka. Sampai sekarang, tradisi tersebut masih dilakukan oleh sebagian kecil masyarakat Limbangan. Untuk menangkal malapetaka dan untuk melindungi kampung diadakan penanaman kepala kambing ditengan perkampungan.

Dari uraian diatas, diketahui ajaran-ajaran Hindu dan kepercayaan kepada roh-roh pernah menjadi pegangan masyarakat Limbanagn. Setelah Islam diperkenalkan, ajaran Hindu dan kepercayaan yang diwariskan dari nenek oyang sedikit demi sedikit dapat dihilangkan. Meskipun mayoritas masyarakat Limbanann sudah memeluk agama Islam tetapi tidak semua unsur atau pengaruh ajaran-ajaran nenek moyang lenyap. Sampai sekarang masih ada sebagian kecil masyarakat melakukan tradisi upacara yang biasa  dilakukan oleh masyarakat Limbangan sebelum Islam.

Adipati Liman Senjaya Kusumah

Adipati Liman Senjaya Kusumah adalah ulama dan penyebar ajaran islam periode awal di Limbangan. Dia mengajarkan ajaran Islam di keraton dan menyunat orang yang masuk Islam. Karena keluwesan dalam memimpin pemerintahan maupun sebagi tokoh agama yang mumpuni, akhirnya banyak rakyat bahkan para pejabat kerajaan yang tertarik dan akhirnya memeluk agama Islam.

Adipati Liman Senjaya Kusumah diperkirakan lahir pada tahun 1510. Angka tahun itu diperkirakan berdasarkan perhitungan berikut.Pertama, Adipati Liman Senjaya Kusumah pernah membantu Kean Santang (1425-1550) dan pernah menghadap Sunan Gunun Jati (1448-1568) untuk mendapat penghormatana atas jasa-jasanya dalam penyebaran agama Islam.  Kedua, tahun lahir seseorang diperkirakan secara umum dengan selisih dua puluh tahun antara satu generasi yang satu dengan yang lainnya demikian juga tahun kelahiran Adipati Liman Senjaya Kusumah dapat diperkitakan dari tahun kelahiran Sunan Rumenggong (1450), lalu dari kelahiran Nyai Putri Buniwangi (1470), kemudian kelahiran Prabu Hande Limansanjaya (1490), maka kelahiran Adipati Liman Senjaya Kusumah dapat diperkirakan tahun1510. Jika angka tahun kelahiran ini dipegang maka ketika Sunan Cipancar menerima keris dari Kian Santang, dia sudah berusia 30 tahun sedangkan Kean Santang berusia 110 tahun. Peristiwa penyerahan keris dengan lafad Laa Iqrohaa fiddiin dari Kean Santang kepada Adipati Liman Senjaya kusumah pada tahun 1540. Pada usia 30 tahun, dia pantas menjadi pembela agama Islam. Demikian pula dia menghadap Sunan Gunung Jati, terjadi pada tahun sebelum Sunan Gunung Jati wafat (1568), katakanlah tahun 1560. Pada tahun 1560 Sunan Cipancar berusia 50 tahun. Kiraya wajar pula pada  usia 50 tahun Sunan Cipancar sudah menjadi ulama cukup besar sehingga tergolong salah seorang pemimpin Islam yang di undang pada peremuan terbatas yang penting yang diadakan oleh Sunan Gunung Jati.

Dakwah Adipati Liman Senjaya Kusumah

Untuk mengajak orang memeluk agama Islam dan untuk mengambil simpatik masyarakat, Adipati Liman Senjaya Kususmah juga selalu menunjukkan akhlak yang baik dan selalu melakukan silaturrahmi. Dia selalu berupaya bertindak adil dan bijaksana meskipun sebagai penguasa dapat berbuat apa saja.  Dalam mengatasi satu persoalan negara pun, dia selalu mengundang tokoh-tokoh agama Islam, para pendeta dan tokoh-tokoh masyarakat lainya untuk diajak musyawarah dan diminai pendapatnya. Dengan kebijaksanaan ini pula secara tidak langsung telah menarik masyarakat yang belum memeluk Islam tertarik pada agama Islam.

Strategi yang dilakukan oleh Adipati Liman Senjaya Kusumah untuk menarik simpatik masyarakat supaya memeluk agama Islam adalah mendatangi rumah dari pintu ke pintu. Dia senantiasa bersikap ramah dan lemah lembut tapi bukan berarti dia tidak bisa tegas bila diperlukan. Oleh karena itu dia menjadi pemmpin yang dihormati dan disegani.

E. PERKEMBANGAN ISLAM DI CANGKUANG

Penyebaran Islam di Cangkuang, Leles Garut dilakukan oleh Arif Muhammad dan temen-temannya. Arif Muhammad berdakwah dengan arif dan bijaksana sehingga secara berangsur-angsur masyarakat setempat berpindah keyakinan dari Hindu ke Islam meskipun sebagian tradisi Hindu masih terus dilaksanakan seperti hari Rabu menjadi hari besar dan tradisi ini berlanjut sampai sekarang.

F. PERKEMBANGAN ISLAM DI MAJALENGKA

Sekitar abad ke-14 pada masa pemerintahan Ratu Simbarkencana, agama Islam mulai menyebar ke Majalengka yang dibawa oleh santri Cirebon. Ranggi Mantri atau Suan Parung Gangsa/Pucuk Umun Talaga ditaklukan oleh Cirebon pada tahun 1530, dan dia pun menjadi pemeluk Islam  dan menjadi bawahan Cirebon. 

Proses Penyebaran Islam

Daerah-daerah yang masuk daerah Kesultanan Cirebon, dan telah semuanya memeluk agama Islam ialah Pemerintah Talaga, Maja, dan Majalengka. Penyebaran agama Islam di Majalengka terutama didahului dengan masuknya para bupati kepada agama itu. Kemudian dibantu oleh penyebar-penyebar lain diantaranya Dalem Sukahurang atau Syekh Abdul Jalil dan Dalem Panungtung menyebarkan agama Islam di Maja; Pangeran Suwarga di Talaga; Pangeran Muhammad dan Siti Armilah di Sindangkasih dan Sunan Rachmat di Bantarujeg.

referensi :

http://sejarahislamdijawabarat.blogspot.com/2012/05/sejarah-peradaban-islam-di-jawa-barat.html

Jumat, 13 Maret 2015

5 Pesan mbah Ali Maksum

5 PESAN KH. ALI MAKSUM (KRAPYAK) UNTUK WARGA NU

من وصايا المكرم العالم الشيخ محمد على معصوم كرافياك رحمه الله وأفاض لنا من بركاته وعلومه ونفحاته وانواره:

١. العلم والتعلم بنهضة العلماء

Pertama, yakni al-‘alimu wat ta’alum bi nahdlatil ulama. Warga Nahdliyyin mesti mempelajari apa dan bagaimana NU.

٢. العمل بنهضة العلماء

Kedua, yaitu setelah mempelajari juga dianjurkan untuk diamalkan dan diajarkan (al-amalu bi nahdlatil ulama).

٣. الجهاد بنهضة العلماء

Ketiga, berjihad sesuai dengan ruh Nahdlatul Ulama yang tercermin dalam Rahmatal lil alamin (Al-Jihadu bi nahdlatil ulama)

٤. الصبر بنهضة العلماء

Keempat, ketika kita berjuang harus sabar dengan kemasan Nahdlatul Ulama (Ash-Shabru bi nahdlatil ulama)

٥. الثقة بنهضة العلماء

Kelima, setelah semuanya dilakukan kita harus memiliki keyakinan terhadap perjuangan NU (Ats-Tsaqoh bi nahdlatil ulama)

Kita harus yakin, bahwa NU merupakan sebuah ormas yang mendapat ridho Allah. Bahwa dengan berjuang bersama NU, akan dapat membawa kita untuk masuk ke surga.

 

Hasyim Asy’ari : “Siapa yang mengurus NU, saya anggap santriku, siapa yang menjadi santriku saya doakan khusnul khotimah beserta keluarganya”.

 Ridwan Abdullah: “Jangan takut tidak makan kalau berjuang mengurus NU. Yakinlah ! kalau sampai tidak makan, komlainlah aku jika aku masih hidup. Tapi kalau aku sudah mati maka tagihlah kebatu nisanku”.

Hasan Genggong :

“من اعان نهضةالعلماء، فقدسعدفى الدنياوالأخرة”

“Barang siapa yang menolong NU, maka hidup beruntung di dunia dan di akhirat”.

https://sandalsantri.wordpress.com/2014/11/19/5-pesan-kh-ali-maksum-krapyak-untuk-warga-nu/

Rabu, 11 Maret 2015

Bermadzhab

Bermadzhab Fiqih
Oleh KH. MA. Sahal Mahfudh

Jakarta.NU.Online.
Nahdlatul Ulama (NU), sebagai jam'iyah sekaligus gerakan diniyah islamiyah dan ijtima'iyah, sejak awal berdirinya telah menjadikan faham Ahlussunah Wal Jama'ah sebagai basis teologi (dasar beraqidah) dan menganut salah satu dari empat mazhab: Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hambali sebgai pegangan dalam berfiqih. Dengan mengikuti empat mazhab fiqih ini, menunjukkkan elastisitas dan fleksibilitas sekaligus memungkinkan bagi NU untuk beralih mazhab secara total atau dalam beberapa hal yang dipandang sebagai kebutuhan (hajat) meskipun kenyataan keseharian ulama NU menggunakan fiqih masyarakat Indonesia yang bersumber dari mazhab Syafi'i. Hampir dapat dipastikan bahwa Fatwa, petunjuk dan keputusan hukum yang diberikan oleh ulama NU dan kalangan pesantren selalu bersumber dari mazhab Syafi'i. Hanya kadang-kadang dalam keadaan tertentu untuk tidak terlalu melawan budaya konvensional - berpaling ke mazhab lain.

Dengan menganut salah satu dari empat mazhab dalam fiqih, NU sejak berdirinya memang mengambil sikap dasar untuk "bermazhab". Sikap ini secara konsekuen ditindaklanjuti dengan upaya pengambilan hukum dari referensi ("maraji') berupa kitab-kitab fiqih yang pada umumnya dikerangkakan secara sistematik dalam beberapa komponen: ‘ibadah, mua'amalah, munakahah (hukum keluarga) dan jinayah/qadla (pidana/peradilan). Dalam hal ini para ulama NU dan forum Bahtsul masa'il mengarahkan orientasinya dalam pengambilan hukum kepada aqwal al-mujtahidin (pendapat para mujtahid) yang muthlaq ataupun muntashib. Bila kebetulan ditemukan qaul manshush (pendapat yang telah ada nashnya), maka qaul itulah yang dipegangi. Kalau tidak ditemukan, maka akan beralih ke qaul mukharraj (pendapa thasil takhrij). Bila terjadi khilaf (perbedaan pendapat) maka diambil yang paling kuat sesuai dengan pentarjihan para ahlul-tarjih. Mereka juga sering mengambil keputusan sepakat dalam khilaf akan tetapi juga mengambil sikap untuk menentukan pilihan sesuai dengan situasi kebutuhan hajjiyah tahsiniyah (kebutuhan sekunder) maupun dlaruriyah (kebutuhan primer).

Dalam memutuskan sebuah hukum, sebagaimana dimaklumi, NU mempunyai sebuah forum yang disebut bahtsul masa'il yang dikoordinasi oleh lembaga Syuriyah (legislatif). Forum ini bertugas mengambil keputusan tetang hukum-hukum Islam baik yang berkaitan dengan masa'il fiqhiyah (masalah fiqih) maupun masalah katauhidan dan bahkan masalah-masalah tasawuf (tarekat). Forum ini biasanya diikuti oleh Syuriyah dan ulama-ulama NU yang berada di luar struktur organisasi termasuk para pengasuh pesantren. Masalah-masalah yang dibahas umumnya merupakan kejadian (waqi'ah) yang dialami oleh anggota masyarakat yang diajukan kepada Syuriyah oleh organisasi ataupun perorangan. Masalah-masalah itu setelah di inventarisasi oleh Syuriyah lalu diadakan skala prioritas pembahasannya. Dan apabila dalam pembahasan itu terjadi kemacetan (mauquf) maka akan diulang pembahasannya dan kemudian dilakukan ke tingkat organisasi yang lebih tinggi: dari Ranting ke Cabang, dari Cabang ke Wilayah, dari Wilayah ke Pengurus Besar dan dari PB ke Munas dan pada akhirnya ke Muktamar.

Dari segi historis maupun operasionalitas, bahtsul masa'il NU merupakan forum yang sangat dinamis, demokratis dan "berwawasan luas". Dikatakan dinamis sebab persoalan (masa'il) yang dibahas selalu mengikuti perkembangan (trend) hukum di masyarakat. Demokratis karena dalam forum tersebut tidak ada perbedaan antara kiai, santri baik yang tua maupun muda. Pendapat siapapun yang paling kuat itulah yang diambil. Dikatakan "berwawasan luas" sebab dalam forum bahtsul masa'il tidak ada dominasi mazhab dan selalu sepakat dalam khilaf. Salah satu contoh untuk menunjukkan fenomena "sepakat dalam khilaf" ini adalah mengenai status hukum bunga bank. Dalam memutuskan masalah krusial ini tidak pernah ada kesepakatan. Ada yang mengatakan halal, haram atau subhat. Itu terjadi sampai Muktamar NU tahun 1971 di Surabaya. Muktamar tersebut tidak mengambil sikap. Keputusannya masih tiga pendapat: halal, haram atau subhat. Ini sebetulnya merupakan langkah antisipatif NU. Sebab ternyata setelah itu berkembang berbagai bank dan lembaga keuangan modern yang dikelola secara profesional. Orang pada akhirnya tidak bisa menghindar dari persoalan bank.

***

Secara historis, forum bahtsul masa'il sudah ada sebelum NU berdiri. Saat itu sudah ada tradisi diskusi di kalangan pesantren yang melibatkan kiai dan santri yang hasilnya diterbitkan dalam buletin LINO (Lailatul Ijtima Nahdlatul Oelama). Dalam buletin LINO, selain memuat hasil, bahtsul masa'il juga menjadi ajang diskusi interaktif jarak jauh antar para ulama. Seorang kiai menulis ditanggapi kiai lain, begitru seterusnya. Dokumentasi tentang LINO ini ada pada keluarga (alm) KH. Abdul Hamid, Kendal. Lewat LINO ini pula ayah saya (KH. Mahfudh Salam) saat itu bertentangan dengan Kiai Murtadlo, Tuban mengenai hukum menerjemahkan khutbah ke dalam bahasa Jawa atau Indonesia. Itu bukan berarti tukaran (konflik), tetapi hannya sebatas berbeda pendapat dan saling menghormati. Kiai Mahfudh membolehkan khutbah diterjemahkan sementara Kiai Muratadlo tidak. Sampai sekarang tradisi khutbah di daerah Tuban tidak ada yang diterjemahkan.

Sering muncul krtik bahwa forum bahtsul masa'il NU tidak dinamis, hanya berorientasi pada qaul (pernyataan verbal) ulama, bukan manhaj (metodologi) dan Syafi'iyyah sentris. Krtitik tersebut sesungguhnya tidak seluruhnya benar. Misalnya dulu forum bahtsul masa'il mengharamkan orang Islam memakai jas dan dasi karena dianggap tasyabbuh (menyerupai) dengan orang kafir. Tetapi KH. Wahab Khasbullah sendiri setelah merdeka selalu memakai sarung dan dasi. Ini tidak ada dalilnya (qaulnya). Itu berdasakan manhaj. Tidak ada kitab-kitab fiqih yang secara tekstual menulis "haruma al-dasi awa al- jas lainnahu..." (diharamkan dasi dan jas karena...). Contoh lain misalnya, para kiai NU dalam memberikan fatwa hukum sering memakai kaidah-kaidah fiqih atau ushul fiqih. Hanya saja masalahnya para kiai NU meskipun sudah memberi fatwa hukum berdasarkan kaidah fiqih mereka tidak mau kalau tidak ada landasan teks/nashnya. Jadi kelihatan tekstual tetapi sebetulnya penuangan teks itu selah melalui proses berfikir manhajy yang panjang dan njlimet.

Penuangan dasar teks ini, kemudian menimbulkan adanya kesan bahwa kai NU hanya bermazhab fi al-aqwal (dalam pendapat hukum) tidak fi al-manhaj (dalam metodologi). Tetapi sebenarnya, para ulama NU juga memegangi dan mempelajari manhaj Imam Syafi'i. Hal ini terlihat dalam kepustakaan mereka dan kurikulum pesantren yang diasuhnya. Kitab-kitab seperti Waraqat, Hujjat al-Wushul, Lam' al-Jawami', al-Mushtasyfa, al-Ashbah wa al-Nadha'ir, Qawaid Ibnu Abd al-Salam dan lain-lain banyak dijumpai pada koleksi kepustakaan mereka dan dibaca (diajarkan) di beberapa pesantren. Dalam hal ini metodologi itu digunakan utnuk memperkuat pemahaman atas masa'il furu'iyah (masalah yang tidak prinsip) yang ada pada kitab-kitab fiqih di samping sering juga diterapkan untuk mengambil langkah tandhir al-masa'il bi nadhairiha (menetapkan hukum sesuatu berdasarkan hukum atas sesuatu yang sama yang telah ada) tidak untuk istinbath al-ahkam min mashadiriha al-ashliyyah (penggalian hukum dari sumber pokoknya). Ini saya kira satu kekurangan tersendiri.

Bagaimanapun rumusan fiqih yang dikonstruksikan ratusan tahun lalu jelas tidak memadai untuk menjawab semua persoalan yang terjadi saat ini. Situasi sosial, politik dan kebudayaannya sudah berbeda. Dan hukum sendiri harus berputar sesuai dengan ruang dan waktu. Jika hanya melulu berlandaskan pada rumusan teks, bagaimana jika ada masalah hukum yang tidak ditemukan dalam rumusan tekstual fiqih? Apakah harus mauquf (tak terjawab)?. Padahal memauqufkan persoalan hukum, hukumnya tidak boleh bagi ulama (fuqaha). Disinilah perlunya "fiqih baru" yang mengakomodir permasalahan-permasalahan baru yang muncul dalam masyarakat. Dan untuk itu kita harus kembali ke manhaj yakni mengambil metodologi yang dipakai ulama dulu dan ushul fiqih serta qawa'id (kaidah-kaidah fiqih).
(Bersambung)

Pemikiran tentang perlunya "fiqih baru" ini sebetulnya sudah lama terjadi. Kira-kira sejak 1980-an ketika mulai muncul dan marak diskusi tentang "tajdid" karena adanya keterbatasan kitab-kitab fiqih klasik dalam menjawab persoalan kontemporer di samping munculnya ide konstekstualisasi kitab kuning. Sejak itu lalu berkali-kali diadakan halaqah (diskusi) yang diikuti oleh beberapa ulama Syuriyah dan pengasuh pondok pesantren untuk merumuskan "fiqih baru" itu. Kesepakatan telah dicapai, yaitu menambah dan memperluas muatan agenda bahtsul masa'il yang tidak saja meliputi persoalan hukum halal/haram melainkan juga hal-hal yang bersifat pengembangan pemikiran keislaman dan kajian kitab.

Dalam halaqah ini juga disepakati perlunya melengkapi referensi madzhab selain syafi'i dan perlunya penyusunan sistematika bahasan yang mencakup pengembangan metode-metode dan proses pembahasan untuk mencapai tingkat kedalaman dan ketuntasan suatu masalah. Rumusan "fiqih baru" ini kemudian di bahas secara intensif pada Muktamar ke-28 di Krapyak, Yogyakarta yang kemudian dikukuhkan dalam Munas Alim Ulama di Lampung, 1992. Di dalam hasil Munas tersebut diantaranya disebutkan perlunya bermazhab secara manhaji (metodologis) serta "merekomendasikan" para kiai NU yang sudah mempunyai kemampuan intelektual cukup untuk beristinbath langsung dari teks dasar. Jika tidak mampu maka diadakan ijtihad jama'i (ijtihad kolektif). Bentuknya bisa istinbath (menggali dari teks asal/dasar) maupun ilhaq (qiyas).

Pengertian istinbath hukum di kalangan NU bukan mengambil hukum secara langsung dari sumber aslinya, yaitu al-Qur'an dan Sunnah akan tetapi - sesuai dengan sikap dasar bermazhab - mentathibkan (memberlakukan) secara dinamis nash-nash fuqaha dalam konteks permasalahan yang dicari hukumnya. Sedangkan istinbath dalam pengertian pertama (cenderung ke arah perilaku ijtihad yang oleh ulama NU dirasa sangat sulit karena keterbatasan-keterbatasan yang disadari oleh mereka. Terutama di bidang ilmu-ilmu penunjang dan pelengkap yang harus dikuasai oleh yang namanya muj'tahid. Sementara itu, istinbath dalam pengertiannya yang kedua, selain praktis, dapat dilakukan oleh semua ulama NU yang telah mampu memahami ibarat kitab-kitab fiqih sesuai dengan terminologinya yang baku. Oleh karena itu, kalimat istinbath di kalngan NU terutama dalam kerja bahtsu masa'il-nya Syuriyah NU tidak populer karena kalimat itu telah populer di kalangan ulama NU dengan konotasinya yang pertama yaitu ijtihad, suatu hal yang oleh ulama Syuriyah tidak dilakukan karena keterbatasan pengetahuan. Sebagai gantinya dipakai kalimat bahtsul masa'il yang artinya membahas masalah-masalah waqi'ah (yang terjadi) melalui maraji'(referensi) yaitu kutubul-fuqaha (kitab-kitab karya para ahli fiqih).

Kenyataan mengenai terlalu dominannya Mazhab Syafi'i memang ada. Pendapat para ulama Syafi'iyah masih cukup dominan dalam forum bahtsul masa'il NU. Namun demikian perlu saya jelaskan bahwa dominasi Sayfi'i bukan berarti ulama NU menolak pendapat (aqwal) ulama di luar Sayif'iyyah. Hal itu dilakukan lantaran para kiai NU memang tidak mempunyai referensi lain di luar mazhab Syafi'i semisal kitab al-Mudawanah (Imam Malik?), Kanzal al-Wushul (Bazdawi al-Hanafi), al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam (Ibnu Hazm), Raudhat al-Nadhir wa Jannat all-Munadhir (Ibnu Qudamah al-Hanbali) dan lain-lain. Karena itu jangan heran jika keputusan bahtsul masa'il selalu sarat dengan kitab-kitab Syafi'i mulai dari yang paling kecil semisal Safinat al-Shalah kaya Imam Nawawi Banten sampai dengan yang paling besar seperti al-Um atau al-Majmu'. Sangat sulit dijumpai dalam kepustakaan mereka kitab-kitab lain di luar Syafi'i kecuali sebagian kecil ulama. Ini karena di samping harganya belum terjangkau juga lantaran kitab-kitab itu masih sulit diperoleh di Indonesia. Seandainya mereka mempunyai referensi lain selain mazhab Syafi'i tentu mereka akan menerima sepanjang bias dinalar dan tidak bertentangan dengan akar cultural masyarakat setempat.Hal ini terbukti dengan keputusan bahtsul masa'il NU belakangan ini yang diwarnai dengan pendapat di luar mazhab Syafi'i.

Walaupun terlihat kuat pengaruh mazhab Syafi'i bukan berarti menolak apalagi antipati terhadap ulama lain. Sejak dulu para kiai tidak mengharuskan Syafi'i saja. Satu misal, masyarakat di banyak daerah menggunakan qaul di luar Syafi'i mengenai padi yang belum dizakati tapi si penuai padi sudah diberi upah. Padahal, memberi upah kepada penuai padi (istilah jawa derep) sementara padi belum di zakati menurut Syafi'i tidak boleh. Akan tetapi sejak dulu, sejak saya masih kecil, upah selalu di berikan sebelum padi di zakati. Pendapat ini diambail dari Imam Ahmad. Semua kiai memakai itu karena mereka umumnya petani. Hanya saja intiqal (pindah) ke mazhab-mazhab itu masih menggunakan referensi kitab Syafi'iyah yang menyinggung mazhab lain dan mereka tidak pernah mengambil referensi langsung dari mazhabnya. Baru sekarang ada perkembangan sejumlah kiai sudah mengoleksi kitab-kitab non-Syafi'iyah. Jadi persoalan ini jangan lantas dijadikan dasar kritik. Memang mereka tidak memiliki kitab lain. Misalnya, Kiai Bisri Syansuri pada saat membolehkan KB berpegang pada pendapat Gahazali yang menyatakan kebolehan KB, meskipun dengan motifasi supaya istri awet muda. Pendapat ini sangat luar biasa sebab dulu kiai-kiai lain masih ketat soal ber-KB ini. Secara budaya, NU sudah biasa mempraktikkan pendapat di luar Syafi'i.
(Bersambung)

*Penulis adalah Rais 'Aam Syuriah PBNU

Bahsul Masail dan Istinbath Hukum NU
Sabtu, 3 Mei 2003 13:08 WIB

Oleh KH. MA. Sahal Mahfudz*
Bagian terakhir

Memang harus diakui keputusan Lampung belum operasional di seluruh wilayah NU karena di samping sosialisasinya masih lemah juga keterbatasan referensi yang tersedia. Meskipun begitu sudah ada perkembangan misalnya soal intiqal atau pindah mazhab. Dulu takut talqif sekarang sudah tidak lagi.
Saya masih ingat perkataan Kiai Wahab, meskipun kelakar tapi sangat menarik. Suatu saat (ketika saya masih di pesantren) saya sowan ke tempat Kiai Bisri Syansuri di Jombang yang kebetulan di sana sedang ada pertemuan pengurus Syuriyah PB NU. Di sana ada Kiai Wahab, Kiai Jalil Kudus, Kiai Dahlan dan lain-lain sedang membahas sisa-sisa bahtsul masa'il yang belum di bahas di Muktamar.

Pada waktu itu, Kiai Bisri dan Kiai Wahab pertentangan (berdebat sengit) membahas soal status Yayasan Yamualim di Semarang yang mengurusi ibadah haji. Kiai Bisri menentang pendirian Yayasan itu karena tergolong "muamalat yang tidak jelas". Sementara Kiai Wahab membolehkan karena di samping omsetnya cukup besar, NU juga sangat memerlukannya. Saat itu Kiai Wahab sempat bilang "Pekih itu kalau rupek ya di okeh-okeh" (fiqih itu kalau menyempitkan ya diupayakan agar longgar). Pernyataan ini memang kelakar tetapi mengandung nilai filosofis yang tinggi. Maksudnya, fiqih itu merupakan produk ijtihady. Karena produk ijtihad maka keputusan fiqih bukan barang sakral, yang tidak boleh di ubah meskipun situasi sosial budayanya sudah melaju kencang.

Pemahaman yang mensakralkan fiqih jelas keliru. Dimana-mana yang namanya fiqih adalah "al-ilmu bi al-ahkam al-syar'iyah al-amalaiyah al-muktasab min adillatiha tafshiliyah". Definisi fiqih sebagai al-muktasab (sesuatu yang digali) menunjukkan pada sebuah pemahaman bahwa fiqih lahir melalui serangkaian proses penalaran dan kerja intelektual yang panjang sebelum pada akhirnya dinyatakan sebagai hukum praktis. Produk fiqih tidak hanya hasil dari penalaran intelektual (rasionalisasi) berdasarkan logika-logika keilmuan tertentu tetapi juga kerja ilmiah. Contohnya adalah penggunaan metode riset ('istiqra') yang dilakukan Imam Syafi'i untuk melahirkan hukum fiqih tentang menstruasi (haidl).

Para ulama klasik juga sering melibatkan disiplin ilmu lain diluar fiqih untuk menentukan status hukum masalah tertentu. Misalnya ilmu falak (hisab) dan ikhtilaf al-mathla' dalam hal penentuan awal Ramadhan dan Syawal, ma'rifat al-qiblah dan ma'rifar al- waqti dalam hal shalat dan penemuan obat-obatan dalam kontrasepsi (man' al-hamli, ibhta' al hamli) dalam masalah nikah. Semua itu menunjukkan bahwa fiqih merupakan "produk ijtihady".

Sebagai produk ijtiahd, maka sudah sewajarnya jika fiqih terus berkembang lantaran pertimbangan-pertimbangan sosio-politik dan sosio-budaya serta pola pikir yang melatarbelakangi hasil penggalian hukum sangat mungkin mengalami perubahan. Para peletak dasar fiqih, yakni imam mazhab (mujtahidin) dalam melakukan formasi hukum Islam meskipun digali langsung dari teks asal (al-Quran dan Hadis) namun selalu tidak lepas dari pertimbangan "konteks lingkungan" keduanya baik asbab al-nuzul maupun asbabul- wurud. Namun konteks lingkungan ini kurang berkembang dikalangan NU. Ia hanya dipandang sebagai pelengkap (komplemen) yang memperkuat pemahaman karena yang menjadi fokus pembahasannya adalah norma-norma baku yang telah dikodifikasikan dalam kitab-kitab, furu' al-fiqh. Fungsi syarah, hasyiyah, taqrirat dan ta'liqat juga dipandang sebagai "figuran" yang hanya berfungsi memperjelas pemahaman muatan teks. Meskipun di dalam kitab-kitab syarah, hasyiyah, ta'liqat sering ditemukan adanya kritik, penolakan (radd), counter, perlawanan (i'tiradl), atas teks-teks matan yang dipelajari dan dibahas, namun hal itu kurang mendapat kajian serius di lingkungan NU.
Karena sadar bahwa fiqih merupakan produk ijtihad maka para fuqaha terdahulu baik al-a'immah al-arba'ah maupun yang lain meskipun berbeda pandangan secara tajam, mereka tetap menghormati pendapat lain, tidak memutlakkan pendapatnya dan menganggap ijtihad fuqaha lain sebagai keliru. Mereka tetap berpegang pada kaidah al-ijtihad la yunqadlu bi al-ijtihad, yakni bahwa suatu ijtihad tidak bisa dibatalkan oleh ijtihad lain. Masing-masing mempunyai kelebihan dan kelemahan. Hasil ijtihad seorang fuqaha mungkin tidak pas pada ruang dan waktu tertentu tetapi sesuai untuk ruang dan waktu yang berbeda. Disinilah fiqih menunjukkan wataknya yang fleksibel, dinamis, realistis, dan temporal, tidak kaku dan tidak pula permanen.

Dalam konteks ini pula maka kriteria mu'tabar yang sudah direduksi menjadi hanya melulu kitab-kitab mazhab empat sebetulnya tidak senafas dengan semangat fiqih sebagai produk ijtihad. Mengapa demikian? Sebab kriteria mu'tabar dan ghairu mu'tabar berarti disitu ada pandangan yang mengunggulkan pendapat imam tertentu dan merendahkan pendapat imam lain. Ini sudah menyalahi kaidah "al-ijtihad la yunqadlu bi al-ijtihad" diatas. Masalah kutub al-mu'tabarah ini dirumuskan di Muktamar Situbondo (tahun 1984). Saat itu saya sebagai ketua komisi dan masih sebagai Rais Syuriyab PWNU Jateng. Kutubul-mu'tabarah itu maksudnya kitab-kitab Ahlussunah dan dipersempit lagi kitab-kitab madzahib. Kitab-kitab di luar ahl madzahib tidak boleh dipakai. Contohnya kitab-kitab yang mengkritik tawasul, praktik tarekat,kewalian dan lain-lain seperti karya Ibnu Taimiyah atau Ibnul Qoyyim.

Saat itu saya sudah menentang pendapat ini. Waktu itu saya menggunakan kaidah atau pepatah Arab: khuz ma shafa watruk ma qadlara (ambillah yang jernih dan tinggalkan yang keruh). Para kiai waktu itu tidak setuju pendapat saya dan mereka mengambil sikap syaddan li dzari'ah (preventif). Dengan alasan supaya umat tidak terjerumus maka kitab-kitab tersebut dilarang saja. Karena saya kalah suara, saya tidak bisa berbuat lebih. Padahal yang namanya pendapat tentu bisa salah bisa benar karena itu jangan menggunakan pendekatan like & dislike, ini mu'tabar, itu tidak. Alasan saya, disamping untuk menghindari fanatisme bermazhab juga kitab-kitab yang ditolak itu tidak semuanya bertentangan dengan Sunni. Hanya mungkin pada bagian tertentu saja yang kebetulan berbeda. Hanya gara-gara dalam bab "tawasul" kitab ini mengecamnya, mengkritik para wali, lantas semua kitab tulisan mereka tidak boleh dipakai. Prinsipnya mana yang "reasonable" dan "applicable" bisa digunakan. Tentu tetap harus mempertimbangakn latar budaya masyarakat agar kita bisa diterima oleh semua komunitas yang majemuk ini.

Lebih jauh, harus ditegaskan bahwa muara fiqih adalah terciptanya keadilan sosial di masyarakat. Sehingga Ali bin Abi Thalib pernah berkata: "Dunia, kekuasaan, negara, bisa berdiri tegak dengan keadilan meskipun ma'a al-kufri dan negara itu akan hancur dengan kezaliman meskipun ma'a al-muslimin". Ibnu Taimiyah juga pernah berkata: "Allah akan menegakkan negara yang adil meskipun (negara) kafir dan Allah akan menghancurkan negara yang zalim meskipun (negara) Muslim". Dalam kerangka berfikir ini, maka seandainya ada produk fiqih yang tidak bermuara pada terciptanya sebuah keadilan di masyarakat maka harus ditinggalkan. Misalnya "fiqih politik" (fiqh siyasah) yang seirngkali diktum-diktumnya tidak seirama dengan gagasan demokrasi yang mensyaratkan keadilan dan persamaan hak manusia di depan hukum. Rumusan fiqih siyasah klasik biasanya menempatkan kelompok non-Muslim sebagai "kelas dua" bukan sebagai entitas yang sederajat dengan kaum Muslim. Saya rasa pandangan ini selain bertabrakan dengan gagasan demokrasi modern juga bertentangan dengan ide negara-bangsa (nation-state) seperti Indonesia. Profesionalisme, kemampuan atau kapabilitas mestinya yang menjadi pilihan utama, bukan Muslim atau tidak, bukan laki-laki atau perempuan.

Ada satu contoh kecil. Suatu hari saya menitipkan barang kepada seorang yang dapat dipercaya dan kebetulan ia bukan Muslim. Pertanyaannya apakah boleh menitipkan barang kepada dia? Kan lucu kalau tidak boleh. Tentu tidak semua persoalan harus melibatkan non-Muslim dengan dalil demokrasi. Kalau mengenai urusan-urusan yang berkaitan dengan permasalahan umat Islam seperti penyusunan UU zakat tentu mereka tidak boleh dilibatkan, sebab bukan kompetensinya. Jadi, prinsipnya pada kata keadilan (kemaslahatan). Maka kalau ada fiqih-fiqih klasik yang tidak relevan atau tidak bermuara pada keadilan maka harus dibuat fiqih baru. Harus diingat bahwa yang namanya fiqih itu mesti ijtihady. Fiqih siyasah itu sendiri bukan sebatas kekuasaan tapi lebih pada kebijakan-kebijakan yang dapat menimbulkan kemaslahatan umum. Rasul sendiri pernah berkata: "Antum a'lamu biumri dunyakum". Artinya, pada wilayah "non-ibadah" semisal kepolitikan, umat Islam diberi kebebasan penuh untuk me-rumuskan dasar-dasar politik yang adil dan egaliter sehingga bisa diterima semua pihak. Rumusan itu harus mengacu pada prinsip maqashid syari'ah yang meliputi lima hal, yaitu (1) melindungi agama (hifdz al-din), (2) melindung jiwa dan keselamtan fisik (hifdz al-nafs), (3) melindungi kelangsungan keturunan (hifdz al-nasl), (4) melindungi akal pikiran (hifdz al-‘aql), (5) melindungi harta benda (hifdz al-mal). Rumusan lima maqashid ini memberikan pemahaman bahwa Islam tidak mengkhususkan perannya hanya dalam aspek pemyembahan Tuhan dalam arti yang terbatas pada serangkaian perintah dan larangan yang tidak dapat secara langsung dipahami manfaatnya. Dalam kerangka pandang ini,maka aspek kehidupan apapun yang melingkupi kehidupan manusia (kecuali yang bersifat ubudiyah murni) harus disikapi dengan meletakkan kemaslahatan sebagai bahan pertimbangan. Karena dengan hanya menjaga stabilitas kemaslahatan inilah tugas-tugas peribadatan dilaksanakan dengan baik.
***

Demikianlah catatan pengantar dari saya, selanjutnya ke depan para ahli bahtsul masa'il harus mengantisipasi kemajuan dan perkembangan yang terjadi di masyarakat. Artinya bahwa kebutuhan manusia dan proses perubahan itu akan terus bergulir secara cepat. Kalau tidak cepat direspons kita akan ketinggalan dan nanti akan ada satu masalah yang mauquf.. Dan kalau sampai ada masalah hukum yang mauquf maka hukumnya dosa bagi para ahli fiqih. Dalam merumuskan masalah hukum harus tetap berpegang pada prinsip maqashid al-syari'ah serta memperhatikan kaidah-kaidah hukum yang lebih bersifat nilai (baca: legal value). Nilai-nilai yang dimaksud adalah keadilan, kejujuran, kebebasan, persamaan di muka hukum, perlindungan hukum terhadap masyarakat tak seagama serta menjunjung tinggi supremasi hukum Allah. Dengan begitu keputusan bahtsul masa'il tidak kehilangan relevansi dengan semangat demokrasi dan pluralisme.

Atas penerbitan buku bunga rampai yang membahas mengenai tradisi system bahtsul masa'il NU yang umumnya ditulis para generasi muda NU ini saya sangat menyambut positif jika ditulis dengan jujur dan berdasarkan pada fakta yang terjadi. Diharapkan dengan penerbitan buku ini semakin memicu dan meningkatkan profesionalitas dan kinerja para ahli bahtsul masa'il dalam menjalankan kerja ilmiahnya.

***

*Penulis adalah Rais 'Aam Syuriah PBNU

Fanatisme bermadzhab


Website Resmi Ma`had Aly Situbondo

Sistem Bermazhab dari Mazhab Monolitik pada Multi-Mazhab

Posted December 27, 2013 4:53pm UTC by Tim Redaksi

Sistem bermazhab dari Mazhab Monolitik pada Multi-mazhab

Oleh: H. Nawawi Thabrani

Dalam sejarah, mazhab fiqh tidak lepas dari  dua aliran besar (grand theory), yaitu: ahl al-Hadîst dan ahl al-Ra’yu. Ahl al-hadîst yang dikenal dengan nama Madrasah al-Hijâz danMadrasah al-Madînah, sangat kuat berpegang teguh pada hadis Nabi Saw. Sedangkan ahl al-Ra’y, yang dikenal dengan Madrasah al-Irâqdan Madrasah al-Kûfah, berhadapan dengan masyarakat pluralistik dan kasus yang muncul sangat beragam, sehingga penggunaan ijtihad lebih dominan ketimbang di Madinah. Menurut Schacht (1964: 40) bahwa penulisan hukum Islam dimulai sekitar tahun 767 M, sehingga perkembangan hukum Islam di Irak harus dinisbatkan secara berturut-turut pada Hammad ibn Abi Sulaiman (w. 738 M), Ibn Abi Laila (w. 765 M), Abu Hanifah (w. 767), Abu Yusuf (w. 789) M), al-Syaibani (w. 805 M), dan Auza’i (w. 774M).

Pada akhir abad ke-3 dan penghujung abad ke-4, ulama kemudian bersandar pada mazhab besar secara formalitas, walaupun berbeda dalam hasil ijtihadnya, seperti al-Thahawi berbeda dengan Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan al-Syaibani. Madzhab yang dianut oleh suatu golongan tidak akan terlepas dari tempat dan nama bahkan dari sentuhan kepentingan penguasa, misalnya mazhab Abu Hanifah menjadi mazhab resmi negara penguasa pada masa Abbasiyah. Mazhab ini sebagai rukujukan para hakim ketika mengambil keputusan di pengadilan. Begitu juga dengan kemunculan kitab Al-Risâlah Imam Syafi’i. Kitab ushul fiqh ini, dikarang sebagai respons bagi permintaan Abdur Rahman ibn al-Mahdi yang berisi tentang kajian ma’ani al-Qur’an. Ada dua kitab al-Risalah yang dikarang oleh Imam Syafi’i yang populer dengan nama al-Risalah al-Qadimah dan al-Risalah al-Jadidah. Pada priode ini juga, fiqh mengalami pergeseran paradigma (shift paradigm), dari pendekatan realitas ke teoritis atau induktif ke deduktif, yaitu fiqh iftiradhi (pengandaian). Pada periode ini juga, muncul penulisan hadist, seperti al-Bukhari, Muslim, al-Nasâi, Ibn Mâjah, Abi Dâud, dan al-Tarmizdi. Begitu juga tafsir al-Qur’an, seperti Ibn Jarir al-Thabari.

Selain perubahan paradigma, pada akhir abad ke-4 juga terjadi fanatisme bermadzhab (ta’asshub). Rasyid Ridha (1981: 18), dalam pengantar kitab al-Mughni karya Ibnu Qudamah mengatakan bahwa para pengikut mazhab yang fanatik menolak adanya ruangikhtilaf yang sebenarnya merupakan rahmat. Mereka mengharamkan pengikut mazhab untuk meniru mazhab lain. Bahkan, menurut Mun’im A. Sirry (1995: 146), para pengikut mazhab memerangi ulama-ulama yang mencoba mengembangkan ijtihad. Mereka dituduh membuat madzhab baru, melanggar kesepakatan umum, dan penyebar bid’ah. Hal demikian pernah dialami oleh ulama sekaliber Izzuddin bin Abdussalam, Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim, al-Syaukani, Jamaluddin al-Qasimi. Bahkan Imam Hambali meringkuk di penjara bertahun-tahun, didera, dipukul, didorong dengan pedang, dan diinjak-injak yang terkenal dengan mihnah. Bahkan Imam Syafi’i bermigrasi dari Baghdad ke Mesir tidak lepas dari gejolak politik. Hal itu karena gubernur Baghdad yang beraliran Mu’tazilah tidak sepaham dengan Imam Syafi’i dan secara sosio-politik Mesir, pendapat Imam Syafi’i dapat diterima. Dengan demikian, perbedaan mazhab terjadi pergerseran dari sebuah keyakinan pada ranah politis dan intervensi penguasa.

Kefanatikan bermazhab dapat dilihat dari pendapat ulama Hanafiyah yang pernah mengeluarkan fatwa tentang ketidakabsahan shalat seseorang yang mengikuti mazhab Hanafi jika bermakmum pada pengikut mazhab Syafi’i. Begitu juga sebaliknya. Oleh karena itu, menurut al-Syathibi, pada umumnya, orang yang hanya mempelajari satu mazhab saja, maka akan lari dari mazhab yang bukan mazhabnya dan mengingkari sama sekali. Selama tidak meneliti dalil-dalinya, maka akan terjangkit penyakit akidah karena mengkultuskan sebagian imam mazhab. Padahal perbedaan ulama fiqh, menurut al-Bayumi (1983: 14) hanya ada dua. Pertama,ihtimâl al-nushûsh dipadukan dengan akal dan pemahaman yang berbeda maka akan menghasilkan pendapat yang berbeda. Kedua,nash qath’i dibantu dengan peran akal dan pemahaman yang sama sehingga menghasilkan ijma’ (kesepakatan).

Menurtu A. Qadri Azizy (2004: 37) bahwa dalam perjalanan sejarah, mazhab klasik Irak kemudian bertahan atau mengkristal hanya di kalangan pengikut Imam Abu Hanifah, dan mazhab-mazhab klasik Hijaz, kemudian bertahan atau mengkristal hanya di kalangan pengikut Imam Malik. Dalam proses tranformasi mazhab klasik menjadi mazhab personal, dan ini sudah mulai terjadi pada abad   ke-2 dan menjadi sempurna pada abad ke-3 Hijriah,  nama mazhab yang didasarkan atas nama daerah (Hijaz, Irak, dan Syiria) tidak popular lagi.

Negara Qatar memelopori upaya mendekatkan berbagi mazhab atau aliran dalam dunia Islam. Hal itu dilakukan untuk mencegah terjadinya fitnah dalam internal umat Islam. Muktamar tersebut di selenggarakan tanggal 21-22 Januari 2007 oleh fakultas Syari’ah di Universitas Qatar bekerja sama dengan Universitas Al-Azhar Mesir dan forum internasional pendekatan mazhab yang berpusat di Teheran, Iran. Dalam konferensi yang melibatkan para wakil mazhab dan aliran besar Islam, terutama Sunni dan Syi`ah (Itsnâ Asyâriyah dan Zaidiyah) dan Iibadiyah yang didiskusikan adalah bagaimana mempersempit perbedaan fiqh dan mengecilkan kemungkinan konflik antara pendukung mazhab yang saat ini dianut oleh berbagai belahan bumi Islam. Menurut Dr. Aisyah Mania, Dekan fakultas Universitas Qatar, jurang perbedaan Sunni dan Syi`ah sekarang telah semakin lebar. Oleh karena itu, untuk mendekatkan antara keduanya menjadi masalah yang menjadi latar belakang muktamar itu. Hal ini dilakukan untuk menghindari munculnya konflik antara umat dan golongan Islam lainnya.  Dengan demikian, konferensi tersebut tidak bertujuan mengubah keyakinan yang dimiliki Sunni maupun Syi`ah, tetapi lebih beroreintasi pada upaya membuka jaringan komunikasi dan dialog antarpemeluk berbagai aliran dalam Islam.

Thahir Mahmood (1987: 10) menilai bahwa sebuah prestasi besar yang di lakukan oleh negara muslim adalah terbentuknya unifikasi hukum Islam. Hukum Islam mengenal berbagai mazhab yang disebut dengan mazhab-mazhab hukum. Di dalam kalangan muslim Sunni, dikenal empat madzhab besar; mazhab Hanafi, Syafi`i, Maliki, dan Hambali. Dalam kalangan muslim Syi`ah, dikenal mazhab 12 (Ja`fari), Ismaili, dan Zaidi. Begitu juga mazhab Ibadi  yang dikenal memiliki kekhususan dalam fiqhnya. Mazhab-mazhab tersebut telah diakui di berbagai dunia muslim. Negara muslim Afrika Utara, Aljazair, Libiya, Mauritania, Maroko Sahara, Tunisia dan sebagian Sudan, didominasi oleh mazhab Maliki. Sementara Qatar dan Saudi Arabia, secara resmi menganut mazhab Hambali.

Namun, di belahan dunia Arab lainnya, beraneka ragam mazhab Sunni dianut. Sementara negara-negara di luar Arab, seperti Afganistan dan Turki menganut kuat mazhab Hanafi. Mazhab Isna`ashari (ja`fari) mendominasi negara Iran, sama seperti negara Irak yang didominasi mazhab Sunni. Mazhab Ismai`iliyah dianut di negara Afganistan, daerah Teluk dan Lebanon. Mazhab Zaidi dan Baidi menjadi aturan hukum di negara Yaman dan Oman. Di negara muslim Asia Tenggara seperti Brunai, Indonesia, dan Malasiya, mazhab Syafi`i yang sangat dominan. Sementara di Asia Selatan, seperti Banglades dan Pakistan, mazhab Hanafi menjadi dominan dan mazhab Syafi`i, Istna `Asy`ari Ismailiyah merupakan mazhab minoritas.

Pada hakikatnya, fenomena bermadzhab pada saat ini dapat ditinjau dari beberapa aspek.Pertama, aspek internal bahwa mazhab itu merupakan otonom dan hasil ijtihad independen para ulama secara personal yang tidak mengikat sama sekali kepada kelompok manapun di muka bumi ini.  Jika terjadi perbedaan pendapat yang sampai pada clash(benturan), hal itu hanyalah kefanatikan yang berlebihan bahkan bisa jadi merupakan bias politik. Kedua, aspek eksternal bahwa mazhab merupakan elemen entitas kehidupan umat Islam yang saling terkait dengan elemen lainya, sehingga mewarnai sebuah sistem kesatuan di kalangan umat Islam. Ketiga,  kemajuan teknologi sangat efektif untuk mempermudah dalam mengakses kitab-kitab berbagai mazhab di internet, maka perlu meredefinisi kitab mu’tabarah. Apakah yang dimaksud kitab mu’tabarah itu dari aspek kualitas dalil, kuantitas yang umum dipakai umat Islam, orisinilitas dari pengarang, dan aspek ketokohan, seperti Imam Nawawi, Imam Rofi’i, dan Imam Bukhari. Keempat, banyak para pelajar muslim yang belajar di berbagai belahan negara yang beraneka ragam aliran, mazhab, kultur,  budaya, sosial, ideologi, politik, dan sebagainya. Kelima, multimazhab akan memperkaya khazanah keilmuan atau paling tidak liberalisi terhadap pendapat ulama yang selama ini menjadi ikon kebenaran. Dengan demikian, multimazhab adalah sebuah keniscayaan yang tidak bisa dibendung. Perbedaan pendapat adalah bukan subtansi syari’ah, tetapi ranah ijtihadiyah yang kebenarannya bersifat relatif.

Sejarah menunjukkan bahwa multi-mazhab telah dilakukan oleh ulama terdahulu, sebagaimana dikatakan oleh al-Syak’ah (1970: 425) bahwa dalam internal berbagai mazhab memiliki dua mata rantai yang saling berkaitan satu dengan lainnya. Misalnya, Abu Hanifah yang beraliran Sunni, pernah berguru pada Imam Zaid, seorang panutan Syi’ah Zaidiyah. Sementara Imam Zaidiyah pernah berguru pada Washil ibn Atha’, pencetus Mu’tazilah, sekalipun Zaid tidak setuju dengan konsep Imamah Syi’ah. Begitu juga Imam Malik yang beraliran Sunni pernah belajar pada Ja’far al-Shadiq, seorang tokoh Syi’ah Imamiyah. Dengan demikian, pembatasan terhadap satu mazhab berarti pembatasan pada syari’ah Islam yang fleksebel dan luwes, padahal Nabi Saw. ketika diberi dua pemilihan, maka yang dipilih adalah hukum yang lebih mudah. Pada kenyataannya, banyak terjadi pemaksaan teks pendapat ulama untuk merespons problem kontemporer yang berbeda sosio-kulturnya, bahkan dari aspek dalilnya kadang sangat lemah sekali. Oleh karena itu, bermazhab dari berbagai ulama adalah sebuah keniscayaan baik bermazhab secara qauli maupun manhaji.wa allah ‘alam bi al-shawab. [khr]

Senin, 02 Maret 2015

Zawalul Mani'

"Talilah ilmu dengan menulisnya", ya itulah paling tidak "dhawuh" yang penuh hikmah dari seorang ulama. Diakui memang, menulis adalah salah satu tonggak imperium berdirinya kerajaan "ilmu" di dunia. Dengannya kita akan mampu berkomunikasi dengan tokoh, budaya, pemikiran, dan peradaban di sepanjang zaman.

Risalatul Mahidl, Ilmu yang Terlantarkan dari Kaum Hawa

Satu lagi edisi kelam mulai menyelimuti sejarah peradaban kaum hawa. Sebuah cabang ilmu yang sangat erat kaitannya dengan kodrat wanita mulai ditinggalkan. Risalatul Mahidl, sebuah ilmu yang khusus membahas masalah kesucian dari adat kewanitaan yang wajib untuk dipelajari telah ditelantarkan. Apakah ini merupakan salah satu tanda semakin dekatnya hari kiamat? Lalu dimanakah letak ketinggian martabat kaum hawa yang sering didengungkan kaum emansipanis jika mereka melupakan suatu hal yang sangat erat dengan kehormatan dirinya? Innalillahiwainnailaihi rooji'uun.

Sebagaimana dimaklumi ada tiga darah yang seringkali 'ditemui' oleh para wanita. Dua diantaranya telah diketahui secara pasti (tak perlu disebutkan) dan yang satu adalah istikhadloh. Namun dikarenakan ilmu "kaifayatul haidl" yang kurang, maka setiap darah yang keluar pun dianggap sebagai haidl. Awal sebuah bencana. Mengapa saya katakan demikian? Karena mereka tak tahu mana seharusnya sholat yang harus dilakukan secara ada', qodlo', dan mana yang boleh digugurkan. Sangat urgent, karena hal ini berkenaan halal haramnya meninggalkan dan melakukan shalat.

"Perkara qodlo' atau meninggalkan sholat ketika selesai haidl atau nifas masih banyak dilakukan oleh wanita. .... Agar lebih jelas mana sholat yang wajib dikerjakan sehubungan dengan habisnya haidl atau nifas, lihat bab zawalul mani' (hilangnya pencegah sholat"(Kitab I'anatuth Tholibin juz 1 hal 72).

Dan melihat fenomena yang seringkali ditemui, dapat dipastikan sangat banyak akhwat, atau bahkan ummahat yang masih buta akan masalah ini. Bahkan di kampus tercinta ini, tanpa kuisioner pun saya yakin bahwa 90% ke atas kaum hawa tak sepenuhnya menguasai ilmu yang penuh hitungan matematis ini. Sekali lagi ingatlah wahai kaum hawa, hukum belajar bidang ilmu ini adalah wajib.

"Kaum wanita wajib belajar tentang hukum-hukum haidl, nifas, dan istikhadloh yang dibutuhkan. Jika telah bersuami, dan suaminya mengerti hukum-hukum yang dibutuhkan tersebut maka suaminya wajib untuk mengajarinya. Adapun jika suaminya juga tak mengerti, maka perempuan tersebut wajib pergi kepada orang alim untuk belajar, dan suaminya haram mencegahnya, kecuali suaminya yang belajar dan diajarkan kepada istrinya. Karena Wanita yang telah mempunyai suami tak boleh keluar menuju majlis dzikir atau belajar kebaikan kecuali diridloi oleh suaminya."(Kitab Asy Syarwani juz 1 hal 414).

Tapi sekarang, lihat saja siapa di antara mereka atau bahkan kita yang tahu apa itu istihadloh, bagaimana itu darah qowi, darah dlo'if, mubatada' mumayyizah, ghoiru mumayyizah, dan sebagainya? Angkat tangan kalian, adakah?

Ikhwah fillah, teman-teman, ibu-ibu, yang patut direnungkan jika kita pada hal-hal yang menyangkut fardlu 'ain saja menelantarkan mengapa kita mengejar-ngejar yang sunnah dan mubah. Sungguh meyedihkan bukan bila sholat kita ditampik dihadapan Allah SWT. Boro-boro sudah dihadapkan, jangan-jangan tak tersentuh sedikit pun oleh para malakut pembawa amalan.

"Apa gunanya manusia mencari ilmu yang bermacam-macam seperti itu apabila ia lupa akan jati dirinya?" Imam Al-Ghozali