Senin, 19 Maret 2012

AS SUNNAH DLM ISLAM


KEDUDUKAN AS SUNNAH DALAM SYARI’AT ISLAM
Topik pertama dalam Studi HaditsÖ

Wahyudi
( Mahasiswa Program Pasca Sarjana S2 IAIN Walisongo Semarang tahun 2008 / 2009 )
MUQADDIMAH
Makalah ini menyajikan laporan hasil kajian mengenai Kedudukan As – Sunnah dalam syariat Islam, dalam mata kuliah Studi Hadits dengan Dosen Pengampu Prof. Dr. H. Muhibbin, MA,  dan disusun dalam lima bagian.
Pertama       : Pengertian As - Sunnah
Kedua           : Dalil – dalil tentang hujjah As – Sunnah
Ketiga           : Kedudukan As – Sunnah
Keempat       : Fungsi As Sunnah terhadap Al – Qur an
Kelima          : Pemahaman atas makna As - Sunnah
PENGERTIAN AS SUNNAH
Lafadz “Al – Sunnah” dengan dibaca dlammah sinnya dan diiringi dengan tasydid, sebagaimana dituturkan oleh A.W. Munawwir dalam Kamus ”Al Munawwir”-nya secara etimologi adalah Al – Sirah, peri kehidupan, perilaku[1].
Menurut etimologi (bahasa) Arab,: “Al – Sunnah” merupakan “Al – Thoriqoh”[2], juga “Al -  Sirah“[3] jalan atau perjalanan, baik yang khasanah (perbuatan baik) maupun yang qabikhah (perbuatan buruk) hal ini bisa kita jumpai dalam berbagai literatur yang menulis tentang studi hadis.
Dr. Said ban Ali Al Qahthani mengutip dari Kamus “Lisanul Arab” mengartikan as- Sunnah dengan At – Thariqah (jalan) dan As – Sirah (Perjalanan hidup) baik yang khasanah maupun yang  qabikhah (perbuatan buruk).[4]
السنة في اللغة: الطريقة والسيرة، حسنة كانت أم قبيحة ([5]).
Menurut syara’ : Kata As-Sunnah artinya adalah As Sirah atau Ath Thariqah (jalan). Sunnah dalam pengertian tersebut antara lain terdapat dalam kalimat hadis “man sanna fi al islam” riwayat Muslim[6]
Kata lain yang sering digunakan dan artinya tidak jauh berbeda dengan as-Sunnah adalah al Hadits, Menurut ahli bahasa, al-hadits adalah al-jadid (baru), al-khabar(berita), dan al-qarib (dekat) (lihat Muhammad Ajaj al-Khatib, 1971,20 dan Endang Soetari Ad, 1984:1). Hadis dalam pengertian al-khabar dapat dijumpai diantaranya dalam surat at-Thur [52] ayat 34, surat al-Kahfi [18] ayat 6, dan surat adl-Dluha[93] ayat 11.[7]
As Sunnah menurut terminologi didefinisikan oleh pada umumnya ulama --seperti definisi Al-Hadits-- sebagai "Segala sesuatu yang bersumber atau disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik berupa perkataan, perbuatan atau taqrir (penetapan/persetujuan) dari beliau."[8]
Dalam kitab ushul al iman fi dlaui al kitab wa as – sunnah, yang diterbitkan oleh Wizaratu as syuun al islamiyah wa al auqaf wa ad da’wah wa al irsyad – al mamlakah al ‘Arabiyah as Saudiyah[9], terbit tahun 1421 H juz 1 hal 309, yang mengutip dari kitab Mustolah al hadis-nya Ibnu ‘Utsaimin hal 7 dan Qawa’idu at Tahdis-nya Imam Qasimi hal 61-62, diterangkan tentang pengertian hadis yang dibedakan antara Hadis Qudsi dan Hadis Nabawi.
والحديث النبوي : ما أضيف إلى النبي صلى الله عليه وسلم من قول أو فعل أو تقرير أو وصف . [10]
Hadis Nabawi adalah Segala sesuatu yang bersumber atau disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik berupa perkataan, perbuatan atau taqrir (penetapan/persetujuan) atau sifat beliau.
Dalam pengertian ini kita jumpai tambahan “au Wasf”  yang dalam kamus Al Munawwir oleh AW Munawwir diartikan dengan, menyifati, melukiskan, menggambarkan dengan kata-kata.[11]
Muhamad bin Abdul Wahab At Tamimi (1115-1206 H), yang merupakan peletak dasar faham Wahabi, menulis dalam Qismul Aqidah Syarh Kitab Tsalatsatu al Ushul juz 12 hal 21, As Sunnah menurut Ulama Ushul[12]
قسم العقيدة - (ج 12 / ص 21)
والسنة هي الطريقة التي كان عليها رسول الله صَلَّىْ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ وأصحابه المنتخبون الخيرة ومن سار على نهجهم. والسنة عند أهل الأصول هي ما أضيف إلى النبي صَلَّىْ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ من قولٍ أو فعلٍ أو تقريرٍ أو وصف . فهذا يطلق عليه السنة والمراد هنا ما كان عليه النبي عليه الصلاة والسلام من الأقوال والأعمال والتقريرات .
فهذا ينسب إليه بهذا الاعتبار أهل السنة فيقال هم أهل السنة يعني هم أهل إتباع أقوال النبي صَلَّىْ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ وأهل إتباع أفعاله عليه الصلاة والسلام وأهل إتباع تقريراته .
Ulama Ushul Fiqh, membatasi pengertian hadis hanya pada "ucapan-ucapan Nabi Muhammad saw. yang berkaitan dengan hukum"; sedangkan bila mencakup pula perbuatan dan taqrir beliau yang berkaitan dengan hukum, maka ketiga hal ini mereka namai Al-Sunnah. Pengertian hadis seperti yang dikemukakan oleh ulama ushul, dapat dikatakan sebagai bagian dari wahyu Allah SWT yang tidak berbeda dari segi kewajiban menaatinya dengan ketetapan-ketetapan hukum yang bersumber dari wahyu Al-Quran. [13]

DALIL-DALIL TENTANG HUJJAH AS-SUNNAH
Al-Qur'anul Karim menyuruh kita berhukum dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Terbukti betapa banyaknya ayat-ayat Al-Qur'an yang menyuruh kita taat kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan berhukum kepadanya, antara lain :
[1.] Al-Ahzab : 36 
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا (36)
“ Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata ” (Q.S. Al Ahzab [33] – 36 )
[2.] Al-Hujuraat : 1  
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ  ( الحجرات:  1 )
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya {1} dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Dan ayat – ayat lainnya yang sangat banyak sekali antara lain dalam : [3.] Ali 'Imran : 32   [4.] An-Nisaa : 79   [5.] An-Nisaa : 80   [6.] An-Nisaa : 59   [7.] Al-Anfaal : 46   [8.] Al-Maa'idah : 92   [9.] An-Nuur : 63   [10.] Al-Anfaal : 24   [11.] An-Nisaa : 13   [12.] An-Nisaa : 14   [13.] An-Nisaa : 60   [14.] An-Nisaa : 61   [15.] An-Nuur : 51   [16.] An-Nuur : 52   [17.] Al-Hasyr : 7   [18.] Al-Ahzab : 21   [19.] An-Najm : 1 – 4   [20.] An-Nahl : 44[14]
Rasulullah SAW memerintahkan kita agar selalu berpegang teguh kepada As Sunnah, setelah Al Qur an sebagai disebutkan dalam sebuah hadis, yang diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Kitab Al Muwattha’.
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ * ( موطأ مالك – كتاب الجامع )
Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda : “ Aku tinggalkan kepadamu dua perkara, apabila kamu berpegang teguh kepada keduanya, kamu tidak akan tersesat. Yaitu Kitab Allah (Al-Qur an) dan Sunnah Nabi-Nya ( Al Hadits )[15]
Dalam Sunan Ibnu Majah kitab muqaddimah, hadis ke 43 disebutkan bahwa kita harus berpegang teguh kepada As – Sunnah.
43 حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ بْنُ بِشْرِ بْنِ مَنْصُورٍ وَإِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ السَّوَّاقُ قَالَا حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ صَالِحٍ عَنْ ضَمْرَةَ بْنِ حَبِيبٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَمْرٍو السُّلَمِيِّ أَنَّهُ سَمِعَ الْعِرْبَاضَ بْنَ سَارِيَةَ يَقُولُ وَعَظَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَوْعِظَةً ذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُونُ وَوَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوبُ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ هَذِهِ لَمَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَمَاذَا تَعْهَدُ إِلَيْنَا قَالَ قَدْ تَرَكْتُكُمْ عَلَى الْبَيْضَاءِ لَيْلُهَا كَنَهَارِهَا لَا يَزِيغُ عَنْهَا بَعْدِي إِلَّا هَالِكٌ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِمَا عَرَفْتُمْ مِنْ سُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَعَلَيْكُمْ بِالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّمَا الْمُؤْمِنُ كَالْجَمَلِ الْأَنِفِ حَيْثُمَا قِيدَ انْقَادَ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ حَكِيمٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ الصَّبَّاحِ الْمِسْمَعِيُّ حَدَّثَنَا ثَوْرُ بْنُ يَزِيدَ عَنْ خَالِدِ بْنِ مَعْدَانَ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَمْرٍو عَنِ الْعِرْبَاضِ بْنِ سَارِيَةَ قَالَ صَلَّى بِنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاةَ الصُّبْحِ ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْنَا بِوَجْهِهِ فَوَعَظَنَا مَوْعِظَةً بَلِيغَةً فَذَكَرَ نَحْوَهُ * ( سنن ابن ماجة كتاب مقدمة )[16]
KEDUDUKAN AS - SUNNAH
Imam – imam pembina Madzhab semuanya mengharuskan kita ummat Islam kembali kepada As Sunnah dalam menghadapi segala permasalahan. Asy Syafi’i berkata :
إِذَا وَجَدْتُمْ فيِ كِتاَبِي خِلاَفُ  رَسُوْلِ اللهِ ص م فَقُوْلُوْا بِسُنَّةِ  رَسُوْلِ اللهِ ص م وَدَعَوْا ماَقُلْتُ.
 “apabila kamu menemukan dalam kitabku sesuatu yang berlawanan dengan sunnah Rasulullah saw, maka berkatalah menurut Sunnah Rasulullah, dan tinggalkanlah apa yang aku telah katakan.”[17]
Imam Ibnu Hajar Al Haitami menulis dalam kitab Tuhfatu Al Muhtaj Fi Syarh al minhaj bahwa As Sunnah merupakan urutan kedua dalam pengambilan dalil penetapan hukum fiqih[18]
Ulama tafsir mengamati bahwa perintah taat kepada Allah dan Rasul-Nya yang ditemukan dalam Al-Quran dikemukakan dengan dua redaksi berbeda.[19]
Pertama adalah Athi'u Allah wa al-rasul, Perintah ini mencakup kewajiban taat kepada beliau dalam hal-hal yang sejalan dengan perintah Allah SWT; karena itu, redaksi tersebut mencukupkan sekali saja penggunaan kata athi'u. seperti dalam Surat Ali Imron ayat 32
قُلْ أَطِيعُوا الله َ وَالرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ الله َ  لَا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ ( ال عمران 32)
32. Katakanlah: "Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, Maka Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir".[20]
dan surat Al Anfal ayat 20.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا ا الله َوَرَسُولَهُ وَلَا تَوَلَّوْا عَنْهُ وَأَنْتُمْ تَسْمَعُونَ ( الانفال 20)
20. Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kamu berpaling dari pada-Nya, sedang kamu mendengar (perintah-perintah-Nya),[21]
Kedua adalah Athi'u Allah wa athi'u al-rasul. Perintah ini mencakup kewajiban taat kepada beliau walaupun dalam hal-hal yang tidak disebut secara eksplisit oleh Allah SWT dalam Al-Quran, bahkan kewajiban taat kepada Nabi tersebut mungkin harus dilakukan terlebih dahulu -- dalam kondisi tertentu-- walaupun ketika sedang melaksanakan perintah Allah SWT, sebagaimana diisyaratkan oleh kasus Ubay ibn Ka'ab yang ketika sedang shalat dipanggil oleh Rasul saw. Itu sebabnya dalam redaksi kedua di atas, kata athi'u diulang dua kali, seperti dalam surat An Nisa’ ayat 59
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا الله َوَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى الله ِوَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِالله ِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا (59)
59. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.[22]
surat An Nur ayat 54
قُلْ أَطِيعُوا الله َ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا عَلَيْهِ مَا حُمِّلَ وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُمْ وَإِنْ تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا وَمَا عَلَى الرَّسُولِ إِلَّا الْبَلَاغُ الْمُبِينُ (54)
54. Katakanlah: "Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada rasul; dan jika kamu berpaling maka sesungguhnya kewajiban rasul itu adalah apa yang dibebankan kepadanya, dan kewajiban kamu sekalian adalah semata-mata apa yang dibebankan kepadamu. Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. Dan tidak lain kewajiban rasul itu melainkan menyampaikan (amanat Allah) dengan terang."[23]
dan surat Muhammad ayat 33.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا الله َ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَلَا تُبْطِلُوا أَعْمَالَكُمْ (33)
33. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan janganlah kamu merusakkan (pahala) amal-amalmu.[24]
dan atas dasar ini pula perintah taat kepada Ulu Al-'Amr tidak dibarengi dengan kata athi'u karena ketaatan terhadap mereka tidak berdiri sendiri, tetapi bersyarat dengan sejalannya perintah mereka dengan ajaran-ajaran Allah dan Rasul-Nya. (Perhatikan Firman Allah dalam QS 4 An Nisa’ :59).
Menerima ketetapan Rasul saw. dengan penuh kesadaran dan kerelaan tanpa sedikit pun rasa enggan dan pembangkangan, baik pada saat ditetapkannya hukum maupun setelah itu, merupakan syarat keabsahan iman seseorang, demikian Allah bersumpah dalam Al-Quran Surah Al-Nisa' ayat 65.
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا (65)
65. Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.[25]
Mayoritas Ulama berpendapat bahwa hadis merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah Al-Qur’an. Hanya ada sekelompok kecil di kalangan kaum muslimin yang menolak hadis sebagai salah satu sumber ajaran Islam, dan itupun disebabkan oleh ketidakpahaman mereka terhadap berbagai hal yang berkaitan dengan Ilmu Hadis. Kelompok penolak hadis ini (Inkar as-Sunnah) sudah mendapat bantahan yang sangat serius dari Jalaluddin As-Suyuthi lewat sebuah karyanya yang bertitel Miftah al-Jannah fi al-Ihtijaj bi as-Sunnah.[26]
Walaupun menurut penelitian penulis, Kitab Miftah al-Jannah fi al-Ihtijaj bi as-Sunnah adalah kitab yang disusun oleh Abdurahman bin Abu Bakar As-Suyuthi sebagaimana tercantum dalam software Al-Maktabatu as-Syamilah Al-Ishdaru Ats-Tsani terbitan Al Jamiatu al-Islamiyah, Madinatu al-Munawwarah, 1399 H.
Namun pada sisi lain kita tidak bisa menyangkal bahwa terdapat perbedaan yang menonjol antara hadis dan Al-Quran dari segi redaksi dan cara penyampaian atau penerimaannya. Dari segi redaksi, diyakini bahwa wahyu Al-Quran disusun langsung oleh Allah SWT. Malaikat Jibril hanya sekadar menyampaikan kepada Nabi Muhammad saw., dan beliau pun langsung menyampaikannya kepada umat, dan demikian seterusnya generasi demi generasi. Redaksi wahyu-wahyu Al-Quran itu, dapat dipastikan tidak mengalami perubahan, karena sejak diterimanya oleh Nabi, ia ditulis dan dihafal oleh sekian banyak sahabat dan kemudian disampaikan secara tawatur oleh sejumlah orang yang –menurut adat-- mustahil akan sepakat berbohong. Atas dasar ini, wahyu-wahyu Al-Quran menjadi qath'iy al-wurud. Ini, berbeda dengan hadis, yang pada umumnya disampaikan oleh orang per orang dan itu pun seringkali dengan redaksi yang sedikit berbeda dengan redaksi yang diucapkan oleh Nabi saw. Di samping itu, diakui pula oleh ulama hadis bahwa walaupun pada masa sahabat sudah ada yang menulis teks-teks hadis, namun pada umumnya penyampaian atau penerimaan kebanyakan hadis-hadis yang ada sekarang hanya berdasarkan hafalan para sahabat dan tabi'in. Ini menjadikan kedudukan hadis adalah zhanniy al-wurud.
Walaupun demikian, itu tidak berarti terdapat keraguan terhadap keabsahan hadis karena sekian banyak faktor -- baik pada diri Nabi maupun sahabat beliau, di samping kondisi sosial masyarakat ketika itu, yang topang-menopang sehingga mengantarkan generasi berikut untuk merasa tenang dan yakin akan terpeliharanya hadis-hadis Nabi saw.
Kedudukan hadits dalam syariat Islam merupakan sumber hukum Islam kedua setelah Al Qur an. Hal ini sudah merupakan kepastian dan sesuatu yang telah disepakati secara ijma' dan sudah tidak perlu ada keraguan dalam kepastian ini.
Dalam kitab Al Ahkamul Qur an Lis Syafi’i diriwayatkan bahwa ketika Imam Syafi’i ditanya tentang pengambilan Hujjah dalam penetapan Hukum Allah, maka beliau menjawab dengan Kitabullah, kemudian dengan apa beliau menjawab dengan sunnah Rasulillah, sebagaimana dikutib dari kitab Ahkamul Qur an Lis Syafi’i sebagai berikut :
أحكام القرآن للشافعي - (ج 1 / ص -4039)
( أَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الْحَافِظُ ) أَخْبَرَنِي , أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الزُّبَيْرُ بْنُ عَبْدِ الْوَاحِدِ الْحَافِظُ الإستراباذي قَالَ : سَمِعْتُ أَبَا سَعِيدٍ مُحَمَّدَ بْنَ عَقِيلٍ الْفِرْيَابِيَّ , يَقُولُ : قَالَ الْمُزَنِيّ وَالرَّبِيعُ : كُنَّا يَوْمًا عِنْدَ الشَّافِعِيِّ , إذْ جَاءَ شَيْخٌ , فَقَالَ لَهُ أَسْأَلُ ؟ قَالَ الشَّافِعِيُّ : سَلْ . قَالَ أَيْشٍ الْحُجَّةُ فِي دِينِ اللَّهِ ؟ فَقَالَ الشَّافِعِيُّ : كِتَابُ اللَّهِ قَالَ : وَمَاذَا ؟ قَالَ : سُنَّةُ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ : وَمَاذَا ؟ قَالَ : اتِّفَاقُ الْأُمَّةِ .[27]
Dalam beberapa riwayat hadits, sangat jelas diriwayatkan bahwa As-Sunnah merupakan dasar penetapan hukum kedua setelah Al – Qur an, antara lain terdapat dalam Kutubu At Tis'ah[28] yang setidaknya ditemukan beberapa hadits dari perowi/sanad yang berbeda yaitu :
مسند أحمد - (ج 48 / ص 160)
22711 - حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ حَدَّثَنِى أَبِى حَدَّثَنَا وَكِيعٌ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ أَبِى عَوْنٍ الثَّقَفِىِّ عَنِ الْحَارِثِ بْنِ عَمْرٍو عَنْ رِجَالٍ مِنْ أَصْحَابِ مُعَاذٍ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- لَمَّا بَعَثَهُ إِلَى الْيَمَنِ فَقَالَ « كَيْفَ تَقْضِى ». قَالَ أَقْضِى بِكِتَابِ اللَّهِ. قَالَ « فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِى كِتَابِ اللَّهِ ». قَالَ فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-. قَالَ « فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِى سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ ». قَالَ أَجْتَهِدُ رَأْيِى. قَالَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِى وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ ».
21049 حَدَّثَنَا عَبْد اللَّهِ حَدَّثَنِي أَبِي حَدَّثَنَا وَكِيعٌ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ أَبِي عَوْنٍ الثَّقَفِيِّ عَنِ الْحَارِثِ بْنِ عَمْرٍو عَنْ رِجَالٍ مِنْ أَصْحَابِ مُعَاذٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا بَعَثَهُ إِلَى الْيَمَنِ فَقَالَ كَيْفَ تَقْضِي قَالَ أَقْضِي بِكِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَجْتَهِدُ رَأْيِي قَالَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ * ( مسند أحمد – مسند الانصار )
21084 حَدَّثَنَا عَبْد اللَّهِ حَدَّثَنِي أَبِي حَدَّثَنَا عَفَّانُ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ أَخْبَرَنِي أَبُو عَوْنٍ قَالَ سَمِعْتُ الْحَارِثَ بْنَ عَمْرٍو ابْنَ أَخِي الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ يُحَدِّثُ عَنْ نَاسٍ مِنْ أَصْحَابِ مُعَاذٍ مِنْ أَهْلِ حِمْصَ عَنْ مُعَاذٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِمُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ حِينَ بَعَثَهُ إِلَى الْيَمَنِ فَذَكَرَ كَيْفَ تَقْضِي إِنْ عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ قَالَ أَقْضِي بِكِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي سَنَةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَجْتَهِدُ رَأْيِي وَلَا آلُو قَالَ فَضَرَبَ صَدْرِي فَقَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَا يُرْضِي رَسُولَهُ *  ( مسند أحمد – مسند الانصار )
168 حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ حَمَّادٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ الثَّقَفِيِّ عَنْ عَمْرِو بْنِ الْحَارِثِ ابْنِ أَخِي الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ عَنْ نَاسٍ مِنْ أَهْلِ حِمْصٍ مِنْ أَصْحَابِ مُعَاذٍ عَنْ مُعَاذٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا بَعَثَهُ إِلَى الْيَمَنِ قَالَ أَرَأَيْتَ إِنْ عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ كَيْفَ تَقْضِي قَالَ أَقْضِي بِكِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ قَالَ أَجْتَهِدُ رَأْيِي وَلَا آلُو قَالَ فَضَرَبَ صَدْرَهُ ثُمَّ قَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ لِمَا يُرْضِي رَسُولَ اللَّهِ * ( سنن الدارمي – كتاب المقدمة )

FUNGSI AS - SUNNAH TERHADAP AL QUR AN
Ditinjau Dari Hukum Yang Ada Maka Hubungan As-Sunnah dengan Al-Qur'an, Sebagai Berikut :
1.      As-Sunnah berfungsi sebagai penguat hukum yang sudah ada di dalam Al-Qur'an. Dengan demikian hukum tersebut mempunyai dua sumber dan terdapat pula dua dalil. Yaitu dalil-dalil yang tersebut di dalam Al-Qur'an dan dalil penguat yang datang dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. berdasarkan hukum-hukum tersebut banyak kita dapati perintah dan larangan. Ada perintah shalat, membayar zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, ibadah haji ke Baitullah, dan disamping itu dilarang menyekutukan Allah, menyakiti kedua orang tua serta banyak lagi yang lainnya.
2.      As-Sunnah itu berfungsi sebagai penafsir atau pemerinci hal-hal yang disebut secara mujmal dalam Al-Qur'an, atau memberikan taqyid, atau memberikan takhshish dari ayat-ayat Al-Qur'an yang muthlaq dan 'am. Karena tafsir, taqyid dan takhshish yang datang dari As-Sunnah itu memberi penjelasan kepada makna yang dimaksud di dalam Al-Qur'an.
Dalam hal ini Allah telah memberi wewenang kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk memberikan penjelasan terhadap nash-nash Al-Qur'an dengan firman-Nya.
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ (44)
"Artinya : Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur'an, agar kamu menerangkan kepada ummat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan". [An-Nahl : 44]
3.      As-Sunnah men-takhshish Al-Qur'an,diantara contohnya adalah dala, An Nisa ayat 11 : "Artinya : Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan". Ayat ini ditakhshish oleh As-Sunnah :  para nabi tidak boleh mewariskan apa-apa untuk anak-anaknya dan apa yang mereka tinggalkan adalah sebagai sadaqah. tidak boleh orang tua kafir mewariskan kepada anak yang muslim atau sebalinya, dan. Pembunuh tidak mewariskan apa-apa [Hadits Riwayat Tirmidzi dan Ibnu Majah]
4.      As-Sunnah Mentaqyid Kemutlakan Al-Qur'an. "Artinya : Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya.." [Al-Maidah : 38]. Ayat ini tidak menjelaskan sampai dimanakah batas tangan yang akan di potong. Maka dari As-Sunnahlah di dapat penjelasannya, yakni sampai pergelangan tangan. (Subulus Salam 4 : 53-55)
5.      As-Sunnah Sebagai Bayan Dari Mujmal Al-Qur'an. - Menjelaskan tentang cara shalat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Shalatlah sebagaimana kalian melihatku shalat". [Hadits Riwayat Bukhari] - Menjelaskan tentang cara haji Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Ambillah dariku tentang tata cara manasik haji kamu". [Hadits Riwayat Muslim]. Dan masih banyak lagi ayat-ayat yang perlu penjelasan dari As-Sunnah karena masih mujmal.
6.      Terkadang As-Sunnah menetapkan dan membentuk hukum-hukum yang tidak terdapat di dalam Al-Qur'an. Diantara hukum-hukum itu ialah tentang haramnya keledai negeri, binatang buas yang mempunyai taring, burung yang mempunyai kuku tajam, juga tentang haramnya mengenakan kain sutera dan cincin emas bagi kaum laki-laki. Semua ini disebutkan dalam hadits-hadits yang shahih. Dengan demikian tidak mungkin terjadi kontradiksi antara Al-Qur'an dengan As-Sunnah.[29]
7.      Terkadang As-Sunnah berfungsi sebagai penafsir dan pemerinci hal-hal yang disebut secara mujmal di dalam Al-Qur'an. Dengan menunjuk kepada pendapat Imam As Syafi’i dalam Al-Risalah, 'Abdul Halim menegaskan bahwa, dalam kaitannya dengan Al-Quran, ada dua fungsi Al-Sunnah yang tidak diperselisihkan, yaitu apa yang diistilahkan oleh sementara ulama dengan bayan ta'kid dan bayan tafsir. Yang pertama sekadar menguatkan atau menggarisbawahi kembali apa yang terdapat di dalam Al-Quran, sedangkan yang kedua memperjelas, merinci, bahkan membatasi, pengertian lahir dari ayat-ayat Al-Quran.[30]
8.      Terkadang As-Sunnah menetapkan dan membentuk hukum yang tidak terdapat di dalam Al-Qur'an.

Al-Quran menekankan bahwa Rasul saw. berfungsi menjelaskan maksud firman-firman Allah (QS 16:44). Penjelasan atau bayan tersebut dalam pandangan sekian banyak ulama beraneka ragam bentuk dan sifat serta fungsinya.

'Abdul Halim Mahmud, mantan Syaikh Al-Azhar, dalam bukunya Al-Sunnah fi Makanatiha wa fi Tarikhiha menulis bahwa Sunnah mempunyai fungsi yang berhubungan dengan Al-Quran dan fungsi sehubungan dengan pembinaan hukum syara'.
Persoalan yang diperselisihkan adalah, apakah hadis atau Sunnah dapat berfungsi menetapkan hukum baru yang belum ditetapkan dalam Al-Quran? Kelompok yang menyetujui mendasarkan pendapatnya pada 'ishmah (keterpeliharaan Nabi dari dosa dan kesalahan, khususnya dalam bidang syariat) apalagi sekian banyak ayat yang menunjukkan adanya wewenang kemandirian Nabi saw. untuk ditaati. Kelompok yang menolaknya berpendapat bahwa sumber hukum hanya Allah, Inn al-hukm illa lillah, sehingga Rasul pun harus merujuk kepada Allah SWT (dalam hal ini Al-Quran), ketika hendak menetapkan hukum.
Kalau persoalannya hanya terbatas seperti apa yang dikemukakan di atas, maka jalan keluarnya mungkin tidak terlalu sulit, apabila fungsi Al-Sunnah terhadap Al-Quran didefinisikan sebagai bayan murad Allah (penjelasan tentang maksud Allah) sehingga apakah ia merupakan penjelasan penguat, atau rinci, pembatas dan bahkan maupun tambahan, kesemuanya bersumber dari Allah SWT. Ketika Rasul saw. melarang seorang suami memadu istrinya dengan bibi dari pihak ibu atau bapak sang istri, yang pada zhahir-nya berbeda dengan nash ayat Al-Nisa' ayat 24, maka pada hakikatnya penambahan tersebut adalah penjelasan dari apa yang dimaksud oleh Allah SWT dalam firman tersebut.
Tentu, jalan keluar ini tidak disepakati, bahkan persoalan akan semakin sulit jika Al- Quran yang bersifat qathi'iy al-wurud itu diperhadapkan dengan Hadis yang berbeda atau bertentangan, sedangkan yang terakhir ini yang bersifat zhanniy al-wurud. Disini, pandangan para pakar sangat beragam. Muhammad Al-Ghazali dalam bukunya Al- Sunnah Al-Nabawiyyah Baina Ahl Al-Fiqh wa Ahl Al Hadits, menyatakan bahwa "Para imam fiqih menetapkan hukum-hukum dengan ijtihad yang luas berdasarkan pada Al- Quran terlebih dahulu. Sehingga, apabila mereka menemukan dalam tumpukan riwayat (hadits) yang sejalan dengan Al-Quran, mereka menerimanya, tetapi kalau tidak sejalan, mereka menolaknya karena Al-Quran lebih utama untuk diikuti."
Pendapat di atas, tidak sepenuhnya diterapkan oleh ulama-ulama fiqih. Yang menerapkan secara utuh hanya Imam Abu Hanifah dan pengikut-pengikutnya. Menurut mereka, jangankan membatalkan kandungan satu ayat, mengecualikan sebagian kandungannya pun tidak dapat dilakukan oleh hadis. Pendapat yang demikian ketat tersebut, tidak disetujui oleh Imam Malik dan pengikut-pengikutnya. Mereka berpendapat bahwa alhadits dapat saja diamalkan, walaupun tidak sejalan dengan Al-Quran, selama terdapat indikator yang menguatkan hadis tersebut, seperti adanya pengamalan penduduk Madinah yang sejalan dengan kandungan hadis dimaksud, atau adanya ijma' ulama menyangkut kandungannya. Karena itu, dalam pandangan mereka, hadis yang melarang memadu seorang wanita dengan bibinya, haram hukumnya, walaupun tidak sejalan dengan lahir teks ayat Al-Nisa' ayat 24.
Imam As Syafi'i, yang mendapat gelar Nashir Al-Sunnah (Pembela Al-Sunnah), bukan saja menolak pandangan Abu Hanifah yang sangat ketat itu, tetapi juga pandangan Imam Malik yang lebih moderat. Menurutnya, Al-Sunnah, dalam berbagai ragamnya, boleh saja berbeda dengan Al-Quran, baik dalam bentuk pengecualian maupun penambahan terhadap kandungan Al-Quran. Bukankah Allah sendiri telah mewajibkan umat manusia untuk mengikuti perintah Nabi-Nya?
Harus digarisbawahi bahwa penolakan satu hadis yang sanadnya sahih, tidak dilakukan oleh ulama kecuali dengan sangat cermat dan setelah menganalisis dan membolak-balik segala seginya. Bila masih juga ditemukan pertentangan, maka tidak ada jalan kecuali mempertahankan wahyu yang diterima secara meyakinkan (Al-Quran) dan mengabaikan yang tidak meyakinkan (hadis).

PEMAHAMAN ATAS MAKNA AS - SUNNAH
Seperti dikemukakan di atas, As – Sunnah, yang merupakan istilah lain dari Al - Hadis, dalam arti ucapan-ucapan yang dinisbahkan kepada Nabi Muhammad saw., pada umumnya diterima berdasarkan riwayat dengan makna, dalam arti teks hadis tersebut, tidak sepenuhnya persis sama dengan apa yang diucapkan oleh Nabi saw. Walaupun diakui bahwa cukup banyak persyaratan yang harus diterapkan oleh para perawi hadis, sebelum mereka diperkenankan meriwayatkan dengan makna; namun demikian, problem menyangkut teks sebuah hadis masih dapat saja muncul.
Apakah pemahaman makna sebuah hadis harus dikaitkan dengan konteksnya atau tidak. Apakah konteks tersebut berkaitan dengan pribadi pengucapnya saja, atau mencakup pula mitra bicara dan kondisi sosial ketika diucapkan atau diperagakan? Itulah sebagian persoalan yang dapat muncul dalam pembahasan tentang pemahaman makna hadis.

Al-Qarafiy, misalnya, memilah Al-Sunnah dalam kaitannya dengan pribadi Muhammad saw. Dalam hal ini, manusia teladan tersebut suatu kali bertindak sebagai Rasul, di kali lain sebagai mufti, dan kali ketiga sebagai qadhi (hakim penetap hukum) atau pemimpin satu masyarakat atau bahkan sebagai pribadi dengan kekhususan dan keistimewaan manusiawi atau kenabian yang membedakannya dengan manusia lainnya. Setiap hadis dan Sunnah harus didudukkan dalam konteks tersebut.

Al-Syathibi, dalam pasal ketiga karyanya, Al-Muwafaqat, tentang perintah dan larangan pada masalah ketujuh, menguraikan tentang perintah dan larangan syara'. Menurutnya, perintah tersebut ada yang jelas dan ada yang tidak jelas. Sikap para sahabat menyangkut perintah Nabi yang jelas pun berbeda. Ada yang memahaminya secara tekstual dan ada pula yang secara kontekstual.

Suatu ketika, Ubay ibn Ka'ab, yang sedang dalam perjalanan menuju masjid, mendengar Nabi saw. bersabda, "Ijlisu (duduklah kalian)," dan seketika itu juga Ubay duduk di jalan. Melihat hal itu, Nabi yang mengetahui hal ini lalu bersabda kepadanya, "Zadaka Allah tha'atan." Di sini, Ubay memahami hadis tersebut secara tekstual.

Dalam peperangan Al-Ahzab, Nabi bersabda, "Jangan ada yang shalat Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraizhah." Sebagian memahami teks hadis tersebut secara tekstual, sehingga tidak shalat Ashar walaupun waktunya telah berlalu --kecuali di tempat itu.

Sebagian lainnya memahaminya secara kontekstual, sehingga mereka melaksanakan shalat Ashar, sebelum tiba di perkampungan yang dituju. Nabi, dalam kasus terakhir ini, tidak mempersalahkan kedua kelompok sahabat yang menggunakan pendekatan berbeda dalam memahami teks hadis.

Imam Syafi'i dinilai sangat ketat dalam memahami teks hadis, tidak terkecuali dalam bidang muamalat. Dalam hal ini, Imam As Syafi’i berpendapat bahwa pada dasarnya ayat-ayat Al-Quran dan hadis-hadis Nabi saw., harus dipertahankan bunyi teksnya, walaupun dalam bidang muamalat, karena bentuk hukum dan bunyi teks-teksnya adalah ta'abbudiy, sehingga tidak boleh diubah. Maksud syariat sebagai maslahat harus dipahami secara terpadu dengan bunyi teks, kecuali jika ada petunjuk yang mengalihkan arti lahiriah teks.

Kajian 'illat, dalam pandangan Imam As Syafi’i, dikembangkan bukan untuk mengabaikan teks, tetapi untuk pengembangan hukum. Karena itu, kaidah al-hukm yaduru ma'a illatih wujud wa 'adam,115 hanya dapat diterapkan olehnya terhadap hasil qiyas, bukan terhadap bunyi teks Al-Quran dan hadis. Itu sebabnya Imam As Syafi’i berpendapat bahwa lafal yang mengesahkan hubungan dua jenis kelamin, hanya lafal nikah dan zawaj, karena bunyi hadis Nabi saw. menyatakan, "Istahlaltum furujahunna bi kalimat Allah (Kalian memperoleh kehalalan melakukan hubungan seksual dengan wanita-wanita karena menggunakan kalimat Allah)", sedangkan kalimat (lafal) yang digunakan oleh Allah dalam Al-Quran untuk keabsahan hubungan tersebut hanya lafal zawaj dan nikah.

Imam Abu Hanifah lain pula pendapatnya. Beliau sependapat dengan ulama-ulama lain yang menetapkan bahwa teks-teks keagamaan dalam bidang ibadah harus dipertahankan, tetapi dalam bidang muamalat, tidak demikian. Bidang ini menurutnya adalah ma'qul alma'na, dapat dijangkau oleh nalar. Kecuali apabila ia merupakan ayat-ayat Al-Quran yang berkaitan dengan perincian, maka ketika itu ia bersifat ta'abbudiy juga. Teks-teks itu, menurutnya, harus dipertahankan, bukan saja karena akal tidak dapat memastikan mengapa teks tersebut yang dipilih, tetapi juga karena teks tersebut diterima atas dasar qath'iy al-wurud. Dengan alasan terakhir ini, sikapnya terhadap teks-teks hadis menjadi longgar. Karena, seperti dikemukakan di atas, periwayatan lafalnya dengan makna dan penerimaannya bersifat zhanniy.

Berpijak pada hal tersebut di atas, Imam Abu Hanifah tidak segan-segan mengubah ketentuan yang tersurat dalam teks hadis, dengan alasan kemaslahatan. Fatwanya yang membolehkan membayar zakat fitrah dengan nilai, atau membenarkan keabsahan hubungan perkawinan dengan lafal hibah atau jual beli, adalah penjabaran dari pandangan di atas. Walaupun demikian, beliau tidak membenarkan pembayaran dam tamattu' dalam haji, atau qurban dengan nilai (uang) karena kedua hal tersebut bernilai ta'abudiy, yakni pada penyembelihannya.

Demikianlah apa yang dapat kami sampaikan, yang merupakan hasil kurang maksimal dan masih banyak kekurangan.


KHULASHAH
1.      Penulisan makalah hasil kajian literatur tentang ”Kedudukan As Sunnah dalam Syari’at Islam” ini tidak hanya merupakan tugas dari Prof. Dr. H Muhibbin, MA, Dosen Pengampu Mata Kuliah Studi Hadis, namun ternyata memang sangat terasa manfaat dan hasilnya dengan adanya penambahan wawasan tentang ilmu hadis dari berbagai literatur. Hal ini perlu terus dikembangkan (dilaksanakan dan ditingkatkan) untuk lebih memperdalam pengetahuan kita tentang Ilmu Hadis.
2.      Menurut etimologi (bahasa) Arab : “Al – Sunnah” merupakan “Al – Thoriqah”, juga “Al -  Sirah” jalan atau perjalanan, baik yang khasanah (perbuatan baik) maupun yang qabikhah (perbuatan buruk) hal ini bisa kita jumpai dalam berbagai literatur yang menulis tentang studi hadis. Sedangkan menurut terminologi didefinisikan oleh pada umumnya ulama --seperti definisi Al-Hadits-- sebagai "Segala sesuatu yang bersumber atau disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik berupa perkataan, perbuatan atau taqrir (penetapan/persetujuan) dari beliau."
3.      Al-Qur'anul Karim menyuruh kita berhukum dengan Sunnah Rasulillah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Terbukti dengan betapa banyaknya ayat-ayat Al-Qur'an yang menyuruh kita taat kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan berhukum kepadanya, sehingga dapat kita jadikan dasar pengambilan hujjah As Sunnah dalam hukum Islam.
4.      Imam – imam pembina Madzhab, beserta Jumhurul Ulama, mengharuskan kita ummat Islam untuk kembali kepada As Sunnah dalam menghadapi segala permasalahan. Dan menetapkan bahwa As Sunnah merupakan urutan kedua dalam pengambilan dalil penetapan hukum Syara’.
5.      Hubungan As-Sunnah dengan Al-Qur'an, antara lain sebagai :
1)      Penguat hukum yang sudah ada di dalam Al-Qur'an.
2)      Penafsir atau pemerinci hal-hal yang disebut secara mujmal dalam Al-Qur'an.
3)      As-Sunnah men-takhshish Al-Qur'an.
4)      As-Sunnah Mentaqyid Kemutlakan Al-Qur'an.
5)      As-Sunnah Sebagai Bayan Dari Mujmal Al-Qur'an.
6)      Terkadang As-Sunnah menetapkan dan membentuk hukum-hukum yang tidak terdapat di dalam Al-Qur'an.
7)      Terkadang As-Sunnah berfungsi sebagai penafsir dan pemerinci hal-hal yang disebut secara mujmal di dalam Al-Qur'an.
8)      Terkadang As-Sunnah menetapkan dan membentuk hukum yang tidak terdapat di dalam Al-Qur'an.

6.      As – Sunnah, yang merupakan istilah lain dari Al - Hadis, dalam arti ucapan-ucapan yang dinisbahkan kepada Nabi Muhammad saw., pada umumnya diterima berdasarkan riwayat dengan makna, dalam arti teks hadis tersebut, tidak sepenuhnya persis sama dengan apa yang diucapkan oleh Nabi saw. Walaupun diakui bahwa cukup banyak persyaratan yang harus diterapkan oleh para perawi hadis, sebelum mereka diperkenankan meriwayatkan dengan makna; namun demikian, problem menyangkut teks sebuah hadis masih dapat saja muncul.

Sumber :
1.      Al Qur an Al Karim, ( Penulisan dan copy dari Program Holy Qur an V. 8.0 Harf Information Technology Free Zone - Nasser City – Cairo, 2002)
2.      Al Hadits, Program PC Mausuat Al Hadits Al Syarif, Al Ishdarul Awwal 1,2. (1991-1996)
3.      Al-Maktabatu as-Syamilah Al-Ishdaru Ats-Tsani 5500, Madinatu al-Munawwarah, Al Jamiatu al-Islamiyah, 1399 H
4.      As Syafi’i Muhammad bin Idris, Ahkamul Qur an Lis Syafi’i, Beirut, Darul Kutub al- Ilmiyah, 1400 H.
5.      Dr. Said bin Ali Al Qahthani, Nur As Sunnah wa dhulumat al bid’ati fi Dlau’ al kitabi wa as Sunnah, 1429 H.
6.      Imam Ibnu Hajar Al Haitami, Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj, Beirut, Daru Ihayait Turots al Arabi, Juz I.
7.      Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-pokok Ilmu Diroyah Hadits, Jakarta, Bulan Bintang, 1976, jilid ii
8.      Munawwir, Ahmad Warson, Al  Munawwir, Kamus Arab-Indonesia terlengkap, Surabaya, Pustaka Progressif, 1984,.
9.      KHA Latief Muchtar, MA, Hadits sebagai Sumber Ajaran Islam, makalah dalam Buku Pengembangan Pemikiran terhadap Hadis,Yogyakarta, LPPI, 1996.
10.  Quraish Syihab, Hubungan Hadits dan Al Qur an, makalah dalam Buku Pengembangan Pemikiran terhadap Hadis,Yogyakarta, LPPI, 1996.
11.  Said Agil Husen Al-Munawar, Metode Pemahaman Hadis, makalah dalam Buku Pengembangan Pemikiran terhadap Hadis,Yogyakarta, LPPI, 1996.
12.  Yazid Abdul Qadir Jawas, Kedudukan As-Sunnah Dalam Syariat Islam, Pustaka Al-Kautsar, Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=232&bagian=0
13.  Mauqi al Islam, Al Maghrib Jz 3 hal 100, http://www.al-islam.com
14.  Atang Abd. Hakim, Metodologi Studi Islam, Bandung, Remaja Rosdakarya, 2006.
15.  Husein Yusuf, Kriteria Hadis Sahih, makalah dalam Buku Pengembangan Pemikiran terhadap Hadis,Yogyakarta, LPPI, 1996.


2. صحيح مسلم - (ج 3 / ص 86)
2398 - حَدَّثَنِى مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى الْعَنَزِىُّ أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ عَوْنِ بْنِ أَبِى جُحَيْفَةَ عَنِ الْمُنْذِرِ بْنِ جَرِيرٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ كُنَّا عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِى صَدْرِ النَّهَارِ قَالَ فَجَاءَهُ قَوْمٌ حُفَاةٌ عُرَاةٌ مُجْتَابِى النِّمَارِ أَوِ الْعَبَاءِ مُتَقَلِّدِى السُّيُوفِ عَامَّتُهُمْ مِنْ مُضَرَ بَلْ كُلُّهُمْ مِنْ مُضَرَ فَتَمَعَّرَ وَجْهُ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لِمَا رَأَى بِهِمْ مِنَ الْفَاقَةِ فَدَخَلَ ثُمَّ خَرَجَ فَأَمَرَ بِلاَلاً فَأَذَّنَ وَأَقَامَ فَصَلَّى ثُمَّ خَطَبَ فَقَالَ « (يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِى خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ) إِلَى آخِرِ الآيَةِ (إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا ) وَالآيَةَ الَّتِى فِى الْحَشْرِ (اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ) تَصَدَّقَ رَجُلٌ مِنْ دِينَارِهِ مِنْ دِرْهَمِهِ مِنْ ثَوْبِهِ مِنْ صَاعِ بُرِّهِ مِنْ صَاعِ تَمْرِهِ - حَتَّى قَالَ - وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ ». قَالَ فَجَاءَ رَجُلٌ مِنَ الأَنْصَارِ بِصُرَّةٍ كَادَتْ كَفُّهُ تَعْجِزُ عَنْهَا بَلْ قَدْ عَجَزَتْ - قَالَ - ثُمَّ تَتَابَعَ النَّاسُ حَتَّى رَأَيْتُ كَوْمَيْنِ مِنْ طَعَامٍ وَثِيَابٍ حَتَّى رَأَيْتُ وَجْهَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَتَهَلَّلُ كَأَنَّهُ مُذْهَبَةٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَىْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ ».
__________
معانى بعض الكلمات :
المجتاب : اللابس
المذهبة : الشىء المموه بالذهب
النمار : جمع نمرة وهى كساء فيه خطوط بيض وسود تلبسه الأعراب
3.   المغرب - (ج 3 / ص 100     
( س ن ن ) : ( السُّنَّةُ ) الطَّرِيقَةُ وَمِنْهَا الْحَدِيثُ
تاج العروس - (ج 1 / ص 8075         
( و ) السنة ( السيرة ) حسنة كانت أو قبيحة وقال الازهرى السنة الطريقة المحمودة المستقيمة ولذلك قيل فلان من أهل السنة معناه من أهل الطريقة المستقيمة المحمودة ( و ) السنة ( الطبيعة ) وبه فسر بعضهم قول الاعشى كريما شمائله من بنى * معاوية الاكرمين السنن وقيل السنن هنا الوجوه ( و ) السنة ( تمر بالمدينة ) معروف نقله الجوهرى ( و ) السنة ( من الله ) إذا أطلقت من الشرع فانما يراد بها ( حكمه وأمره ونهيه ) مما أمر النبي صلى الله تعالى عليه وسلم ونهى عنه وندب إليه قولا وفعلا مما لم ينطق به الكتاب العزيز ولهذا يقال في أدلة الشرع الكتاب والسنة أي القرآن والحديث وقال الراغب سنة النبي طريقته التى كان يتحراها وسنة الله عزوجل قد تقال لطريقة حكمته وطريقة طاعته نحو قول تعالى سنة الله التى قد خلت من قبل وقوله تعالى ولن نجد لسنة الله تحويلا فنبه على ان وجوه الشرائع وان اختلفت صورها فالغرض المقصود منها لا يختلف ولا يتبدل وهو تطمين النفس وترشيحها للوصول الى ثواب الله تعالى ( و ) قوله تعالى وما منع الناس أن يؤمنوا إذ جاءهم الهدى ويستغفروا ربهم ( الا أن تأتيهم سنة الاولين )
6.  تحفة المحتاج في شرح المنهاج  - (ج 1 / ص 71)         
( لِلتَّفَقُّهِ ) أَيْ التَّفَهُّمِ وَأَخْذِ الْفِقْهِ تَدْرِيجًا وَهُوَ أَعْنِي الْفِقْهَ لُغَةً الْفَهْمُ مِنْ فَقِهَ بِكَسْرِ عَيْنِهِ فَإِنْ صَارَ الْفِقْهُ سَجِيَّةً لَهُ قِيلَ فَقُهَ بِضَمِّهَا ، وَاصْطِلَاحًا الْعِلْمُ بِالْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ الْعَمَلِيَّةِ النَّاشِئَةِ عَنْ الِاجْتِهَادِ وَمَوْضُوعُهُ فِعْلُ الْمُكَلَّفِ مِنْ حَيْثُ تَعَاوُرُ تِلْكَ الْأَحْكَامِ عَلَيْهِ وَاسْتِمْدَادُهُ مِنْ الْأَدِلَّةِ الْمُجْمَعِ عَلَيْهَا الْكِتَابُ وَالسُّنَّةُ وَالْإِجْمَاعُ وَالْقِيَاسُ وَالْمُخْتَلَفِ فِيهَا كَالِاسْتِصْحَابِ وَمَسَائِلِهِ كُلُّ مَطْلُوبٍ خَبَرِيٌّ يُبَرْهَنُ عَلَيْهِ فِي الْعِلْمِ وَفَائِدَتُهُ امْتِثَالُ الْأَوَامِرِ وَاجْتِنَابُ النَّوَاهِي وَغَايَتُهُ انْتِظَامُ أَمْرِ الْمَعَاشِ وَالْمَعَادِ مَعَ الْفَوْزِ بِكُلِّ خَيْرٍ دُنْيَوِيٍّ وَأُخْرَوِيٍّ ( فِي الدِّينِ ) وَهُوَ عُرْفًا وَضْعٌ إلَهِيٌّ سَائِقٌ لِذَوِي الْعُقُولِ بِاخْتِيَارِهِمْ الْمَحْمُودِ إلَى مَا هُوَ خَيْرٌ لَهُمْ بِالذَّاتِ ، وَقَدْ يُفَسَّرُ بِمَا شُرِعَ مِنْ الْأَحْكَامِ وَيُسَاوِيهِ الْمِلَّةُ مَاصَدَقًا كَالشَّرِيعَةِ لِأَنَّهَا مِنْ حَيْثُ إنَّهَا يُدَانُ أَيْ يُخْضَعُ لَهَا تُسَمَّى دِينًا وَمِنْ حَيْثُ إنَّهَا يُجْتَمَعُ عَلَيْهَا وَتُمْلَى أَحْكَامُهَا تُسَمَّى مِلَّةً وَمِنْ حَيْثُ إنَّهَا تُقْصَدُ لِإِنْقَاذِ النُّفُوسِ مِنْ مُهْلِكَاتِهَا تُسَمَّى شَرِيعَةً ( مَنْ ) مَفْعُولٌ أَوَّلُ لِلْمُوَفِّقِ الْمُتَعَدِّي لِلثَّانِي بِاللَّامِ ( لَطَفَ بِهِ ) أَيْ أَرَادَ لَهُ الْخَيْرَ وَسَهَّلَهُ عَلَيْهِ لِكَوْنِهِ مَنَّ عَلَيْهِ بِفَهْمٍ تَامٍّ وَمُعَلِّمٍ نَاصِحٍ وَشِدَّةِ الِاعْتِنَاءِ بِالطَّلَبِ وَدَوَامِهِ ( وَاخْتَارَهُ ) أَيْ انْتَقَاهُ لِلُطْفِهِ وَتَوْفِيقِهِ ( مِنْ الْعِبَادِ ) يَصِحُّ أَنْ يَكُونَ بَيَانًا لِمَنْ فَأَلْ فِيهِ لِلْعَهْدِ وَالْمَعْهُودُ { إنَّ عِبَادِي لَيْسَ لَك عَلَيْهِمْ سُلْطَانٌ } .
أصول الإيمان في ضوء الكتاب والسنة - (ج 1 / ص 184)
المبحث الرابع
الإيمان بالقرآن وخصائصه
تعريف القرآن والحديث القدسي والحديث النبوي والفرق بينهما :
القرآن الكريم : هو كلام الله منه بدا بلا كيفية قولا ، وأنزله على رسوله وحيا ، وصدقه المؤمنون على ذلك حقا ، وأيقنوا أنه كلام الله حقيقة ، سمعه جبريل عليه السلام من الله عز وجل ، ونزل به على خاتم رسله محمد صلى الله عليه وسلم بلفظه ومعناه المنقول بالتواتر المفيد للقطع واليقين المكتوب في المصاحف المحفوظ من التغيير والتبديل . (1) .
والحديث القدسي : هو ما رواه النبي صلى الله عليه وسلم عن ربه باللفظ والمعنى ونقل إلينا آحادا أو متواترا ولم يبلغ تواتر القرآن (2) .
ومثاله حديث أبي ذر الغفاري عن النبي صلى الله عليه وسلم فيما يرويه عن ربه عز وجل أنه قال : « يا عبادي ، إني حرمت الظلم على نفسي وجعلته بينكم محرما فلا تظالموا » (3) .
والحديث النبوي : ما أضيف إلى النبي صلى الله عليه وسلم من قول أو فعل أو تقرير أو وصف . (4) .
_________
(1) الطحاوية 1 / 172 . مباحث في علوم القرآن لمناع القطان ، ص21 ، وقواعد التحديث لجمال الدين القاسمي ص65 .
(2) انظر قواعد التحديث لجمال الدين القاسمي ص65 .
(3) رواه مسلم برقم (2577) .
(4) مصطلح الحديث لابن عثيمين ص7 ، وقواعد التحديث للقاسمي ص61-62 .

أحكام القرآن للشافعي - (ج 1 / ص -4039)
( أَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الْحَافِظُ ) أَخْبَرَنِي , أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الزُّبَيْرُ بْنُ عَبْدِ الْوَاحِدِ الْحَافِظُ الإستراباذي قَالَ : سَمِعْتُ أَبَا سَعِيدٍ مُحَمَّدَ بْنَ عَقِيلٍ الْفِرْيَابِيَّ , يَقُولُ : قَالَ الْمُزَنِيّ وَالرَّبِيعُ : كُنَّا يَوْمًا عِنْدَ الشَّافِعِيِّ , إذْ جَاءَ شَيْخٌ , فَقَالَ لَهُ أَسْأَلُ ؟ قَالَ الشَّافِعِيُّ : سَلْ . قَالَ أَيْشٍ الْحُجَّةُ فِي دِينِ اللَّهِ ؟ فَقَالَ الشَّافِعِيُّ : كِتَابُ اللَّهِ قَالَ : وَمَاذَا ؟ قَالَ : سُنَّةُ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ : وَمَاذَا ؟ قَالَ : اتِّفَاقُ الْأُمَّةِ . قَالَ : وَمِنْ أَيْنَ قُلْتَ اتِّفَاقَ الْأُمَّةِ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ ؟ , فَتَدَبَّرَ الشَّافِعِيُّ ( رحمه الله ) سَاعَةً . فَقَالَ الشَّيْخُ أَجَّلْتُكَ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ فَتَغَيَّرَ لَوْنُ الشَّافِعِيِّ , ثُمَّ إنَّهُ ذَهَبَ , فَلَمْ يَخْرُجْ أَيَّامًا . قَالَ : فَخَرَجَ مِنْ الْبَيْتِ [ فِي ] الْيَوْمِ الثَّالِثِ , لَمْ يَكُنْ بِأَسْرَعَ أَنْ جَاءَ الشَّيْخُ فَسَلَّمَ , فَجَلَسَ , فَقَالَ : حَاجَتِي ؟ فَقَالَ الشَّافِعِيُّ ( رحمه الله ) : نَعَمْ , أَعُوذ بِاَللَّهِ مِنْ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ بسم الله الرحمن الرحيم قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ : { وَمَنْ يُشَاقِقْ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا } لَا يُصْلِيهِ جَهَنَّمَ عَلَى  خِلَافِ [ سَبِيلِ ] الْمُؤْمِنِينَ , إلَّا وَهُوَ فَرْضٌ قَالَ : فَقَالَ : صَدَقْتَ وَقَامَ وَذَهَبَ . قَالَ الشَّافِعِيُّ : قَرَأْتُ الْقُرْآنَ فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ حَتَّى وَقَفْتُ عَلَيْهِ وَهَذِهِ الْحِكَايَةُ أَبْسَطُ مِنْ هَذِهِ نَقَلْتُهَا فِي كِتَابِ الْمَدْخَلِ


Ö Makalah disampaikan dalam  Perkuliahan Studi Hadits, dalam Program Pasca Sarjana S2 IAIN Walisongo Semarang Tahun 2008 / 2009.
[1] AW Munawwir,  Al  Munawwir, Kamus Arab-Indonesia terlengkap, Surabaya, Pustaka Progressif, 1984, hal 669.
[2] Mauqi al Islam, Al Maghrib Jz 3 hal 100, http://www.al-islam.com (Program Al Maktabah As Syamila Ishdar ats Tsani 5500)
[3] Mauqi al Islam, Murtadha Ar Rabidi, Taj al Arus min jawahir al qamus Jz 1 hal 8075 http://www.alwarraq.com (Program Al Maktabah As Syamila Ishdar ats Tsani 5500)
[4] Dr. Said bin Ali Al Qahthani, Nur As Sunnah wa dhulumat al bid’tih fi Dlau’ all kitabi wa as Sunnah, 1429 H, hal 5.
[5] لسان العرب، لابن منظور، باب النون، فصل السين، 13/225.
[6]KHA Latief Muchtar, MA, Hadits sebagai Sumber Ajaran Islam, makalah dalam Buku Pengembangan Pemikiran terhadap Hadis,Yogyakarta, LPPI, 1996, hal 167.
[7] Atang Abd. Hakim, Metodologi Studi Islam, Bandung, Remaja Rosdakarya, 2006, hal 83.
[8]Said Agil Husen Al-Munawar, Metode Pemahaman Hadis, makalah dalam Buku Pengembangan Pemikiran terhadap Hadis,Yogyakarta, LPPI, 1996, hal 155.
[9] Al-Maktabatu as-Syamilah Al-Ishdaru Ats-Tsani 5500, Madinatu al-Munawwarah, Al Jamiatu al-Islamiyah, 1399 H
[10] ) مصطلح الحديث لابن عثيمين ص7 ، وقواعد التحديث للقاسمي ص61-62 .
[11] AW Munawwir, Al  Munawwir, Kamus Arab-Indonesia terlengkap, Surabaya, Pustaka Progressif, 1984, hal 1562.
[12] Al-Maktabatu as-Syamilah Al-Ishdaru Ats-Tsani 5500, Madinatu al-Munawwarah, Al Jamiatu al-Islamiyah, 1399 H
[13] Quraish Syihab, Hubungan Hadits dan Al Qur an, makalah dalam Buku Pengembangan Pemikiran terhadap Hadis,Yogyakarta, LPPI, 1996, hal 53.
[14] Yazid Abdul Qadir Jawas, Kedudukan As-Sunnah Dalam Syariat Islam, Pustaka Al-Kautsar, hal 33-37
[15] Program PC Mausuat Al Hadits Al Syarif, Al Ishdarul Awwal 1,2. (1991-1996)
[16] Program PC Mausuat Al Hadits Al Syarif, Al Ishdarul Awwal 1,2.Sunan Ibnu Majah, hadis ke-43 (1991-1996)
[17] Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-pokok Ilmu Diroyah Hadits, Jakarta, Bulan Bintang, 1976, jilid ii hal 355.
[18] Imam Ibnu Hajar Al Haitami, Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj, Beirut, Daru Ihayait Turots al Arabi, Juz I hal 71.
[19] Quraish Syihab, Hubungan Hadits dan Al Qur an, makalah dalam Buku Pengembangan Pemikiran terhadap Hadis,Yogyakarta, LPPI, 1996, hal 53
[20] Al Qur an Al Karim, Q.S-Ali Imron : 32 ( Penulisan dan copy dari Program Holy Qur an V. 8.0 Harf Information Technology Free Zone - Nasser City – Cairo, 2002)
[21] ---------------------------, Q.S-Al Anfal : 20)
[22] Al Qur an Al Karim, Q.S-An Nisa’ : 59 ( Penulisan dan copy dari Program Holy Qur an V. 8.0 Harf Information Technology Free Zone - Nasser City – Cairo, 2002)
[23] -------------------------------------, Q.S-An Nur : 54
[24] --------------------------------------, Q.S-Muhammad : 33
[25] --------------------------------------, Q.S-An Nisa’ : 65
[26]HM Husein Yusuf, Kriteria Hadis Sahih, makalah dalam Buku Pengembangan Pemikiran terhadap Hadis,Yogyakarta, LPPI, 1996, hal 27
[27] As Syafi’i Muhammad bin Idris, Ahkamul Qur an Lis Syafi’i, Beirut, Darul Kutubul Ilmiyah, 1400 H ( dicopy dari Program Al Maktabatu Al Syamilah Al Ishdaru As Tsani )
[28] Program PC Mausuat Al Hadits Al Syarif, Al Ishdarul Awwal 1,2. (1991-1996)
[29] Yazid Abdul Qadir Jawas, Kedudukan As-Sunnah Dalam Syari'at Islam, Pustaka Al-Kautsar, hal 52-55
[30] Quraish Syihab, Hubungan Hadits dan Al Qur an, makalah dalam Buku Pengembangan Pemikiran terhadap Hadis,Yogyakarta, LPPI, 1996, hal 55.

2 komentar:

Muh. Arif Wahyudi mengatakan...

memang inkar sunnah tidak hanya berwujud sebuah aliran keagamaan saja, melainkan juga aliran pemikiran atau sebuah paham yang benih-benihnya sudah muncul dari sejak abad pertama Islam. Pelopornya adalah Syi’ah, Mu’tazilah, Khawarij, Murji`ah dan sekte-sekte lainnya yang menyimpang dari “Ahlus-Sunnah”. Di era kontemporer, serangan inkar sunnah yang meragukan hadits dan ilmu hadits diawali oleh seorang orientalis bernama Goldziher. Diikuti kemudian oleh Joseph Schacht. Di kalangan muslim, yang turut menjadi pengekornya di antaranya adalah Rasyid Ridla, Abu Rayyah, Ahmad Amin, dan Ahmad Abdul Mun’im al-Bahi. Di antara mereka ada yang menolak hadits secara keseluruhan, ada yang hanya menolak hadits Ahad, ada pula yang kalau sesuai dengan al-Qur`an menurut akalnya sendiri, maka hadits digunakan, jika tidak maka ditinggalkan.
http://pemikiranislam.net/2011/11/mewaspadai-virus-inkar-sunnah-2/

Muh. Arif Wahyudi mengatakan...

memang inkar sunnah tidak hanya berwujud sebuah aliran keagamaan saja, melainkan juga aliran pemikiran atau sebuah paham yang benih-benihnya sudah muncul dari sejak abad pertama Islam. Pelopornya adalah Syi’ah, Mu’tazilah, Khawarij, Murji`ah dan sekte-sekte lainnya yang menyimpang dari “Ahlus-Sunnah”. Di era kontemporer, serangan inkar sunnah yang meragukan hadits dan ilmu hadits diawali oleh seorang orientalis bernama Goldziher. Diikuti kemudian oleh Joseph Schacht. Di kalangan muslim, yang turut menjadi pengekornya di antaranya adalah Rasyid Ridla, Abu Rayyah, Ahmad Amin, dan Ahmad Abdul Mun’im al-Bahi. Di antara mereka ada yang menolak hadits secara keseluruhan, ada yang hanya menolak hadits Ahad, ada pula yang kalau sesuai dengan al-Qur`an menurut akalnya sendiri, maka hadits digunakan, jika tidak maka ditinggalkan.
http://pemikiranislam.net/2011/11/mewaspadai-virus-inkar-sunnah-2/